Lompat ke isi

Heraldika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Senarai Hyghalmen buatan Jerman dari akhir abad ke-15 memperlihatkan kebiasaan orang-orang Jerman untuk menampilkan pula corak lambang pada jambul

Heraldika adalah bidang ilmu yang berkaitan dengan rancangan, tampilan, dan pengkajian lambang kebesaran maupun bidang-bidang ilmu terkait lambang kebesaran semisal veksilologi, serta pengkajian upacara, derajat kebangsawanan, dan silsilah keturunan.[1][2] Armorum, cabang heraldika yang paling terkenal, mempelajari rancangan dan pewarisan kelengkapan heraldis. Lambang kebesaran lengkap biasanya terdiri atas lambang kebesaran yang terpampang pada tameng, ketopong, dan jambul, beserta unsur-unsur pelengkap seperti penopang, lencana, panji-panji, dan semboyan.[3]

Meskipun pemakaian berbagai macam tanda untuk merepresentasikan seseorang atau sekelompok orang sudah muncul sejak Abad Kuno, baik bentuk maupun tata guna tanda-tanda tersebut sangatlah beragam, sebab konsep tentang rancangan yang berkaidah dan diwariskan turun-temurun, yang merupakan unsur khas dari heraldika, baru muncul pada Abad Pertengahan Madya.[4] Sering kali dikemukakan bahwa pemakaian ketopong yang dilengkapi tameng muka pada Abad Pertengahan Madya membuat para prajurit kesulitan mengenali panglimanya di medan perang bilamana pasukan-pasukan besar berkumpul dalam jangka waktu yang lama, sehingga muncul kebutuhan akan heraldika sebagai suatu bahasa simbolis, tetapi hanya segelintir pihak yang mendukung pandangan ini.[4][5]

Lantaran dipandang elok dan mentereng, rancangan-rancangan heraldis sanggup menyintasi ketersingkiran berangsur lambang kebesaran dari medan perang pada abad ke-17. Heraldika telah disifatkan secara puitis sebagai "khadimah sejarah",[6] "tulisan cepat sejarah",[7] dan "bunga pemagar taman sejarah".[8] Pada zaman modern, orang-orang pribadi, organisasi-organisasi pemerintah maupun swasta, badan-badan usaha, kotaraya, kotapraja, daerah, dan berbagai entitas lain menggunakan heraldika dan kaidah-kaidahnya untuk melambangkan warisan, capaian, maupun cita-cita mereka.[9]

Pendahulu

[sunting | sunting sumber]

Selama ribuan tahun, pelbagai macam tanda sudah dipakai untuk merepresentasikan seseorang atau sekelompok orang. Representasi tertua tokoh-tokoh dan daerah-daerah tertentu di ranah seni rupa Mesir Kuno memperlihatkan penggunaan panji-panji bergambar sosok atau lambang dewa-dewi, dan emblem-emblem berterakan nama raja yang disebut serekh, representasi dari istana raja tersebut, dan biasanya bermustaka seekor alap-alap yang merepresentasikan Horus, dewa yang dipercaya telah menjelma ke dunia sebagai raja yang namanya tertera pada serekh. Emblem-emblem dan unsur-unsur serupa ditemukan pada karya-karya seni rupa Mesopotamia Kuno dari kurun waktu yang sama. Pada karya-karya seni rupa tersebut, dapat ditemukan pula pendahulu dari margasatwa heraldis seperti grifon.[4] Di dalam Alkitab, Kitab Bilangan menyinggung keberadaan panji-panji dan duaja Bani Israel. Di bawah emblem-emblem tersebut, Bani Israel diperintahkan untuk berhimpun dan menyatakan silsilah keturunannya.[10] Para sastrawan Yunani dan Latin berulang kali menjabarkan perisai-perisai dan lambang-lambang para pahlawan,[11] dan kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata Romawi kadang-kadang diidentifikasi dengan tanda-tanda khusus pada perisai mereka.[12] Sekurang-kurangnya satu benda prasejarah Eropa, yakni cakram langit Nebra, juga diduga sebagai salah satu pendahulu heraldis.[13]

Sampai dengan abad ke-19, sudah menjadi hal yang lumrah bagi para sastrawan heraldika untuk mengetengahkan contoh-contoh semacam itu, dan lambang-lambang kiasan semisal "Singa Yehuda" atau "Rajawali Kaisar", sebagai bukti kekunoan heraldika itu sendiri; dan menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh besar sejarah kuno menyandang lambang kebesaran yang merepresentasikan kemuliaan status dan nasab mereka. Kitab Santo Albanus yang disusun pada tahun 1486 menyatakan bahwa Kristus sendiri adalah seorang tokoh besar yang memiliki lambang kebesaran.[14] Pernyataan-pernyataan tersebut dewasa ini dianggap sebagai khayalan para abyantara Abad Pertengahan, sebab tidak ada bukti bahwa pada masa itu sudah ada suatu bahasa simbolis khusus yang setara dengan bahasa simbolis heraldika; demikian pula banyak perisai yang dijabarkan pada Abad Kuno tidak memiliki kemiripan dengan perisai-perisai heraldika Abad Pertengahan; dan tidak ada bukti adanya lambang-lambang atau rancangan-rancangan khusus yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang merepresentasikan orang atau garis keturunan tertentu.[15]

Para abyantara Abad Pertengahan juga merekayasa lambang kebesaran bagi banyak kesatria dan penguasa dalam sejarah dan kesusastraan, misalnya menisbatkan lambang katak puru kepada Faramundus, lambang salib dan sriti kepada Edwardus Pengaku Iman, dan sekian banyak lambang yang dinisbatkan kepada Sembilan Sadu Perdana dan para Kesatria Meja Bundar. Lambang-lambang itu pun dianggap sebagai rekaan muluk belaka, alih-alih sebagai bukti kekunoan heraldika.

Asal-usul heraldika modern

[sunting | sunting sumber]
Karya seni kriya email pada hiasan pusara Galfridus Plantagenet, Bupati Anjou, salah satu penggambaran tertua dari heraldika modern

Perkembangan bahasa heraldis modern tidak dapat dinisbatkan kepada satu orang, satu waktu, maupun satu tempat saja. Meskipun rancangan-rancangan tertentu yang kini dianggap heraldis terbukti dipakai pada abad ke-11, kebanyakan catatan dan gambar perisai sampai dengan permulaan abad ke-12 hanya mengandung sekidit atau sama sekali tidak mengandung bukti dari sifat heraldisnya. Sebagai contoh, Dewangga Bayeux, yang menggambarkan invasi orang Norman ke Inggris pada tahun 1066, dan kemungkinan besar dikerjakan pada tahun 1077, bertepatan dengan pembangunan kembali katedral Bayeux,[i] memuat gambar sejumlah perisai dengan bentuk dan rancangan yang beragam, banyak yang polos, tetapi selebihnya dihiasi gambar naga, salib, maupun gambar-gambar heraldis lainnya. Meskipun demikian, tak satu pun tokoh yang ditampilkan dua kali dengan lambang yang sama, dan tak seorang pun keturunan dari tokoh-tokoh itu yang diketahui pernah menyandang perlengkapan perang yang serupa dengan yang tergambar pada Dewangga Bayeux.[16][17]

Sebuah catatan mengenai kesatria-kesatria Prancis di istana Kaisar Romawi Timur Aleksius Komnenus pada permulaan abad ke-12 juga menyebutkan bahwa perisai-perisai mereka terbuat dari logam yang diupam, tanpa rancangan heraldis. Sebuah naskah Spanyol dari tahun 1109 menyebut-nyebut keberadaan perisai-perisai polos maupun perisai-perisai yang dihias, tetapi tak satu pun yang tampaknya bersifat heraldis.[18] Biara Santo Dionisius pernah memiliki sebuah daun jendela kaca patri yang dibuat untuk mengenang keberangkatan para kesatria aswasada ke medan Perang Salib II pada tahun 1147, dan kemungkinan besar dikerjakan tidak lama sesudah peristiwanya terjadi; tetapi ilustrasi yang dibuat Bernard de Montfaucon sebelum daun jendela itu hancur tidak memperlihatkan satu pun rancangan heraldis pada perisai para kesatria.[17][19]

Sejak ditaklukkan orang Norman, dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan di Inggris wajib dimeteraikan. Pada abad ke-12, meterai-meterai mulai memiliki ciri heraldis yang jelas; sejumlah meterai dari kurun waktu tahun 1135 hingga 1155 menampakkan adopsi unsur-unsur heraldis di Inggris, Jerman, Spanyol, dan Italia.[20] Salah satu contoh yang menonjol dari meterai heraldis perdana adalah meterai pada selembar piagam yang dikeluarkan Filipus I, Bupati Flandria, pada tahun 1164. Meterai-meterai dari penghujung abad ke-11 dan permulaan abad ke-12 tidak menampakkan bukti simbolisme heraldis, tetapi menjelang akhir abad ke-12, semua meterai sudah bersifat heraldis.[18][21]

Salah satu contoh tertua pemakaian lambang kebesaran yang berasal dari zaman munculnya amalan tersebut terdapat pada hiasan pusara Galfridus Plantagenet, Bupati Anjou, yang mangkat pada tahun 1151.[22] Hiasan pusara berupa karya seni kriya email yang dikerjakan atas perintah janda Galfridus antara tahun 1155 hingga 1160 itu menggambarkan sang bupati menenteng perisai biru yang dihiasi enam gambar singa kencana menerkam.[ii] Galfridus tampak mengenakan ketopong biru bergambar seekor singa, dan mantel berlapis bulu bajing. Sebuah babad Abad Pertengahan menyebutkan bahwa Galfridus diserahi perisai dengan ciri-ciri tersebut pada saat dilantik menjadi kesatria aswasada oleh mertuanya, Raja Henrikus I, pada tahun 1128; tetapi kemungkinan besar catatan ini berasal dari sekitar tahun 1175.[23][24]

Para sastrawan heraldika terdahulu menisbatkan lambang-lambang singa Inggris kepada Gulielmus Penakluk, tetapi bukti tertua pengaitan lambang singa dengan kepala negara Inggris adalah meterai bergambar dua ekor singa melimbai, yang digunakan oleh bakal Raja Yohanes pada masa pemerintahan ayahnya, Raja Henrikus II, yang mangkat pada tahun 1189.[25][26] Karena Raja Henrikus II adalah anak Galfridus Plantagenet, rasanya masuk akal kalau orang menduga bahwa adopsi lambang singa menjadi emblem heraldis oleh Henrikus atau anak-anaknya terinspirasi dari perisai Galfridus. Kakak Yohanes, Raja Rikardus Hati Singa, yang naik takhta menggantikan mendiang ayahnya, diyakini sebagai orang pertama yang menyandang lambang tiga ekor singa melimbai-berawas, yang masih menjadi unsur lambang negara Inggris saat ini. Sebelum itu, Rikardus menyandang lambang dua ekor singa menerkam-berlaga, yang mungkin adalah lambang peninggalan mendiang ayahnya.[27] Rikardus juga diyakini sebagai pencipta jambul singa berpijak (sekarang singa berpijak-berawas).[26][28]

Asal-usul heraldika adakalanya dihubung-hubungkan dengan Perang Salib, serangkaian kampanye militer yang dilancarkan oleh angkatan-angkatan perang Kristen dari tahun 1096 hingga 1487 demi merebut kembali Yerusalem dan daerah-daerah Romawi Timur yang dirampas pasukan Muslim pada abad ke-7. Meskipun tidak ada bukti bahwa seni heraldika muncul dari Perang Salib, tidak ada alasan untuk meragukan bahwa berhimpunnya pasukan-pasukan besar dari seluruh penjuru Eropa untuk berjuang bersama-sama akan memicu adopsi lambang pada perlengkapan perang sebagai sarana bagi para prajurit untuk mengenali panglimanya di medan perang, maupun bahwa keadaan tersebut turut berjasa menyebarluaskan asas-asas lambang kebesaran ke seantero Eropa. Sekurang-kurangnya ada dua tampilan khusus heraldika yang diakui secara luas sebagai ciptaan tentara salib, yaitu surkot dan tengkuluk. Surkot adalah sejenis pakaian luar yang dikenakan menutupi baju besi zirah untuk melindungi si pemakai dari terik matahari. Surkot kerap dihiasi lambang-lambang yang sama dengan yang terpampang pada perisai.[29] Di ranah heraldika modern, tengkuluk adalah kain yang menjuntai dari ketopong dan membingkai perisai. Unsur tengkuluk pada lambang kebesaran berasal dari kebiasaan para kesatria untuk menudungi ketopong dan punggung semasa Perang Salib. Sama seperti surkot, tengkuluk juga berfungsi melindungi pemakainya dari terik matahari. Pinggirannya yang bercarik-carik atau berkeluk-keluk, dan yang dewasa ini digambarkan mengembang dan berkibar-kibar tertiup angin, diduga terilhami oleh bentuk tengkuluk yang sudah usang lantaran terlalu sering dikenakan di medan perang, atau lantaran dipakai meredam tetakan pedang, dan mungkin juga untuk membuat senjata penyerang tersangkut.[30]

Abyantara dan pihak berwenang di bidang heraldika

[sunting | sunting sumber]

Meluasnya kebiasan menaruh lambang pada perlengkapan perang ke seantero Eropa memunculkan bidang pekerjaan baru, yaitu abyantara. Mula-mula abyantara adalah caraka-caraka yang mengabdi kepada para bangsawan, dan dibebani tanggung jawab untuk mempelajari serta menguasai pengetahuan tentang seluk-beluk pangkat, silsilah keturunan, lambang-lambang para kesatria dan pembesar, maupun kaidah-kaidah yang mengatur rancangan dan penjabaran lambang kebesaran, serta derajat penyandangnya.[31] Seawal-awalnya menjelang akhir abad ke-13, beberapa abyantara di istana kerajaan diberi gelar "manggala abyantara", yang kemudian hari berubah menjadi "manggala lambang."[31]

Dua orang cantrik mengenakan tabardus, Puri Windsor, tahun 2006

Mulanya lambang kebesaran disandang tanpa perlu izin dari lembaga tertentu. Namun pada pertengahan abad ke-14, ketentuan satu lambang untuk satu orang sudah menjadi asas yang berterima umum, dan sengketa-sengketa terkait kepemilikan lambang tampaknya menuntun kepada pembentukan berangsur lembaga-lembaga yang berwenang di bidang heraldika untuk meregulasi pemakaian lambang. Risalah yurisprudensi heraldis tertua, De Insigniis et Armis, disusun sekitar tahun 1350 oleh Bartolus de Saxoferrato, seorang profesor ilmu hukum di Universitas Padova.[32][33] Perkara sengketa lambang kebesaran yang paling terkenal di Inggris adalah sengketa Scrope lawan Grosvenor (tahun 1390), yakni persengketaan dua orang yang sama-sama mengaku berhak menyandang lambang kebesaran latar nila selempang kencana.[34] Peningkatan jumlah lambang kebesaran dan jumlah sengketa antarpihak penyandang lambang yang sama mendorong Raja Henrikus V untuk mengeluarkan maklumat pada tahun 1419, yang melarang semua orang yang tidak memampangkan lambang pada perisai dalam Pertempuran Agincourt untuk menyandang lambang kebesaran, kecuali lambang kebesaran yang diterimanya sebagai warisan leluhur atau anugerah raja.[34][35]

Mulai dari masa pemerintahan Raja Henrikus VIII, para manggala lambang di Inggris diperintahkan untuk melakukan lawatan, yakni safari keliling negeri untuk mendaftarkan lambang-lambang kebesaran yang disandang secara sah, dan mewajibkan orang-orang yang menyandang lambang kebesaran secara tidak sah untuk mengurus perizinannya atau berhenti menyandang lambang kebesarannya. Lambang-lambang kebesaran yang disandang secara tidak sah harus diturunkan dan dihapuskan. Lawatan semacam itu pertama kali dilaksanakan pada tahun 1530, dan terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1700, sekalipun tidak dikeluarkan perintah kerja baru untuk melakukan lawatan sejak Raja Gulielmus III naik takhta pada tahun 1689.[34][36] Hanya ada sedikit bukti lawatan abyantara Skotlandia.

Pada tahun 1484, masa pemerintahan Raja Rikardus III, para abyantara di istana kerajaan disatukan dalam Kolegium Lambang Kebesaran. Dari lembaga inilah keluar semua anugerah lambang kebesaran baru.[37][38] Kolegium Lambang Kebesaran saat ini dianggotai tiga orang manggala, dibantu enam orang abyantara, dan empat orang cantrik atau mantri muda, semuanya berada di bawah kewenangan Earl Marshal; tetapi semua lambang kebesaran yang dikeluarkan oleh kolegium ini merupakan anugerah dari kepala negara.[39] Di Skotlandia, Mahkamah Manggala lambang Lord Lyon merupakan lembaga yang memantau heraldika, dan menggelar sidang-sidang pengadilan yang merupakan bagian resmi dari sistem peradilan Skotlandia.

Di negara-negara monarki lainnya dan di beberapa negara anggota Persemakmuran Bangsa-Bangsa terdapat lembaga-lembaga serupa yang mengatur penganugerahan lambang kebesaran, tetapi di negara-negara dunia selebihnya tidak ada lembaga yang berwenang di bidang heraldika, dan tidak ada hukum yang mencegah seseorang untuk menyandang lambang apapun sekehendak hatinya, asalkan tidak mencerobohi lambang pihak lain.[38]

Penggunaan dan perkembangan di kemudian hari

[sunting | sunting sumber]

Meskipun terlahir dari kebutuhan di bidang militer, heraldika segera mendapatkan tempat di ajang turnoi yang megah. Kesempatan bagi para kesatria dan pembesar untuk memamerkan lambang kebesaran mereka di ajang kompetisi memunculkan kegiatan-kegiatan yang semakin menyempurnakan heraldika, misalnya rekacipta ketopong-ketopong turnoi yang rumit bentuknya, dan semakin memasyarakatkan seni heraldika ke seluruh Eropa. Tokoh-tokoh borjuis, badan-badan usaha, kotaraya, dan kotapraja mulai menciptakan atau berusaha mendapatkan anugerah lambang kebesaran, didasari keterkaitan dengan bidang militer yang hanya bersifat nominal.[40] lambang-lambang heraldis dihadirkan dalam beragam konteks, misalnya sebagai karya seni keagamaan dan pemakaman, dan dalam beragam media, antara lain ukiran batu, ukiran kayu, email, kaca patri, dan sulam-sulaman.[41]

Kemunculan senjata api membuat kesatria aswasada kian lama kian tidak relevan pada abad ke-16 dan ke-17, turnoi pun menghilang dari panggung sejarah, dan ciri militer heraldika tergantikan oleh penggunaannya sebagai karya seni dekoratif. Lantaran tidak lagi dibelenggu batas-batas permukaan perisai yang sesungguhnya dan keharusan untuk membuat lambang yang mudah dibedakan dari lambang lain di tengah pertempuran, para seniman heraldika pun menciptakan lambang-lambang kebesaran yang kian lama kian rumit, hingga mencapai puncaknya pada penciptaan "heraldika pemandangan", yang mengikutsertakan gambar-gambar pemandangan realistis, pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Heraldika pemandangan menghilang pada pertengahan abad ke-19, ketika kembali tumbuh minat terhadap sejarah lambang kebesaran, yang menuntun kepada evaluasi ulang rancangan-rancangan sebelumnya, dan apresiasi yang baru terhadap awal kemunculan seni reka lambang pada Abad Pertengahan.[42][43] Pada khususnya, citra heraldis belakangan dipergunakan dalam peringatan-peringatan kepahlawanan dan propaganda nasionalistis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.[44][45][46] Sejak akhir abad ke-19, heraldika berfokus pada penggunaan bermacam-macam garis pembatas dan prasaja yang jarang dipakai untuk menghasilkan rancangan-rancangan baru dan unik.[47]

Kelengkapan

[sunting | sunting sumber]

Unsur-unsur lambang kebesaran

[sunting | sunting sumber]

Lambang kebesaran lengkap terdiri atas tameng bergambar lambang kebesaran, beserta semua unsur pelengkap seperti jambul, penopang, dan lain-lain. Istilah "lambang kebesaran" secara teknis mengacu kepada tanda yang terpampang pada tameng, tetapi frasa itu sudah lumrah dipakai untuk menyebut keseluruhan sebuah lambang kebesaran lengkap. Satu-satunya unsur yang tak tergantikan dari sebuah lambang kebesaran adalah tameng; banyak lambang kebesaran kuno yang hanya berunsurkan tameng, tetapi tidak ada lambang kebesaran lengkap tanpa gambar tanda pada tameng.[48]

Sejak semula, gambar-gambar lambang kebesaran acap kali ditambahi gambar ketopong yang ditempatkan di atas tameng. Gambar ketopong kemudian hari diperindah dengan jambul berbentuk kipas atau arca, yang kerap dimuati unsur-unsur yang terpampang pada tameng; maupun dengan bumban atau bulang hulu, atau kadang-kadang dengan jamang, tempat tengkuluk menjuntai keluar. Pada unsur-unsur tersebut, heraldika modern acap kali menambahkan kalimat semboyan pada seutas pita, dan biasanya ditempatkan di bawah tameng. Ketopong merupakan unsur yang ditampilkan atas dasar hak menyandang lambang, dan bukan unsur yang didadpatkan sebagai anugerah; ketopong boleh ditampilkan oleh siapapun yang berhak menyandang lambang tanpa perlu pengesahan dari pihak berwenang, demikian pula tengkuluk dan semboyan. Sebaliknya jambul dan bulang hulu atau jamang, tempat tengkuluk menjuntai keluar, harus didapatkan sebagai anugerah atau disahkan oleh pihak berwenang.[48]

Jika penyandang lambang adalah orang yang berhak mengenakan pita lencana, kalung lencana, atau lencana sebuah tarekat aswasada, maka benda-benda tersebut dapat ditampilkan mengelilingi atau menjuntai keluar dari tameng. Beberapa lambang kebesaran, khususnya lambang kebesaran kaum bangsawan, diperindah lagi dengan penopang, yakni makhluk heraldis yang berdiri sejajar atau di belakang tameng. Lambang kebesaran yang berpenopang sering kali tegak di atas lapik, yang biasanya berupa gundukan tanah berumput. Di atas lapik, dapat pula dipajang lencana-lencana, lambang-lambang, maupun panji-panji heraldis. Lambang kebesaran lengkap yang paling rumit adakalanya menampilkan keseluruhan lambang di bawah naungan ceteri, yakni semacam tenda atau rungkup yang erat kaitannya dengan turnoi,[48] tetapi ceteri jarang sekali dijumpai pada lambang-lambang kebesaran di Inggris dan Skotlandia.

Unsur utama pada lambang kebesaran lengkap adalah tameng atau perisai, tempat lambang kebesaran terpampang.[iii] Semua unsur lain dari lambang kebesaran lengkap dirancang untuk membuat lambang kebesaran semakin indah dan sempurna, tetapi hanya tameng yang penting.[49][50][51] Sebagaimana bentuk unsur-unsur lainnya, bentuk tameng ditentukan oleh seniman heraldis,[iv] dan ada berbagai macam bentuk tameng yang digunakan pada berbagai babak dalam perjalanan sejarah rancangan heraldis di berbagai tempat di Eropa.[49][56][57][58]

Biasanya cuma satu bentuk tameng yang dipakai secara khusus untuk maksud tertentu. Tameng wajik secara tradisional dipakai pada lambang kebesaran kaum hawa, sebab perisai adalah perlengkapan perang, sehingga tidak pantas dijadikan tempat memampang lambang kebesaran kaum hawa.[49][59][60] Kaidah ini tidak diikuti secara ketat, dan biasanya ada pengecualian bagi kepala negara perempuan, lantaran lambang kebesarannya merepresentasikan segenap bangsa. Kadang-kadang tameng runjung dipakai sebagai ganti tameng wajik. Tameng runjung juga digunakan secara luas sebagai tempat memampang lambang kebesaran rohaniwan di ranah heraldika Prancis, Spanyol, dan Italia, sekalipun tidak pernah ditetapkan sebagai bentuk tameng khusus bagi kaum rohaniwan.[49][57] Akhir-akhir ini, pemakaian tameng runjung pada lambang kebesaran kaum hawa sudah menjadi sesuatu yang umum di ranah heraldika Skotlandia, kendati pihak berwenang di Skotlandia dan Irlandia telah mengizinkan pemakaian bentuk perisai tradisional dalam situasi khusus. Di ranah heraldika Kanada, tameng runjung kini dianugerahkan secara teratur.[61]

Seluruh permukaan tameng disebut latar. Latar bisa saja polos, hanya dipulas satu macam warna, atau dibagi menjadi beberapa bagian dengan warna-warna yang beralainan. Setiap bagian latar dapat pula ditebari bubuhan-bubuhan kecil.[62] Tepi dan sisi-sisi tameng digunakan sebagai patokan dalam menjabarkan penempatan bubuhan. Tepi atas tameng dan sepertiga latar dari tepi atas tameng disebut hulu, sementara ujung bawah tameng dan sepertiga bagian latar mulai dari ujung bawah tameng disebut landas. Sisi kiri tameng disebut bama, dan sisi kanan tameng disebut daksina, tetapi sisi kiri dan kanan tersebut dilihat dari sudut pandang orang yang membawa tameng. Oleh karena itu, dari sudut pandang orang yang melihat tameng, dan di dalam semua penggambaran heraldis, daksina adalah sisi kiri tameng, dan bama adalah sisi kanan tameng.[63][64][65]

Penjabaran tempat bubuhan juga berpatokan pada titik-titik tertentu. Menurut beberapa lembaga berwenang, ada sembilan titik patokan, sementara menurut lembaga-lembaga berwenang lainnya, ada sebelas titik patokan. Tiga titik patokan yang paling penting ialah titik sabuk yang terletak di pusat visual tameng,[v] titik perbawa yang teletak di pertengahan antara titik sabuk dan hulu, dan titik pusar yang terletak di pertengahan antara titik sabuk dan landas.[63][64][65] Titik-titik selebihnya adalah titik hulu daksina, titik hulu tengah, dan titik hulu bama, yang berjajar dari kiri ke kanan pada bagian atas tameng di atas titik perbawa; titik lambung daksina dan titik lambung bama, yang terletak di kedua sisi tameng kira-kira sejajar dengan titik sabuk; serta titik landas daksina, titik landas tengah, dan titik landas bama, yang berjajar dari kiri ke kanan pada bagian bawah tameng di bawah titik pusar.[63][64]

Tabel pulasan dan corak

Salah satu ciri khas heraldika adalah pemakaian sekumpulan warna dan corak yang terbatas jumlahnya, dan biasanya disebut sebagai pulasan. Warna-warna dan corak-corak tersebut terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu logam, urna, dan kulit bulu.[vi][66]

Pulasan logam adalah kencana dan selaka, masing-masing merepresentasikan emas dan perak, tetapi pada praktiknya adalah warna kuning dan warna putih. Lima pulasan urna yang diakui secara universal adalah berma atau merah, langking atau hitam, nila atau biru, wilis atau hijau, dan wungu atau ungu. Kebanyakan lembaga berwenang juga mengakui dua urna tambahan, yaitu darah atau pirau, warna antara berma dan wungu, dan deragem, warna antara jingga dan soga. Dua urna tambahan ini cukup jarang dipakai, dan sering kali disebut noda, lantaran adanya keyakinan bahwa kedua urna tersebut dipakai untuk merepresentasikan perbuatan tercela, kendati pada kenyataannya tidak ada bukti pemakaian semacam itu di luar dari uraian muluk para sastrawan heraldika.[67] Mungkin lantaran adanya kesadaran bahwa noda sebetulnya tidak ada di dalam heraldika yang murni, maupun lantaran didorong oleh keinginan untuk menciptakan rancangan-rancangan yang baru dan unik, penggunaan urna-urna tersebut untuk keperluan-keperluan yang bersifat umum sudah diterima pada abad ke-20 dan ke-21.[vii][39] Adakalanya dijumpai warna-warna lain, khususnya di ranah heraldika Eropa Daratan, kendati warna-warna itu tidak umum dianggap sebagai bagian dari warna-warna heraldis standar. Warna-warna lain tersebut antara lain adalah kelabu, soga, biru langit, acung, dadu, dan jangat, yang biasanya dipakai untuk merepresentasikan tubuh orang Eropa dalam heraldika Prancis.[68] Belum lama ini tembaga telah ditambahkan sebagai pulasan logam pada beberapa lambang kebesaran di Kanada.

Pada hakikatnya ada dua macam pulasan bulu, yaitu cerpelai dan bajing, tetapi seiring bergulirnya waktu muncul sejumlah variasi dari kedua pulasan tersebut. Pulasan cerpelai merepresentasikan bulu musim dingin cerpelai ekor pendek yang berwarna putih bersih berbelang hitam di ujung ekor. Pulasan ini terdiri atas latar putih atau perak ditebari corak hitam yang disebut tutul cerpelai, representasi dari belang hitam di ujung ekor. Kulit bulu cerpelai sudah lazim dijadikan lapisan dalam mantel dan kopiah kaum bangsawan. Bentuk corak tutul cerpelai berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan dewasa ini lazimnya menyerupai mata panah bermustaka tiga noktah, tetapi dulu mungkin terpulang kepada selera senimannya. Pulasan cerpelai yang berlatar langking bertutul selaka disebut cerpelai sungsang; yang berlatar kencana alih-alih selaka disebut cerpelai kencana; dan yang berlatar langking bertutul kencana disebut cerpelai kencana sungsang.[69][70]

Pulasan bajing merepresentasikan bulu musim dingin bajing merah yang berwarna kelabu kebiru-biruan dengan telau putih di bagian perut. Untuk melapisi mantel, lembaran-lembaran kulit bulu bajing merah disambung-sambung sedemikian rupa sehingga tampak seperti susunan jalur-jalur melintang yang masing-masing terdiri atas perselang-selingan belang dan telau serupa bentuk genta. Pulasan bajing adalah jalur-jalur melintang yang masing-masing terdiri atas perselang-selingan genta selaka dan genta nila, kendati bentuk corak genta yang lazim disebut "genta bajing" ini biasanya terpulang kepada selera senimannya. Dewasa ini, genta bajing digambar dengan garis-garis lurus dan sudut-sudut tajam yang bersinggungan pada titik-titik temu. Genta bajing terdahulu adalah corak gelombang yang disebut bajing gelombang atau bajing lama. Tiap jalur dibelah menjadi bagian selaka dan bagian nila oleh satu garis bergelombang. Tidak ada kaidah yang mengatur genta warna apa yang harus ternganga atau tertelungkup pada jalur lintang. Dulu ada tiga ukuran pulasan bajing yang lazim dipakai. Perbedaan ukuran ini kadang-kadang dijumpai di ranah heraldika Eropa Daratan; pulasan bajing yang terdiri atas kurang kurang dari empat jalur disebut bajing besar; dan yang terdiri atas enam atau lebih dari enam jalur disebut bajing kecil.[71][72]

Salah satu variasi pulasan bajing yang umum dijumpai adalah bajing tolak, yang dibuat dengan cara menjungkirkan jalur-jalur antara dan menyejajarkan mulut gentanya dengan mulut genta yang sewarna pada jalur sebelumnya. Jika jalur-jalur melintang diubah menjadi jalur-jalur membujur, maka pulasannya disebut bajing menyula. Di Eropa Daratan, dapat dijumpai pulasan bajing menyelempang, yaitu pulasan bajing dengan jalur-jalur diagonal. Jika jalur-jalur antara dijungkirkan seperti pada pulasan bajing tolak, dan mulut gentanya digeser sampai setengah dari lebar mulut genta yang sewarna pada jalur sebelumnya, maka pulasannya disebut bajing ombak. Di ranah heraldika Jerman, dapat dijumpai bajing selang-seling, yaitu pulasan bajing yang tiap gentanya dibelah memanjang menjadi separuh selaka dan separuh nila.[71] Semua variasi ini dapat pula digambar dalam bentuk yang disebut kruk, yakni dengan mengganti corak genta bajing yang dengan corak yang menyerupai huruf T. Sekalipun merupakan variasi dari pulasan bajing, kruk kerap diperlakukan sebagai pulasan bulu tersendiri.[73]

Jika corak-corak tersebut diganti warnanya dengan warna-warna selain selaka dan nila, maka nama coraknya diserangkaikan dengan nama warnanya. Dapat pula dijumpai corak kruk dengan warna selain selaka dan nila. Biasanya warna corak genta bajing selain selain selaka dan nila terdiri atas satu logam dan satu urna. Kadang-kadang tata warnanya mengikuti tata warna pulasan cerpelai, dan kadang-kadang pula didapati pulasan bajing dengan empat warna, yang biasanya terdiri atas dua logam dan dua urna.[74]

Di Eropa Daratan, kadang-kadang dijumpai tiga macam pulasan bulu tambahan. Di ranah heraldika Prancis dan Italia dapat dijumpai pulasan bulu rambai, yakni pulasan yang menyerupai susunan bulu unggas, dan pulasan bulu rama-rama, yakni pulasan yang menyerupai susunan sisik ikan. Di ranah heraldika Jerman dapat dijumpai pulasan bulu kursch atau telau bajing, yang digambar berumbai dan berwarna soga. Kemungkinan besar ketiga pulasan bulu tambahan ini mula-mula adalah variasi dari pulasan bulu bajing.[75]

Para seniman heraldika diberi cukup banyak kebebasan dalam menampilkan pulasan; tidak ada tingkat kepekatan atau tingkat kecerahan warna yang dibakukan bagi mereka.[viii]

Jika sebuah benda tergambar sebagaimana adanya di alam nyata, alih-alih dengan menggunakan satu atau lebih pulasan, maka warnanya disifatkan wajar atau alami. Penggambaran semacam ini tampaknya tidak ada pada dalam heraldika terdahulu. Contoh-contohnya yang tertua berasal dari abad ke-17. Meskipun tidak ada keberatan terhadap penggambaran benda dengan cara semacam itu, penggunaan berlebihan bubuhan dalam warna alaminya kerap disebut sebagai tanda-tanda praktik heraldis yang buruk. Praktik herldika pemandangan, yang berkembang pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, menggunakan banyak sekali warna nonheraldis.[76]

Salah satu kesepakatan penting di bidang heraldika adalah kesepakatan "kaidah pulasan". Demi menghadirkan perbedaan nyata dan kejelasan tampilan, logam pantang menimpa logam, dan urna pantang menimpa urna. Kaidah ini tidak berlaku bagi bubuhan-bubuhan yang melintasi salah satu pangsa latar, yang separuh logam dan separuh urna, dan tidak pula menghalangi pemulasan latar dengan dua logam atau dua urna, kendati tidak lazim. Bulu dianggap sebagai pulasan yang taksa, bukan logam dan bukan pula urna, tetapi pada praktiknya cerpelai dan cerpelai kencana diperlakukan sebagai logam, sedangkan cerpelai sungsang dan cerpelai kencana sungsang diperlakukan sebagai urna. Kaidah ini ditaati secara ketat di ranah heraldika Inggris, dengan satu saja pengecualian. Kendati pada umumnya ditaati di ranah heraldika Eropa Daratan, kaidah ini tidak diikuti seketat di Inggris. Lambang-lambang kebesaran yang menyalahi kaidah ini kadang-kadang disebut "lambang pelik". Contoh lambang pelik yang paling terkenal adalah lambang negara Kerajaan Yerusalem, yang terdiri gambar salib-salib emas di atas latar perak.[77][78]

Variasi latar

[sunting | sunting sumber]

Latar pada tameng, juga pada bubuhan dan jambul (kendati jarang sekali dijumpai), adakalanya terdiri atas beberapa pola berwarna atau variasi. Pola jalur-jalur melintang (sejajar kalang) misalnya disifatkan mengalang, sedangkan pola jalur-jalur membujur (sejajar sula) disifatkan menyula. Pola jalur-jalur diagonal dapat disifatkan menyelempang atau menyelempang bama tergantung arahnya. Variasi lain mencakup mengasau, mengikik, dan poleng. Jalur-jalur menggelombang disifatkan mengalun. Lebih lanjut lagi, variasi-variasi tersebut kadang-kadang dipadukan sehingga membentuk pola mengalang-menyelempang, menyula-menyelempang, mewajik, dan mewajik jenjang. Pola tabur, atau pola bubuhan berulang, juga dianggap sebagai variasi latar.[79] Kaidah pulasan berlaku bagi segala macam pola tabur dan variasi latar.

Pembelahan latar

[sunting | sunting sumber]
Tameng dibelah garis sula dan garis sabuk ranting cemara, lambang bekas kotapraja Varpaisjärvi di Finlandia

Latar sebuah tameng dalam heraldika dapat dibagi menjadi lebih dari satu pangsa pulasan, sama halnya dengan perbagai bubuhan. Banyak lambang kebesaran yang hanya terdiri atas tameng dengan latar yang dibagi menjadi dua pangsa dengan pulasan berlainan. Latar dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tameng, oleh sebab itu kaidah pulasan boleh diabaikan. Sebagai contoh, sebuah tameng yang dibagi menjadi pangsa nila dan pangsa berma tidak akan dianggap sebagai suatu kekeliruan. Garis pembelah latar bisa saja lurus dan bisa juga bervariasi. Variasi-variasi garis pembelah latar dapat berupa garis bergelombang, berbiku, bergigi, bertakik, berceruk, dan sebagainya.[80]

Pada masa-masa awal perkembangan heraldika, tanda-tanda lugas berupa jalur-jalur lurus dicat pada permukaan perisai. Selain mudah dikenali dari jarak jauh, tanda-tanda semacam itu juga mudah diingat, dan dengan demikian mendukung tujuan utama heraldika, yaitu identifikasi.[81] Dengan semakin banyaknya jumlah perisai dengan tanda-tanda yang rumit, tanda-tanda lugas itu dimasukkan dalam satu kelompok khusus yang disebut "prasaja". Tanda-tanda ini bertindak selaku bubuhan, dan selalu dijabarkan paling awal di dalam jabaran lambang kebesaran. Kecuali jika dinyatakan lain, tanda-tanda itu memebentang sampai ke tepi tameng. Meskipun tidak mudah didefinisikan, pada umumnya prasaja dikatakan mencakup salib, sabuk, sula, selempang, kasau, silang, dan dwisula.[82]

Ada sekelompok bubuhan yang disebut upaprasaja, yaitu bentuk-bentuk geometris yang tergolong prasaja tetapi dianggap lebih rendah daripada prasaja. Menurut Stephen Friar, prasaja dan upaprasaja dibedakan dari urutannya dalam jabaran. Upaprasaja mencakup otar, pagar, birai, birai ganda, pematang, hulu, penjuru, kajai, dan pengapit.[83]

Prasaja dapat ditampilkan berangkai-rangkai. Di Inggris, sebutan bagi prasaja dibedakan dari sebutan bagi rangkaian prasaja tersebut, sedangkan di Prancis, tidak ada pembedaan semacam itu. Kecuali disebutkan lain, prasaja digambar dengan garis-garis lurus, tetapi bisa juga dengan garis berbiku, bergigi, bergelombang, bertakik, maupun dengan perpaduan garis-garis tersebut.[84]

Bubuhan adalah segala sesuatu yang terpampang pada tameng.[85] Benda-benda alam maupun yang dihasilkan oleh teknologi dapat dijadikan bubuhan. Bubuhan dapat berupa gambar satwa, benda, maupun bentuk-bentuk geometris. Selain prasaja, bubuhan yang paling sering dipakai adalah salib – dengan ratusan variasinya – serta singa dan rajawali. Satwa-satwa lain yang lazim dijumpai pada lambang kebesaran adalah beruang, rusa, celeng, sriti, serigala, dan ikan. Naga, keluang, ekacula, grifon, dan monster-monster lainnya dimunculkan sebagai bubuhan maupun penopang.

Satwa-satwa pada lambang kebesaran ditampilkan dengan beragam sikap tubuh atau gelagat. Satwa-satwa caturpada kerap digambar dalam sikap tubuh menerkam (berdiri dengan dua kaki belakang). Sikap tubuh lainnya yang juga sering dijumpai adalah melimbai atau melangkah, seperti singa-singa pada lambang kebesaran Inggris. Burung rajawali hampir selalu ditampilkan dengan sayap-sayap membentang. Gambar sepasang sayap tersambung disebut vol (mengangkasa).

Di ranah heraldika Inggris, gambar bulan sabit, bintang, burung sriti, gelang-gelang, fleur-de-lis, and mawar dapat dibubuhkan pada tameng sebagai tanda nasab, yaitu tanda yang membedakan lambang kebesaran keluarga cabang dari lambang kebesaran keluarga utama. Bubuhan tanda nasab biasanya ditampilkan dalam ukuran yang lebih kecil daripada ukuran normal bubuhan, tetapi tidak selamanya tameng yang memuat bubuhan-bubuhan semacam itu adalah tameng keluarga cabang. Semua bubuhan itu kerap muncul pada lambang-lambang kebesaran yang tidak membutuhkan pembedaan.[86]

Pengatakan

[sunting | sunting sumber]
Salah satu contoh pengatakan yang rumit: 719 perempatan rampaian lambang kebesaran George Grenville di Wisma Stowe

Mengatak dua atau lebih lambang kebesaran berarti menyatukan lambang-lambang itu pada satu tameng untuk mengisyaratkan warisan, klaim atas harta kekayaan, atau pemegangan jabatan. Ada beberapa cara mengatak, yang paling sederhana adalah menyula, yaitu membelah latar searah sula dan menempatkan tiap-tiap lambang pada tiap-tiap belahan latar.

Semboyan adalah frasa atau kalimat yang menggambarkan motivasi atau cita-cita orang atau badan penyandang lambang. Semboyan dapat saja merupakan pelesetan dari nama keluarga, misalnya semboyan Ne vile velis pada lambang kebesaran Thomas Nevile. Pada umumnya semboyan dapat digonta-ganti sesuka hati, dan bukan bagian integral dari kelengkapan lambang kebesaran. Semboyan biasanya tercantum pada gulungan kitab yang terbentang di bawah perisai. Di ranah heraldika Skotlandia, yang menjadikan semboyan sebagai unsur yang dianugerahkan dan dimasukkan ke dalam jabaran, biasanya semboyan dicantumkan pada selembar gulungan kitab yang terbentang di atas jambul, dan tidak boleh digonta-ganti sesuka hati. Semboyan boleh menggunakan bahasa apa saja.

Penopang dan unsur-unsur lain

[sunting | sunting sumber]
Panji-panji sebagai penopang dan lencana-lencana ordo pada lambang kebesaran Pangeran Vergara

Penopang adalah gambar manusia, satwa, dan adakalanya juga benda mati, yang biasanya ditempatkan di kedua sisi lambang kebesaran sehingga tampak seakan-akan menopangnya. Dalam banyak tradisi, penggunaan penopang sudah dibatasi secara ketat bagi kalangan tertentu saja. Di Eropa Daratan, batasan isi sering kali tidak terlampau ketat.[87] Di Inggris Raya, hanya para bangsawan teras, segelintir baronet, anggota-anggota senior ordo aswasada, dan beberapa badan yang dianugerahi penopang. Sering kali penopang tersebut memiliki signifikansi lokal, atau memiliki kaitan sejarah dengan penyandang lambang.

Jika penyandang lambang bergelar baron, kesatria aswasada turun-temurun, atau memiliki gelar yang lebih tinggi lagi, maka dia dibenarkan untuk menampilkan gambar jamang jabatannya di atas perisai. Di Inggris Raya, jamang diselipkan di antara tameng dan ketopong, tetapi acap kali ditempatkan di atas jambul pada lambang-lambang kebesaran Eropa Daratan.

Unsur lain yang dapat ditambahkan pada sebuah lambang kebesaran adalah lencana jabatan baronet atau lencana ordo aswasada. lencana tersebut biasanya ditampilkan dalam wujud seutas kalung lencana atau pita lencana yang melingkari tameng. Jika lambang kebesaran seorang kesatria ditampilkan bersama-sama dengan lambang kebesaran istrinya dalam satu lambang kebesaran lengkap, maka lencana ordo aswadasa hanya dipasang melingkari lambang kebesaran sang suami, sementara lambang kebesaran sang istri biasanya dilingkari bumban kembang atau dedaunan sebagai pengimbang.[88]

Tanda pembeda dan tanda nasab

[sunting | sunting sumber]

Karena lambang kebesaran diturunkan dari orang tua kepada anak, dan sering kali sepasang orang tua dikaruniai lebih dari satu orang anak, maka perlu ada cara untuk membedakan lambang kebesaran orang-orang yang senasab, mengingat lambang kebesaran pusaka hanya diwariskan dari anak laki-laki tertua kepada anak laki-laki tertua. Seiring bergulirnya waktu, muncul beberapa cara untuk membedakan lambang-lambang kebesaran orang-orang yang senasab.[89]

"Menjabarkan" lambang kebesaran berarti mendeskripsikan lambang kebesaran dengan bahasa resmi heraldika. Bahasa ini memiliki kosakata dan kaidah penyusunan kalimat sendiri, yang sangat berguna dalam penjabaran lambang kebesaran yang rumit. Tata jabaran lambang kebesaran di negara-negara penutur bahasa Inggris dewasa ini dikembangkan oleh para mantri lambang pada Abad Pertengahan. Jabaran mencakup deskripsi lambang kebesaran yang terpampang pada tameng atau perisai, deskripsi jambul, deskripsi penopang jika ada, deskripsi semboyan, dan deskripsi unsur-unsur lainnya. Kaidah-kaidah yang rumit, semisal kaidah pulasan, diterapkan pada wujud fisik maupun artistik dari lambang kebesaran yang baru direkacipta, dan pemahaman yang menyeluruh akan kaidah-kaidah ini sangat penting bagi seni heraldika. Kendati mula-mula ada keseragaman bentuk lambang kebesaran di seluruh Eropa, beberapa gagrak nasional telah dikembangkan pada penghujung Abad Pertengahan, dan gagrak seni maupun jabaran dewasa ini berkisar dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit.

Gagrak nasional

[sunting | sunting sumber]

Di Eropa Barat, heraldika muncul nyaris serentak di berbagai negara. Mula-mula gagrak heraldika satu negara dengan negara lain terlihat sangat mirip.[90] Seiring bergulirnya waktu, tradisi heraldika pecah mencaji empat gagrak utama, yaitu gagrak Jerman-Nordik, gagrak Galia-Britania, gagrak Latin, dan gagrak Timur.[91] Selain itu, dapat dikatakan bahwa tradisi-tradisi heraldika nasional yang lebih baru sudah muncul pada abad ke 20, misalnya tradisi heraldika Afrika Selatan dan tradisi heraldika Kanada.[92]

Heraldika Jerman

[sunting | sunting sumber]

Heraldika Jerman-Nordik

[sunting | sunting sumber]

Emblem semiheraldis

[sunting | sunting sumber]

Heraldika sejati, sebagaimana yang dipahami dewasa ini, berakar pada budaya Eropa Abad Pertengahan. Meskipun demikian, ada budaya-budaya bersejarah lainnya yang sudah memakai lambang-lambang dan emblem-emblem untuk merepresentasikan kaum keluarga atau orang pribadi. Dalam beberapa kasus, lambang-lambang tersebut sudah diadopsi dan dijadikan bagian dari khazanah heraldika Eropa. Sebagai contoh, lambang negara Kekaisaran Usmani menampilkan tuğra sultan sebagai bagian dari jambulnya, bersama-sama dengan unsur-unsur tradisional heraldika Eropa seperti tameng dan lapik.

Lambang orang Yunani

[sunting | sunting sumber]

Yunani Kuno adalah salah satu peradaban pertama yang menggunakan lambang-lambang secara konsisten sebagai tanda pengenal pejuang, kaum, atau negara.[93] Jabaran tameng tertua termaktub di dalam tragedi Tujuh Melawan Tebai gubahan Aiskhilos.

Mon () atau monshō (紋章), mondokoro (紋所), dan kamon (家紋), adalah sebutan bagi emblem-emblem khas Jepang yang digunakan sebagai hiasan sekaligus sebagai tanda pengenal orang pribadi atau kaum keluarga. Jika mon adalah istilah umum yang dapat digunakan untuk menyebut segala macam tanda semacam itu, maka kamon dan mondokoro merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut emblem-emblem tanda pengenal kaum keluarga. Sebuah rujukan otoritatif mengenai mon memuat 241 kategori umum untuk mon berdasarkan kemiripan strukturalnya (satu mon bisa saja tergolong ke dalam lebih dari satu kategori), dengan 5116 mon yang berbeda-beda (meskipun demikian sudah dimafhumi bahwa ada mon yang sudah hilang atau kurang jelas dan tidak tersenarai di dalam kumpulan ini).[94][95]

Mon mirip dengan lencana dan lambang kebesaran di ranah heraldika Eropa, yang juga digunakan sebagai tanda pengenal orang pribadi dan kaum keluarga. Di dalam kesusastraan Eropa, Mon acap kali disebut sebagai jambul, yakni salah satu unsur heraldis Eropa yang mirip dengan mon dari segi fungsi.

Ketopong Jepang (kabuto) juga menampilkan unsur serupa jambul, yang disebut datemono. Unsur ini membantu orang untuk mengenali si pemakai saat sekujur tubuhnya tertutupi pakaian perang. Datemono kadang-kadang menampilkan mon. Beberapa tokoh penting, misalnya Date Masamune, terkenal dengan bentuk ketopongnya.

Emblem sosialis

[sunting | sunting sumber]
Lambang negara Uni Soviet versi tahun 1956–1991

Lambang negara-negara komunis sering kali mengikuti suatu gagrak unik yang sarat dengan simbolisme komunis. Meskipun kerap disebut lambang kebesaran, lambang-lambang tersebut bukanlah tanda pengenal yang terpampang pada perlengkapan perang sebagaimana dipahami dalam heraldika tradisional, sehingga sama sekali tidak dapat disifatkan sebagai lambang kebesaran.[96] Banyak pemerintah komunis yang sengaja menyimpang dari bentuk-bentuk tradisional heraldika Eropa dengan maksud untuk menjauhkan diri dari monarki-monarki yang mereka gulingkan, karena lambang kebesaran dipandang sebagai lambang kepala negara monarki.

Uni Soviet adalah negara pertama yang memakai emblem semacam ini, yakni sejak negara itu didirikan pada tahun 1922. Gagrak unik ini tersebar luas seusai Perang Dunia II, saat negara-negara komunis lain marak bermunculan. Segelintir negara nonsosialis juga mengadopsi gagrak ini dengan berbagai macam alasan, biasanya lantaran komunis turut berjasa membantu negara itu meraih kemerdekaannya. Ada juga negara nonsosialis yang menggunakan gagrak ini, sekalipun tidak memiliki kaitan nyata dengan negara komunis, contohnya adalah lambang negara Italia.[96][97] Sesudah tumbangnya Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya di Eropa Timur antara tahun 1989 sampai 1991, gagrak ini ditinggalkan dan diganti dengan gagrak lama. Banyak rezim baru yang memulihkan heraldika tradisional yang dulu disingkirkan rezim komunis.

Tamga (bahasa mongolː тамга, rumpun bahasa turki: tamga) adalah cap atau meterai yang digunakan oleh suku-suku bangsa kelana Erasia maupun budaya-budaya yang dipengaruhinya. Tamga biasanya merupakan emblem suku, marga, atau keluarga tertentu. Emblem-emblem tersebut sudah menjadi hal yang biasa bagai kaum kelana Erasia (termasuk orang Alan, orang Mongol, orang Sarmati, orang Skit, dan suku-suku bangsa Turk) sepanjang Abad Kuno dan Abad Pertengahan. Lambang-lambang yang "menyerupai-tamga" kadang-kadang juga didopsi oleh suku-suku bangsa yang hidup menetap di sekitar stepa Pontus-Kaspia, baik di Eropa Timur maupun di Asia Tengah,[98] misalnya orang Slav Timur; lambang-lambang kerajaan orang Slav Timur kadang-kadang disebut "tamga" dan terlihat mirip dengan tamga.[99]

Tidak seperti lambang kebesaran ala Eropa, tamga tidak selalu diwariskan, dan dapat menjadi tanda kaum keluarga atau marga (misalnya untuk menandai wilayah, ternak, atau benda-benda keagamaan) maupun orang pribadi (misalnya untuk menandai senjata, atau dijadikan meterai kerajaan). Seseorang juga dapat mengadopsi tamga majikan atau pemimpinnya, dan dengan demikian menjadi tanda perlindungan majikan atau pemimpin tersebut. Selain menjadi tanda kepemilikan, tamga juga dianggap suci, sehingga dibawa-bawa sebagai azimat penawar kutukan (diyakini bahwa, sebagai lambang keluarga, tamga mengejawantahkan tuah pusaka turun-temurun). Tamga menampilkan tanda-tanda geometris, gambar-gambar satwa, benda, atau glif. Lantaran biasanya dibubuhkan dengan alat yang berat dan sukar digerakkan dengan luwes, misalnya pisau atau cap bakar, dan dibubuhkan pada berbagai macam permukaan (yang membuat bekas tandanya bisa saja terlihat tidak sama persis), tamga selalu sederhana serta distilisasi, juga harus tampak lugas dan mudah dikenali.[100]

Setiap Sultan Usmani memiliki monogram sendiri yang disebut tuğra, dan yang digunakan sebagai lambang kebesaran sultan. Kekaisaran Usmani baru menciptakan lambang kebesaran ala Eropa pada abad ke-19. Ketika itu, pihak istana Hampton Court meminta lambang kebesaran Kekaisaran Usmani untuk dimasukkan ke dalam koleksi mereka. Lantaran belum pernah menggunakan lambang kebesaran semacam itu, pemerintah Usmani menanggapi permintaan istana Hampton Court dengan merancang sebuah lambang kebesaran bergaya Eropa. Rancangan finalnya diadopsi Sultan Abdul Hamid II pada tanggal 17 April 1882. Lambang kebesaran itu menampilkan dua panji-panji, yakni panji-panji kulawangsa Usmani (bulan bintang berlatar merah) dan panji-panji Khilafah Islamiyah (tiga bulan sabit berlatar hijau).

Iran Kuno

[sunting | sunting sumber]

Kata "tanda" dalam aksara Pahlawi ialah 𐭥𐭢𐭱𐭠𐭥, yang dibaca "nišān" (bahasa Persiaː نشان). Dalam sumber-sumber Islam, terdapat beberapa keterangan menyebut-nyebut keberadaan nišān pada zaman Iran Kuno. Baik kata mon maupun nišān diduga berkisar pada satu konteks semantik yang sama lantaran kedua-duanya memenuhi kebutuhan yang sama, yakni identifikasi heraldis. Almas'udi menyebutkan di dalam risalahnya bahwa nišāns (bahasa Arab: شعار) digunakan oleh orang Partia maupun Sasani. Saat membahas orang Sasani, Almas'udi menyifatkan lambang kebesaran mereka sebagai "panji-panji orang Persia beserta emblem-emblem mereka" (رایات الفرس و أعلامهم). Di dunia para pahlawan (پهلوانان) dalam cerita-cerita kewiraan Iran, sama seperti di dunia para kesatria aswasada Eropa, tiap-tiap pasukan dipanglimai seorang pahlawan dari salah satu keluarga bangsawan Iran, teridentifikasi dari nišān yang terpampang pada panji-panjinya. Bilamana para pahlawan diperkenalkan ke hadapan Raja Iran, biasanya pasukan-pasukan mereka dapat dibedakan satu sama lain dengan melihat nišān junjungan mereka yang terpampang pada panji-panji.[101][102]

Heraldika modern

[sunting | sunting sumber]

Dewasa ini, lembaga-lembaga, perusahaan-perusahaan, dan orang-orang pribadi masih memakai lambang kebesaran sebagai tanda pengenal dalam bentuk citra.[103][104][105][106] Di Inggris Raya dan Irlandia, Manggala Lambang Inggris, Manggala Lambang Lord Lyon Skotlandia, dan Perdana Abyantara Irlandia masih terus menganugerahkan lambang kebesaran.[107] Ada lembaga-lembaga berwenang di bidang heraldika di Kanada (Otorita Heraldika Kanada),[108] Afrika Selatan, Spanyol, dan Swedia yang menganugerahkan atau meregistrasi lambang kebesaran. Di Afrika Selatan, hak menyandang lambang kebesaran juga ditentukan oleh Hukum Belanda Romawi, lantaran Afrika Selatan terlahir dari koloni yang didirikan orang-orang Belanda pada abad ke-17.[109]

Ada banyak serikat pemerhati heraldika di Afrika, Asia, Australasia, Amerika, dan Eropa. Para pemerhati heraldika berpartisipasi dalam Serikat Anakronisme Kreatif, kebangunan Abad Pertengahan, bangsa mikro, dan berbagai proyek terkait. Para penyandang lambang modern memanfaatkan heraldika untuk mengekspresikan warisan leluhur dan warisan pribadi maupun kebanggaan profesi, akademik, kewarganegaraan, dan kebangsaan.[110] Hanya sedikit yang tersisa dari identifikasi kelas dalam heraldika modern, di mana penekanannya semakin lebih kepada ekspresi jati diri.[111]

Heraldika terus terbina di atas landasan tradisinya yang kaya, baik di lingkungan pendidikan tinggi maupun pemerintahan, serikat usaha, serikat profesi, lembaga keagamaan, dan militer. Negara-negara dan bagian-bagiannya – provinsi, negara bagian, kabupaten, kota, dsb. – terus mencipta lambang-lambang kebesaran bersendikan tradisi heraldikanya sendiri. Gereja Katolik, gereja-gereja Anglikan, dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya memelihara tradisi heraldika gerejawi bagi para rohaniwan, ordo-ordo religius, dan sekolah-sekolah.

Banyak dari lembaga-lembaga tersebut mulai menggunakan jabaran yang merepresentasikan benda-benda modern. Sebagai contoh, beberapa lambang heraldis yang dikeluarkan oleh Institut Heraldika Angkatan Bersenjata Amerika Serikat menampilkan lambang-lambang seperti senjata api, pesawat terbang, atau lokomotif. Beberapa lembaga sains menampilkan lambang-lambang sains modern seperti lambang atom atau peralatan sains tertentu. Lambang Otorita Energi Atom Inggris Raya menggunakan lambang-lambang heraldis tradisional untuk menggambarkan pengendalian tenaga atom.[112] Daerah-daerah yang erat kaitannya dengan bidang-bidang industri tertentu dapat pula menampilkan lambang-lambang yang masih berhubungan dengan industri berkenaan pada lambang kebesarannya. Lambang Kotapraja Stenungsund di Swedia menampilkan gambar molekul hidrokarbon, yang menyiratkan signifikansi historis industri petrokimia di daerah itu.

Heraldika di negara-negara yang memiliki lembaga berwenang di bidang heraldika terus diatur secara menyeluruh oleh undang-undang penganugerahan hak menyandang lambang kebesaran, dan mengakui kepemilikan lambang kebesaran serta melindunginya dari penyalahgunaan. Negara-negara tanpa lembaga berwenang di bidang heraldika bisanya memperlakukan lambang kebesaran sebagai kekayaan intelektual sebagaimana logo, dengan menawarkan perlindungan undang-undang hak cipta. Inilah yang terjadi di Nigeria, negara tempat sebagian besar unsur tatanan heraldis tidak diregulasi.

Baca juga

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Dilaksanakan oleh Odo, Uskup Bayeux, adik tiri seibu dari Raja Gulielmus Penakluk, tokoh utama dalam perang penaklukan negeri Inggris yang terabadikan pada dewangga tersebut.
  2. ^ Hanya lima gambar singa yang tampak pada hiasan pusara tersebut, yang menampilkan perisai dalam posisi menyamping, tetapi dilihat dari posisi gambarnya, dapat dipastikan ada enam gambar singa; arca kijing pusara Gulielmus Longespée, cucu Galfridus Plantagenet, menampilkan Gulielmus menenteng perisai yang sepertinya identik dengan perisai kakeknya, tetapi keenam-enam gambar singanya terlihat, setidaknya terlihat sebagian.
  3. ^ Istilah "lambang kebesaran" kadang-kadang digunakan untuk menyebut keseluruhan lambang kebesaran lengkap, yang mencakup perisai sebagai unsur sentral.
  4. ^ Ada pengecualian terhadap kaidah ini, yakni bentuk tameng diperinci dalam penjabaran lambang kebesaran; sebagai contoh, lambang kebesaran Nunavut,[52] dan bekas negara Republik Bofutatswana;[53] di Amerika Serikat, lambang negara bagian Dakota Utara menggunakan tameng berbentuk mata panah batu,[54] sementara lambang negara bagian Connecticut mewajibkan penggunaan tameng bercorak rokoko;[55] Register Publik Skotlandia mewajibkan penggunaan tameng runjung pada lambang Asosiasi Tukang Pipa dan Pengurus Rumah Tangga Lanarkshire, dan tameng persegi pada lambang organisasi Anglo Leasing.
  5. ^ Lantaran kebanyakan tameng melebar di hulu dan berangsur-angsur menyempit sampai ke titik landas, titik sabuk biasanya terletak sedikit lebih tinggi daripada titik tengah tameng.
  6. ^ Secara teknis, kata pulasan secara khusus mengacu kepada urna, alih-alih logam maupun kulit bulu; tetapi ketiadaan istilah lain yang bisa merangkum ketiga-tiganya membuat kata tersebut secara teratur dipakai dengan makna yang meluas ini.
  7. ^ Sebagai contoh, lambang Sekolah Gramatika Lama Lewes, yang dianugerahkan pada tanggal 25 Oktober 2012, adalah "latar pirau, dibirai delapan salib-semalib selaka seekor singa kencana menerkam, sepasang cakar depan mencengkeram buku bersampul nila berpunggung dan berbucu kencana", dan lambang kebesaran Woolf, yang dianugerahkan pada tanggal 2 Oktober 2015, adalah "latar pirau, kepala terpenggal seekor serigala salju, pada hulu selaka Chief terpampang kepala terpenggal seekor celeng diapit dua kuntum fleurs de Lys nila."
  8. ^ "Tidak ada tingkat kecerahan yang bersifat tetap bagi warna-warna heraldis. Jika jabaran resmi sebuah lambang kebesaran menyebutkan bahwa pulasannya adalah berma (merah), nila (biru), dan selaka (putih atau perak), maka sejauh warna birunya tidak terlampau cerah, dan warna merahnya tidak terlalu kejingga-jinggaan, keungu-unguan, atau kedadu-daduan, maka keenceran atau kepekatan warna-warna tersebut terpulang kepada penilaian si seniman."[39]
  1. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 1; Friar (1987), hlm. 183
  2. ^ Webster's Third New International Dictionary, C. & G. Merriam Company, Cambridge, Massachusetts (1960).
  3. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 1, 57–59
  4. ^ a b c Fox-Davies (1909), hlm. 1–18
  5. ^ John Brooke-Little, An Heraldic Alphabet, Macdonald, London (1973), hlm. 2.
  6. ^ Boutell (1890), hlm. 5
  7. ^ Fox-Davies (1909), hlm. v
  8. ^ Iain Moncreiffe of that Ilk & Pottinger, Simple Heraldry, Thomas Nelson (1953).
  9. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 19–26
  10. ^ Bilangan, i. 2, 18, 52; ii. 2, 34; dikutip oleh William Sloane Sloane-Evans, dalam A Grammar of British Heraldry (London, 1854), hlm. ix; dikutip oleh Fox-Davies (1909), hlm. 6.
  11. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 6–10
  12. ^ Notitia Dignitatum, Bodleian Library
  13. ^ Eiland, Murray (2003). "Pre-heraldry on the Sangerhausen Disc". The Armiger's News. 25 (2): 1, 9 – via academia.edu.
  14. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 6
  15. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 11–16
  16. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 29–31
  17. ^ a b Fox-Davies (1909), hlm. 14–16
  18. ^ a b Woodward & Burnett (1892), hlm. 26
  19. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 31
  20. ^ Woodcock & Robinson (1988), hlm. 1
  21. ^ Wagner (1946), hlm. 8
  22. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 62
  23. ^ C. A. Stothard, Monumental Effigies of Great Britain (1817) pl. 2, illus. dalam Wagner (1946), pl. I
  24. ^ Pastoureau (1997), hlm. 18
  25. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 32
  26. ^ a b Fox-Davies (1909), hlm. 173–174
  27. ^ Pastoureau (1997), hlm. 59
  28. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 37
  29. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 17–18
  30. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 17–18, 383
  31. ^ a b Fox-Davies (1909), hlm. 27–29
  32. ^ De Insigniis et Armis
  33. ^ George Squibb, "The Law of Arms in England", dalam The Coat of Arms jld. II, no. 15 (Spring 1953), hlm. 244.
  34. ^ a b c Fox-Davies (1909), hlm. 21–22
  35. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 35–36
  36. ^ Julian Franklyn, Shield and Crest: An Account of the Art and Science of Heraldry, MacGibbon & Kee, London (1960), hlm. 386.
  37. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 38
  38. ^ a b Pastoureau (1997), hlm. 39–41
  39. ^ a b c Situs resmi Kolegium Lambang Kebesaran, diakses tanggal 3 Maret 2016.
  40. ^ Gwynn-Jones (1998), hlm. 18–20
  41. ^ Neubecker (1976), hlm. 253–258
  42. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 87–88
  43. ^ Gwynn-Jones (1998), hlm. 110–112
  44. ^ Eiland, Murray (2018). "Heraldry on American Patriotic Postcards". The Armiger's News. 41 (1): 1–3 – via academia.edu.
  45. ^ Eiland, Murray (2019). "Heraldry on German Patriotic Postcards". The Armiger's News. 41 (2): 1–5 – via academia.edu.
  46. ^ Eiland, Murray (2010). "Heraldry on German Notgeld". The Armiger's News. 23 (3): 1–3, 12 – via academia.edu.
  47. ^ Gwynn-Jones (1998), hlm. 113–121
  48. ^ a b c Fox-Davies (1909), hlm. 57–59
  49. ^ a b c d Fox-Davies (1909), hlm. 57, 60–61
  50. ^ Boutell (1890), hlm. 6
  51. ^ William Whitmore, The Elements of Heraldry, Weathervane Books, New York (1968), hlm. 9.
  52. ^ "About the Flag and Coat of Arms". Government of Nunavut. Diarsipkan dari asli tanggal 27 April 2006. Diakses tanggal 19 Oktober 2006.
  53. ^ Hartemink R. 1996. South African Civic Heraldry-Bophuthatswana. Ralf Hartemink, Negeri Belanda. Diakses tanggal 19 Oktober 2006. Tersedia di NGW.nl
  54. ^ "US Heraldic Registry". US Heraldic Registry. Diakses tanggal 19 Juni 2012.
  55. ^ "American Heraldry Society - Arms of Connecticut". Americanheraldry.org. Diarsipkan dari asli tanggal 22 Juli 2012. Diakses tanggal 19 Juni 2012.
  56. ^ Boutell (1890), hlm. 6–7
  57. ^ a b Woodward & Burnett (1892), hlm. 54–58
  58. ^ Neubecker (1976), hlm. 72–77
  59. ^ Boutell (1890), hlm. 9
  60. ^ Slater (2003), hlm. 56
  61. ^ Slater (2003), hlm. 231
  62. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 89, 96–98
  63. ^ a b c Boutell (1890), hlm. 8
  64. ^ a b c Woodward & Burnett (1892), hlm. 59–60
  65. ^ a b Fox-Davies (1909), hlm. 104–105
  66. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 70
  67. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 70–74
  68. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 61–62; Fox-Davies (1909), hlm. 74
  69. ^ Woodward & Burnett (1892), hlm. 63
  70. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 77–79
  71. ^ a b Fox-Davies (1909), hlm. 79–83
  72. ^ Innes of Learney (1978), hlm. 28
  73. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 84–85
  74. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 80–85
  75. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 83–85
  76. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 75, 87–88
  77. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 85–87
  78. ^ Bruno Heim, Or and Argent, Gerrards Cross, Buckingham (1994).
  79. ^ Fox-Davies (1909), hlm. 101
  80. ^ Stephen Friar and John Ferguson. Basic Heraldry. (W.W. Norton & Company, New York: 1993), 148.
  81. ^ von Volborth (1981), hlm. 18
  82. ^ Friar (1987), hlm. 259
  83. ^ Friar (1987), hlm. 330
  84. ^ Woodcock & Robinson (1988), hlm. 60
  85. ^ Boutell (1890), hlm. 311
  86. ^ Moncreiffe, Iain; Pottinger, Don (1953). Simple Heraldry, Cheerfully Illustrated. London: Thomas Nelson and Sons. hlm. 20. OCLC 1119559413.
  87. ^ Neubecker (1976), hlm. 186
  88. ^ Julian Franklyn. Shield and Crest. (MacGibbon & Kee, London: 1960), 358.
  89. ^ "Differencing a.k.a. Cadency". Journalists' & Authors' Guide to Heraldry and Titles. Baronage.co.uk. Diarsipkan dari asli tanggal 05 Agustus 2012. Diakses tanggal 19 Juni 2012.
  90. ^ Davies, T. R. (Spring 1976). "Did National Heraldry Exist?". The Coat of Arms NS II (97): 16.
  91. ^ von Warnstedt (1970), hlm. 128
  92. ^ Alan Beddoe, direvisi oleh Strome Galloway. Beddoe's Canadian Heraldry. (Mika Publishing Company, Belleville: 1981).
  93. ^ Claus, Patricia (6 May 2022). "Aincent Greek Shields Struck Fear Into Enemy". Greek Reporter. Greek Reporter. Diakses tanggal 10 Maret 2023.
  94. ^ 日本の家紋大全. 梧桐書院. 2004. ISBN 434003102X.
  95. ^ Sekitar 6939 montersenarai di sini Diarsipkan 2016-10-28 di Wayback Machine..
  96. ^ a b von Volborth (1981), hlm. 11
  97. ^ von Volborth, Carl-Alexander (1972). Alverdens heraldik i farver (dalam bahasa Dansk). Editor and translator from English to Danish: Sven Tito Achen. Copenhagen: Politikens Forlag. hlm. 158. ISBN 87-567-1685-0.
  98. ^ Ottfried Neubecker. Heraldik. Orbis, 2002; Brook 154; Franklin and Shepard 120-121; Pritsak 78-79.
  99. ^ Noonan, Thomas Schaub (2006). Pre-modern Russia and Its World: Essays in Honor of Thomas S. Noonan. Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 9783447054256. Diakses tanggal 13 Juni 2016.
  100. ^ ТАМГА (к функции знака). В.С. Ольховский (Историко-археологический альманах, No 7, Армавир, 2001, стр. 75-86)
  101. ^ Kalani, Reza. 2022. Indo-Parthians and the Rise of Sasanians, Tahouri Publishers, Tehran, pp85,88
  102. ^ Kalani, Reza. 2017. Multiple Identification Alternatives for Two Sassanid Equestrians on Fīrūzābād I Relief: A Heraldic Approach, Tarikh Negar Monthly, Tehran, p3: note.6
  103. ^ Eiland, Murray (2014). "Cigar box heraldry". The Armiger's News. 36 (1): 1–4. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 17 Januari 2023 – via academia.edu.
  104. ^ Eiland, Murray (2015). "Heraldry on Crate Labels". The Armiger's News. 37 (3): 1–4. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 Agustus 2023 – via academia.edu.
  105. ^ Eiland, Murray (2018). "Elvis Presley's Coat of Arms". The Armiger's News. 41 (1): 6. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 19 Agustus 2023 – via academia.edu.
  106. ^ Eiland, Murray (2012). "Postcard from the Supreme Court, London". The Armiger's News. 34 (3): 2–4. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 18 Agustus 2023 – via academia.edu.
  107. ^ Lih. Nawala Kolegium Lambang Kebesaran untuk sampel triwulanan anugerah lambang kebesaran di Inggris, dan situs web Perdana Abyantara Irlandia Diarsipkan 2006-10-04 di Wayback Machine. untuk anugerah-anugerah lambang kebesaran terkini.
  108. ^ Lih. Catatan Publik Lambang Kebesaran, Bendera, dan Lencana Kanada.
  109. ^ Cornelius Pama. Heraldry of South African families: coats of arms/crests/ancestry. (Balkema, Cape Town: 1972)
  110. ^ Eiland, Murray (2018). "Gathering the clans in California". The Armiger's News. 40 (1): 1–6 – via academia.edu.
  111. ^ Slater (2003), hlm. 238
  112. ^ Child, Heather (1976-01-01). Heraldic Design: A Handbook for Students (dalam bahasa Inggris). Genealogical Publishing Com. ISBN 9780806300719.

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]