Hubungan manusia dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hubungan manusia dalam Islam diatur oleh Allah melalui syariat Islam. Sumber hukumnya berasal dari Al-Qur'an, hadis dan ijtihad. Dalam ajaran Islam, manusia memiliki tiga macam hubungan dasar, yaitu hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama makhluk dan hubungan dengan alam semesta. Hubungan manusia dengan Allah bersifat vertikal dan diwujudkan dalam bentuk ibadah khusus, seperti salat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan hubungan manusia dengan sesama makhluk dan alam semesta bersifat horizontal. Perwujudan pelaksanaannya diatur dalam syariat Islam melalui muamalah dan hubungan sosial.  

Beberapa surah di dalam Al-Qur'an memberikan pola hubungan manusia dengan tuhan, seperti Surah Al-Baqarah dan Surah An-Nisa'. Hubungan manusia dalam Islam memberikan dampak yang bergantung kepada individu manusia itu sendiri. Dampaknya dapat berupa pengembangan potensi kecerdasan manusia atau perolehan kehinaan dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat.

Sumber ajaran[sunting | sunting sumber]

Hubungan manusia telah diatur sepenuhnya di dalam ajaran Islam.[1] Pedoman atas hubungan yang dijalin oleh manusia telah diatur dalam Islam melalui sistem akidah, syariat dan akhlak. Hubungan ini meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun hubungan manusia dengan makhluk dan alam. Dalil-dalil dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan manusia ada pada Surah Al-Baqarah ayat 2, Surah Al-Ma'idah ayat 3 dan Surah Ali Imran ayat 112.[2]

Penghubung[sunting | sunting sumber]

Sebuah Al-Qur'an, kitab suci bagi umat Islam yang memuat aturan mengenai hubungan manusia.

Syariat Islam telah mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama manusia.[3] Penghubungan syariat Islam dalam bentuk penaatan atas aturan hidup dalam hukum agama yang telah dinyatakan dalam Al-Qur'an dan hadis.[4] Pengaturan ini dilakukan untuk memberikan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Dalil yang mendasarinya ialah Surah Al-Anbiya' ayat 107. Ayat ini menyatakan bahwa Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ini mengisyaratkan bahwa ajaran Islam tidak hanya ditujukan bagi masyarakat manusia.[5]

Setiap Muslim diwajibkan untuk mematuhi syariat Islam pada tiap jenis hubungan yang dimilikinya karena hukum dasarnya berasal dari wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia melalui Al-Qur'an.[6] Hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta telah diberi petunjuknya di dalam Al-Qur'an.[7] Lalu hukum dasar ini kemudian diperinci oleh Muhammad sebagai seorang rasul yang diutus oleh Allah. Perincian ini disebutkan dalam kitab-kitab hadis.[6] Selain dari Al-Qur'an dan hadis, sumber atas aturan hubungan manusia berasal dari ijtihad.[1]  

Jenis[sunting | sunting sumber]

Dalam Surah An-Nisa' disiratkan bahwa manusia memiliki dua jenis hubungan dalam Islam. Hubungan pertama ialah hubungan dengan Allah. Hubungan kedua ialah hubungan dengan sesama manusia. Tiap muslim diperintahkan oleh Allah untuk membentuk kedua hubungan tersebut secara baik. Hubungan baik dengan Allah dilakukan dengan menyembah Allah semata tanpa ada sekutu apapun bagi-Nya. Sementara hubungan baik dengan sesama manusia dilakukan dengan berbuat baik kepada beberapa kelompok manusia. Kelompok ini meliputi orang tua, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, dan hamba sahaya yang berada dalam hak kepemilikan sendiri.[8] Di akhir ayat ini, Allah menyatakan kebencian terhadap individu manusia yang suka membanggakan diri dan sombong terhadap sesama manusia yang meliputi kelompok-kelompok yang disebutkan pada pertengahan ayat.[9]

Seseorang yang sedang salat sebagai bentuk hubungan manusia dengan Allah melalui ibadah.

Hubungan manusia dengan Allah[sunting | sunting sumber]

Hubungan manusia dengan Allah pada diri muslim bersifat vertikal. Kedudukan ini terbentuk karena status Allah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk manusia.[10] Pembentukan hubungan manusia dengan Allah dilakukan melalui ibadah.[11] Syariat Islam mengatur tata cara peribadahan manusia kepada Allah. Hubungan manusia dengan Allah termasuk dalam ibadah khusus. Penamaan ini karena segala ketentuan ibadah sudah ditetapkan secara pasti oleh Allah. Tata cara pelaksanaannya juga telah dicontohkan oleh Muhammad sebagai utusan Allah dalam ajaran Islam.[12] Macam-macam ibadah khusus meliputi mensucikan diri, salat, puasa, zakat, dan haji.[13] Hubungan manusia dengan Allah bersifat suci dan akrab pada manusia yang berstatus sebagai muslim. Tujuan dari ibadah khusus ini hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada tujuan lain.[14]

Hubungan manusia dengan sesama makhluk[sunting | sunting sumber]

Hubungan manusia dengan sesama makhluk sepenuhnya diatur dalam ajaran Islam. Makhluk ini meliputi sesama manusia maupun makhluk lainnya.[15] Ajaran Islam menggunakan pendekatan yang holistik terhadap lingkungan sehingga mengatur pula hubungan manusia dengan makhluk lainnya.[16] Dalam ajaran Islam, hubungan manusia dengan sesama makhluk dinamakan muamalah. Dalam hubungan ini, manusia tidak saja berhubungan dengan manusia yang merupakan salah satu jenis makhluk, tetapi juga menjalin hubungan dengan jenis makhluk lainnya.[17] Model hubungan yang terbentuk pada hubungan manusia dengan sesama makhluk ialah hubungan horizontal kepada makhluk dan hubungan vertikal kepada Allah.[18] Sehingga aturan yang ada di dalam hubungan ini meliputi segala kegiatan manusia yang berkaitan dengan manusia lainnya serta alam sekitarnya.[17]  Hubungan manusia dengan sesama makhluk termasuk dalam ibadah umum. Penamaan ini karena ketentuan-ketentuan perilaku untuk pelaksanaannya tidak diperinci oleh Allah maupun oleh utusan-Nya. Allah hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja.[19]

Hubungan manusia dengan sesama manusia[sunting | sunting sumber]

Hubungan manusia dengan sesama manusia merupakan hubungan horizontal yang dilandasi oleh hubungan vertikal antara manusia dengan Allah.[20] Hubungan muslim dengan sesama manusia berkaitan dengan pembentukan hubungan kekerabatan dengan sesama manusia. Hal lain yang dibentuk dalam hubungan Muslim dengan sesama manusia ialah pertemanan dengan segala perilaku diatur oleh syariat Islam berdasarkan nilai-nilai dalam ajaran Islam.[10] Manusia memiliki tanggung jawab pergaulan antar sesmaa manusia berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifah. Hubungan harus dilakukan dengan manusia secara bermartabat. Dua ayat yang mengharuskan pembentukan hubungan demikian ialah Surah Al-Ma'idah ayat 2 dan Surah Ta Ha ayat 44.[21] Dalam syariat Islam, hubungan manusia dengan sesama manusia harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan.[22]

Hubungan manusia dengan alam semesta[sunting | sunting sumber]

Hubungan muslim dengan alam semesta berkaitan dengan peran manusia sebagai khalifah di Bumi. Peran ini diberikan kepada manusia sebagai tugas dari Allah. Tanggung jawab yang diberikan kepada manusia ialah mengembangkan dan melestarikan alam semesta.[10] Sebanyak 750 ayat di dalam Al-Qur'an membahas mengenai fenomena alam. Jumlah tersebut sekitar seperdelapan dari total ayat di dalam Al-Qur'an yang berjumlah sekitar 6.000 ayat. Hal ini menandakan hubungan manusia dengan alam merupakan perintah Allah untuk memahami alam. Selain itu, hubungan ini bertujuan agar manusia dapat membentuk hubungan dengan makhluk hidup lainnya serta ekosistem tempat hidupnya. Hubungan manusia dengan alam juga bertujuan agar manusia mampu memanfaatkan dan melestarikan alam secara baik. Kondisi ini kemudian membuat manusia dapat menjaga keseimbangan alam.[16]

Fungsi[sunting | sunting sumber]

Kewajiban dalam Islam untuk membentuk dua macam hubungan merupakan bagian dari tujuan penciptaan manusia yaitu untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Adanya muamalah sebagai salah satu bentuk hubungan manusia merupakan bentuk keseimbangan atas urusan dunia dan urusan akhirat. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk tidak sekadar beribadah, melainkan memberikan nilai ibadah di dalam setiap aktivitas dalam kehidupannya. Sehingga manusia dapat memenuhi tujuan penciptaan yang ditetapkan oleh Allah terhadap manusia yang dinyatakan dalam Surah Az-Zariyat ayat 56.[19]

Kedudukan dalam hubungan[sunting | sunting sumber]

Di dalam Al-Qur'an, ayat-ayat yang membahas mengenai hubungan manusia dengan Allah lebih sedikit dibandingkan dengan ayat-ayat yang membahas mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia. Hubungan sosial mendapatkan lebih banyak pembahasan di dalam Al-Qur'an dibandingkan dengan ritual ibadah yang merupakan hubungan individu dengan Allah.[23]

Kedudukan hubungan tiap individu manusia dengan Allah adalah setara. Setiap manusia dapat menyampaikan permohonan dan keinginan secara langsung kepada Allah tanpa perantara apapun. Namun hubungan yang lebih dekat dengan Allah dimiliki oleh para nabi dan rasul utusan Allah. Sehingga dalam ajaran Islam tidak ada sistem kependetaan yang menjadi perantara hubungan antara manusia dengan Tuhan.[24]

Pola hubungan[sunting | sunting sumber]

Pola hubungan manusia dalam Islam sepenuhnya diatur oleh Allah. Aturan-aturan ini dinamakan syariat Islam. Tiap aturan yang dibuat oleh Allah memiliki tujuan yang jelas dari segi alasan penetapan maupun hikmah dari penetapannya. Penetapan pola hubungan manusia oleh Allah merupakan bentuk dari kasih sayang Allah sebagai Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang.[25]

Hubungan ketuhanan[sunting | sunting sumber]

Hubungan ketuhanan terbentuk antara manusia dengan Allah melalui pengetahuan terhadap ajaran dan kitab yang diberikan oleh Allah. Kedekatan hubungan terjalin ketika ajaran dari kitab Allah disampaikan kepada manusia lainnya. Hubungan ketuhanan ini dinyatakan dalam Surah Ali Imran ayat 79 dengan kondisi pengajaran oleh manusia yang mengetahui tentang Allah kepada manusia yang sedang mencari pengetahuan tentang Allah serta ajakan hanya untuk menyembah Allah berdasarkan ajaran dari kitab Allah.[26] Dalam hubungan ketuhanan, ajaran Islam bertujuan memberikan manusia keridaan dari Allah melalui pembentukan hubungan baik antara manusia dengan Allah.[26]

Pola hubungan manusia dengan Allah disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 152. Dalam ayat ini, Allah memperlihatkan hubungannya berkaitan dengan nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada manusia. Manusia dilarang untuk meningkari nikmat pemberian Allah serta diperintahkan untuk mengingat dan bersyukur kepada Allah sehingga Allah juga mengingat manusia tersebut.[27]   Ayat pertama pada Surah An-Nisa' juga memberikan gambaran mengenai pola hubungan manusia dengan Allah. Dijelaskan dalam ayat ini bahwa manusia diciptakan dari pribadi yang satu. Lalu Allah kemudian menciptakan untuk pribadi tunggal ini seorang istri baginya. Kemudian dari suami-istri ini lahirlah laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang banyak. Ayat ini berisi perintah kepada manusia untuk tawakal dan bertakwa kepada Allah karena penjagaan dan pengawan-Nya selalu menyertai manusia. Selain itu, ayat ini menyataakan bahwa manusia menjadikan nama Allah sebagai tempat saling meminta di antara manusia. Ayat ini juga berisi perintah dari Allah kepada manusia untuk menjaga hubungan kekeluargaan.[27]

Hubungan penghambaan[sunting | sunting sumber]

Hubungan penghambaan dilakukan oleh manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah. Dalam pola hubungan ini, manusia diwajibkan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Kesadaran akan hubungan penghambaan kemudian mengarahkan hubungan manusia atas dirinya sendiri, kepada masyarakat dan alam sekitarnya. Pengarahan hubungan ini diperoleh melalui pendidikan.[28]

Hubungan kesatuan[sunting | sunting sumber]

Hubungan kesatuan merupakan pola hubungan manusia dengan manusia secara individual dan sosial dalam suatu kesatuan masyarakat. Pada hubungan ini, individu manusia merupakan makhluk individual dan makhluk sosial sekaligus. Dalam Islam, hubungan kesatuan ini berasaskan pada hubungan keluarga yang memiliki kesatuan sebagai umat Islam.[29] Pola hubungan ini dinyatakan dalam Surah Al-Hujurat ayat 13. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan untuk menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa. Keberada suku-suku dan bangsa-bangsa ini dibuat untuk saling mengenal. Dari tujuan ini, Allah menetapkan bahwa manusia yang mulia ialah yang bertakwa kepada perintah Allah.[30]

Hubungan keharmonisan[sunting | sunting sumber]

Hubungan keharmonisan berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia. Keharmonisan merupakan sebuah kecenderungan hubungan antara sesama manusia. Terganggunya hubungan antara sesama manusia hanya terjadi ketika individu manusia melakukan dosa kepada sesama individu manusia. Keharmonisan hubungan antara sesama manusia hanya dapat dikembalikan setelah pelaku dosa menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada individu yang dirugikan karena dosa tersebut.[31]

Lingkup hubungan[sunting | sunting sumber]

Ajaran Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia mulai dari perkara terkecil hingga perkara terbesar. Lingkup pengaturan berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah mulai dari keyakinan hingga tata cara pelaksanaan ibadah. Lalu syariat Islam dan muamalah mengatur hubungan manusia dengan makhluk dimulai dari persoalan individu yang kemudian meluas menjadi persoalan masyarakat hingga negara. Di lain sisi, hubungan manusia diatur dari segi akhlak atau adab pergaulan hingga hal yang paling sederhana sekalipun. Pengaturannya juga meliputi manusia pada usia muda, orang tua hingga masa lanjut usia.[32]

Perwujudan[sunting | sunting sumber]

Ibadah[sunting | sunting sumber]

Sebuah foto yang menampilkan kondisi salat menghadap kiblat di Masjidil Haram pada tahun 1889.

Hubungan manusia dengan Allah diwujudkan dengan ibadah. Perwujudan ini merupakan salah satu peran manusia selain sebagai khalifah. Pada ibadah, perwujuduan hubungan yaitu Allah sebagai yang disembah, sedangkan manusia sebagai penyembah. Posisi penyembah dan yang disembah ini dinyatakan dalam Surah Az-Zariyat ayat 56.[33]

Ibadah dalam ajaran Islam diartikan sebagai perilaku taat kepada segala perintah Allah. Ketaatan ini dilaksanakan dalam aspek keyakinan, sikap, ucapan, maupun tindakan. Ibadah dilaksanakan untuk dua tujuan hubungan, yaitu hubungan dengan Allah sebagai pencipta manusia, dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan dengan Allah melalui ibadah dinamakan ibadah khusus. Sementara ibadah berkaitan dengan sesama manusia termasuk kajian muamalah.[34]

Salat merupakan salah satu cara manusia dalam membentuk hubungan baik dengan Allah. Hubungan manusia dalam salat sebagai hamba Allah. Melalui salat, tujuan hubungan yang diharapkan tercapai ialah pencegahan manusia dari perbuatan keji dan mungkar yang berasal dari potensi kejahatan dalam diri manusia.[35]

Dampak hubungan[sunting | sunting sumber]

Sebuah animasi yang menampilkan otak kiri (biru) dan otak kanan (merah muda) pada tengkorak manusia. Keduanya merupakan pembeda dalam kecerdasan manusia.

Kecerdasan manusia[sunting | sunting sumber]

Hubungan antara Allah dengan manusia telah memberikan kesehatan dan kesejahteraan jiwa bagi manusia. Jiwa manusia memiliki fitrah berbuat kebaikan dan kesantunan, serta memiliki potensi kecerdasan spriritual. Kepemilikan ini pada jiwa manusia merupakan pemberian dari Allah. Kecerdasan spriritual inilah yang kemudian mengelola potensi kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan otak kiri dan kecerdasan otak kanan. Pengelolaan kecerdasan otak kiri menghasilkan potensi kognitif, sedangkan kecerdasan otak kanan menghasilkan potensi afektif. Otak kiri menghasilkan pemikiran rasional yang disertai dengan pemahaman serta memberikan segala hal yang diperlukan untuk mengelola secara baik atas kecerdasan intlektual. Lalu otak kanan menghasilkan perasaan, kekuatan nurani, dan motivasi kemanusiaan yang dapat dikelola secara bijak dan selaras berkaitan dengan kecerdasan emosional.[36]

Kehinaan dan kesengsaraan[sunting | sunting sumber]

Penjagaan hubungan vertikal antara Allah dan manusia melalui ibadah, serta hubungan horizontal antara sesama manusia dengan kasih sayang, akan menghindarkan manusia dari kehinaan dan kesengsaraan. Hal ini dinyatakan dalam Surah Ali Imran ayat 112.[37]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Umar dan Ismail 2020, hlm. 14.
  2. ^ Syafaruddin, dkk. (Agustus 2017). Susanti, Eka, ed. Ilmu Pendidikan Islam: Melejitkan Potensi Budaya Umat (PDF). Jakarta: Hijri Pustaka Utama. hlm. 2. ISBN 979-25-9553-8. 
  3. ^ Muljawan, dkk. 2020, hlm. 1.
  4. ^ Muljawan, dkk. 2020, hlm. 3.
  5. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 108-109.
  6. ^ a b Rohidin 2020, hlm. 183.
  7. ^ LPMAQ dan LIPI 2016, hlm. XVIII.
  8. ^ Yani 2014, hlm. 17.
  9. ^ Yani 2014, hlm. 18-19.
  10. ^ a b c Umar dan Ismail 2020, hlm. 5.
  11. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 107.
  12. ^ Rohidin 2020, hlm. 101.
  13. ^ Ridhahani 2021, hlm. 93.
  14. ^ Ridhahani 2021, hlm. 92.
  15. ^ Imawan 2020, hlm. 2.
  16. ^ a b LPMAQ dan LIPI 2016, hlm. 151.
  17. ^ a b Rohidin 2020, hlm. 101-102.
  18. ^ Ridhahani 2021, hlm. 98.
  19. ^ a b Rohidin 2020, hlm. 102.
  20. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 126.
  21. ^ Junus 2013, hlm. 94.
  22. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 105-106.
  23. ^ Rohidin 2020, hlm. 195-196.
  24. ^ Rohidin 2020, hlm. 124.
  25. ^ Sudrajat, dkk. 2016, hlm. 140.
  26. ^ a b Imawan 2020, hlm. 4.
  27. ^ a b Rohidin 2020, hlm. 230.
  28. ^ Masdudi 2014, hlm. 14.
  29. ^ Masdudi 2014, hlm. 17.
  30. ^ Masdudi 2014, hlm. 17-18.
  31. ^ Machendrawaty, N., dkk. (September 2001). Cuanda, Cucu, ed. Pengembangan Masyarakat Islam: Dari Ideologi, Strategi, sampaiTradisi (PDF). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 287. ISBN 979-692-136-7. 
  32. ^ Imawan 2020, hlm. 10-11.
  33. ^ Sudrajat, dkk. 2016, hlm. 139.
  34. ^ Santoso, Ivan Rahmat (September 2016). Ekonomi Islam (PDF). Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo Press. hlm. 4. ISBN 978-602-6204-05-9. 
  35. ^ Ridhahani 2021, hlm. 95.
  36. ^ Junus 2013, hlm. 61-62.
  37. ^ Junus 2013, hlm. 69-70.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]