Pembicaraan:Pragmatisme di Amerika Serikat

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Bagian baru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sisa ketikan (jangan dihapus)[sunting sumber]

Kembali ke konsep kebenaran ala James. Kebenaran itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah menjadi benar. Dalam bahasa filsuf yang juga psikolog ini ‘Truth happens to an idea”. Pak Fahruddin menjelaskan, kebenaran itu terjadi pada sebuah gagasan, bebeda dengan konsep tradisional yang menganggap kebenaran itu adalah sesuatu yang pasti. Contoh, nikmatnya membaca buku-buku Ayu Utami pasti berbeda bagi setiap orang. Ada yang mengatakan Ayu Utami itu bagus, ada juga yang tidak menyukai Ayu Utami. Jadi, masing-masing orang mempunyai perspektif berbeda ketika mengonsumsi novel-novelnya Ayu Utami. Pak Fahruddin membahasakannya dengan “menjadi benar bagiku”. Aku di sini adalah orang yang menikmati (mengalami) nikmatnya membaca bukunya Ayu Utami.

Lebih jauh dosen Ushuludin, UIN Sunan Kalijaga yang malam itu berkemeja hitam dan jam tangan yang juga hitam itu menerangkan, ada tiga kriteria kebenaran, yakni kebenaran langsung yang sifatnya tidak perlu dipikirkan lagi. Misalnya, ketika seseorang menceritakan air akan mendidih pada suhu 100 derajat, secara tidak langsung kita akan membenarkannya karena berdasarkan fakta-fakta yang ada dan pengamalan yang telah kita rasakan. Kemudian kebenaran filosofi (philosophical reasonableness). Ia menyesuaikan dengan akal. Sesuatu itu kita cerna berdasa akal kita. Dengan bahasa lain, apakah sesuatu itu masuk akal atau tidak. Dan yang terakhir adalah morally helpful. Apakah sesuatu itu mendorong hidup kita menjadi manusiawi atau tidak.

Dalam ranah agama, pemikiran brilian James ini menarik untuk kita urai. Bagi James, misi agama dikatakan berhasil jika pemeluknya taat. Karena ketaatan adalah hasil dari pesan, atau doktrin agama itu sendiri. Jika hasil ini tidak didapatkan, demikian James, sehingga gagalah sebuah agama. Dengan kata lain, parameter keberhasilan sebuah agama adalah pasrah dan tunduknya para pemeluknya kepada doktrin agama. Percuma saja seorang pemeluk agama mengaku beragama selama ia sendiri tidak menjalankannya.

Kita tinggalkan Willian James. Selanjutnya kita menyasar pikiran-pikiran Charles Sanders Peirce (1839-1942). Ialah pemantik awal pragmatisme. Publikasinya mencapai 12.000 halaman, belum lagi karya-karya yang tidak terpublikasi. Berbagai bidang diungkap oleh Peirce seperti matematika, fisika, ekonomi, dan ilmu sosial.

Ada yang menarik dari pemikiran Peirce ini, yakni konsep logika yang ditawarkannya. Jika selama ini kita hanya mengetahui metode deduksi dan induksi dalam logika, filsuf yang lahir di Cambridge, Massachusetts ini menawarkan konsep baru yang dinamakannya abduksi. Deduksi (pengambilan kesimpulan dari khusus ke umum), menurut Peirce, tidaklah pasti. Misalnya, seperti dicontohkan Pak Fahruddin, setiap yang memakai sorban adalah Muslim, tetanggaku memakai sorban, bahwa tetanggaku adalah seorang Muslim. Tidak ada jaminan kepastian di sini. Harus ada variabel-variabel lain di tengah ketidakpastian ini. Inilah yang dinamakan oleh Peirce sebagai abduksi. Ia, demikian Pak Fahruddin, harus memerhatikan parameter-parameter seperti predictability, koherensi, simplicity, dan fruitfulness.

Dalam kasus si pemakai sorban sebagaimana contoh di atas, ia harus bersifat predictability. Jika ada yang memakai sorban sekarang, berarti ke depannya pasti ia juga seorang Muslim. Kekoherenan juga menjadi ciri abduksi. Dalam arti, logis tidaknya sebuah peristiwa. Seorang yang murung, misalnya adalah penanda bahwa seseorang itu mempunyai masalah, dan lain sebagainya. Ia juga berciri sederhana, tidak dibuat-buat. Yang paling masuk akallah yang menjadi ciri abduksi. Sementara fruitfulness berkait dengan konteks atau tujuannya. Seperti kata Pak Fahruddin, dalam konteks ke masjid, jika ada seseorang menggunakan sorban, berarti ia adalah seorang Muslim.

Demikian sekilas tentang pragmatisme. Aliran yang mendapatkan tempatnya di dunia modern saat ini. Dalam kasus Indonesia, banyak contoh berkait pragmatisme ini. Ia bisa kita jumpai dalam ranah politik, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Di dunia pendidikan, misalnya, betapa pendidikan kita sangat berorientasi hasil, bukan proses. Gelar akademik adalah segala-galanya bagi manusia modern, meskipun ia mengabaikan poses. Bahkan banyak juga yang meraihnya dengan jalan pintas, misalnya membeli ijazah, seperti para politisi kita yang kerap ketahuan menggunakan ijazah palsu itu.