Lompat ke isi

Istishhab

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Istishhab atau Istishab (Arab: استصحاب) berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan. (istimrar ash-shuhbah)

Terminologi

[sunting | sunting sumber]

Istishhab secara terminologi atau istilah telah dikemukakan beberapa Ulama berikut:

Imam Asy-Syaukani

" Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya."

Maksud dari definisi Imam Asy-Syaukani adalah, pada prinsipnya eksistensi hukum suatu masalah pada masa lalu tetaplah berlaku pada masa kini maupun yang akan datang, dengan syarat tidak ada perubahan pada masalah tersebut. Tetapi, jika terdapat perubahan pada objek hukum tersebut, maka hukumnya juga akan berubah dengan sendirinya.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah

"Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang sudah ada, atau menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut."

Maksud dari definisi Imam Ibnu Qayyim adalah, suatu hukum baik dalam bentuk positif maupun negatif, tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberadaan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk dapat tetap terus berlaku.

Imam Ibnu Hazm

"Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nash, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut."

Maksud dari definisi Imam Ibnu Hazm adalah, suatu hukum dinyatakan terap berlaku, jika landasannya adalah nash. Dengan demikian, bahwa penetapan hukum tidak cukup ahnya berdasarkan prinsip kebolehan dasar, tetapi harus dikukuhkan oleh dalil yang bersumber dari nash.

Dalil kehujjahan

[sunting | sunting sumber]

Istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi syara' maupun logika.Landasan dari segi syara' ialah, berbagai hasil penelitian hukum menunjukkan, bahwa suatu hukum syara' senantiasa tetap berlaku, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Adapun dari segi logika, dapat ditegaskan logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsip istishhab.

Macam-macam Istishhab

[sunting | sunting sumber]

Istishhab terdiri atas beberapa macam seperti berikut.

Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)

Yang dimaksud dengan istishhab bentuk pertama ini adalah, setelah datangnya Islam, pada dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara' yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Ketentuan istishhab bentuk pertama ini hanya berlaku di bidang muamalah.

Ketentuan istishhab bentuk pertama ini didasarkan pada ayat-ayat Qur'an antara lain:

"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al-Baqarah: 29)

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) pada hari kiamat". Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Al-A'raf: 32)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Maidah: 87)

Akan tetapi, ketentuan yang sebaliknya yaitu, pada dasarnya segala sesuatu yang menimbulkan mudharat atau bahaya adalah haram, meskipun tidak ada dalil khusus yang menegaskannya. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah yang berbunyi:

"Tidak boleh berbuat mudharat & hal yang menimbulkan madlarat." (HR. Ibnu Majah: 2332)

Hadis ini mengandung pengertian umum, yaitu melarang segala macam bentuk yang membahayakan. Bagian pertama hadis tersebut mengamdung makna menafikkan segala sesuatu yang membahayakan dan merugikan orang lain yang bersumber dari seseorang secara sepihak, sedangkan bagian yang kedua menafikkan segala yang membahayakan dan merugikan yang ditimbulkan oleh masing-masing dari kedua belah pihak.

Sebagian ulama mengistilahkan istishhab ini dengan istishhab al-bara'ah al-ashliyyah (tetap berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari kewajiban) atau bara'ah al-'adam al-ashliyyah (tetapnya ketentuan sama sekali tidak ada kewajiban). Penggunaan istilah ini karena melihat dari segi tidak adanya kewajiban syara' bagi seseorang, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya kewajiban terhadap dirinya.

Istishhab ma dalla asy-syar'aw al-'aql'ala wujudih (istishhab terhadap sesuatu yang menurut akal atau syara' diakui keberadaannya)

Yang dimaksud istishhab bentuk kedua adalah tetap berlakunya hukum sesuatu, baik keberlakuannya ditinjau dari syara' maupun dari logika, sampai ada alasan atau dalil lain yang mengubah keberlakuan hukum tersebut.

Istishhab al-'umum ila an yarid at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umum sampai ada yang mengkhususkannya)

Sebagian ulama lainnya menambahkan nama lain, yaitu: istishhab an-nash ila an yarid an-naskh (tetapnya hukum sesuatu yang didasarkan oleh suatu nash, sampai ada yang menashkannya.

Pada dasarnya semua ulama juga sepakat dengan istishhab bentuk ketiga ini, karena konteks pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaitan dengan waktu setelah datangnya syari'at sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah. Persoalan yang timbul hanya berkaitan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kriteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu nash bersifat 'amm atau khashsh. Demikian juga perbedaan seputar apakah suatu nash dipandang tetap berlaku atau sudah dinashkan oleh dalil lain.

Istishhab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berlainan dengan sifat)

Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab yang keempat sebagai dalil syara'. Dalam hal ini, ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara'. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyyah berpendapat istishhab bentuk ini hanya dapat menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru, tetapi tidak dapat menjadikan dalil untuk menetapkan hukum yang berlaku.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • "Ushul Fiqh", oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Cetakan pertama 2010, halaman 217-223

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Ushul fiqh