Masjid Al-Baitul Qadim
Masjid Agung Al-Baitul Qadim | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Lokasi | |
Lokasi | Kelurahan Airmata, Kelapa Lima, Kupang, Nusa Tenggara Timur |
Arsitektur | |
Arsitek | Sya'ban bin Sanga |
Tipe | Masjid |
Gaya arsitektur | Arab |
Peletakan batu pertama | 1806 |
Rampung | 1812 |
Spesifikasi | |
Menara | - |
Tinggi menara | - |
Masjid Agung Al-Baitul Qadim adalah sebuah masjid yang terletak di Kelurahan Airmata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Masjid ini berusia lebih dari 200 tahun, dan merupakan masjid tertua di Pulau Timor.[1]
Walau usianya telah memasuki dua abad lebih, sebagian ruangan rumah ibadah ini di lantai satu masih menampakkan keasliannya, kecuali dipugar dengan menambahkan menjadi dua lantai.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masjid Agung Al Baitul Qadim dibangun oleh Sya'ban bin Sanga pada tahun 1806 bersama Sultan Badarruddin dan Rakyatnya dan juga bantuan dari penduduk setempat yang beretnis Timor, hal ini dilakukan guna memberikan sebuah tempat ibadah dan pusat keagamaan bagi Masyarakat Kesultanan Mananga yang baru dipindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Pulau Solor ke Pulau Timor. Yang kemudian tersebarlah dakwah Islamiyah di Pulau Timor melalui tangan putra-putra Mananga ini atas seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pembangunan Masjid Agung Al Baitul Qadim ini berlangsung 6 (enam) tahun lamanya yaitu dimulai pada tahun 1806 dan selesai tahun 1812.
Sya'ban bin Sanga merupakan Imam yang pertama bagi kaum Muslimin di Pulau Timor. Dia datang bersama rombongan Kesultanan Mananga di bawah Pimpinan Sultan Badarrudin yang dipindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari negeri asalnya yaitu Desa Menanga, Pulau Solor, NTT.Dan inilah awal masuknya Islam ke Pulau Timor.
Sebagai Imam kaum ketika itu Sya'ban bin Sanga memiliki wewenang untuk mengatur segala hal yang menyangkut urusan keagamaan. Dan kemudian pembagian ini dikenal oleh masyarakat Airmata dengan sebutan "Kampung Imam" yang bermakna wilayah kebijakkan Imam. Adapun Sultan Badaruddin mengatur masalah kepemimpinan secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan pertimbangan Sya'ban bin Sanga sebagai Imam Kesultanan. Dan wilayah kebijakkan dan kekuasaan Sultan Badaruddin ini dikenal dengan istilah "Kampung Raja". Dalam menjaga kelanggengan hubungan baik antara "Kampung Imam dan Kampung Raja" ini ditetapkanlah sebuah etika oleh Sultan Badarruddin dan Sya'ban bin Sanga yang hingga kini pun masih bisa dilihat pada pelaksanaan ritual-ritual keagamaan di dua Kampung Islam tertua di pulau Timor yaitu Kampung Solor dan Airmata.
Sya'ban bin Sanga memiliki 3 (tiga) orang putra yang dikemudian diwakafkan untuk melakukan pengurusan Masjid Agung Al Baitul Qadim hingga anak cucu keturunan mereka dan mereka adalah: Birando anak tertua diwakafkan untuk menjadi Imam Masjid, Abdullah anak kedua diwakafkan untuk menjadi Khatib Masjid dan Bofeiq anak terakhir diwakafkan untuk menjadi Bilal Masjid. Dan pewakafan ini masih tetap dijunjung tinggi oleh anak keturunan mereka.
Pada tahun 1984, oleh Imam Masjid turunan ketujuh, Birando bin Tahir, melakukan pemugaran Masjid Agung Al Baitul Qadim atas persetujuan jemaah setempat, dengan sejumlah alasan diantaranya bertambah pesatnya perkembangan jumlah warga Muslim dam Muslimah. Pemugaran itu juga didasarkan pada kondisi rumah ibadah tertua ini tidak layak lagi dipandang, karena sebagian dinding dan atap mengalami perapuhan, sehingga perlu direnovasi, tanpa menghilangkan keasliannya yang tetap tampak pada sebagian dinding ruangan yang hingga kini masih ada.
diedit oleh Mahmud bin Abdullatief bin Barkah bin Talib bin Bofeiq bin Sya'ban bin Sanga (081325078302). Salatiga, April 2012
Masjid pemersatu
[sunting | sunting sumber]Masjid Agung Al Baitul Qadim ini merupakan simbol pemersatu warga Muslim dengan non-muslim karena dalam pembangunan Masjid ini pun mendapat bantuan dari masyarakat etnis asli setempat di bawah perintah Raja Taebenu Raja Timor Barat Timor Loro Manu ketika itu.
Sehingga masyarakat Tabenu merasa turut serta memiliki tanggungjawab untuk menjaga keberadaan Masjid Agung Al Baitul Qadim. Hal ini terwujud dengan sikap penjagaan yang mereka tunjukkan dan wujudkan dalam pergaulan mereka sehari-hari.
Ikatan Persatuan ini diperkuat dan diperluas dengan adanya hubungan perkawinan dengan berbagai suku setempat membuat Masjid Agung Al Baitul Qadim semakin jelas menjadi sebuah simbol Pemersatu yang mengikat hati-hati setiap warga Timor.
Sehingga dengan keadaan ini masyarakat "Kampung Imam dan Kampung Raja" dapat dengan aman menjalankan beraneka ragam bentuk ritual Keagamaan dengan tenang dan tidak mendapatkan gangguan.
Keragaman bentuk ritual ini sungguh indah terlihat dan nyaman terasa dan semua itu berpusat di Masjid Agung Al Baitul Qadim maka tak ayal lagi hal ini menjadi sebab banyaknya pengunjung dari luar NTT yang berdatangan ke Masjid Agung Al Baitul Qadim hanya untuk mengetahui keberadaan mesjid yang tergolong tertua di wilayah Pulau Timor ini sembari melakukan perjalanan wisata rohani di Kota Kupang.
Masjid dengan arsitektur khas yang menggabungkan unsur budaya Flores Timur dengan Arab itu merupakan simbol perlawanan warga Airmata terhadap penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang.[2] Bahkan kaum penjajah kala itu mencoba menghancurkan Masjid Agung Al Baitul Qadim tersebut dengan berbagai cara namun Alhamdulillah dengan perlindungan Allah usaha mereka itu selalu berakhir dengan kegagalan.
Masjid Agung Al Baitul Qadim yang unik, kini telah menurunkan tujuh Imam Kepala Pendahulu diantaranya Sya'ban bin Sanga, Birando bin Sya'ban, Alidin bin Birando bin Sya'ban, Ali bin Birando bin Sya'ban, Tahir bin Ali bin Birando bin Sya'ban dan Birando bin Tahir bin Ali bin Birando bin Sya'ban.