Kewajiban dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kewajiban dalam Islam telah diberlakukan sejak masa Nabi Adam. Jenis kewajiban ini meliputi kewajiban kepada Allah dan kepada syariat Islam. Aturan mengenai kewajiban-kewajiban di dalam Islam dibahas dalam ilmu fikih. Pemenuhan kewajiban berlaku bagi mukalaf. Namun, beberapa masalah sosial diberi pengecualian untuk penunaian kewajibannya.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Persoalan kewajiban di dalam Islam telah diatur bersama dengan hak. Pengaturan ini telah dimulai sejak masa Nabi Adam.[1] Dalam kemanusiaan, ajaran Islam memandang sama hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap individu manusia. Ini didasari oleh persaudaraan dan kesamaan dalam penciptaan.[2]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Kewajiban kepada Allah[sunting | sunting sumber]

Setiap muslim berkewajiban untuk menyampaikan ayat-ayat Allah kepada non-muslim. Kewajiban ini merupakan bagian dari penyerahan diri seorang muslim sebagai hamba Allah.[3] Keyakinan akan kewajiban untuk melakukan dakwah telah membuat penyebaran Islam pada masa para Sahabat Nabi berlangsung cepat.[4]

Kewajiban dalam syariat[sunting | sunting sumber]

Kewajiban melaksanakan syariat Islam adalah kewajiban yang sifatnya keharusan bagi muslim. Karena syariat Islam merupakan hukum yang berasal dari Allah. Kepatuhan atas syariat Islam berlaku bagi individu maupun masyarakat.[5] Mukalaf dianggap telah mampu menunaikan kewajiban dan menerima hak yang dimilikinya.[6] Sehingga mukalaf diwajibkan untuk mempelajari tiga ilmu yaitu tauhid, sirri dan ibadah lahiriah.[7]

Membayar zakat[sunting | sunting sumber]

Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang mengatur mengenai kewajiban zakat. Salah satunya di dalam Surah Al-Baqarah. Pada surah ini, ayat yang membahas tentang zakat yaitu ayat ke-43, 83, 110, 177, 215, 245, 254, 261, 263, 265, 267, 270, 274, dan 277. Selain itu, zakat diatur pula dalam Surah Ali Imran Ayat 92 dan 133-134, serta pada Surah An-Nisa' ayat 38, 77, dan 162.[8]

Aturan[sunting | sunting sumber]

Ajaran Islam mengadakan ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban. Tujuannya untuk menciptakan ketertiban masyarakat.[9] Dalam ajaran Islam terdapat Rukun Iman dan Rukun Islam. Bagi muslim, kedua jenis rukun ini merupakan kewajiban yang harus dikerjakan. Pada Rukun Iman terdapat 6 kewajiban. Kewajiban pertama ialah menyembah Allah dengan keimanan bahwa tidak ada sesembahan selain-Nya. Kedua, kewajiban beriman kepada para utusan Allah. Ketiga, kewajiban beriman kepada kitab-kitab Allah. Keempat, kewajiban untuk mengimani malaikat. Kelima, kewajiban mengimani hari akhir. Keenam, kewajiban mengimani segala takdir Allah. Kemudian pada Rukun Islam terdapat 5 kewajiban. Pertama, kewajiban mengcapkan syahadat. Kedua, kewajiban melaksanakan shalat. Ketiga, kewajiban melakukan puasa. Keempat, kewajiban menunaikan zakat. Kelima, kewajiban melaksanakan haji bagi yang mampu.[10]

Aturan mengenai kewajiban-kewajiban juga ditemukan dalam ilmu fikih. Sumber dari penetapan aturan-aturan ini adalah ijtihad dari mujtahid atas Al-Qur'an dan hadis. Kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam fikih diyakini memberikan nilai positif bagi kehidupan manusia yang berasal dari Tuhan. Kepatuhan atas kewajiban di dalam fikih akan menampilkan kesalehan manusia di hadapan Tuhan maupun di kehidupan sosial.[11]

Penunaian[sunting | sunting sumber]

Dalam ajaran Islam, kewajiban lebih dahulu ditunaikan dibandingkan dengan hak. Pemberian hak baru berlangsung setelah kewajiban ditunaikan. Tujuannya untuk mencegah terjadinya wanprestasi.[6] Dalam syariat Islam terdapat konsep yang menyatakan kondisi mampu menerima hak, tetapi belum mampu melaksanakan kewajiban. Salah satu kondisi ini ialah hak waris pada bayi.[12]

Pengecualian[sunting | sunting sumber]

Di dalam ajaran Islam, ada perkara tertentu yang tidak wajib diketahui oleh setiap muslim. Ketidakwajiban ini khususnya mengenai masalah sosial. Misalnya urusan fasakh, ruju, dan persyaratan untuk menjadi hakim.[13]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Thalib, Prawitra. Syariah: Pengakuan dan Perlindungan Hak dan Kewajiban Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (PDF). Lembar ketiga. 
  2. ^ Qurbani, Zainul Abidin (2016). Islam dan Hak Asasi Manusia: Sebuah Kajian Komprehensif. Diterjemahkan oleh Ilyas, M. Jakarta Selatan: Citra. hlm. 168. ISBN 978-979-26-0761-1. 
  3. ^ Rohidin 2016, hlm. 3.
  4. ^ Rohidin 2016, hlm. 136.
  5. ^ Ibrahim, A., dkk. (Juni 2021). Pengantar Ekonomi Islam (PDF). Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia. hlm. 35. ISBN 978-602-60042-9-1. 
  6. ^ a b Rohidin 2016, hlm. 50.
  7. ^ Al Ghazali, Imam (Januari 2022). Hidup di Dunia, Apa yang Kau Cari? 43 Tahapan Menemukan Hakikat Diri dan Tuhan. Turos Pustaka. hlm. 103. ISBN 978-623-732-761-5. 
  8. ^ Yuliana, S., Tarmizi, N., dan Panorama, M. (2017). Transaksi Ekonomi dan Bisnis dala Tinjauan Fiqh Muamalah (PDF). Yogyakarta: Idea Press. hlm. 93. ISBN 978-602-6335-59-3. 
  9. ^ Siregar, H. S., dan Khoerudin, K. (Juli 2019). Latifah, Pipih, ed. Fikih Muamalah: Teori dan Implementasi (PDF). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 41. ISBN 978-602-446-350-2. 
  10. ^ Mulia, Musdah (2014). Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 6–7. ISBN 978-602-02-5326-8. 
  11. ^ Syaikhu, Ariyadi, dan Norwili (Juli 2020). Patrajaya, Rafik, ed. Fikih Muamalah: Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer (PDF). Yogyakarta: Penerbit K-Media. hlm. iii. ISBN 978-602-451-853-0. 
  12. ^ Rohidin 2016, hlm. 17.
  13. ^ Cholil, M. (2011). Teori Hukum Ekonomi Islam (PDF). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 22. ISBN 978-979-456-456-1. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]