Layang Ijo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Layang Ijo atau Risalah Hijau atau Kitab Ijo adalah sebuah kitab tasawuf kuno yang berisi tentang tuntunan agama islam dari segi Syariat, Toriqoh, Hakikat, dan Ma'rifat. Layang dalam bahasa Jawa memiliki arti Surat. Hal ini senada dengan sebagian isi dari kitab tersebut yaitu merupakan kabar tentang bagaimana menjalani hidup dengan Agama Islam sehingga dapat lebih jauh memahami tentang Islam dan Hidup itu sendiri. Sedangkan Ijo memiliki arti Hijau yang berarti bahwa kitab ini ditulis pada lembar kertas berwarna hijau.

Sejarah dan Definisi[sunting | sunting sumber]

Kitab ini bertuliskan aksara arab dengan lafal Bahasa Jawa Kuno (Kawi dan Sanskrit/Sansekerta) atau yang lebih dikenal dengan aksara pego dan ditulis pada lembaran kertas berwarna hijau (telor asin). Kertas yang digunakan merupakan kertas keluaran Eropa.[1] Pada halaman sampul tidak ditemukan judul maupun penulis kitab ini. Kitab ini ada sejak jaman penjajahan kolonial Belanda yaitu sekitar akhir abad ke-18M. Pada masa itu, Penyair/pujangga memiliki posisi yang sangat rawan karena kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya mencari tokoh keagamaan yang menyebarkan wawasan pencerahaan maupun gerakan yang dianggap mengancam kedudukan kolonial Belanda. Kitab Layang Ijo adalah sebagai penanda atas gerakan intelektual yang datang dari masyarakat bawah dan pinggiran tersebut.[2]

Menurut KH Mohammad Thohari (Yai Thoha), kitab ini didapatkan dari Kyai Jaelani (K. Jaelani) yang berasal dari desa Temu, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. K. Jaelani mendapatkan koleksi kitab itu dari seorang kerabatnya (Si Fulan) dengan imbalan 2 pasang sapi yang apabila dikonversikan saat ini setara kurang lebih Rp 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah). Pada masa itu, sapi merupakan sebuah komoditi yang sangat berharga bahkan nyaris lebih berharga dari logam emas. K. Jaelani tidak memiliki putra selain putra angkat yang menurut beliau tidak cocok untuk menyimpan Layang Ijo. di sini terdapat 2 versi yang mengatakan bahwa:

  1. Layang Ijo hanya diberikan saja kepada K. Jaelani tanpa imbalan, dan
  2. K. Jaelani memberikan 2 pasang sapi kepada si Fulan sebagai imbalan

K. Jaelani akhirnya menyimpannya sebagai koleksi. Berselang beberapa bulan, K. Jaelani bermimpi bertemu dengan seseorang yang lain dan berkata "Berikanlah kitab ini kepada orang yang bisa merasakan isinya!". Hingga akhirnya, diputuskan untuk memberikan kitab tersebut kepada seorang Kyai bernama Kyai Khasan Wira'i yang berasal dari desa Bendotretek, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.[1] Kyai Khasan Wira'i merupakan teman dekat K. Jaelani yang sama-sama hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda.

Sepeninggalnya K. Jaelani, kitab ini sempat diminta kembali oleh anaknya karena mereka merasa kitab tersebut merupakan peninggalan paling berharga milik ayahnya dan langsung deberikan bergitu saja oleh Kyai Khasan Wira'i kepada mereka. Tapi beberapa waktu kemudian, anak-anak K. Jaelani mengalami mimpi yang sama yang dialami oleh Ayahnya semasa hidupnya. Oleh karena itu, kitab ini kembali ke tangan Kyai Khasan Wira'i dan dipelajarinya secara utuh. Kyai Khasan Wira'i adalah seorang ulama di desanya yang sangat berpegang teguh terhadap ajaran Agama Islam.

Era Kyai Khasan Wira'i[sunting | sunting sumber]

Kyai Khasan Wira'i memiliki 10 putri dan putra:

  1. Asmini (beda ibu)
  2. KH Mohammad Thohari (Yai Thoha)
  3. Mohammad Tohir
  4. Mohammad Ngali
  5. Siti Maryam
  6. Siti Aminah
  7. Akhmad
  8. Imam Bajuri
  9. Mohammad Sahid
  10. Ustman

Selama mempelajari kitab ini Kyai Khasan Wira'i juga sekaligus mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kitab yang "berat" ini dapat diajarkan kepada anak-anaknya dengan bahasa yang lugas. Pada masa itu, isi kitab ini disebarluaskan secara sembunyi-sembunyi dan tertutup. Bahkan pengajiannya dihadiri oleh kerabat-kerabat terdekat saja atau kepada mereka yang benar-benar ingin belajar.

Diantara anak-anaknya, Yai Thoha dianggap yang paling mampu menjelaskan isi kitab ini kepada khalayak umum dan dapat menyajikannya sedikit lebih "ringan" serta mudah dipahami. Oleh karena itu, pengajian sepeninggalnya Kyai Khasan Wira'i dipimpin oleh Yai Thoha.

Era Kyai Mohammad Thohari[sunting | sunting sumber]

Pada era ini, Layang Ijo semakin dikenal oleh masyarakat. Pengajiannya rutin dilakukan pada malam jumat kliwon. Pengajian ini dilakukan secara bertahun-tahun. Uniknya, pembacaan kitab Layang Ijo ini dilantunkan menggunakan tembang jawa, seperti Asmarandana, Dandang Gula, dsb. Hal ini dilakukan dengan tujuan menarik perhatian masyarakat umum sekaligus mengenalkan ajaran islam lebih dalam lagi. Pembacaan kitab Layang Ijo ini dilakukan atas dasar cara para wali (terutama Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga) yang menyebarkan agama islam melalui budaya jawa. Pelantunan tembang ini dilakukan secara bergantian oleh murid-murid Yai Thoha yang dianggap mampu. Setiap bait dilantunkan lalu dijelaskan (ditafsirkan) oleh Yai Thoha tentang makna dari bacaan tersebut. Setelah selesai ditafsirkan, maka ditembangkan bagian berikutnya. Begitu seterusnya hingga (dianggap) selesai 1 (satu) bab.

Layang Ijo Sidoarjo vs Layang Ijo Sragen[sunting | sunting sumber]

Sekitar tahun 2013-2014 tersebar berita tentang pembubaran Padepokan Santri Luwung (Al Luwung), Bedowo, Sragen, Jawa Tengah yang dinilai meresahkan masyarakat pada saat itu.[3][4][5] Keresahan masyarakat bermula karena ritual yang dilakukan oleh penganut padepokan tersebut. Hal ini terdengar oleh MUI setempat yang akhirnya melakukan klarifikasi dan selidik terhadap hal tersebut. Dalam penyelidikannya, MUI menemukan kitab Layang Ijo yang dianggap sebagai dasar ritual yang mereka lakukan. Sehingga MUI melalui Komisi Fatwa, mengeluarkan Surat Rekomendasi bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Padepokan Santri Aluwung termasuk ajaran yang sesat, maksiat, dan menyimpang[6] dan meminta Kajari melarang peredaran dan penyebarluasan Kitab Layang Ijo. Menurut penelusuran, Padepokan Santri Luwung mendapatkan Layang Ijo dari pihak ketiga dan bukan langsung dari Yai Thoha.

Layang Ijo versi Padepokan Santri Al-Luwung, Sragen, Jawa Tengah

MUI bersama dengan Aparatur Negara (TNI dan POLRI) melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang Layang Ijo. Buah penyelidikan akhirnya membawa mereka ke desa Wates Sari (bukan Kriyan seperti yang diberitakan), Kecamatan Balong Bendo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Satuan Tim yang beranggotakan 7-8 orang dipimpin oleh Pak Andi sebagai penanggung jawab penyelidikan menemui Yai Thoha dikediamannya dan melakukan investigasi secara lisan. Mereka juga sempat ditunjukkan bentuk kitabnya yang sedikit berbeda dengan yang mereka bawa. Sepulangya tim tersebut, Yai Thoha menceritakannya kepada murid-muridnya. Mengetahui hal itu murid-muridnya lantas mendatangi Pak Andi di kantornya untuk melakukan klarifikasi.

Salah satu muridnya, Nuradi, menjelaskan tentang apa dan bagaimana Layang Ijo diajarkan kepada santri-santrinya di desa Wates Sari, Kecamatan Balong Bendo dan desa Doplang Tretek, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pembicaraan mereka berakhir pada sebuah dialog.[7]

Pak Andi: "Apakah kitab ini menimbulkan keresahan di masyarakat Anda?".

Nuradi: "Selama berpuluh tahun diajarkan, kitab ini tidak pernah menimbulkan masalah sekalipun."

Pak Andi: "Saya yang bertanggung jawab atas pembubaran oknum-oknum yang dinilai sesat oleh MUI dan masyarakat. Apabila memang kitab ini tidak meresahkan masyarakat sekitar Anda, silahkan dilanjutkan. Serta mereka yang menilai sesat adalah mereka yang tidak sampai (tidak bisa memahami isi kitab secara menyeluruh)."

Bisa disimpulkan bahwa Layang Ijo di Sragen dan Sidoarjo adalah berbeda karena tidak diajarkan langsung dari pemilik naskah asli sehingga salah dalam mengartikan isi dari Layang Ijo.

Sekilas Isi Layang Ijo[sunting | sunting sumber]

Bentuk cover Layang Ijo versi Mohammad Thohari

Pada dasarnya, Layang Ijo merupakan bentuk penafsiran dari Al Quran dan Al Hadist yang ditulis dalam aksara Pegon. Bagi siapapun yang membaca isi Layang Ijo tanpa dasar Al Qur'an dan Al Hadist, serta pengetahuan dasar agama yang kuat dan akal yang sehat tidak akan dapat menemukan makna yang sebenarnya. Selain bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno, penulis sering menggunakan ungkapan atau kiasan yang multi-tafsir, sehingga membutuhkan referensi lain (Qur'an dan Hadist) untuk dapat memahami makna dan rasa-nya. Ibarat teka-teki (puzle) yang harus disusun satu-per-satu agar dapat terlihat gambar utuhnya.

Sulitnya memahami isi dari kitab ini merupakan salah satu alasan kenapa penyebarannya dilakukan secara tertutup. Hal tersebut juga bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan dalam memaknai dan memahami isi dari kitab tersebut.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Said, Nur (20 Desember 2015). "Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur". Deskripsi data dan Pembahasan. 
  2. ^ "Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang IjoKoleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur". 20 Desember 2015. Diakses tanggal 18 Mei 2022. 
  3. ^ FM, Fajri (10 Februari 2014). "MUI Sragen Nyatakan Padepokan Santri Aluwung Menyimpang dari Islam". fajrifm.com. Diakses tanggal 19 Mei 2022. 
  4. ^ Marwoto, Bambang Dwi (23 November 2013). Burhani, Ruslan, ed. "Warga bakar bangunan Pasujudan Santri Luwung Sragen". ANTARA News. Diakses tanggal 19 Mei 2022. 
  5. ^ Yuniati, Ika (25 November 2013). "KONFLIK PADEPOKAN BUMI ARUM : Kuasa Hukum Gus Anto: Ini Bukan Soal Aliran Sesat". solopos.com. Diakses tanggal 19 Mei 2022. 
  6. ^ Said, Nur (20 Desember 2015). "Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur". Pendahuluan. 
  7. ^ Robbi, Adist. "Obrolan Ringan bersama Nuradi" (Wawancara). Wawancara dengan Nuradi.