Nafkah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nafkah adalah harta yang diberikan kepada orang yang wajib memperolehnya. Bentuk dari nafkah ialah makanan, pakaian dan tempat tinggal.[1] Penerima nafkah yaitu istri, wanita hamil yang ditalak dan dalam masa iddah, orang tua, anak kecil, budak.[2] Nafkah juga diberikan kepada hewan peliharaan.[3]

Ruang lingkup kewajiban[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah yang paling dasar ialah pemberian nafkah dari orang tua kepada anaknya. Pemberian nafkah juga diwajibkan kepada kerabat dengan terlebih dahulu mengetahui hubungan kekerabatan. Pemberian nafkah kepada kerabat berlaku hanya bagi kerabat yang memiliki kehidupan yang mencukupi dan masih memiliki kemampuan untuk bekerja. Para fukaha menyetujui adanya kewajiban pemberian nafkah kepada kerabat, tetapi memiliki perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang berhak untuk memperolehnya.[4]

Imam Malik menetapkan bahwa kewajiban pemberian nafkah hanya berlaku kepada orang tua dan anak kandung. Pemberian nafkah tidak dibebankan kepada kakek atau nenek maupun cicit selain dari anak kandung.[5] Sedangkan Imam Syafi'i menetapkan bahwa kewajiban pemberian nafkah berlaku bagi kerabat dari garis keturunan anak. Pemberian nafkah dibebankan kepada anak, cucu dan kakek serta ayah. Dalam pandangan ini, tidak ada batasan kewajiban pemberian nafkah pada tingkatan tertentu.[6] Sementara itu, Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa kewajiban pemberian nafkah kepada kerabat berlaku hingga kerabat yang haram untuk dinikahi. Kewajiban ini berlaku meskipun kerabat tersebut tidak berasal dari keturunan anak.[7] Sedangkan Imam Ahmad menetapkan bahwa kewajiban pemberian nafkah kepada kerabat hanya pada kerabat yang memiliki hak atas warisan. Kewajiban pemberian nafkah menjadi tidak berlaku pada hubungan kekerabatan yang telah jauh dan tidak berhak lagi memiliki warisan.[8]

Penerima[sunting | sunting sumber]

Istri[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah kepada istri diberlakukan kepada suami. Kedudukan istri yang berhak diberikan nafkah ialah istri sah yang tidak menerima talak dari suaminya, dan istri sah yang menerima talak tetapi hanya menunggu masa iddah selesai. Kewajiban ini berdasarkan kepada hadits yang menyebutkan bahwa kewajiban suami adalah berbuat baik kepada istrinya. Dalam hadits ini, perbuatan baik yang dimaksud ialah pemberian pakaian dan makanan kepada istri.[1]

Wanita hamil yang ditalak[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah berlaku kepada suami yang telah mengadakan talak kepada istrinya yang sedang hamil dan dalam masa iddah. Kewajiban ini disebutkan di dalam Al-Qur'an pada Surah At-Talaq ayat 6. Dalam ayat ini, pemberian nafkah wajib dilakukan hingga istri yang ditalak selesai melakukan persalinan.[2]

Orang tua[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah kepada orang tua diberlakukan kepada anaknya. Pemberlakuan kewajiban ini berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 83. Ayat ini menyebutkan bahwa anak harus berbuat baik kepada ibu dan ayah. Terdapat pula hadits yang menyebutkan bahwa amal kebaikan lebih berhak diberikan kepada ibu dan ayah. Porsi pemberiannya ialah untuk ibu tiga banding empat, sedangkan untuk ayah satu banding empat.[9]

Anak kecil[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah kepada anak kecil diberlakukan kepada ayahnya. Pemberlakuan kewajiban ini berdasarkan firman Allah di dalam Al-Qur'an pada Surah An-Nisa' ayat 5. Dalam ayat ini disebutkan bahwa harta yang diperoleh dari bekerja wajib diberikan kepada anak dalam bentuk pakaian dan untuk belanja. Selain itu, ayat ini juga memerintahkan untuk mengucapkan perkataan yang baik kepada anak.[9]

Budak[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah kepada budak diberlakukan kepada majikannya. Ini berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa budak memiliki hak untuk memperoleh makanan dan pakaian dengan cara yang baik. Selain itu, hadits ini juga melarang majikan untuk memberikan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan oleh budaknya.[9]

Hewan[sunting | sunting sumber]

Kewajiban pemberian nafkah kepada hewan diberlakukan kepada pemiliknya. Ini berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa seorang wanita dimasukkan ke dalam neraka akibat tidak memberi makan kucing peliharaannya. Ia memperoleh ganjaran akibat tidak melepaskan kucingnya untuk mencari makanan berupa serangga yang hidup di tanah.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Al-Jaza'iri 2020, hlm. 807.
  2. ^ a b Al-Jaza'iri 2020, hlm. 807-808.
  3. ^ a b Al-Jaza'iri 2020, hlm. 809.
  4. ^ Safala 2015, hlm. 25.
  5. ^ Safala 2015, hlm. 25-26.
  6. ^ Safala 2015, hlm. 26-27.
  7. ^ Safala 2015, hlm. 27.
  8. ^ Safala 2015, hlm. 27-28.
  9. ^ a b c Al-Jaza'iri 2020, hlm. 808.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]