Pandemi Covid-19 di Kota Makassar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang ditetapkan sebagai provinsi dengan tingkat penyebaran COVID-19 yang tinggi berdasarkan data penduduk yang terkonfirmasi positif COVID-19. Dari data pada awal bulan Juni 2020, memperlihatkan adanya peningkatan kasus positif COVID-19 yang sudah lebih dari 100 orang dalam hitungan perhari. Meskipun pemerintah provinsi Sulawesi Selatan telah mengambil kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan jumlah peningkatan kasus terjangkit virus COVID-19, tetapi hal tersebut belum bisa meminimalisir tingkat penyebaran yang terjadi. Berdasarkan data dari pusat informasi COVID-19 didapatkan bahwa jumlah penduduk yang terkonfirmasi positif tertinggi berada pada wilayah kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Bahkan dari data Sulsel tanggap COVID-19 per 29 Juni 2020, telah diperoleh data untuk wilayah provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah orang positif COVID-19 sebesar 4.995 orang dan jumlah pasien yang meninggal sebanyak 164 orang. Dari data tersebut Sulawesi Selatan menjadi provinsi ketiga terbesar dalam kasus penyebaran COVID-19 dan tingginya tingkat penyebaran tersebut sudah didominasi oleh penularan pada warga lokal.[1]

Berdasarkan data yang ada, kasus positif COVID-19 di Kota Makassar, Sulawesi Selatan telah menembus angka 3.028 orang. Kecamatan Panakkukang merupakan salah satu kecamatan yang menjadi lokasi dengan kasus positif COVID-19 terbanyak, dimana 346 orang di kecamatan tersebut masih menjalani proses perawatan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.984 orang masih menjalani perawatan, 616 orang sedang dirawat di rumah sakit dan 1.368 orang lainnya menjalani isolasi secara mandiri dirumah masing-masing. Tinggi kasus penyebaran virus COVID-19 di Kota Makassar membuat pemerintah membuat aturan yang berisi tentang mewajibkan masyarakat untuk melakukan tes COVID-19 dan memiliki surat keterangan bebas Covid-19.[2]

Diberlakukannya aturan pembatasan terhadap aktivitas masyarakat di Kota Makassar termasuk berkumpul di tempat umum seperti pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, termasuk rumah makan telah memberikan dampak yang sangat besar pada pengusaha kuliner yang ada di Kota Makassar sebagai salah satu kota yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).[3] Pandemi COVID-19 telah membuat para pengusaha kuliner yang ada menjadi lebih berhati-hati lagi dalam menjual makanannya dan memperhatikan cara pengolahan makanan dan minuman yang akan dijual kepada pembeli mereka. Beberapa pengusaha kuliner mulai sangat memperhatikan kebersihan dengan cara menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai dalam pengolahan makanannya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk dalam menjaga kepercayaan konsumen bahwa makanan yang dijual atau disajikan oleh penjual telah diolah dengan aman, bersih dan sehat untuk dikonsumsi. Pemberlakuan dan penetapan standar kebersihan dan keamanan makanan dan minuman yang diolah tidak hanya dilakukan pada proses pengolahan hingga penyajian makanan saja tetapi sampai proses pengantaran juga tetap diperhatikan. Untuk pemesanan makanan dan minuman secara daring, sebagian besar penjual akan mengemas makanan yang dijualnya tersebut dengan rapi dan bahkan dengan tambahan plastik hingga 3 lapis.[4]

Setelah Kota Makassar menjadi salah satu lokasi dengan tingkat penyebaran yang sangat tinggi maka pemerintah Kota Makassar mengeluarkan kebijakan terkait larangan aktivitas di luar rumah atau dikenal dengan istilah pembatasan sosial dan pembatasan fisik. Hal ini ditandai dengan munculnya larangan dan bertebarannya spanduk-spanduk karantina wilayah wilayah dibeberapa sudut Kota Makassar. Spanduk merupakan sarana informasi yang bertujuan untuk menghimbau, mengajak, melarang, dan mempengaruhi yang dinilai dapat memberikan dampak yang lebih besar dalam proses penyebaran informasi kepada masyarakat.[5]

Dampak bagi institusi pendidikan[sunting | sunting sumber]

Salah satu lembaga pendidikan di Kota Makassar menerapkan metode Blended Learning sebagai salah satu metode pembelajaran dipilih atas ketidakpuasan dosen dan mahasiswa dalam proses menyampaikan serta mendapatkan ilmu dan informasi. Khususnya bagi dosen pengampuh mata kuliah tertentu yang berkaitan dengan matematika, statistik, akuntansi dan keuangan merasa perlunya proses tatap muka langsung untuk memudahkan dalam proses belajar mengajar. Metode Blended Learning yang diterapkan dapat berpengaruh positif dan signifikan dalam meningkatkan produktivitas baik itu pada dosen maupun mahasiswa pada saat proses transfer ilmu dilakukan.[6] Proses transformasi metode pembelajaran selama pandemi COVID-19 dari berawal secara langsung menjadi daring atau online. Hal ini sangat didukung oleh perubahan peradaban digitalisasi yang mengharuskan lembaga pendidikan harus beradaptasi dengan teknologi dan sistem informasi yang ada dan masih menyisakan permasalahan serta kendala yang dinilai masih kurang efektif pada sektor pendidikan. Keterbatasan pengetahuan dosen terkait media daring membuat proses belajar mengajar menjadi sedikit lambat dan terganggu karena dosen harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan teknologi yang sedang digunakan.[7]

Dampak bagi perekonomian[sunting | sunting sumber]

Penyebaran virus COVID-19 yang terjadi pada awal tahun 2020 telah menyebabkan terjadinya pembatasan sosial, pembatasan jarak fisik, bahkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pembatasan tersebut dimulai dan diberlakukan secara bertahap pada bulan Maret 2020 dan berlangsung sampai sekarang agar masyarakat dapat paham dan mengikuti kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah penyebaran virus COVID-19. Pembatasan juga menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas ekonomi di Kota Makassar seperti menurunnya pengguna hotel yang menyebabkan penurunan pajak hotel serta penurunan konsumen di beberapa restoran besar yang menyebabkan penurunan pajak restoran. Hal mengakibatkan penurunan dalam pencapaian target pajak dan realisasi pajak yang telah dibuat sebelumnya.[8]

Dampak bagi masyarakat[sunting | sunting sumber]

Masyarakat di Kota Makassar sebagian besar mengalami pembelian karena panik yang diakibatkan oleh tekanan dari kondisi pandemi COVID-19. Masyarakat dibeberapa wilayah di Kota Makassar merasa cemas dengan kondisi pandemi saat ini dikarenakan masyarakat sering mendapatkan informasi yang tidak jelas atau berita hoax dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Kurangnya pengetahuan warga tentang informasi mengenai COVID-19 dari pihak pemerintah serta banyaknya informasi terkait COVID-19 dari berbagai sumber yang tidak jelas memberikan efek tambahan pada perilaku panic buying dimana sebagian masyarakat segera pergi berbelanja bahan makanan yang akan ditimbun sebagai persiapan jika nantinya semua toko akan ditutup untuk jangka waktu yang tidak menentu.[9]

Kondisi pademi COVID-19 yang sedang terjadi di Indonesia khususnya di Kota Makassar membuat perilaku hidup bersih dan sehat menjadi hal yang wajib dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan virus tersebut mampu hidup pada semua benda selama beberapa jam dan dapat dihilangkan hanya dengan menggunakan cairan tertentu seperti sabun, alkohol dan lain-lain. Masyarakat dihimbau untuk mengonsumsi makanan yang bergizi dan sehat agar tubuh terjaga dari segala virus dan membuat imun tubuh menjadi lebih baik yang secara otomatis akan menjaga tubuh dari virus COVID-19. Pada umumnya anak usia dini belum memahami bagaimana cara menerapkan pola hidup bersih dan sehat, mereka hanya membeli jajanan yang menurut mereka enak dan menarik tanpa mempertimbangkan efek dari makanan tersebut. Proses pemberian informasi dan edukasi kepada anak sangatlah penting untuk saat pandemi seperti ini agar anak tidak mudah terserang penyakit dan virus.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Hayat, A. (2020). "Minimalisasi Penyebaran COVID 19 Pada Lingkungan Pesantren, Sekolah dan Puskesmas Melalui Bantuan Alat Wastafel Portabel". JURNAL TEPAT: Applied Technology Journal for Community Engagement and Services. 3 (2): 65–72. doi:10.25042/jurnal_tepat.v3i2.139. 
  2. Yusriani (2020). "Pengetahuan dan Tingkat Kecemasan Mempengaruhi Perilaku Panic Buying Selama Pandemic Covid-19". Sinergitas Multidisiplin Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 3 (1): 38–46. ISSN 2622-593X. 
  3. Nurbaya, Chandra, W., &, Ansar (2020). "PERUBAHAN SISTEM PELAYANAN MAKANAN PADA USAHA KULINER SELAMA MASA PANDEMI COVID-19 DAN ERA KEBIASAAN BARU DI KOTA MAKASSAR". Jurnal Kesehatan Manarang. 6: 61–68. ISSN 2528-5602. 
  4. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA (16 April 2020). "PENETAPAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DI WILAYAH KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)" (PDF). Hukumonline.com. Diakses tanggal 4 Maret 2021. [pranala nonaktif permanen]
  5. Nurnainah (2021). "EDUKASI MENGGUNAKAN MEDIA ANIMASI TERHADAP KEBIASAAN JAJAN ANAK SELAMA PANDEMIK COVID-19". Jurnal Keperawatan. 13 (1): 147–152. ISSN 2549-8118. 
  6. Basalamah, I. (2020). "IMPLEMENTASI BLENDED LEARNING DI MASA PANDEMI COVID-19 PADA STIE WIRA BHAKTI MAKASSAR". AkMen. 17 (4): 529–538. ISSN 2621-4377. 
  7. Hamdani, A. R., &, Priatna, A. (2020). "EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN DARING (FULL ONLINE) DIMASA PANDEMI COVID- 19 PADA JENJANG SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN SUBANG". Didaktik : Jurnal Ilmiah PGSD STKIP Subang. 6 (1): 1–9. ISSN 2614-722X. 
  8. Syamsuddin (2020). "DAMPAK COVID 19 TERHADAP TARGET DAN REALISASI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DAN RESTORAN DI KOTA MAKASSAR". Journal of Business Administration (JBA). 1 (1): 5–14. ISSN 2775-2186. 
  9. Aswandi, R., Madjid, Z. N. M. P., &, Aqila (2020). "MENILIK ATURAN RAPID TEST DI TENGAH ADAPTASI KEBIASAAN BARU (STUDI KASUS KOTA MAKASSAR)". Jurnal Legislatif. 4 (1): 37–58. ISSN 2654-3982. 
  10. Jahrir, A. S., Al Qadri, M. I., Nurfadilah, N., Wahyu, M. S., Syahria, S., Amiruddin, A., &, Rahmawati, R. (2020). "Pengaruh Penggunaan Bahasa dalam Spanduk Lockdown Wilayah Terhadap Perilaku Sosial Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid-19 di Kota Makassar". Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah serta Pembelajarannya. 2 (1): 18–27.