Orang gila menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Orang gila menurut Islam dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadis. Al-Qur'an menyampaikan bahwa para rasul disebut sebagai orang gila oleh kaumnya yang ingkar. Orang gila menurut Islam tidak dibebani oleh kewajiban dalam Islam, karena tidak adanya akal dan kemampuan untuk memahami firman Allah.

Dalil[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]

Dalam firman-firman Allah pada Al-Qur'an banyak disebutkan mengenai penyebutan orang gila kepada para rasul oleh kaumnya sendiri. Penisbatan mereka didasari oleh tindakan para rasul yang berbeda dengan kebiasaan yang telah ada pada masyarakat umum. Kaum-kaum ini umumnya menyebut rasul mereka sebagai orang gila karena berusaha menghilangkan kemaksiatan yang telah menjadi kebiasaan di kalangannya. Surah Al-Qamar Ayat 9-10 mengisahkan tentang Nabi Nuh yang disebut orang gila dan diancam oleh kaumnya. Penyebutan ini merupakan bentuk pengingkaran dan pendustaan oleh kaum Nabi Nuh atas rasul yang diutus kepada mereka. Hal yang sama juga terjadi kepada Nabi Musa. Allah menyampaikan di Surah Az-Zariyat Ayat 38-39 bahwa Nabi Musa disebut sebagai tukang sihir atau orang gila oleh Fir'aun dan tentaranya. Ungkapan ini menjadi bentuk keberpalingan mereka atas mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Musa.[1]

Hadis[sunting | sunting sumber]

Di dalam hadis diketahui bahwa penisbatan seseorang sebagai orang gila bukan berkaitan dengan keadaan yang tampak pada diri seseorang. Orang gila adalah seseorang yang selalu melakukan maksiat kepada Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari ucapan Nabi Muhammad kepada para Sahabat Nabi.[2]

Pengecualian akibat kegilaan[sunting | sunting sumber]

Orang gila dikecualikan dalam pemberlakuan taklif. Karena taklif hanya berlaku bagi mukalaf. Sementara syarat untuk menjadi mukalaf adalah memiliki akal yang mampu digunakan untuk memahami. Suatu firman Allah tidak akan menjadi sia-sia untuk disampaikan kepada orang yang tidak berakal dan tidak mampu memahaminya.[3] Kedudukan peniadaan taklif bagi orang gila disamakan oleh Nabi Muhammad dengan kedudukan anak kecil yang belum baligh dan orang yang dalam keadaan sedang tidur.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ an-Naisaburi 2017, hlm. 33.
  2. ^ an-Naisaburi 2017, hlm. 32.
  3. ^ Rohidin (Agustus 2016). Nasrudin, M., ed. Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia (PDF). Bantul: Lintang Rasi Aksara Books. hlm. 16. ISBN 978-602-7802-30-8. 
  4. ^ Sholihah, S., dkk. (Maret 2020). Rosyadi, Imron, ed. Tanya Jawab Agama (PDF). Surakarta: Navida Media. hlm. 66–67. ISBN 978-623-93247-0-4. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]