Lompat ke isi

Hutan kota

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hutan Kota Srengseng, salah satu hutan kota di Jakarta

Hutan kota adalah hutan atau sekelompok pepohonan yang tumbuh di dalam atau di pinggiran kota. Dalam arti yang lebih longgar, istilah ini bisa mencakup aneka kumpulan tanaman keras atau pohon yang tumbuh di sekeliling permukiman di perkotaan. Hutan kota bisa merupakan hutan yang disisakan pada pengembangan kota, atau sekelompok tanaman yang sengaja dibuat untuk memperbaiki lingkungan kota.

Hutan kota penting untuk keseimbangan ekologi manusia dalam berbagai hal seperti kebersihan udara, ketersediaan air tanah, pelindung terik matahari, kehidupan satwa dalam kota dan juga sebagai tempat rekreasi. Hutan kota bisa mengurangi dampak cuaca yang tidak bersahabat seperti mengurangi kecepatan angin, mengurangi banjir, memberi keteduhan. Juga memberikan efek pengurangan pemanasan global.

Pengertian

[sunting | sunting sumber]

Menurut hukum Negara Republik Indonesia, hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.[1]

Dalam konteks tata kota, hutan kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan, yakni ruang-ruang yang dipertahankan agar tetap terbuka dan ditumbuhi vegetasi, khususnya pepohonan. Secara fisik, bisa jadi hutan kota itu bentuknya serupa dengan taman kota, akan tetapi --untuk konteks Indonesia-- area tersebut telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai hutan kota oleh kepala daerah setempat.

Hutan kota dapat dibangun di atas tanah publik, atau pun tanah milik. Agar dapat disebut sebagai hutan (kota), maka kumpulan pepohonan itu sekurang-kurangnya memiliki luas 0,25 hektare dalam satu hamparan yang kompak. Pengelolaan hutan kota, terutama yang berada di atas tanah publik atau tanah negara, umumnya dilakukan oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah melalui unit pelaksana teknis.

Ada banyak keuntungan keberadaan hutan kota dengan pepohonan dan semak-semaknya, termasuk keindahan, pengurangan efek pulau bahang (urban heat island), pengurangan limpasan air hujan, pengurangan polusi udara, pengurangan biaya energi untuk pendinginan udara di dalam bangunan (jika ada bangunan di dekatnya), meningkatkan nilai lahan dan bangunan di sekitarnya, meningkatkan habitat kehidupan satwa, juga mitigasi dampak lingkungan perkotaan secara keseluruhan.

Manfaat lingkungan

[sunting | sunting sumber]

Manfaatnya bisa meliputi:

  1. Pelestarian plasma nutfah. Keragaman tanaman dan hewan yang ada di kota sudah banyak mengalami penurunan. Oleh sebab itu, hutan kota dapat dijadikan areal pelestarian plasma nutfah.
  2. Penyangga ekosistem rawan. Tanah miring/terjal dan tepian sungai yang mudah longsor dapat ditanami dengan pepohonan hutan kota.
  3. Meningkatkan estetika kota.
  4. Hutan kota sebagai kawasan untuk pendidikan dan penelitian.[2]

Manfaat ekonomis

[sunting | sunting sumber]

Keuntungan ekonomis bisa meliputi:

  1. Hutan kota juga dapat dimanfaatkan untuk areal wisata.
  2. Pohon, bunga, dan buah serta getah yang dihasilkan dapat menunjang pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  3. Adanya hutan kota akan terbuka lapangan kerja baru seperti pemandu wisata, sopir, biro perjalanan, pedagang asongan, dan cendera mata.[2]

Pengurangan polusi udara

[sunting | sunting sumber]

Penyehatan lingkungan kota yang tercemar berat. Hutan kota yang tahan terhadap pencemar dan efektif dalam menurunkan kandungan pencemar dapat menjadikan lingkungan kota menjadi lebih sehat.[2]

Membangun hutan kota

[sunting | sunting sumber]

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membangun hutan kota diantaranya:

  1. Strategik: banyak masalah lingkungan kota dan perkotaan yang dapat diatasi dengan membangun hutan kota.
  2. Antisipatif: hutan kota harus dipersiapkan untuk mengatasi masalah lingkungan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat hutan kota baru akan berfungsi dengan baik setelah tanaman berumur 15 – 25 tahun.
  3. Futuristik: hutan kota akan dapat berfungsi dengan baik setelah tanaman berumur 15 – 25 tahun; selain itu desain dan tata letak tanaman dan jarak tanamnya harus memerhatikan lingkungan setempat. Jangan terlalu dekat dengan bangunan, agar tanaman setelah dewasa tidak mengganggu bangunan, jalan, dan saluran air.
  4. Fungsional: hutan kota harus diarahkan untuk mengatasi masalah lingkungan baik yang sudah ada pada saat ini atau yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang.
  5. Efektif: hutan kota dapat berperan dalam mengatasi masalah lingkungan karena jumlah luasan (batang) cukup.
  6. Efisien: luasan hutan kota (jumlah batang) yang ada dapat mengatasi masalah lingkungan pada luasan yang minimal. Hal ini perlu diperhatikan mengingat lahan kota sangat mahal dan lahan kota harus cukup tersedia untuk menyangga kota sebagai pusat berbagai kegiatan.
  7. Kecocokan: cocok dengan lingkungan setempat (tanah dan iklim)
  8. Luasannya cukup agar manfaat hutan kota dapat dirasakan secara nyata.
  9. Penataletakan tanaman diatur sedemikian rupa, sehingga menghasilkan kesan yang indah (estetis)
  10. Ketahanan: tahan terhadap cekaman lingkungan alam dan buatan.[2]

Contoh hutan kota di dunia

[sunting | sunting sumber]

Berikut beberapa contoh hutan kota besar yang ada di dunia.

Sedangkan hutan kota yang ada di Jakarta, di antaranya:

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Anonim (2002). "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota". Lembaran Negara Republik Indonesia no. 119:1-12 (2002). Jakarta: Sekretariat Negara RI.
  2. ^ a b c d "Blog Endes N Dahlan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-04. Diakses tanggal 2011-04-04. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]