Lompat ke isi

Kepunahan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Harimau Tasmania (Thylacinus cynocephalus) adalah salah satu spesies yang telah punah.
Status konservasi
Incilius periglenes, si Kodok Emas, terakhir tercatat pada 15 Mei 1989
Punah
Terancam
Risiko Rendah

Kategori lain

Tajuk terkait

Singkatan kategori Daftar Merah IUCN (versi 3.1, 2001)

Kepunahan (IUCN: EX; Extinct) dalam biologi berarti hilangnya keberadaan sebuah spesies atau sekelompok takson. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya individu terakhir spesies tersebut, walaupun kepunahan spesies bisa terjadi ketika tidak ada satu pun individu yang mampu untuk berkembang biak. Mengingat wilayah sebaran sebuah spesies atau takson bisa jadi sangat luas, maka untuk menentukan waktu kepunahan spesies atau takson tersebut bisa jadi sangat sulit. Kesulitan ini dapat berujung kepada suatu fenomena yang dinamakan takson Lazarus, di mana sebuah spesies dianggap telah punah dapat "muncul kembali".

Lebih dari 5 miliar spesies yang pernah hidup di Bumi,[1] diperkirakan telah punah.[2][3][4][5] Beberapa spesies hewan punah yang umum dikenal di antaranya ialah dinosaurus, kucing bergigi pedang, dan mamut. Melalui proses evolusi, spesies yang baru muncul dari mekanisme spesiasi, di mana jenis makhluk hidup baru muncul dan berkembang biak secara lancar bila mereka mempunyai relung ekologis. Spesies akan punah bila mereka tidak bisa bertahan ketika ada perubahan pada kondisi lingkungan mereka ataupun bila kompetisi menjadi semakin ketat dengan makhluk hidup lain yang lebih kuat. Umumnya, suatu spesies akan punah dalam waktu 10 juta tahun, dihitung dari permulaan kemunculannya.[6] Meski demikian, beberapa spesies, yang dikenal sebagai fosil hidup, dapat bertahan dan tidak banyak berubah secara morfologis selama ratusan juta tahun.

Kepunahan massal umumnya jarang terjadi, namun kepunahan terisolasi (yang dialami oleh spesies tertentu) merupakan hal yang wajar dan merupakan proses evolusioner yang umumnya terjadi.[7] Namun, seiring dengan persebaran manusia dan meningkatnya laju populasi manusia, kepunahan makhluk hidup menjadi sangat cepat dan terdokumentasi, dikenal sebagai kepunahan Holosen.[8][9][10][11][12] Beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa hingga setengah dari spesies tumbuhan dan hewan yang ada saat ini kemungkinan akan mengalami kepunahan pada akhir abad ke-21.[13] Studi yang dikeluarkan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa keanekaragaman filogenetik dari 300 spesies mamalia yang menghilang sejak persebaran manusia pada masa Pleistosen Akhir memerlukan waktu 5 sampai 7 juta tahun untuk pulih.[14]

Untuk menandai kepunahan suatu spesies atau takson lainnya, sebuah tanda belati (†) digunakan untuk menandainya.

Potret Harimau Jawa di Ujung Kulon. Hewan ini dinyatakan telah punah setelah individu terakhirnya diyakini telah mati pada tahun 1980-an.

Suatu spesies dikatakan punah apabila anggota terakhir dari spesies tersebut mati. Maka dari itu, kepunahan spesies bisa dianggap sebagai hal yang pasti apabila tidak ada lagi makhluk hidup dari spesies tersebut yang dapat berkembang biak dan membentuk generasi baru. Suatu spesies juga dapat dikatakan punah secara fungsional apabila beberapa individunya masih hidup namun tidak mampu berkembang biak, misalnya karena sudah tua, kondisi kesehatan yang memburuk, distribusi yang terlalu luas dan jarang, kurangnya individu dari kedua jenis kelamin (teruntuk spesies yang bereproduksi secara seksual), atau alasan lainnya.

Menentukan kepunahan (atau kepunahan semu) suatu spesies membutuhkan definisi yang jelas mengenai spesies tersebut. Bila suatu spesies dikatakan punah, maka spesies tersebut harus dapat dibedakan dari spesies nenek moyangnya, spesies anakannya, maupun spesies kerabatnya. Kepunahan spesies (atau kepunahan semu yang menggantikan spesies tersebut dengan spesies anakannya) memainkan peran penting dalam hipotesis keseimbangan bersela oleh Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge.[15]

Di dalam ilmu ekologi, istilah kepunahan juga dipakai untuk mereferensikan kepunahan lokal, yaitu ketika suatu spesies punah di suatu area studi, namun spesies tersebut masih bisa ditemukan di tempat lain. Kepunahan lokal dapat diatasi dengan reintroduksi individu spesies yang punah dari lokasi yang lain. Sebagai contoh, kuda yang diketahui telah punah di Amerika Utara direintroduksi kembali oleh bangsa Eropa yang menetap di benua tersebut, mengembalikan jumlah spesies kuda di Benua Amerika.[16]

Salah satu aspek penting dalam membahas kepunahan ialah usaha manusia untuk melestarikan spesies yang terancam punah dengan membuat status konservasi, yaitu sistem kategorisasi yang memberikan indikasi mengenai risiko kepunahan suatu spesies. Salah satu kategori tersebut ialah "punah di alam liar" (bahasa Inggris: "extinct in the wild"; disingkat EW). Spesies yang berada dalam kategori tersebut didefinisikan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) sebagai spesies yang tidak memiliki spesimen hidup di alam liar, tetapi hanya ditemukan kebun binatang atau habitat buatan lainnya yang dikelola oleh manusia. Umumnya, spesies kategori ini bisa dikatakan mengalami kepunahan fungsional, mengingat spesies ini memiliki kemungkinan kecil untuk berkembang biak dan kembali pulih di alam liar.[17]

Kepunahan suatu spesies di alam liar dapat menimbulkan efek domino terhadap kepunahan spesies yang dipengaruhi oleh atau berhubungan dengan keberadaan spesies tersebut. Hal ini dikenal sebagai "rantai kepunahan"[18] dan dapat terjadi apabila spesies kunci mengalami kepunahan.

Kepunahan semu

[sunting | sunting sumber]

Kepunahan spesies induk di mana spesies anakan atau subspesies masih ada disebut sebagai kepunahan semu atau kepunahan filetik. Jenis kepunahan ini dapat terjadi ketika takson lama menghilang setelah mengalami transformasi menjadi spesies baru (anagenesis)[19] atau terbagi menjadi spesies anakan yang lebih dari satu, yang pada akhirnya menciptakan klad (kladogenesis).[20]

Kepunahan semu sulit untuk dibuktikan kecuali bila ada beberapa bukti kuat yang menghubungkan spesies lama yang sudah punah dengan spesies yang masih hidup saat ini. Sebagai contoh, Hyracotherium, yaitu kuda purba yang memiliki nenek moyang yang sama dengan kuda modern, sering kali dianggap sebagai bukti kepunahan semu. Argumen mengenai hal ini menyatakan bahwa Hyracotherium dianggap "menurunkan sifatnya" ke beberapa spesies Equus yang masih ada saat ini, termasuk zebra dan keledai. Meski demikian, hal ini tidak bisa dibuktikan dengan pasti karena fosil biasanya tidak meninggalkan materi genetik. Maka dari itu, sangat sulit untuk menentukan apakah Hyracotherium berevolusi menjadi spesies kuda yang lebih modern atau keduanya hanya berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan kuda modern. Kepunahan semu jauh lebih mudah dibuktikan untuk kelompok taksonomi

Takson Lazarus

[sunting | sunting sumber]
Foto individu Coelacanth yang ditangkap pada tahun 1952. Sebelumnya, taksa tersebut dinyatakan punah sejak akhir zaman Kapur.

Sebuah takson Lazarus atau spesies Lazarus mengacu kepada kejadian di mana sebuah spesies atau takson dianggap telah punah, namun kemudian ditemukan lagi. Istilah ini juga dapat merujuk kepada kejadian di mana terdapat kesenjangan besar dalam catatan fosil suatu takson yang menyebabkan suatu fosil muncul kembali jauh di kemudian hari, meskipun takson tersebut mungkin pada akhirnya telah punah di kemudian hari.

Contohnya dari takson Lazarus ialah Coelacanth, takson ikan yang berkerabat dengan tetrapoda dan ikan lempung yang hanya diketahui lewat fosil dan dianggap telah punah di akhir zaman Kapur. Pada tahun 1938, sebuah spesimen hidup ditemukan di sungai Chalumna (sekarang Tyolomnqa) di pantai timur Afrika Selatan.[21] Selain itu, spesies Calliostoma bullatum, spesies siput laut yang pertama kali dideskripsikan melalui fosil pada tahun 1844 terbukti merupakan spesies Lazarus ketika beberapa individu ditemukan dan dideskripsikan pada tahun 2019.[22]

Payangko (Zaglossus attenborough), anggota dari genus nokdiak moncong panjang juga merupakan contoh dari spesies Lazarus. Spesies tersebut sempat dikategorikan punah ketika terakhir kali dilihat pada tahun 1962 di Papua Nugini. Pada bulan November 2023, spesies ini ditemukan kembali.[23]

Beberapa spesies yang telah dikategorikan punah, seperti harimau tasmania (Thylacinus cynocephalus), serigala honshū (Canis lupus hodophilax), pelatuk paruh-gading (Campephilus principalis), dan gajahan paruh ramping (Numenius tenuirostris), masih terus menjadi spekulasi bahwa mereka mungkin masih ada. Bila individu spesies ditemukan kembali, maka spesies tersebut dianggap sebagai spesies Lazarus.[24]

Selama spesies masih terus berevolusi, spesies akan mengalami kepunahan. Diperkirakan lebih dari 99,9% dari semua spesies yang pernah hidup di Bumi telah punah. Rata-rata, lama kesintasan spesies adalah 1–10 juta tahun,[25] meskipun ini sangat bervariasi antar taksa. Berbagai penyebab dapat berkontribusi secara langsung atau tidak langsung terhadap kepunahan spesies atau kelompok spesies. Menurut Beverly Peterson dan Stephen C. Stearns, proses kepunahan spesies unik layaknya spesies itu sendiri, "...ada terjadi secara perlahan dengan penyebab yang kompleks, ada yang terjadi secara jelas dengan penyebab yang sederhana".[26] Sederhananya, spesies apa pun yang tidak dapat bertahan hidup dan bereproduksi di lingkungannya dan tidak dapat pindah ke lingkungan baru tempat ia dapat melakukannya, akan mengalami kepunahan. Kepunahan suatu spesies dapat terjadi secara tiba-tiba ketika spesies yang sehat dapat secara drastis mengalami penurunan populasi hingga musnah sepenuhnya, seperti ketika polusi beracun membuat seluruh habitat spesies tertentu tidak dapat ditinggali. Meski demikian, kepunahan spesies umumnya terjadi secara bertahap selama ribuan atau jutaan tahun, seperti ketika suatu spesies secara bertahap kalah dalam persaingan makanan dengan pesaing yang lebih beradaptasi. Kepunahan dapat terjadi lama setelah peristiwa yang memicunya, suatu fenomena yang dikenal sebagai utang kepunahan.

Menilai kepentingan relatif faktor genetik dibandingkan dengan faktor lingkungan sebagai penyebab kepunahan sering kali dibandingkan dengan perdebatan mengenai alam dan pengasuhan.[27] Pertanyaan mengenai apakah kepunahan lebih banyak dalam catatan fosil disebabkan oleh evolusi, oleh kompetisi, oleh pemangsaan, oleh penyakit, atau oleh bencana sering kali menjadi topik diskusi mengenai kepunahan. Mark Newman, penulis buku Modeling Extinction, berpendapat berdasarkan model matematika bahwa semua penyebab memiliki peran dalam menimbulkan kepunahan.[5] Sementara itu, biologi konservasi menggunakan model pusaran kepunahan untuk mengklasifikasikan kepunahan berdasarkan penyebabnya. Ketika kekhawatiran tentang kepunahan manusia telah muncul, misalnya dalam buku Sir Martin Rees tahun 2003 Our Final Hour, kekhawatiran tersebut terletak pada dampak perubahan iklim atau bencana teknologi.

Kepunahan akibat manusia mulai terjadi ketika manusia bermigrasi dari Afrika lebih dari 60.000 tahun lalu.[28] Saat ini, berbagai organisasi lingkungan dan pemerintah menaruh perhatian pada kepunahan yang disebabkan oleh manusia, dan melakukan tindakan pencegahan kepunahan melalui berbagai upaya konservasi.[8] Manusia dapat menjadi penyebab kepunahan melalui berbagai kegiatan eksploitasi berlebihan, pencemaran lingkungan, perusakan habitat, introduksi spesies invasif (yang dapat menyebabkan munculnya predator dan kompetitor baru bagi spesies pribumi), perburuan liar, dan lain-lain. Selain itu, meledaknya pertumbuhan populasi manusia disertai dengan meningkatnya kebutuhan per kapita juga menjadi pendorong besar dalam kepunahan akibat manusia.[29][30][31][32] Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), 784 spesies telah tercatat mengalami kepunahan sejak abad ke-16 hingga tahun 2004, dengan menekankan bahwa terdapat lebih banyak lagi kepunahan spesies yang tidak tercatat. Selain itu, diketahui pula bahwa berbagai spesies juga telah masuk dalam kategori punah sejak tahun 2004.[33]

Fenomena genetik dan demografik

[sunting | sunting sumber]

Bila laju adaptasi suatu populasi untuk meningkatkan kecocokan spesies tidak lebih cepat dari degradasi lingkungan, ditambah dengan akumulasi mutasi yang merugikan, maka populasi tersebut akan menyusut dan mengalami kepunahan.[34] Populasi yang lebih kecil pada umumnya memiliki mutasi menguntungkan yang relatif jarang terjadi sehingga. Selain itu, mutasi yang merugikan pada populasi tersebut dapat terfiksasi dalam kolam genetik populasi tersebut. Umpan balik positif mutasi dalam populasi tersebut dapat berakibat pada kehancuran mutasi pada populasi.

Jangkauan geografis yang terbatas pada genus dapat menjadi faktor penentu kepunahan pada tingkat kepunahan latar belakang, tetapi menjadi semakin tidak relevan bila peristiwa kepunahan massal terjadi.[35] Jangkauan penyebaran populasi yang terbatas dapat berakibat pada ukuran populasi yang mengecil dan lebih rentan terhadap bencana lingkungan lokal.

Laju kepunahan dapat juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yang memengaruhi kemampuan berevolusi spesies, seperti seleksi keseimbangan, variasi genetik samar, plastisitas fenotipe, dan ketahanan. Lungkang gen yang beragam dan banyak dapat memberi peluang lebih tinggi bagi populasi tersebut untuk bertahan hidup jangka pendek terhadap perubahan kondisi yang merugikan populasi tersebut. Efek yang menyebabkan atau memberi imbalan atas hilangnya keragaman genetik juga dapat meningkatkan peluang kepunahan suatu spesies. Sementara itu, hambatan populasi dapat secara drastis menurunkan keragaman genetik dengan membatasi jumlah individu yang bereproduksi, sehingga menciptakan terjadinya perkawinan sekerabat.

Pencemaran genetik

[sunting | sunting sumber]

Kepunahan dapat pula disebabkan oleh spesies dalam ekosistem tertentu[36] yang mengalami pencemaran genetik, yaitu hibridisasi tak terkendal, introgresi, dan pengendapan genetik yang menyebabkan homogenisasi atau menyebabkan spesies aslinya kalah bersaing dengan spesies pendatang (atau spesies hibrida).[37] Populasi spesies endemik juga dapat mengalami kepunahan ketika habitat yang dimodifikasi manusia membuat spesies yang sebelum terisolasi tersebut mengalami kontak dengan spesies pendatang, terutama spesies yang telah mengalami seleksi buatan oleh manusia. Peluang terjadinya kepunahan paling mungkin terjadi pada spesies endemik langka yang bertemu dengan spesies pendatang yang lebih melimpah,[38] hal ini dapat mengakibatkan perkawinan silang yang dapat membanjiri lungkang gen yang lebih langka dan menciptakan spesies hibrida, sehingga menguras lungkang gen dari ras spesies yang murni. Sebagai contoh, kerbau liar dapat mengalami kepunahan akibat pencemaran genetik ketika spesies kerbau domestik melimpah di habitat yang sama. Kepunahan semacam ini tidak dapat terlihat melalui pengamatan morfologi dan aliran gen merupakan proses evolusi yang umum terjadi di alam liar. Namun demikian, hibridisasi (dengan atau tanpa introgresi) dapat mengancam keberadaan spesies langka.[39][40]

Lungkang gen dari spesies atau populasi merupakan keragaman informasi genetik dari individu spesies atau populasi yang masih hidup. Lungkang gen yang besar menandakan keanekaragaman genetik yang besar dan dikaitkan dengan populasi dengan gen yang kuat dan dapat melewati seleksi alam. Sementara itu, apabila lungkang gen menjadi kecil akibat perkawinan silang dan hambatan populasi, maka rentang adaptasi yang mungkin dilakukan oleh populasi tersebut menjadi berkurang.[41] Hal ini dapat diperparah dengan dimunculkannya gen asing dalam lungkang gen,[38][42] yang dapat meningkatkan peluang spesies atau populasi aslinya untuk mengalami kepunahan.

Perusakan habitat

[sunting | sunting sumber]
Pembukaan lahan hutan untuk pertanian menggunakan praktik tebang bakar dapat meningkatkan peluang kepunahan spesies yang tinggal di dalamnya.

Perusakan habitat merupakan penyebab kepunahan utama yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Penyebab utama perusakan habitat adalah pembukaan lahan pertanian. Selain itu, penyebab lainnya termasuk penyebaran perkotaan, penebangan, pertambangan, dan pembukaan lahan perikanan. Perusakan habitat spesies dapat berakibat pada berubahnya lanskap kecocokan sedemikian rupa sehingga spesies tersebut tidak mampu bertahan hidup dan mengalami kepunahan. Hal ini dapat disebabkan oleh dampak langsung seperti meningkatnya kadar racun dalam lingkungan, atau dampak tidak langsung seperti membatasi kemampuan spesies untuk berkompetisi secara efektif demi sumber daya yang berkurang atau menghadapi spesies pendatang.

Perusakan habitat, terutama penebangan vegetasi hutan, dapat meningkatkan erosi dan mengurangi ketersediaan zat hara dalam ekosistem tanah. Perusakan ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian dan menurunkan kualitas air dengan meningkatnya kadar sedimen dan polutan di sungai dan anak sungai.[43] Sementara itu, perusakan habitat melalui penebaran racun dapat membunuh spesies dengan cepat melalui kontaminasi atau sterilisasi. Perusakan jenis ini dapat juga berlangsung dalam waktu yang lama dengan kadar racun rendah yang berdampak pada rentang hidup, kapasitas reproduksi, atau kemampuan spesies dalam berkompetisi.

Perusakan habitat juga dapat berupa mengubah lahan relung fisik menjadi relung lain. Sebagai contoh, pembukaan lahan hutan hujan tropis menjadi padang rumput terbuka dapat menghilangkan infrastruktur yang dibutuhkan banyak spesies asli untuk bertahan hidup.[13] Misalnya, pakis yang bergantung pada naungan lebat untuk perlindungan dari sinar matahari langsung tidak dapat bertahan hidup tanpa tegakan hutan sebagai tempat berlindungnya. Contoh lain dari perusakan habitat jenis ini adalah perusakan dasar laut akibat pukat dasar yang dapat mengancam terumbu karang.[44]

Perusakan habitat dapat diperparah juga oleh faktor lain seperti datangnya spesies pendatang baru dan berkurangnya sumber daya bagi spesies asli. Selain itu, perubahan iklim telah memungkinkan beberapa spesies memperluas jangkauannya, yang berakibat pada tersingkirnya spesies yang tidak mampu bertahan dan sebelumnya menempati wilayah aslinya. Kadang kala, spesies kompetitor baru merupakan predator yang secara langsung memengaruhi spesies mangsa asli dan memenangkan kompetisi melawan spesies rentan dalam memperebutkan sumber daya terbatas akibat perusakan habitat, seperti air dan makanan.

Predasi, kompetisi, dan penyakit

[sunting | sunting sumber]

Di alam liar, spesies dapat punah karena sejumlah alasan alami, seperti kepunahan inang, mangsa, atau penyerbuk yang diperlukan spesies, kompetisi interspesifik, ketidakmampuan spesies menghadapi penyakit tertentu, serta perubahan kondisi lingkungan mendadak yang dapat mengintroduksi pemangsa baru atau menghilangkan mangsa. Semenjak kehadiran manusia, kepunahan beberapa spesies lebih sering terjadi akibat manusia meningkatkan risiko kepunahan alami seperti menjadi pemangsa baru maupun karena membawa hewan dan tumbuhan dari belahan dunia satu ke belahan dunia lain. Manusia sendiri telah mengenalkan berbagai hewan dan tumbuhan pendatang ke habitat asli selama ribuan tahun, baik disengaja (misalnya ternak yang dilepasliarkan oleh pelaut ke suatu pulau sebagai sumber makanan bagi mereka di masa mendatang) maupun tidak disengaja (misalnya tikus yang melarikan diri dari kapal penumpang). Sebagian besar upaya introduksi tersebut tidak berhasil, tetapi untuk kasus yang berhasil, akan berdampak besar pada lingkungan aslinya. Spesies asing invasif dapat memengaruhi spesies pribumi secara langsung dengan memangsanya, berkompetisi dengannya, dan memperkenalkan patogen atau parasit yang menyebabkan spesies asli sakit dan mati. Spesies asing juga dapat secara tidak langsung menghancurkan habitat asli.

Populasi manusia sendiri dapat dianggap sebagai spesies asing invasif di berbagai habitat yang dijumpainya. Menurut "hipotesis overkill", kepunahan cepat megafauna di berbagai wilayah seperti Australia (40.000 tahun lalu), Amerika Utara dan Selatan (12.000 tahun lalu), Madagaskar, Hawaii (300–1000 M), dan Selandia Baru (1300–1500 M) diakibatkan oleh manusia yang muncul di lingkungan yang penuh dengan hewan yang belum beradaptasi dengan teknik predasi manusia.[45]

Kepunahan bersama

[sunting | sunting sumber]
Elang haast memburu moa di Selandia Baru. Ketika Moa mengalami kepunahan akibat perburuan manusia, elang haast ikut punah pula.[46]

Kepunahan bersama terjadi ketika suatu spesies punah akibat kepunahan spesies lain. Sebagai contoh, spesies serangga parasit dapat mengalami kepunahan apabila spesies inang utamanya punah. Kepunahan bersama umum terjadi pada berbagai spesies yang menjalin simbiosis dengan spesies lainnya, seperti spesies bunga yang kehilangan spesies penyerbuknya atau spesies pemangsa yang kehabisan spesies mangsanya dalam rantai makanan. Maka dari itu, kepunahan bersama spesies dapat dianggap sebagai "manifestasi dari salah satu keterkaitan organisme dalam ekosistem yang kompleks", sehingga walaupun kepunahan bersama bukanlah penyebab paling penting dari kepunahan spesies, tetapi kepunahan bersama "merupakan salah satu penyebab yang paling berbahaya".[47] Kepunahan bersama juga terjadi apabila spesies kunci di suatu habitat mengalami kepunahan.

Perubahan iklim

[sunting | sunting sumber]

Berbagai studi fosil telah membuktikan bahwa perubahan iklim dapat memicu risiko kepunahan, khususnya pada kepunahan amfibi pada waktu keruntuhan hutan hujan periode Karbon.[48] Ulasan berbagai laporan dari 14 pusat penelitian keanekaragaman hayati memprediksi bahwa 15–37% spesies daratan akan dipastikan mengalami kepunahan pada tahun 2050 akibat perubahan iklim.[49][50] Daerah keanekaragaman hayati yang akan terkena dampak tersebut termasuk Kawasan Floristik Tanjung dan Cekungan Karibia. Kawasan tersebut akan mengalami peningkatan kadar karbon dioksida sebanyak dua kali lipat dan mengalami peningkatan suhu yang dapat memunahkan 56.000 spesies tumbuhan dan 3.700 spesies hewan.[51] Perubahan iklim juga dianggap sebagai salah satu penyebab dari kerusakan habitat dan penggurunan.[52]

Perbuatan manusia

[sunting | sunting sumber]

Kepunahan Holosen

[sunting | sunting sumber]

Artikel Utama: Kepunahan Holosen

Disebut juga sebagai Kepunahan Antroposen, adalah istilah yang dipakai untuk merujuk pada peristiwa kepunahan massal yang mulai terjadi pada masa Holosen (sejak tahun 10.000 SM hingga sekarang). Ada banyak spesies flora dan fauna yang punah, dan sebagian besar habitatnya berada di hutan hujan. 875 kepunahan telah tercatat oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources dari tahun 1500 hingga 2009. Namun, sebagian besar kepunahan tidak tercatat sejarah. Menurut teori spesies-wilayah, tingkat kepunahan saat ini kira-kira sebesar 140.000 spesies per tahun.

Beberapa hewan yang sudah punah pada zaman Holosen

[sunting | sunting sumber]

Dodo berasal dari Mauritius. Dodo bergerak lamban dan cukup jinak, sifat yang sebenarnya tidak begitu bagus untuk bisa bertahan hidup. Dagingnya tidak enak bila dimakan dan mempunyai hubungan jauh dengan famili burung merpati. Ia diperkirakan mempunyai ketinggian 70 cm dan lebar yang hampir sama dari paruh sampai buntut. Dodo adalah jenis burung yang tidak dapat terbang. Oleh karena itu, ia meletakkan telurnya di tanah. Tak heran bila telurnya banyak dimakan hewan yang dibawa oleh manusia pada abad ke-17 ke pulau Mauritius, seperti babi, anjing, dan keledai. Dalam waktu 70 tahun setelah orang Eropa pertama kali menginjakkan kaki di Mauritius, Dodo menjadi punah. Dodo diperkirakan punah pada tahun 1693.

Nasib tragis dodo tidak berhenti sampai begitu saja. Pada tahun 1755, direktur Museum Ashmolean di Oxford memerintahkan untuk membakar eksemplar dodo di museum karena tampangnya makin jelek. Ini keputusan yang cukup mengagetkan karena eksemplar ini adalah satu-satunya yang ada. Seorang pekerja museum yang tidak setuju dengan keputusan ini mencoba menyelamatkan eksemplar dodo dari bakar api. Sayangnya, ia hanya berhasil menyelamatkan kepala dan sebagian dari kakinya.

Akibat dari keputusan yang bodoh ini, kita tidak tahu dengan pasti bagaimana rupa dodo. Juga kita tidak tahu bagaimana ia berkembang biak, makannya apa, suaranya, dan lain-lain. Kita juga tidak mempunyai satu pun eksemplar dari telurnya. Informasi mengenai dodo sangat sedikit. Hanya informasi yang tidak pasti dari pelaut-pelaut dan beberapa lukisan dodo hasil interpretasi pelukisnya. Tak heran Hugh Edwin Strickland, seorang naturalis Inggris, mempunyai komentar ironis mengenai dodo:

"Kita mempunyai eksemplar yang lebih lengkap dari sauropoda (suatu jenis dinosaurus) dibandingkan dodo, seekor burung yang hidup pada zaman modern dan yang hanya punya satu tuntutan dari manusia: untuk dibiarkan hidup dengan tenang."

Sapi Laut Stellers

[sunting | sunting sumber]

Sapi laut Stellers adalah jenis sapi laut yang mempunyai hubungan dengan duyung. Binatang ini sangat besar; binatang yang dewasa berbobot 10 ton dan bisa mencapai kepanjangan 9 meter. Georg Steller, seorang botanis Jerman yang bekerja di Alaska (dulunya bagian dari Rusia), sangat menggemari binatang ini. Ia menemukan binatang ini pada tahun 1741 di pulau Siberia, di depan pesisir Siberia. Ia membuat gambar yang sangat detail. Berdasarkan hasil observasinya, Georg Steller menggambarkan berapa panjang kumis binatang ini. Entah mengapa, Steller tidak menggambarkan kelamin dari jenis jantan, walaupun ia menggambarkan secara teliti kelamin dari jenis betina. Steller bahkan menyimpan sebagian dari kulit binatang ini, sehingga ilmuwan bisa mempelajari struktur kulitnya. Ini adalah prestasi yang cukup luar biasa, dibandingkan kisah dodo di atas. Tak heran, hewan ini dinamakan dari Georg Steller.

Satu hal yang tidak bisa dilakukan Steller ialah menyelamatkan binatang ini dari kepunahan. Binatang ini banyak diburu dengan ganas untuk bahan makanan dan kulitnya dipakai untuk membuat kapal. Lemak dari hewan ini juga dipakai sebagai bahan dasar pembuatan mentega dan untuk bahan bakar lampu. Minyak hewan ini tidak mempunyai bau ataupun asap, juga bisa disimpan lama di suhu yang cukup panas. Pada tahun 1768, kira-kira 30 tahun setelah binatang ini pertama kali diamati, ia punah.

Burung Kecil dari Pulau Stephen, Selandia Baru

[sunting | sunting sumber]

Kepunahan burung ini memberikan contoh bahwa penyebab kepunahan tidak hanya akibat dari kekejaman manusia, tetapi juga kebodohan. Pada tahun 1894, sebuah mercusuar dibangun di pulau Stephen, pulau yang terisolasi berada di selat antara pulau Utara dan Selatan Selandia Baru. Sebelumnya, pulau ini belum pernah diinjak oleh manusia. Penunggu mercusuar itu, bernama David Lyall, mempunyai seekor kucing yang sering membunuh dan membawa burung-burung kecil ke majikannya itu. David Lyall, penghuni satu-satunya dari pulau Stephen, mengirimkan suatu eksemplar ke museum di Wellington. Direktur museum ini sangat senang, karena burung kecil ini adalah satu-satunya contoh dari burung kecil yang bisa berkicau dan tidak dapat terbang. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pulau Stephen. Sesampainya dia di sana, ternyata kucing itu telah membunuh semua burung kecil yang ada di pulau itu. Binatang ini menjadi terkenal karena kepunahannya diakibatkan oleh seekor makhluk hidup saja, yaitu kucing. Burung kecil ini berburu pada waktu malam, tidak bisa terbang dan memakan serangga. Burung ini sangat kecil; paruhnya berukuran 14mm, sayapnya mempunyai kepanjangan 46–49mm, dan ekornya 17mm. Jenis jantan sedikit lebih besar dari jenis betina. Hasil studi arkeologi menunjukkan bahwa burung ini hidup di daratan besar Selandia Baru pada zaman dulu. Kemungkinan besar, populasi burung ini punah di daratan besar akibat kedatangan tikus yang dibawa orang Maori. Hanya sedikit populasi tersisa dari burung ini yang berdiam di pulau Stephen. Sayangnya, burung ini punah juga pada tahun 1894.

Kepunahan di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Sudah punah

[sunting | sunting sumber]

Terancam punah

[sunting | sunting sumber]

Kakatua Maluku

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. McKinney, Michael L. (1997). Kunin, William E.; Gaston, Kevin J. (ed.). How do rare species avoid extinction? A paleontological view (dalam bahasa Inggris). Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 110–129. doi:10.1007/978-94-011-5874-9_7. ISBN 978-94-011-5874-9.
  2. Jablonski, David (2004-02). "Extinction: past and present". Nature (dalam bahasa Inggris). 427 (6975): 589–589. doi:10.1038/427589a. ISSN 1476-4687.
  3. Stearns, Beverly Peterson; Stearns, S. C.; Stearns, Stephen C. (2000). Watching, from the Edge of Extinction. Yale University Press. hlm. 1921. ISBN 978-0-300-08469-6. Diakses tanggal 2014-12-27.
  4. Novacek, Michael J. (8 November 2014). "Prehistory's Brilliant Future". New York Times. Diakses tanggal 2014-12-25.
  5. 1 2 Newman, Mark (1997). "A model of mass extinction". Journal of Theoretical Biology. 189: 235–252. doi:10.1006/jtbi.1997.0508.
  6. Newman, Mark (1997). "A model of mass extinction". Journal of Theoretical Biology. 189 (3): 235–252. arXiv:adap-org/9702003. Bibcode:1997JThBi.189..235N. doi:10.1006/jtbi.1997.0508. PMID 9441817. S2CID 9892809.
  7. Sudakow, Ivan; Myers, Corinne; Petrovskii, Sergei; Sumrall, Colin D.; Witts, James (July 2022). "Knowledge gaps and missing links in understanding mass extinctions: Can mathematical modeling help?". Physics of Life Reviews. 41: 22–57. Bibcode:2022PhLRv..41...22S. doi:10.1016/j.plrev.2022.04.001. PMID 35523056. S2CID 248215038.
  8. 1 2 "Species disappearing at an alarming rate, report says". NBC News. 17 November 2004. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 9 February 2022. Diakses tanggal 9 February 2022.
  9. The Sixth Extinction di YouTube (PBS Digital Studios, November 17, 2014)
  10. Ceballos, Gerardo; Ehrlich, Paul R.; Barnosky, Anthony D.; García, Andrés; Pringle, Robert M.; Palmer, Todd M. (2015). "Accelerated modern human–induced species losses: Entering the sixth mass extinction". Science Advances. 1 (5) e1400253. Bibcode:2015SciA....1E0253C. doi:10.1126/sciadv.1400253. PMC 4640606. PMID 26601195.
  11. Ripple WJ, Wolf C, Newsome TM, Galetti M, Alamgir M, Crist E, Mahmoud MI, Laurance WF (13 November 2017). "World Scientists' Warning to Humanity: A Second Notice". BioScience. 67 (12): 1026–1028. doi:10.1093/biosci/bix125. hdl:11336/71342. Moreover, we have unleashed a mass extinction event, the sixth in roughly 540 million years, wherein many current life forms could be annihilated or at least committed to extinction by the end of this century.
  12. Cowie, Robert H.; Bouchet, Philippe; Fontaine, Benoît (10 January 2022). "The Sixth Mass Extinction: fact, fiction or speculation?". Biological Reviews. 97 (2): 640–663. doi:10.1111/brv.12816. PMC 9786292. PMID 35014169. S2CID 245889833. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 9 February 2022. Diakses tanggal 9 February 2022.
  13. 1 2 Wilson, E.O., The Future of Life (2002) (ISBN 0-679-76811-4). See also: Leakey, Richard, The Sixth Extinction : Patterns of Life and the Future of Humankind, ISBN 0-385-46809-1
  14. Davis M, Faurby S, Svenning JC (2018). "Mammal diversity will take millions of years to recover from the current biodiversity crisis". Proc Natl Acad Sci. 115 (44): 11262–11267. Bibcode:2018PNAS..11511262D. doi:10.1073/pnas.1804906115. PMC 6217385. PMID 30322924.
  15. Eldredge, Niles (1986). Time frames: the rethinking of Darwinian evolution and the theory of punctuated equilibria. London: Heinemann. ISBN 978-0-434-22610-8.
  16. Schmidt, Amanda (25 Februari 2022). "American Horses ~ Horses in North America: A Comeback Story". Nature (dalam bahasa American English). PBS. Diakses tanggal 4 Oktober 2025.
  17. Maas, Peter. "Extinct in the Wild" The Extinction Website. URL accessed January 26 2007. Diarsipkan February 16, 2007, di Wayback Machine.
  18. Quince, Christopher; Higgs, Paul G.; McKane, Alan J. (August 2005). "Deleting species from model food webs". Oikos. 110 (2): 283–296. arXiv:q-bio/0401037. Bibcode:2005Oikos.110..283Q. doi:10.1111/j.0030-1299.2005.13493.x. S2CID 16750824.
  19. King, Michael; Mulligan, Pamela; Stansfield, William (2014). "Pseudoextinction". A Dictionary of Genetics (Edisi ke-8). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-976644-4. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 21 Maret 2024. Diakses tanggal 12 November 2023.
  20. Leighton, Lindsey R. (2009). "Taxon Characteristics That Promote Survivorship Through the Permian-Triassic Interval: Transition from the Paleozoic to the Mesozoic Brachiopod Fauna". Paleobiology. 34: 65–79. doi:10.1666/06082.1. S2CID 86843206.
  21. ""Discovery" of the Coelacanth". Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 21 January 2013. Diakses tanggal 2 March 2013.
  22. Freiwald, André; Lavaleye, Marc; Heugten, Bart Van; Beuck, Lydia; Hoffman, Leon (4 June 2019). "Last snails standing since the Early Pleistocene, a tale of Calliostomatidae (Gastropoda) living in deep-water coral habitats in the north-eastern Atlantic". Zootaxa (dalam bahasa Inggris). 4613 (1): 93–110. doi:10.11646/zootaxa.4613.1.4. ISSN 1175-5334. PMID 31716426.
  23. "First-ever images prove 'lost echidna' not extinct" (dalam bahasa Inggris (Britania)). 2023-11-10. Diakses tanggal 2023-11-25.
  24. Platt, John R. (21 February 2013). "4 Extinct Species That People Still Hope to Rediscover". Scientific American Blog Network. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 9 February 2022. Diakses tanggal 9 February 2022.[rujukan terbitan sendiri]
  25. Mills, L. Scott (2009). Conservation of Wildlife Populations: Demography, Genetics and Management (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. hlm. 13. ISBN 978-1-4443-0893-8.
  26. Stearns, Beverly Peterson and Stephen C. (2000). "Preface". Watching, from the Edge of Extinction. Yale University Press. hlm. x. ISBN 978-0-300-08469-6.
  27. Raup, David M.; J. John Sepkoski Jr. (March 1982). "Mass extinctions in the marine fossil record". Science. 215 (4539): 1501–1503. Bibcode:1982Sci...215.1501R. doi:10.1126/science.215.4539.1501. PMID 17788674. S2CID 43002817.
  28. Johns, David; Crist, Eileen; Sahgal, Bittu, ed. (2022). "Ending the Colonization of the Non-Human World". Biological Conservation. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 November 2022.
  29. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ceballos2017
  30. Stokstad, Erik (6 May 2019). "Landmark analysis documents the alarming global decline of nature". Science. doi:10.1126/science.aax9287. S2CID 166478506.
  31. Andermann, Tobias; Faurby, Søren; Turvey, Samuel T.; Antonelli, Alexandre; Silvestro, Daniele (1 September 2020). "The past and future human impact on mammalian diversity". Science Advances. 6 (36) eabb2313. Bibcode:2020SciA....6.2313A. doi:10.1126/sciadv.abb2313. PMC 7473673. PMID 32917612. S2CID 221498762. Text and images are available under a Creative Commons Attribution 4.0 International License Diarsipkan 16 October 2017 di Wayback Machine..
  32. Lewis, Sophie (September 9, 2020). "Animal populations worldwide have declined by almost 70% in just 50 years, new report says". CBS News. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 10 September 2020. Diakses tanggal October 22, 2020.
  33. "2004 Red List". IUCN Red List of Threatened Species. World Conservation Union. Diarsipkan dari asli tanggal 27 August 2006. Diakses tanggal September 20, 2006.
  34. Bertram, J; Gomez, K; Masel, J (February 2017). "Predicting patterns of long-term adaptation and extinction with population genetics". Evolution. 71 (2): 204–214. arXiv:1605.08717. doi:10.1111/evo.13116. PMID 27868195. S2CID 4705439.
  35. Payne, J.L.; S. Finnegan (2007). "The effect of geographic range on extinction risk during background and mass extinction". Proc. Natl. Acad. Sci. 104 (25): 10506–10511. Bibcode:2007PNAS..10410506P. doi:10.1073/pnas.0701257104. PMC 1890565. PMID 17563357.
  36. Mooney, H.A.; Cleland, E.E. (2001). "The evolutionary impact of invasive species". PNAS. 98 (10): 5446–5451. Bibcode:2001PNAS...98.5446M. doi:10.1073/pnas.091093398. PMC 33232. PMID 11344292.
  37. "Glossary: definitions from the following publication: Aubry, C., R. Shoal and V. Erickson. 2005. Grass cultivars: their origins, development, and use on national forests and grasslands in the Pacific Northwest. USDA Forest Service. 44 pages, plus appendices.; Native Seed Network (NSN), Institute for Applied Ecology, 563 SW Jefferson Ave, Corvallis, OR 97333, USA". Diarsipkan dari asli tanggal 22 February 2006.
  38. 1 2 "Australia's state of the forests report" (PDF). 2003. hlm. 107. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2011-03-13.
  39. Rhymer, J.M.; Simberloff, D. (November 1996). "Extinction by Hybridization and Introgression". Annual Review of Ecology and Systematics. 27 (1). Annual Reviews: 83–109. Bibcode:1996AnRES..27...83R. doi:10.1146/annurev.ecolsys.27.1.83. JSTOR 2097230. Introduced species, in turn, are seen as competing with or preying on native species or destroying their habitat. Introduces species (or subspecies), however, can generate another kind of extinction, a genetic extinction by hybridization and introgression with native flora and fauna
  40. Potts, Brad M. (September 2001). Genetic pollution from farm forestry using eucalypt species and hybrids: a report for the RIRDC/L&WA/FWPRDC Joint Venture Agroforestry Program. Robert C. Barbour, Andrew B. Hingston. Australian Government, Rural Industrial Research and Development Corporation. ISBN 978-0-642-58336-9.
  41. "Genetic diversity" (PDF). 2003. hlm. 104. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2011-03-13. Diakses tanggal 2010-05-30. In other words, greater genetic diversity can offer greater resilience. In order to maintain the capacity of our forests to adapt to future changes, therefore, genetic diversity must be preserved
  42. Lindenmayer, D. B.; Hobbs, R. J.; Salt, D. (January 2003). "Plantation forests and biodiversity conservation" (PDF). Australian Forestry. 66 (1): 62–66. Bibcode:2003AuFor..66...62L. doi:10.1080/00049158.2003.10674891. S2CID 53968395. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 17 February 2022. Diakses tanggal 9 February 2022.
  43. "Habitat loss / restoration". Understanding Global Change (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2024-04-12.
  44. Clover, Charles (2004). The End of the Line: How overfishing is changing the world and what we eat. London: Ebury Press. ISBN 978-0-09-189780-2.
  45. Lee, Anita. "The Pleistocene Overkill Hypothesis Diarsipkan October 14, 2006, di Wayback Machine.." University of California at Berkeley Geography Program. Retrieved January 11, 2007.
  46. Dunn, Robert R.; Harris, Nyeema C.; Colwell, Robert K.; Koh, Lian Pin; Sodhi, Navjot S. (7 September 2009). "The sixth mass coextinction: are most endangered species parasites and mutualists?". Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 276 (1670): 3037–3045. doi:10.1098/rspb.2009.0413. PMC 2817118. PMID 19474041.
  47. Koh, Lian Pin; Dunn, Robert R.; Sodhi, Navjot S.; Colwell, Robert K.; Proctor, Heather C.; Smith, Vincent S. (10 September 2004). "Species Coextinctions and the Biodiversity Crisis". Science. 305 (5690): 1632–1634. Bibcode:2004Sci...305.1632K. doi:10.1126/science.1101101. PMID 15361627. S2CID 30713492.
  48. Sahney, S.; Benton, M.J.; Falcon-Lang, H.J. (2010). "Rainforest collapse triggered Pennsylvanian tetrapod diversification in Euramerica" (PDF). Geology. 38 (12): 1079–1082. Bibcode:2010Geo....38.1079S. doi:10.1130/G31182.1. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 11 October 2011. Diakses tanggal 28 August 2011.
  49. Thomas, Chris D.; Cameron, Alison; Green, Rhys E.; Bakkenes, Michel; Beaumont, Linda J.; Collingham, Yvonne C.; Erasmus, Barend F. N.; de Siqueira, Marinez Ferreira; Grainger, Alan; Hannah, Lee; Hughes, Lesley; Huntley, Brian; van Jaarsveld, Albert S.; Midgley, Guy F.; Miles, Lera; Ortega-Huerta, Miguel A.; Townsend Peterson, A.; Phillips, Oliver L.; Williams, Stephen E. (January 2004). "Extinction risk from climate change" (PDF). Nature. 427 (6970): 145–148. Bibcode:2004Natur.427..145T. doi:10.1038/nature02121. PMID 14712274. S2CID 969382. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 29 April 2019. Diakses tanggal 30 November 2019.
  50. Bhattacharya, Shaoni (7 January 2004). "Global warming threatens millions of species". New Scientist. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 21 April 2010. Diakses tanggal 2010-05-28. the effects of climate change should be considered as great a threat to biodiversity as the "Big Three"—habitat destruction, invasions by alien species and overexploitation by humans.
  51. Handwerk, Brian; Hendwerk, Brian (April 2006). "Global Warming Could Cause Mass Extinctions by 2050, Study Says". National Geographic News. Diarsipkan dari asli tanggal 12 June 2017. Diakses tanggal 27 October 2017.
  52. Gibbon, J. Whitfield; Scott, David E.; Ryan, Travis J.; Buhlmann, Kurt A.; Tuberville, Tracey D.; Metts, Brian S.; Greene, Judith L.; Mills, Tony; Leiden, Yale; Poppy, Sean; Winne, Christopher T. (2000). "The Global Decline of Reptiles, Déjà Vu Amphibians". BioScience. 50 (8): 653. doi:10.1641/0006-3568(2000)050[0653:TGDORD]2.0.CO;2. S2CID 12094030. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 13 December 2019. Diakses tanggal 14 July 2019.