Model hiperpersonal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Model komunikasi hiperpersonal adalah model komunikasi interpersonal yang menunjukkan bahwa komunikasi bermediasi komputer dapat menjadi hiperpersonal dikarenakan jenis komunikasi ini 'melebihi interaksi tatap muka', model komunikasi ini mampu untuk memberikan pengirim pesan sejumlah keuntungan komunikatif yang melebihi interaksi tatap muka secara tradisional. Apabila dibandingkan dengan interaksi tatap muka pada umumnya, seorang pengirim pesan hyperpersonal mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk secara strategis mengembangkan dan memperbaiki caranya dalam mempresentasikan diri, memungkinkan juga untuk perepresentasian diri satu individu terhadap individu lain menjadi lebih selektif dan optimal.[1]

Model komunikasi hiperpersonal mampu menentukan kondisi spesifik yang menguntungkan dalam interaksi impersonal maupun interpersonal. Model komunikasi hiperpersonal membahas tiga pertanyaan: 1) kapan suatu interaksi impersonal dimediasi; 2) kapan komunikasi bermediasi komputer dianggap interpersonal; dan 3) kapan komunikasi bermediasi komputer menjadi hiperpersonal?

Komunikasi hiperpersonal menurut Walther adalah sesuatu yang secara sosial lebih kita inginkan dibandingkan dengan apa yang biasa kita rasakan dalam suatu interaksi tatap muka. Kombinasi dari atribut media, fenomena sosial, dan proses psikologi-sosial dapat mengawali masuknya komunikasi bermediasi komputer untuk menjadi 'hiperpersonal', yaitu untuk melebihi komunikasi tatap muka. Perspektif ini menunjukkan bahwa pengguna komunikasi bermediasi komputer berkemungkinan untuk mengalami tingkat keakraban/intimasi yang lebih besar, dan rasa persatuan serta ketertarikan yang lebih kuat dalam suatu kelompok dibandingkan dalam interaksi tatap muka yang biasa.

Joseph Walther seorang profesor komunikasi berkontribusi dalam pengembangan dari teori ini pada tahun 1996 setelah penelitian yang berkepanjangan terhadap komunikasi bermediasi komputer.

Impersonal, interpersonal, dan hiperpersonal[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan atas hasil penelitian Walther(1996), komunikasi bermediasi komputer melewati tiga fase: dari impersonal, menjadi interpersonal, dan akhirnya menjadi hperpersonal.

Pertama-tama, dikarenakan komunikasi bermediasi komputer tidak menunjukan adanya isyarat nonverbal, sebagian berargumen bahwa komunikasi bermediasi komputer lebih berorientasikan kerja apabila dibandingkan dengan jenis komunikasi tatap muka. Alasannya adalah:

  1. Konsentrasi dari konten komunikasi tidak akan terdistraksi oleh pengaruh sosial maupun emosional, sehingga komunikasi bermediasi komputer dapat 'mempromosikan rasionalitas dengan memberikan esensi kedisiplinan'.[1]
  2. Komunikasi bermediasi komputer juga memiliki keuntungan dalam hal pembuatan keputusan dalam suatu kelompok, dikarenakan komunikasi ini menghindarkan kita dari tekanan status dan hasutan orang lain.
  3. Komunikasi bermediasi komputer mampu memfasilitasi kerja kelompok secara efisien, karena jenis komunikasi ini menghemat waktu seiring dengan menurunnya pengaruh interpersonal yang tidak relevan.
  4. Anggota kelompok dapat menikmati susana yang lebih 'demokratis' dalam komunikasi bermediasi komputer dibanding dengan komunikasi tatap muka. Selain itu muncul juga suatu ke-anonimus-an yang dapat menimbulkan kebebasan bagi para anggota untuk berpendapat tanpa adanya rasa tertekan dari anggota lain dengan status lebih tinggi, fitur ini yang kemudian dianggap sebagai fitur utama dalam komunikasi bermediasi komputer.[1]

Kelompok penelitian awal dari komunikasi bermediasi komputer menyarankan bahwa kelompok-kelompok komunikasi bermediasi komputer lebih baik dalam interaksi yang berorientasikan tugas daripada rekan-rekan komunikasi tatap muka mereka. Dalam situasi yang berorientasi tugas, di mana interaksi interpersonal yang terlampau pribadi tidak diinginkan, maka interaksi impersonal adalah jenis interaksi yang tepat, hal ini dikarenakan pertukaran komunikasi yang yang terjadi lebih terfokus pada tugas kelompok. Misalnya, tim teknologi yang tersebar secara geografis ditugasi untuk memecahkan sebuah bug dari aplikasi perangkat lunak akan menjadi lebih produktif ketika komunikasi fokus pada tugas dibandingkan dengan fokus terhadap hubungan interpersonal. Ini tidak berarti bahwa semua komunikasi bermediasi komputer adalah impersonal, namun hanya menunjukkan bahwa konteks yang lebih spesifik mungkin lebih cocok dalam interaksi impersonal daripada pertukaran personal.[1]

Kemudian, Walther menyatakan bahwa komunikasi bermediasi komputer tidak selalu impersonal; melainkan, ini juga dapat menghasilkan suatu hubungan sosial. Meskipun, dalam komunikasi bermediasi komputer terjadi pertukaran informasi personal yang lebih sedikit dikarenakan tidak adanya isyarat nonverbal, seiring dengan meningkatnya waktu berkomunikasi, pertukaran informasi yang terjadi pun turut mengalami peningkatan. Dalam antisipasi komunikasi di masa depan, terdapat kemungkinan bahwa komunikator akan lebih fokus dalam mencari informasi tentang orang lain. Mekanisme ini mengarah pada urgensi yang serupa, kesamaan, penguasaan diri, dan tingkat penerimaan yang sama dengan komunikasi tatap muka. Namun, terdapat juga kekurangan. Dikarenakan konsensus komunikasi bermediasi komputer membutuhkan waktu, apabila waktu dari komunikasi bermediasi komputer terbatas, maka pertukaran informasi yang terjadi akan lebih sedikit apabila dibandingkan komunikasi tatap muka, yang juga nantinya berdampak pada tingkat efisiensi dalam suatu kelompok.[1]

Pada akhirnya, Walther merumuskan konsep hiperpersonal komunikasi yang menunjukkan bahwa 'komunikasi bermediasi komputer adalah jenis interaksi sosial yang cenderung lebih kita inginkan untuk alami dibandingkan dengan interaksi tatap muka secara paralel'. Walther mengusulkan bahwa pengguna komunikasi bermediasi komputer telah mengambil bagian dalam komunikasi hiperpersonal. Pengirim dan penerima terlibat dalam proses presentasi yang diseleksi secara mandiri melalui pesan yang mereka buat dan kirim. Hal ini dapat menyebabkan idealisasi dari pengirim dengan penerima didasarkan pada atribusi pembuatan dari isyarat paralingual yang tersedia yang ditemukan dalam pesan. Proses ini disempurnakan dengan pertukaran asinkronis, membiarkan masing-masing pengirim dan penerima mempunyai waktu yang cukup untuk mempertimbangkan pesan yang mereka kirim dan terima.

Interaksi hiperpersonal dapat menjadi berlebihan atau di atas interaksi pribadi yang normal. Dengan kata lain, hubungan virtual dapat berkembang menjadi hiperpersonal yang terlalu pribadi. Ketika pengguna mengalami kesamaan dan kesadaran diri, secara fisik dipisahkan, dan berkomunikasi melalui sebuah media dengan isyarat terbatas, mereka dapat secara selektif mempresentasikan diri mereka dan mengubah cara komunikasi mereka, memungkinkan mereka untuk membangun dan membalas pernyataan dari pasangan komunikasi mereka dan menciptakan hubungan tanpa gangguan dari lingkungan realitas.

Komunikasi hiperpersonal dapat didefinisikan sebagai interaksi bermediasi komputer yang lebih menarik daripada pengalaman interaksi tatap muka pada posisi yang sama. Model komunikasi hiperpersonal dapat dipahami dengan melihat proses terjalinnya komunikasi yang meliputi pengirim, penerima, saluran, dan umpan balik. Pengirim menggunakan proses presentasi diri yang selektif; hal ini mengacu pada kemampuan pengguna komunikasi bermediasi komputer yang mampu mengelola citra virtual mereka. Memiliki kemampuan menyensor diri sendiri dan memanipulasi pesan yang mungkin untuk dilakukan dalam konteks komunikasi bermediasi komputer, kemampuan ini beberapa tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi tatap muka biasa, sehingga individu memiliki kontrol lebih besar atas isyarat apa yang mereka kirim.

Walther membuat argumen mengenai empat unsur dari proses komunikasi, yaitu: penerima, pengirim, karakteristik saluran, dan proses umpan balik.[1]

Unsur[sunting | sunting sumber]

Penerima[sunting | sunting sumber]

Walther berpendapat bahwa penerima memiliki sebuah "persepsi ideal" dari pengirim pesan di dalam komunikasi bermediasi komputer. Dia mengatakan bahwa model identitas sosial dari efek deindividuasi memprediksi bahwa konteks isyarat yang halus memiliki nilai yang kuat dalam komunikasi bermediasi komputer. Tidak adanya isyarat-isyarat yang ada dalam komunikasi tatap muka, mengarahkan kita kepada fakta bahwa penerima mungkin sangat sensitif terhadap isyarat kepribadian maupun soasial yang halus yang terjadi di dalam komunikasi bermediasi komputer. Komunikasi dengan cara ini, memungkinkan pasangan dalam komunikasi bermediasi komputer membangun citra dan persepsi satu sama lain didasari dengan isyarat yang minim. Dengan sedikit isyarat yang menjadi dasar persepsi mereka, penerima harus "mengisi kekosongan" dengan pemahaman mereka sendiri atas pengguna lainnya dan lebih sering mengasumsikan karakteristik positif atas citra mereka. Dengan kata lain, tanpa adanya isyarat yang ada dalam komunikasi tatap muka untuk memediasi suatu interaksi, peserta mungkin menganggap pasangan mereka adalah "orang yang lebih baik" dari mereka yang sebenarnya. [1]

Pengirim[sunting | sunting sumber]

Dalam komunikasi bermediasi komputer, pengirim pesan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengoptimalkan presentasi dirinya. Walther berpendapat, "[pengguna komunikasi bermediasi sosial] yang baik mampu merencanakan, dan telah meningkatkan kesempatan untuk menyensor diri sendiri. Dengan waktu yang lebih banyak untuk pembangunan pesan dan tingkat stres yang rendah dalam interaksi yang berlangsung, pengguna mungkin telah mengambil kesempatan untuk melakukan kesadaran diri objektif, refleksi, seleksi dan transmisi terhadap isyarat yang dianggap lebih baik."[1]

Pengirim pesan menggunakan proses presentasi diri selektif, yang mengacu pada kemampuan pengguna komunikasi bermediasi komputer untuk mengelola citra virtual mereka. Berkemampuan menyensor diri sendiri dan memanipulasi pesan sangat mungkin untuk dilakukan dalam konteks komunikasi bermediasi komputer, tingkat penggunaan hal ini pun jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan komunikasi tatap muka biasa, oleh karena sebab inilah individu memilki kontrol yang besar mengenai isyarat yang mereka kirimkan. Walther menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara pesan dan minimnya isyarat komunikasi berkontribusi kepada presentasi diri yang selektif.[1]

Dalam komunikasi bermediasi komputer, komunikator dapat membesar-besarkan pertaliannya dengan pasangan komunikasinya. Ketika pasangan-pasangan komunikasi tersebar secara geografis, individu cenderung untuk membuat pertalian yang positif apabila kelompok mereka dianggap memiliki ciri khas yang lebih tinggi. Akibatnya, anggota yang berkemungkinan lebih untuk membuat pertalian berdasarkan dari kesamaan yang kemudian menyebabkan rasa ketertarikan yang lebih besar di antara pasangan komunikasi tersebut. Isyarat paralinguistik digunakan sebagai bagian dari cara penilaian pasangan komunikasi ketika menggunakan komunikasi bermediasi komputer. Presentasi diri yang selektif memungkinkan orang-orang untuk mengelola citra diri mereka dengan cara yang berbeda dengan interaksi tatap muka.[1] Pengurangan isyarat komunikasi dan potensi asinkronis proses komunikasi adalah hal yang lumrah terjadi di dalam komunikasi bermediasi komputer.

Pengurangan isyarat komunikasi: Komunikasi bermediasi komputer mengurangi isyarat-isyarat yang umumnya hadir dalam komunikasi tatap muka. Dalam komunikasi bermediasi komputer, kesan pertama tidak berdasarkan pada fisik, melainkan bergantung pada informasi dan kepribadian. Kesan dari pengirim lebih mudah dibentuk daripada dalam interaksi tatap muengirim tayangan yang lebih lunak daripada di dalam interaksi orang.[1]

Walther mengutip sebuah studi oleh Chilcoat dan DeWine (1985) di mana tiga persepsi interpersonal menjadi bahan penelitian (daya tarik, kesamaan sikap, dan kredibilitas) terhadap tiga model komunikasi asinkronis (Interaksi tatap muka, konferensi video, dan konferensi audio). Kita mungkin beranggapan bahwa komunikasi tatap muka dapat menghasilkan karakteristik interpersonal yang lebih tinggi, namun justru hal sebaliknya yang terjadi: pasangan yang menggunakan konferensi audio menghasilkan penilaian yang lebih tinggi terhadap daya tarik, kesamaan sikap, dan kredibilitas partner mereka apabila dibandingkan dengan konferensi video dan juga interaksi tatap muka.[1]

Saluran asinkronis[sunting | sunting sumber]

Komunikasi bermediasi komputer tidak memerlukan kehadiran dua pihak dalam waktu dan tempat yang sama sebagaimana dalam interaksi tatap muka, masing-masing anggota dapat mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang mereka inginkan, mengambil keuntungan dari saluran komunikasi ini. Walther mengutip bahwa sebuah relaksasi kendala waktu dalam komunikasi bermediasi komputer, sering kali membuka kememungkinan bagi komunikasi asinkronis. Misalnya, dengan komunikasi kelompok, "...Membuat komitmen yang sementara menjadi mengikat. Anggota kelompok dapat menghadiri proses acara kelompok secara mandiri dalam waktu yang mereka inginkan. Ketika pasangan komunikasi dapat menghadiri kelompok mereka pada waktu yang fleksibel, keterbatasan jumlah pasangan yang memiliki kesamaan waktu hadir yang berbeda tidak akan menjadi permasalahan yang terlalu serius."[1]

Komunikasi asinkronis, melalui email atau forum— memberikan individu cara untuk mengelola hubungan mereka dalam kelompok menjadi lebih efisien dibandingkan melalui interaksi tatap muka. Menggunakan komunikasi asinkronis, seperti email, individu mampu mengelola hubungan kelompok dengan cara yang memaksimalkan waktu untuk tugas-tugas kelompok. Melalui proses entrainment, masyarakat dapat mensinkronisasi kegiatan mereka sesuai dengan kebutuhan kelompok, yang pada dasarnya dipengaruhi oleh waktu dan tingkat perhatian dari masing-masing individu. Entrainment dapat menyulitkan bagi kelompok untuk menyelesaikan tugas bersama-sama karena hal ini membutuhkan interaksi tatap muka, dan dengan demikian komunikasi asinkronis mungkin termasuk dalam diskusi yang menghambat produktivitas. Komunikasi Asinkronis dapat mengurangi entrainment yang berhubungan dengan interaksi kelompok. Menurut Walther, interaksi kelompok asinkronis tidak dapat dibatasi oleh waktu dan/atau mempersaingkan komitmen.[1] Anggota kelompok pengguna komunikasi asinkronis dapat memberikan perhatian penuh terhadap kelompok ketika mereka memiliki kesempatan. Perhatian yang lebih besar dapat digunakan untuk lebih fokus terhadap tugas-tugas yang berkaitan dengan kelompok daripada menghabiskan waktu dan upaya pada komunikasi yang tidak relevan dengan tujuan.

Menurut Walther, komunikasi bermediasi komputer menghilangkan limitasi sementara, yang oleh sebab itu membebaskan kita dari kendala waktu. Kedua-duanya berorientasi pada tugas dan pertukaran sosial yang dapat berlangsung tanpa adanya batasan waktu.

Proses umpan balik[sunting | sunting sumber]

Walther berpendapat bahwa konfirmasi perilaku - pengaruh timbal balik yang dikerahkan oleh pasangan antara pengirim-penerima — diperbesar dengan interaksi yang minim akan isyarat seperti dalam komunikasi bermediasi komputer. Dengan ka talain, dalam komunikasi bermediasi komputer, kita berperilaku sesuai dengan harapan yang orang lain dan data sosial tunjukkan dalam suatu proses komunikasi yang sudah secara selektif dikirim dan dibentuk oleh komunikator.[1] Umpan balik antara pengirim dan penerima adalah bagian penting dari interaksi komunikasi, sebagai pengembangan hubungan baik dalam interaksi tatap muka maupun komunikasi bermediasi komputer. Namun,umpan balik yang dihasilkan dalam lingkungan yang minim-isyarat mungkin saja di besar-besarkan. Konfirmasi perilaku adalah proses komunikasi dalam mengembangkan kesan dan intimasi antar pasangan komunikasi sebagai hasil dari interaksi.[1] Dalam komunikasi bermediasi komputer, konfirmasi perilaku bersama dengan pembesar-besaran dapat menjadi konsep yang ideal, mendorong pasangan komunikasi bermediasi komputer untuk merasakan afinitas terhadap pasangannya tersebut lebih intens daripada apa yang mungkin dia rasakan pada interaksi tatap muka. Jenis interaksi dalam komunikasi bermediasi komputer ini mendorong terbentuknya sebuah loop intensifikasi, yang menjelaskan mengenai hubungan hiperpersonal yang terbentuk di dalam lingkungan yang minim-isyarat.

Teori[sunting | sunting sumber]

Model SIDE[sunting | sunting sumber]

Model SIDE adalah sebuah perkembangan terbaru dari teori deindividuasi, yang mengacu pada model identitas sosial/deindividuasi. Ini menunjukkan bahwa properti dari identitas kelompok justru meningkat, bukan menghilangkan identitas dari individu, fenomena inilah yang mengarahkan kepada perubahan yang terjadi pada pengguna komunikasi bermediasi komputer. Model SIDE memprediksi bahwa dalam komunikasi bermediasi komputer, nilai individu perlahan menghilang, berganti dengan nilai kelompok yang semakin meningkat. Model SIDE ini berbeda dari teori deindividuasi klasik yang lebih fokus pada nilai individu daripada nilai identitas kelompok.[2]

Social Information Processing (SIP)[sunting | sunting sumber]

Walther mengembangkan pendekatan alternatif untuk pendekatan penyaringan isyarat.[3] Dari sudut pandang proses pengolahan informasi sosial, Walther menyatakan bahwa orang-orang secara alami tentu ingin mengembangkan hubungan sosial.[3] Dengan SIP, ide dari tingkat di mana pertukaran informasi sosial terjadi adalah dengan saling diperkenalkan. Selain itu, SIP melihat juga strategi verbal yang digunakan dalam komunikasi bermediasi.[3] Masing masing individu secara strategis menggunakan bahasa untuk menyampaikan berbagai informasi tentang pengirim, yang memungkinkan penerima untuk membuat sendiri ikatan-ikatan mengenai pengirim. Namun jika komunikasi bermediasi komputer benar-benar adalah komunikasi impersonal, mengapa ada begitu banyak orang yang mengadopsi komunikasi bermediasi komputer untuk keperluan sosial, seperti game daring, papan informasi virtual dan kelompok percapakan daring? Walther mengembangkan model yang berbeda untuk menjelaskan tren yang berkembang menuju penggunaan komunikasi bermediasi komputer untuk interaksi sosial.[1] Ketika atribut media, fenomena sosial dan proses sosial-psikologis terintegrasi, maka akan menghasilkan apa yang Walther sebut sebagai 'hiperpersonal'.[1]

Manajemen kesan[sunting | sunting sumber]

Dalam karya yang berjudul 'The Presentation of Self in Everyday Life' (1959), Goffman menunjukkan bahwa di dalam komunikasi tatap muka, orang-orang menggunakan komunikasi verbal dan bahasa nonverbal untuk hadir secara pantas dan dengan baik untuk orang lain, hal ini dikarenakan mereka peduli dengan citra atau kesan yang mereka tinggalkan untuk orang lain dan persepsi orang lain terhadap mereka. Fenomena ini disebut manajemen kesan. Sementara itu dalam komunikasi bermediasi komputer yang berbasis teks, modifikasi dari kesan terbatas pada bahasa, tipografi, dan penyusunan informasi.[4]

Interaksi tatap muka vs. komunikasi bermediasi komputer[sunting | sunting sumber]

Dalam komunikasi tetep muka, fitur fisik seperti penampilan, ekspresi wajah, gestur dan postur dapat terlihat oleh orang lain, dimana hal ini dapat membantu penyampaian informasi nonverbal untuk membantu proses komunikasi. Komunikasi tatap muka terbentuk natural secara emosional, kognitif dan aspek fisik. Bahasa nonverbal tersebut adalah isyarat-isyarat yang minim dijumpai dalam komunikasi bermediasi komputer.[4]

Beberapa berpendapat bahwa kurangnya isyarat-isyarat nonverbal dalam komunikasi bermediasi komputer dapat menurunkan kemampuan seseorang dalam membina dan mengelola kesan yang akurat terhadap orang lain.[4] Selain itu, kurangnya isyarat-isyarat nonverbal mengarah pada fakta bahwa komunikasi bermediasi komputer memiliki unsur emosional yang lebih sedikit dibandingkan dengan interaksi tatap mukai, yang berkontribusi juga di dalam kurangnya kekayaan dan interpersonal serta isyarat-isyarat ekspresif yang dapat memberikan kesan yang lebih positif.[5]

Disaat banyak orang memiliki pendapat yang berbeda, Walther dalam penelitiannya pada tahun 1996 menyatakan bahwa komunikasi bermediasi komputer sesungguhnya dapat meningkatkan ikatan interpersonal antara pengirim dan penerima karena kurangnya isyarat-isyarat nonverbal dan pesan demografis.[5] Walther berpendapat bahwa nonverbal dan demografis isyarat yang terjadi di FtF komunikasi memainkan mengganggu peran; sementara di CMC komunikasi, hyperpersonal interaksi dibuat di mana pengirim membayar lebih banyak perhatian pada strategi penyampaian pesan sehingga presentasi diri lebih ditingkatkan dan dioptimalkan, yang pada akhirnya meningkatkan interaksi interpersonal.[1][5]

Penerapan[sunting | sunting sumber]

  • Di Indonesia sendiri Arnold Giovanni Pinem membuat penelitian dengan judul 'Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Pengguna Sosial Media Path di Kalangan Mahasiswa', dalam hasil penelitiannya dinyatakan bahwa media sosial Path merupakan gratifikasi bagi masyarakat dalam pencarian jati diri.[6] Dijelaskan bahwa peserta menggunakan media sosial ini dikarenakan umpan balik yang mereka dapatkan selama penggunaan memperlihatkan keberadaan si peserta di dalam kehidupan sosial.[6] Hal ini mendukung unsur umpan balik dalam model hiperpersonal, dimana konfirmasi perilaku daru pengguna komunikasi bermediasi komputer ini menjadi hal yang di-idealkan.
  • Hian, Chuan, Trevor dan Detenber's pada tahun 2006 dalam penelitian mereka, menunjukkan dukungan untuk model komunikasi hiperpersonal. Mereka menemukan bahwa relasi intim meningkat pada taraf yang lebih cepat dalam komunikasi bermediasi komputer dibandingkan dengan interaksi tatap muka.[7]
  • Anderson dan Emmers-Sommer menggunakan teori hiperpersonal untuk mengkaji prediksi mereka mengenai kepuasan hubungan di dalam hubungan romantis menggunakan komunikasi bermediasi komputer. Berdasarkan pada teori hiperpersonal, sangat memungkinkan bagi pengguna komunikasi bermediasi komputer untuk merasa lebih puas dengan hubungan romantis virtual mereka, hal ini dikarenakan proses komunikasi meningkat dan isyarat-isyarat non-verbal yang menjadi dasar hubungan mengalami penurunan.[8]
  • Di dalam sebuah studi mengenai kesopanan dalam membuat permohonan melalui email dan pesan suara pada tahun 2006, Kirk Duthler yakin bahwa email memiliki tingkat kesopanan yang lebih tinggi karena pengguna memiliki waktu yang lebih luas untuk menyusun permohonan mereka jika dibandingkan dengan pengguna pesan suara. Penelitian Dutlher mendukung teori hiperpersonal. Dia menyatakan bahwa menyaring isyarat non-verbal menguntungkan bagi komunikator. Komunikator dapat secara strategis memanipulasi identitas mereka, mengukur waktu terkirimnya pesan, merencanakan, mengorganisasi, dan mengubah komunikasi mereka demi mengejar tujuan berelasi mereka. pengontrolan strategi dalam komunikasi bermediasi komputer ini mampu memfasilitasi negosiasi, perkembangan hubungan, dan tugas-tugas sosial.[9]
  • Teori hiperpersonal juga dikonfirmasi dalam studi mengenai penyingkapan relasi hubungan dalam komunikasi bermediasi komputer dengan komunikasi tatap muka. Penelitian membuktikan bahwa komunikasi bermediasi komputer mengintensifikasi asosiasi secara relatif yang ada antara intimasi dan penyingkapan terhadap interaksi tatap muka, dan pengintensifikasian ini secara keseluhuran dimediasi oleh meningkatnya hubungan interpersonal yang diamati dalam kondisi yang bermediasikan komputer.[10]
  • Jeanine Warisse Turner, Jean A. Grube, dan Jennifer Meyers dalam karya mereka yang berjudul 'Developing an optimal match within online communities: An exploration of CMC support communities and traditional support', mendiskusikan aplikasi model hiperpersonal dalam konteks pengobatan kanker. Mereka menemukan bahwa: 1) Komunikasi bermediasi komputer dapat memainkan peran yang besar bagi pasien untuk mencari dukungan, ini membuktikan model hiperpersonal dalam konteks komunikasi pasien; 2) Pengalaman dalam suatu interaksi tatap muka dengan seorang pasangan akan meningkatkan kualitas hubungan komunikasi hiperpersonal; 3) sebuah hubungan tatap muka yang mendalam dapat mengarah kepada cara komunikasi tidak langsung karena masing-masing pihak peduli apabila mereka menyinggung perasaan yang lain meskipun mereka juga ingin menunjukan dukungan mereka, sedangkan dalam komunikasi bermediasi komputer lebih spesifik berfokus pada sebuah tujuan.[11]
  • Pada tahun 2003, James D. Robinson dan Jeanine Turner mempublikasikan penelitian mereka yang berjudul 'Impersonal, interpersonal, and hyperpersonal social support: Cancer and older adults'. Penelitian ini memfokuskan pada dukungan sosial dan komunikasi yang berguna bagi lansia pengidap kanker. Mereka mengeksplorasi fakta tersebut berdasarkan prespektif yang sama dari Cutrona dan Russell (1990), dimana diperlihatkan bahwa interaksi sosial yang sukses mendukung terjadi ketika jenis dukungan yang diinginkan oleh si individu adalah sama dengan dukungan sosial yang diberikan.[12] Dalam artikel ini, penulis mereferensikan beberapa studi sebelumnya untuk membenarkan bahwa komunikasi hiperpersonal sangat bermanfaat bagi para lansia pengidap kanker yang membutuhkan support sosial.[12]
  • Dalam sebuah artikel yang berjudul 'I've never clicked this much with anyone in my life: Trust and hyperpersonal communication in online friendships', Samantha Henderson dan Michael Gilding (2004) mengeksplorasi terbentuknya rasa percaya dalam komunikasi hiperpersonal. Mereka menemukan bahwa di dalam komunikasi hiperpersonal: 1) kepercyaan virtual tergantung pada reputasi dari identitas buatan; 2) performa komunikasi dalam dunia virtual adalah esensi untuk membangun kepercayaan virtual; 3) komunikasi hiperpersonal dan kepercayaan virtual dapat difasilitasi melalui komitmen sebelumnya; 4) faktor situasi dalam masyarakat Barat dapat membantu mempromosikan kepercayaan yang aktif di dalam komunikasi hiperpersonal.[13]
  • Andrew C. High dan Scott E. Caplan(2008) menyelidiki aplikasi dari model hiperpersonal dalam konteks berpindahnya kegelisahan sosial yang disebabkan oleh kehendak untuk membuat citra positif di dalam lingkunagn sosial yang diiringi dengan kurangnya kepercayaan diri atas presentasi dirinya.[14] Hasilnya mengindikasikan bahwa asosiasi antara kegelisahan sosial dengan persepsi masyarakat mengenai kegelisahan sosial dan asosiasi antara kegelisahan sosial dan kepuasan percakapan pasangan adalah tergantung dengan komunikasi bermediasi komputer.[14]
  • Model hiperpersonal memiliki posisi dimana tidak memiliki isyarat-isyarat yang terdapat dalam interaksi tatap muka, menempatkan pasangan komunikasi dari citra yang berlebihan oleh anggota kelompok lain. Pena, Walther dan Hancock (2007) melihat persepsi atas dominasi dalam kelompok virtual yang ditempatkan dengan kelompok yang didistribusikan.[15] Hasilnya mengindikasikan bahwa kelompok yang ditempatkan tingkat dominasi anggota tidak setinggi kelompok yang didistribusikan. Namun terlihat bahwa tidak ada perbedaan dengan cara masing-masing kelompok dalam memandang dominasi. Hal ini mendukung opini bahwa lingkungan komunikasi bermediasi komputer mengintensifikasi pembentukan kesan, sebagaimana yang diusulkan dalam elemen presentasi diri yang selektif dalam model hiperpersonal.
  • Satu studi melihat persepsi tingkah laku dari pemimpin yang ditugaskan dengan pemimpin yang mencalonkan di dalam kelompok komunikasi bermediasi komputer, ditemukan bahwa reifikasi terhadap tingkah laku yang niasa sijumpai dalam komunikasi bermediasi komputer mengizinkan pemimpin yang mencalonkan dirinya untuk membentuk pengakuan yang lebih besar.[16] Pertanyaan dari para penulis ini berada dalam kondisi dimana, saat memiliki atau tidak memiliki pemimpin yang telah ditetapkan apakah akan mucul pemimpin baru dalam konteks komunikasi bermediasi komputer. Mereka berspekulasi bahwa pemimpin akan muncul dalam grup komunikasi bermediasi komputer tersebut, sebagaimana disebutkan dalam model hiperpersonal melalui pembentukan tingkah laku virtual.[16] Wickham dan Walther menemukan bahwa di dalam kelompok komunikasi bermediasi komputer, terdapat konsensus yang lebih besar di dalam anggota kelompok mengenai pemimpin kelompok ketika pemimpin yang naik berasal dari kelompok yang merupakan lawan dari pemimpin yang sudah dipilih.[16] Di antara kelompok yang sudah ditentukan pemimpinnya, para pemimpin tidak dinilai berdasarkan tingkat kecerdasannya, sedangkan dalam kelompok dengan pemimpin yang belum ditentukan terdapat asosiasi yang kuat antara pandangan kecerdasan dengan pemimpin yang terpilih.
  • Penelitian lainnya dengan judul Facebook: implications of visual cues on initiating friendship on Facebook mengukuhkan model hiperpersonal dalam hasilnya. Makin banyak pria dan wanita yang menunjukkan preferensi mereka terhadap gambar profil yang menarik saat memulai penjalinan hubungan. Dalam hal ini isyarat nonverbal memainkan peran yang besar dalam penelitian ini. Teori emosi dalam komunikasi virtual juga dikukuhkan dalam studi ini.[17]
  • Dalam studinya yang berjudul 'Mirror Mirror on my Facebook wall: Effects of exposure to Facebook on self esteem' penulis Amy Gonzales & Jeffrey T. Hancock menggunakan model hiperpersonal untuk mempelajari apakah penggunaan Facebook dapat meningkatkan rasa percaya diri. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa peserta studi menjadi lebih mawas diri ketika mereka berada dalam halaman profil pribadi mereka. Setelah peserta mengubah profil Facebook mereka, mereka melaporkan adanya peningkatan percaya diri yang dirasakan. Penemuan ini menunjukkan bahwa representasi diri yang selektif dalam media digital dapat membawa kepada formasi hubungan yang lebih intens. Dengan demikian maka media sosial memiliki andil yang tinggi dalam meningkatkan kepercayaan diri.[18]
  • Dalam bukunya yang berjudul 'Truth, Lies & Trust on the Internet' para penulis Monica Whilly dan Adam Johnson juga menguatkan model hiperpersonal. Mereka membicarakan mengenai terbentuknya formasi dari hubungan hiperpersonal di internet disebabkan dari kedekatan dan keakraban yang ekstrim. Dalam buku ini mereka melangkah lebih maju dengan turut membicarakan isu mengenai kebenaran, kebohongan dan kepercayaan dalam jenis hubungan ini. Beberapa cerita dalam buku ini menceritakan bagaimana anonimitas dalam internet memungkinkan pemberian informasi diri tingkat tinggi yang kemudian berujung pada penipuan dan penggelapan.[19]
  • Dalam studi dengan judul'Perceptions of trustworthiness online: the role of visual and textual information' karya Catalina L.Toma[pranala nonaktif permanen],melihat peran dari informasi teks yang tersedia dalam profil dibandingkan dengan gambar yang terdapat dalam profil si individu.[20] Ditemukan bahwa informasi yang berupa teks dianggap lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan gambar saja.
  • Dalam studi lain oleh Anita L. Blanchard dengan judul 'Testing a sense of a model of a community', membicarakan mengenai ciri khas dari suatu kelompok lebih tinggi dalam komunitas virtual, yang juga memperkuat asumsi dari model hiperpersonal[21]
  • Dalam studi lain yang berjudul 'The lies we tell and what it says about us: Using behavorial characteristics to explain Facebook activity' secara lebih jauh membagi peserta komunikasi virtual menjadi komunikator (satu kepada satu) dan broadcaster (satu kepada banyak). Model hiperpersonal ditekankan dalam kelompok komunikator yang memiliki kohesi kelompok yang tinggi.[22]
  • Studi lainnya dengan judul 'Predictors of relationship satisfaction in online romantic relationships', menetapkan model hiperpersonal dengan mempridiksi tingkat kepuasan dalam pertalian hubungan yang dijalin secara virtual.[23]
  • Walther J.B. juga menyelidiki efek dari komunikasi bermediasi komputer dlam kolaborasi internasional dan menekankan lebih lanjut model teori hiperpersonal. Hasilnya menunjukkan bahwa suatu hubungan terpelihara dengan lebih baik melalui komunikasi bermediasi komputer apabila dibandingkan dengan jenis mediasi lainnya.[24]

Kritik[sunting | sunting sumber]

Joyce Lamerichs dan Hedwig F. M. Te Molder dari departemen ilmu komunikasi di Wageningen University and Research Centre mengevaluasi cara-cara di mana komunikasi bermediasi komputer sejauh ini telah dikonsepsikan, diusulkan untuk dicari pendekatan baru. Mereka berpendapat bahwa perspektif tradisional telah mengabaikan pemahaman sehari-hari dari peserta mengenai penggunaan media dan karakteristik media dengan mengandalkan kerangka pemikiran yang kognitif dan individualistik . Model identetitas sosial dari model efek deindividuasi telah mengabaikan konstruksi dari aktivitas komunikasi sehari-hari seperti bicara, menulis pesan dan surat elektronik. Dalam rangka memahami ini, mereka mencoba untuk kembali mempelajari interaksi daring dan secara khusus mempelajari sebuah forum daring mengenai depresi. Hal ini menunjukkan bahwa identitas peserta tidak begitu banyak mencerminkan isi hati mereka melainkan lebih kepada mempraktikkan hak mereka.[25]

Dalam studi lain oleh Sonja Utz berjudul "Social information processing in MUDS: The development of friendships in virtual worlds" dilakukan penelitian yang mempelajari persahabatan di dunia virtual. Penelitian ini mengungkapkan tingkat skeptisisme yang tinggi dalam diri peserta ketika dikaitkan dengan komunikasi bermediasi komputer. Teori ini menggunakan teori pemrosesan informasi sosial. [26]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Walther, J. B. (1996).
  2. ^ Coleman, L. H.; Paternite, C. E.; Sherman, R. C. (1999). "A reexamination of deindividuation in synchronous computer-mediated communication". Computers in Human Behavior. 15: 51–65. doi:10.1016/s0747-5632(98)00032-6. 
  3. ^ a b c Walther, J.B. (1992). "Interpersonal effects in computer-mediated interaction: A relational perspective|journal". Communication Research. 19: 52–90. doi:10.1177/009365092019001003. 
  4. ^ a b c Walther, J. B. (2007). "Selective self-presentation in computer-mediated communication: Hyperpersonal dimensions of technology, language, and cognition". Computers in Human Behavior. 23: 2538–2557. doi:10.1016/j.chb.2006.05.002. 
  5. ^ a b c Okdie, B. M.; Guadagno, R. E.; Bernieri, F. J.; Geers, A. L.; Mclarney-Vesotski, A. R. (2011). "Getting to know you: Face-to-face versus online interactions". Computers in Human Behavior. 27: 153–159. doi:10.1016/j.chb.2010.07.017. 
  6. ^ a b Arnold Giovanni Pinem. (2014). Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Pengguna Sosial Media Path di Kalangan Mahasiswa.
  7. ^ Lee Bee Hian; Sim Li Chuan; Tan Mon Kiat Trevor; Benjamin H. Detenber (2006).
  8. ^ Traci Anderson; Tara Emmers-Sommer (2006).
  9. ^ Duthler, Kirk W. (2006).
  10. ^ L. Crystal Jiang, Natalie N. Bazarova, Jeffrey T. Hancock.
  11. ^ Turner, J. W.; Grube, J. A.; Meyers, J. (June 2001). "Developing an optimal match within online communities: An exploration of CMC support communities and traditional support". Journal of Communication: 231–251. doi:10.1093/joc/51.2.231. 
  12. ^ a b Robinson, J. D.; Turner, J. (2003). "Impersonal, interpersonal, and hyperpersonal social support: Cancer and older adults". Health Communication. 15 (2): 227–234. doi:10.1207/s15327027hc1502_10. 
  13. ^ Henderson, S.; Gilding, M. (2004). "'I've never clicked this much with anyone in my life': Trust and hyperpersonal communication in online friendships". New Media & Society. 6 (4): 487–506. doi:10.1177/146144804044331. 
  14. ^ a b High, A. C.; Caplan, S. E. (2008). "Social anxiety and computer-mediated communication during initial interactions: Implications for the hyperpersonal perspective". Computers in Human Behavior. 25 (2009): 475–482. doi:10.1016/j.chb.2008.10.011. 
  15. ^ Pena, J.; Walther, J.B.; Hancock, J.T. (2007). "Effects of geographic distribution on dominance perceptions in computer-mediated group". Communication Research. 34: 313–331. doi:10.1177/0093650207300431. 
  16. ^ a b c Wickham, K.R.; Walther, J.B. (2007). "Perceived behaviors of emergent and assigned leaders in virtual groups". International Journal of e-Collaboration. 35: 59–85. 
  17. ^ Wang, Sharon; Shin ii Moon (March 2010). "Face off: Implications of visualcues on initiatingfriendship on Facebook". Computers in Human Behavior. 26 (2): 226–234. doi:10.1016/j.chb.2009.10.001. 
  18. ^ Gonzales, Amy; Jeffrey Hancock (17 February 2011). "Mirror, Mirror on my Facebook Wall: Effects of Exposure to Facebook on Self-Esteem". Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. 1–2. doi:10.1089/cyber.2009.0411. 
  19. ^ Whitty, Monica (2010). Truth, Lies & trust on the internet. 
  20. ^ Toma, Catalina L (2012). "Perceptions of trustworthiness online: the role of visual and textual information". Proceedings of the 2010 ACM conference on Computer supported cooperative work: 13–22. doi:10.1145/1718918.1718923. 
  21. ^ Blanchard, Anita (September 2008). "Testing a model of sense of virtual community". Computers in Human Behavior. 24 (5): 2107–2123. doi:10.1016/j.chb.2007.10.002. 
  22. ^ Underwood, Jean D.M (September 2011). "The lies we tell and what they say about us: Using behaviouralcharacteristics to explainFacebookactivity". Computers in Human Behavior. 27 (5): 1621–1626. doi:10.1016/j.chb.2011.01.012. 
  23. ^ Andersen, Tracy (21 August 2006). "Predictors of Relationship Satisfaction in Online Romantic Relationships". Communication Studies. 57 (2): 153–172. doi:10.1080/10510970600666834. 
  24. ^ Walther, Joseph (17 March 2006). "Group and Interpersonal Effects in International Computer-Mediated Collaboration". Human Communication Research. 23 (3): 342–369. doi:10.1111/j.1468-2958.1997.tb00400.x. 
  25. ^ Lamerchs, Joyce; Hedwig Molder (December 2003). "Computer-Mediated Communication: From a Cognitive to a Discursive Model". New Media & Society. 5 (4): 451–473. doi:10.1177/146144480354001. 
  26. ^ Utz, Sonia (2000). "Social Information Processing in MUDs: The Development of Friendships in Virtual Worlds by Sonja Utz, Ph.D.". Journal of online behavior. 1 (1). 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]