Hubungan baik dengan Allah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hubungan baik dengan Allah adalah konsep hubungan baik antara manusia dengan Allah dalam ajaran Islam. Dalil untuk membentuk hubungan baik oleh manusia kepada Allah ialah Surah An-Nisa' ayat 36. Hubungan baik manusia kepada Allah berfungsi untuk memenuhi tujuan penciptaan manusia yaitu ibadah hanya kepada Allah. Pengaturan hubungan baik dengan Allah dibahas dalam syariat Islam melalui Al-Qur'an dan hadis. Perwujudan hubungan baik dengan Allah tampak pada akhlak yang dimiliki oleh individu manusia.

Allah telah menetapkan hikmah dari penetapan hubungan baik manusia kepada-Nya. Tiap individu manusia memiliki kedudukan yang setara dalam hubungannya dengan Allah. Bentuk hubungan baik dengan Allah ada dua yaitu hubungan ketuhanan dan hubungan penghambaan. Hubungan ini dinyatakan dalam surah-surah dalam Al-Qur'an terutama Surah Al-Fatihah, Surah Al-Baqarah, Surah Ali Imran dan Surah An-Nisa'.

Dalil[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an adalah sumber aturan hubungan baik dengan Allah

Hubungan baik dengan Allah merupakan salah satu jenis hubungan yang dimiliki oleh seorang muslim. Kedudukannya sama dengan hubungan baik dengan manusia. Kedua jenis hubungan ini diisyaratkan dalam Surah An-Nisa' ayat 36. Dalam ayat ini, hubungan baik dengan Allah disebutkan terlebih dahulu melalui perintah penyembahan hanya kepada Allah dan larangan menyembah selain-Nya. Lalu dilanjutkan dengan hubungan baik dengan sesama manusia yang meliputi orang tua, kerabat, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Akhir hayat ini mengisyaratkan hubungan baik dengan Allah dengan tidak menyombongkan dan membanggakan diri dengan sesama manusia.[1]

Fungsi[sunting | sunting sumber]

Hubungan baik kepada Allah merupakan salah satu hubungan untuk memenuhi tujuan penciptaan manusia. Tujuan ini ialah beribadah kepada Allah. Hubungan baik kepada Allah ini merupakan bentuk keseimbangan antara urusan manusia di dunia dan urusan manusia di akhirat. Allah memerintahkan manusia untuk tidak sekadar beribadah pada Surah Az-Zariyat ayat 56. Tujuannya agat tiap kegiatan manusia memiliki nilai ibadah di sisi Allah.[2]

Pengaturan[sunting | sunting sumber]

Program zakat, bagian dari ibadah khusus dalam Islam.

Hubungan antara manusia dengan Allah diatur dalam ibadah.[3] Pengaturan hubungan ini masuk dalam ketentuan syariat Islam.[4] Petunjuk atas ketentuan-ketentuannya disebutkan di dalam Al-Qur'an.[5] Setelah itu, perincian hubungan baik dengan Allah dinyatakan lagi dalam kitab-kitab hadis yang berasal dari Muhammad dalam perannya sebagai rasul utusan Allah.[6]

Dalam syariat Islam, manusia berhubungan dengan Allah secara vertikal.[7] Manusia menjadi yang wajib melaksanakan ibadah kepada Allah.[3] Ibadah-ibadah kepada Allah dinamakan ibadah khusus dan terdiri antara lain salat, puasa, zakat dan haji. Penamaannya sebagai ibadah khusus karena tata cara pelaksanaannya telah ditetapkan secara pasti oleh Allah dan telah diberikan contoh secara terperinci oleh Muhammad sebagai nabi utusan Allah dalam Islam.[8]

Perwujudan[sunting | sunting sumber]

Perwujudan hubungan antara Allah dengan manusia dilihat pada akhlak manusia. Akhlak pada dasarnya merupakan sebuah media untuk komunikasi antara Allah dengan manusia dalam hubungannya sebagai pencipta dan yang diciptakan. Perwujudan ini terjadi ketika komunikasi antara manusia dengan Allah telah berlangsung secara timbal balik.[9]

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Beberapa individu manusia yang sedang salat sebagai bentuk hubungan baik kepada Allah

Allah telah mengatur hubungan manusia dengan-Nya melalui syariat Islam. Tujuan yang jelas telah ditetapkan oleh Allah atas tiap aturan yang dibuat oleh-Nya. Kejelasan ini berlaku terhadap penetapan maupun hikmah dari penetapannya. Allah menetapkan pola hubungan manusia dengan-Nya sebagai bentuk dari kasih sayang Allah dalam kedudukannya sebagai Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang.[10]

Tiap individu manusia memiliki kedudukan yang setara dalam pengadaan hubungan baik dengan Allah. Permohonan dan doa kepada Allah oleh tiap individu manusia dapat dilakukan tanpa perantaraan apapun. Karena itu, dalam ajaran Islam tidak dikenal sistem kependetaan. Namun para nabi dan rasul memiliki keterikatan hubungan baik dengan Allah lebih dekat dibandingkan dengan individu manusia lainnya.[11]

Hubungan ketuhanan[sunting | sunting sumber]

Pembagian juz dalam Al-Qur'an. Hubungan ketuhanan dibahas dalam empat surah pertama, yaitu Surah Al-Fatihah, Surah Al-Baqarah, Surah Ali Imran dan Surah An-Nisa'.

Hubungan baik dengan Allah oleh manusi bersifat ketuhanan ketika disertai dengan pengetahuan terhadap ajaran dan kitab yang diberikan oleh Allah. Penyampaian hubungan ini mencapai sifat kedekatan hubungan ketika disampaikan pula kepada manusia lainnya. Surah Ali Imran ayat 79 menjelaskan mengenai hubungan baik dengan Allah dalam konteks hubungan ketuhanan. Ayat ini menjelaskan bahwa manusia yang mengetahui tentang Allah dan mengajarkan pengetahuannya kepada manusia lainnya yang sedang mencari pengetahuan tentang Allah sambil mengajaknya hanya untuk menyembah Allah berdasarkan ajaran dari kitab Allah, maka ia telah membentuk hubungan baik dengan Allah.[12] Ajaran Islam dalam konteks hubungan ketuhanan bertujuan untuk memberikan keridaan dari Allah kepada manusia yang dilandasi oleh pembentukan hubungan baik antara manusia dengan Allah.[12]

Pola hubungan baik dengan Allah juga digambarkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 152. Dalam ayat ini, Allah memberikan nikmat kepada manusia sebagai tanda hubungan-Nya dengan manusia. Karena nikmat ini, Allah melarang manusia untuk mengingkari pemberian-Nya. Selain itu, manusia diperintahkan untuk mengingat dan bersyukur kepada Allah. Hubungan timbal balik terbentuk ketika Allah juga mengingat manusia yang mengingat dan bersyukur kepada-Nya.[13]  

Hubungan baik dengan Allah juga digambarkan pada ayat pertama dalam Surah An-Nisa'. Ayat ini menyatakan bahwa manusia diciptakan dari pribadi yang tunggal. Lalu Allah kemudian menciptakan pasangan yang disebut istri bagi pribadi yang tunggal. Dari pasangan ini kemudian lahirlah banyak laki-laki dan perempuan. Setelah itu, manusia diperintahkan untuk tawakal dan bertakwa kepada Allah. Perintah ini karena Allah selalu memberikan penjagaan dan pengawasann-Nya kepada manusia. Alasan lain atas perintah ini ialah karena nama Allah selalu dijadikan sebagai tempat meminta di antara para manusia. Di akhir ayat ini, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga hubungan kekeluargaan.[13]

Hubungan penghambaan[sunting | sunting sumber]

Hubungan penghambaan berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Manusia dalam hubungan ini diwajibkan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Dalam penghambaan kepada Allah, kesadaran akan hubungan lain muncul dari diri manusia terhadap dirinya sendiri, dari diri individu kepada masyarakat serta dari individu kepada alam sekitarnya. Kesadaran ini dapat terjadi setelah terjadi proses pendidikan.[14]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Yani, Ahmad (2014). 170 Materi Dakwah Pilihan. hlm. 17. 
  2. ^ Rohidin 2020, hlm. 102.
  3. ^ a b Bakhtiar 2018, hlm. 107.
  4. ^ Muljawan, D., dkk. (2020). Buku Pengayaan Pembelajaran Ekonomi Syariah untuk Sekolah Menengah Atas Kelas X (PDF). Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah, Bank Indonesia. hlm. 1. 
  5. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2016). Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains (PDF). Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. hlm. XVIII. ISBN 978-602-976-532-8. 
  6. ^ Rohidin 2020, hlm. 183.
  7. ^ Umar, M., dan Ismail, F. (2020). Buku Ajar Pendidikan Agama Islam: Konsep Dasar bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Umum. Banyumas: Penerbit CV. Pena Persada. hlm. 5. doi:10.17605/OSF.IO/GTZ94. ISBN 978-623-6504-06-2. 
  8. ^ Rohidin 2020, hlm. 101.
  9. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 126.
  10. ^ Sudrajat, A., dkk. (2016). Dinul Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PDF). Yogyakarta: UNY Press. hlm. 140. ISBN 978-602-7981-95-9. 
  11. ^ Rohidin 2020, hlm. 124.
  12. ^ a b Imawan 2020, hlm. 4.
  13. ^ a b Rohidin 2020, hlm. 230.
  14. ^ Masdudi 2014, hlm. 14.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]