Hak atas pembangunan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halaman sampul dari Piagam PBB.

Hak atas pembangunan merupakan salah satu hak asasi manusia. Konsep yang berkaitan mengenai hak atas pembangunan secara secara tidak langsung dibahas pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pernyataan Umum Hak Asasi Manusia. Pembahasan lebih lanjut atas pengakuan terhadap hak atas pembangunan tertera dalam hukum hak asasi manusia internasional. Dua kovenan utama yang membahas hak atas pembangunan ialah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan ­Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan ­Budaya. Definisi hak atas pembangunan menjadi jelas setelah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui Deklarasi Hak Atas Pembangunan. Pengakuan ini tertera di dalam Resolusi Nomor 41/128 Majelis Umum PBB. Resolusi ini diterbitkan pada tanggal 4 Desember 1986. Dalam Deklarasi Deklarasi Hak Atas Pembangunan, hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dihilangkan. Selain itu, hak atas pembangunan juga dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat global. Hak atas pembangunan berkaitan dengan hak-hak lain dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta politik. Penegasan terhadap pengakuan hak atas pembangunan dilakukan melalui konsensus yang menghasilkan Deklarasi dan Program Aksi Wina pada tahun 1993. Hak atas pembangunan dipertegas dalam penyataan yang tercantum di dalam Deklarasi Copenhagen yang ditetapkan pada tahun 1995. Dalam Deklarasi Copenhagen juga diberikan penjelasan mengenai hubungan antara pembangunan dan hak asasi manusia. Konsensus dalam Deklarasi Copenhagen menyatakan bahwa masyarakat harus menjadi perhatian utama dalam pemenuhan hak atas pembangunan. Pemenuhan hak atas pembangunan meliputi pembangunan berkelanjutan, penanggulangan kemiskinan, peningkatan lapangan pekerjaan yang produktif dan menyeluruh, serta kestabilan dan keamanan dalam integrasi sosial dan keadilan sosial.[1]

Eleanor Roosevelt sedang memegang poster Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Pernyataan ini merupakan salah satu landasan pemikiran utama terhadap hak atas pembangunan.

Hak atas pembangunan termasuk salah satu hak asasi manusia generasi ketiga. Tema utama yang dihubungkan dengan hak atas pembangunan ialah persaudaraan. Keberadaan hak atas pembangunan meruapakan usaha bersama dari negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga dalam menuntut keadilan dalam Tatanan Ekonomi Internasional Baru. Hak asasi pembangunan merupakan bentuk pengembangan konsep atas hak asasi manusia generasi pertama (politik) dan hak asasi manusia generasi kedua (sosial).[2] Pengakuan terhadap hak atas pembangunan menunjukkan bahwa hak asasi manusia bersifat aktual dalam keilmuan, politik maupun hukum. Selain itu, pengakuan terhadap hak atas pembangunan menunjukkan bahwa bentuk, pemahaman dan landasan teori dari hak asasi manusia dapat dikembangkan dari hak asasi politik dan hak asasi sosial.[3]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Beberapa kategori tambahan dimasukkan sebagai bagian dari hak asasi manusia sejak tahun 1981. Hak-hak baru yang ditambahkan ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu hak untuk perdamaian dan keamanan, hak untuk pembangunan, dan hak untuk lingkungan yang sehat. Masing-masing hak ini bersifat mandiri dalam artian tidak memerlukan prasyarat pemenuhan hak lain terlebih dahulu. Ketiga jenis hak tersebut masuk sebagai hak persaudaraan karena pemenuhannya dalam konteks kehidupan manusia membutuhkan kerja sama internasional.[4] Hak atas pembangunan masuk dalam salah satu bagian dari hak asasi manusia generasi ketiga. Sifat dari hak atas pembangun ialah hak bersama dan bukan hak individual.[5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Negara-negara anggota Gerakan Non-Blok (warna biru tua) dan negara-negara peninjau (warna biru muda).

Hak atas pembangunan merupakan salah satu tujuan awal dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Landasan pemikiran mengenai hak atas pembangunan tercantum dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konsep tersebut tidak tersirat secara langsung mengenai pembangunan, melainkan pada tujuan pembangunan yaitu kemajuan sosial dan standar kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas. Selain itu, terdapat konsep yang menjelaskan tentang cara memenuhi hak atas pembangunan yaitu menyelesaikan masalah internasional guna mencapai kerjasama internasional. Konsep dari hak pembangunan ini berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan. Pemenuhan hak atas pembangunan ini sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar untuk semua orang tanpa adanya pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.[6]

Negara-negara peserta Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk (warna hijau).

Hak atas pembangunan kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam dokumen PBB yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dokumen ini memberikan pemahaman kepada komunitas internasional tentang hal utama di dalam hak atas pembangunan. Di dalamnya disebutkan dasar bagi hak atas pembangunan antara lain adalah tujuan untuk mempromosikan kemajuan sosial dan standar kehidupan yang lebih baik dan mengakui hak tanpa diskriminasi, hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan hak untuk memperoleh standar hidup yang memadai. Perwujudan hak dan kebebasan setiap orang atas tatanan sosial dan internasional juga dijelaskan di dalamnya.[7]

Konsep hak atas pembangunan mulai dibahas dalam debat ideologi yang terjadi selama periode tahun 1960-an dan 1970-an. Perintisnya adalah negara-negara anggota Gerakan Non Blok. Dalam menetapkan konsep hak atas pembangunan, Gerakan Non Blok melakukan kampanye untuk menciptakan tatanan ekonomi internasional yang lebih adil. Kampanye tersebut sejalan dengan Deklarasi Hak Atas Pembangunan tentang Tatanan Ekonomi Internasional Baru. Negara-negara Gerakan Non Blok menyatakan bahwa pembangunan termasuk dalam hak asasi manusia. Paham tersebut disebarluaskan dengan menggunakan mekanisme Persatuan Bangsa-Bangsa. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi hubungan hukum ekonomi internasional dan hukum hak asasi manusia internasional. Perdebatan ideologis ini merupakan bagian dari pengaruh Perang Dingin yang memperkuat perbedaan antara hak sipil dan politik, dan hak ekonomi, sosial dan budaya.[8] Hak atas pembangunan pertama kali diusulkan oleh yuris berkebangsaan Senegal yang bernama Kéba Mbaye pada tahun 1972. Pengakuan hukum terhadap hak atas pembangunan tercapai pada tahun 1981 melalui Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk.[8]

Resolusi PBB[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1957, pengakuan hak atas pembangunan dimulai dengan diterbitkannya resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 1161 (XII). Dalam resolusi ini dinyatakan bahwa pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial yang seimbang dan terintegrasi memberikan kontribusi terhadap promosi dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan. Dampaknya meluas ke kemajuan sosial, peningkatan standar hidup yang lebih baik, dan kepatuhan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar.[9]

Dalam resolusi 2542 (XXIV) yang dikeluarkan pada tahun 1969, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi tentang Kemajuan dan Pembangunan Sosial. Resolusi tersebut menyatakan bahwa dengan menghormati dan mematuhi hak asasi manusia dan kebebasan mendasar maka akan terjadi kemajuan sosial dan pembangunan. Kondisi tersebut kemudian akan meningkatkan standar materi dan spiritual kehidupan semua anggota masyarakat.[10]

Pada tanggal 21 Februari 1977, Komisi HAM PBB menerbitkan Resolusi 4 (XXXIII). Dalam resolusi ini dibuat keputusan untuk memberikan perhatian khusus pada pertimbangan hambatan yang menghambat pencapaian penuh hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Perhaitan khusus ini ditujukan kepada tindakan untuk memperoleh hak-hak tersebut pada negara-negara berkembang baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Komisi meminta Sekretaris Jenderal PBB menegaskan bahwa hak atas pembangunan merupakan salah satu hak asasi manusia. Tindak lanjut yang diadakan ialah studi tentang dimensi internasional hak atas pembangunan sebagai HAM. Objek studi meliputi kerja sama internasional yang berkaitan dengan hak untuk perdamaian. Studi ini dilakukan melalui pertimbangan persyaratan Tatanan Ekonomi Internasional Baru dan kebutuhan mendasar manusia. Komisi Hak Asasi Manusia mengajukan dan mepertimbangkan studi ini pada sesi ke-35 tahun 1979.[11]

Kelompok kerja yang terdiri dari 15 ahli pemerintah dibentuk oleh Komisi HAM PBB melalui resolusi 36 (XXXVII). Resolusi ini diterbitkan pada tanggal 11 Maret 1981. Tujuan pembentukan kelompok kerja ini untuk mempelajari ruang lingkup dan isi dari hak untuk pembangunan. Selain itu, kelompok kerja ini ditugaskan untuk mencari cara-cara yang paling efektif untuk memastikan pemenuhan dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di semua negara. Dalam penugasannya, instrumen internasional dijadikan sebagai acuan utama. Fokus studi dikhususkan pada hambatan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang dalam upaya mereka untuk memperoleh pemenuhan HAM secara utuh. Kelompok kerja juga diwajibkan untuk menyerahkan laporan hasil kerjanya. Pelaporan disertai dengan pengajuan proposal konkret untuk pelaksanaan hak untuk pengembangan. Selain itu, proposal konkret juga berisi rancangan instrumen internasional terhadap hak atas pembangunan.[12]

Konferensi internasional[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 22 April hingga 13 Mei 1968 diadakan Konferensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Teheran, Iran. Dalam salah satu pernyataannya disebutkan bahwa hak-hak ekonomi dan sosial dapat dinikmati secara inheren. Tiap hak harus bermakna dan saling terhubung secara mendalam berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia dan pembangunan ekonomi. Pernyataan tersebut mengakui perlunya tanggung jawab kolektif oleh komunitas internasional untuk memastikan pencapaian standar hidup minimum. Pemenuhan ini diperlukan untuk penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua orang di seluruh dunia.[13]

Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia, yang diadakan di Wina pada tahun 1993, membahas secara luas hak untuk pembangunan. Konferensi ini kemudian melahirkan Deklarasi dan Program Aksi Wina, yang mengakui bahwa demokrasi, pengembangan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar adalah saling bergantung dan saling menguatkan. Konferensi ini menegaskan kembali hak untuk pembangunan sebagai hak universal dan tidak dapat dicabut dan merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang mendasar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sementara pembangunan memfasilitasi penikmatan semua hak asasi manusia, ketiadaan pembangunan mungkin tidak dapat digunakan untuk membenarkan pengurangan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.[14]

Deklarasi[sunting | sunting sumber]

Hak asasi manusia secara resmi diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Deklarasi Hak Atas Pembangunan. Penerimaan terhadap deklarasi ini adalah pada Resolusi Nomor 41/128 Majelis Umum PBB. Resolusi ini diterbitkan pada tanggal 4 Desernber 1986. Pernyataan tegas dalam deklarasi ini ialah bahwa hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut. Landasan pemikirannya bahwa setiap individu dan seluruh umat manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Pada bulan April 1993, hak atas pembangunan kembali dibahas pada Deklarasi Perbara. Pernyataan tegas di dalam deklarasi ini ialah bahwa hak atas pembangunan adalah hak asasi. Pada tahun yang sama, penegasan dan pengakuan keberadaan hak atas pembangunan juga dinyatakan dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina tahun 1993. Hubungan antara hak asasi manusia dan pembangunan juga dibahas dalam Deklarasi Copenhagen Hak pada tahun 1995.[15]

Deklarasi Hak Atas Pembangunan diakhiri dengan dengan persetujuan dari sebagian besar perwakilan negara yang menjadi pesertanya. Sebanyak 146 negara setuju, 1 tidak setuju yaitu Amerika, dan 8 abstain. Negara yang menyatakan abstain sebagian besar merupakan negara maju, sedangkan negara yang tidak setuju hanya Amerika Serikat. Negara-negara maju yang menyetujui deklarasi ini antara lain Australia, Kanada, Prancis, Belanda dan Selandia Baru.[16]

Pemenuhan[sunting | sunting sumber]

Diagram yang menunjukkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (dalam bahasa Inggris). Diadopsi pada tanggal 25 September 2015 sebagai bagian dari Agenda 2030.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pada paragraf ketiga dalam Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan dinyatakan bahwa hak untuk pembangunan harus dipenuhi untuk memenuhi secara adil kebutuhan pembangunan dan lingkungan dari generasi sekarang dan mendatang. Pernyataan yang serupa juga disampaikan pada paragraf ke-11 dalam Deklarasi Wina dan Program Aksi.[17] Khusus pada Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan telah dibahas mengenai hak setiap orang atas pembangunan yang berkelanjutan bersama dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.[18]

Pemenuhan Deklarasi Hak Atas Pembangunan dilakukan melalui penyusunan buku Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pada paragraf ke-10 dalam buku ini dinyatakan bahwa tujuan penyusunannya untuk pemenuhan Deklarasi Hak untuk Pembangunan. Pada paragraf ke-35 dinyatakan bahwa Deklarasi Hak Atas Pembangunan merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak untuk pembangunan. Hak ini harus terpenuhi sebagai prasyarat untuk keamanan dan perdamaian dunia.[19]

Pada tahun 1998 dibentuk Kelompok Kerja Pembangunan antar pemerintah negara anggota PBB. Keanggotaannya tidak dibatasi untuk pemerintah negara tertentu. Pertemuan pertama dari Kelompok Kerja ini diadakan di tahun yang sama. Hasil pertemuannya dilaporkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum PBB.[20] Kelompok Kerja Pembangunan ini diberi mandat antara lain:[21]

  1. Memantau kemajuan dan meninjau hasil yang dicapai dalam promosi dan implementasi hak-hak dalam Deklarasi Hak Atas Pembangunan. Pemantauan dan pieninjuan berlaku untuk tingkat nasional maupun internasional. Kelompok kerja dapat memberikan rekomendasi dan menganalisis penyebab pemenuhan hak-hak tersebut mengalami hambatan.
  2. Meninjau laporan dan informasi lain yang berhubungan dengan kegiatan mereka dan hak atas pembangunan. Informasi ini dapat diperoleh dari negara anggota PBB, badan-badan PBB, organisasi internasional lainnya atau organisasi nonpemerintah yang masih berkaitan dengan hak atas pembangunan.
  3. Menyampaikan petibangan kepada Dewan HAM dalam bentuk suatu laporan sesi. Laporan pertimbangan disertai dengan pemberian saran kepada Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Saran yang diberikan perihal implementasi hak untuk pembangunan serta metode poromosi pelaksanaan hak. Metode yang digunakan dapat berupa program-program atau bantuan teknis atas permintaan negara-negara berminat untuk membantu kegiatan promosi.

Dari tahun 2004 hingga April 2010, Kelompok Kerja didukung oleh gugus tugas tingkat tinggi tentang implementasi hak atas pembangunan. Gugus tugas ini dibentuk pada tahun 2004. Susunan anggotanyan adalah lima orang ahli independen. Tugasnya adalah memberikan saran ahli kepada Kelompok Kerja. Saran yang diberikan oleh gugus tugas tingkat tinggi berupa serangkaian usulan kriteria dan sub-kriteria operasional yang sesuai untuk implementasi hak atas pembangunan.[22]

Pada Resolusi Majelis Umum PBB 48/141 menetapkan tugas tambahan untuk jabatan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komisioner Tinggi PBB). Dalam resolusi ini, Komisioner Tinggi PBB diberi tugas untuk mempromosikan dan melindungi pemenuhan hak atas pembangunan. Selain itu, Komisioner Tinggi PBB bekerja sama dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan dukungan dari badan-badan terkait sistem PBB atas hak untuk pembangunan. Komisioner Tinggi PBB juga diharuskan untuk membuat laporan tahunan tentang kemajuan dalam pelaksanaan hak atas pembangunan. Laporan ini meliputi kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat kemitraan global untuk pembangunan antara negara-negara anggota PBB. Selain itu, isi laporan menyebutkan pula tentang agen-agen pembangunan dan lembaga pengembangan, keuangan dan perdagangan internasional. Dalam pemenuhan hak atas pembangunan melibatkan beberapa kerja sama internasional yaitu Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan, serta Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain itu, dilibatkan pula organisasi perdagangan internasional meliputi Organisasi Perdagangan Dunia, Dana Global dan Pusat Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan. Organisasi internasional lainnya yang turut mendukung pemenuhan hak atas pembangunan yaitu Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia, Organisasi Kesehatan Dunia, dan Asosiasi Klub Eropa.[23]

Pemanfaatan[sunting | sunting sumber]

Hak atas pembangunan dijadikan sebagai pendekatan baru dalam merancang dan merencanakan pembangunan berkelanjutan di tingkat negara maupun mancanegara. Posisi hak atas pembangunan ialah bagian dari hak asasi manusia. Penggunaannya untuk menggantikan pembangunan berkelanjutan yang menggunakan pendekatan berbasis kebutuhan. Dalam pendekatan berbasis kebutuhan, keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan hanya menjadi syarat pelengkap dan bukan penentu utama keberhasilannya. Sedangkan pada pendekatan pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia, keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan merupakan sebuah hak dasar yang wajib terpenuhi. Pendekatan hak atas pembangunan dalam pembangunan berkelanjutan membuat masyarakat dapat melakukan intervensi secara menyeluruh dan terpadu melalui pencarian penyebab masalah sosial. Hak atas pembangunan dijadikan sebagai acuan baru dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan jangka panjang dengan tingkat risiko timbulnya masalah yang sangat rendah. Adanya kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas pembangunan membuat negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhinya. Keberadaan hak atas pembangunan kemudian mengarahkan kebijakan publik terkait pembangunan tidak hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, melainkan juga meliputi pembangunan sosial. Pendekatan hak atas pembangunan dalam pembangunan berkelanjutan kemudian dapat mengurangi masalah ekonomi berupa kemiskinan dan masalah sosial yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat.[24]

Pemantauan[sunting | sunting sumber]

Pemantauan pemenuhan terhadap hak atas pembangunan di dalam suatu negara dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pengawasan dilakukan terhadap undang-undang, anggaran, rencana nasional dan proyek nasional dari suatu negara. Undang-undang yang dipantau berhubungan dengan arah pembangunan negara tersebut. Dalam hal anggaran negara, yang dipantau meliputi anggaran yang digunakan untuk keperluan pemerintahan negara dan daerah-daerah di dalamnya. Pemantauan terhadap rencana nasional meliputi rencana pembangunan skala lokal maupun nasional serta rencana pembangunan jangka panjang. Sedangkan proyek nasional berkaitan dengan proyek pembangunan yang strategis dengan skala besar. [25]

Pelanggaran[sunting | sunting sumber]

Pembangunan di suatu negara merupakan tanggung jawab dari pemerintah negara tersebut. Dalam konteks hak atas pembangunan, negara menjadi penanggung jawab sedangkan masyarakat menjadi pemegang hak. Negara wajib memenuhi hak atas pembangunan karena statusnya sebagai salah satu hak asasi manusia. Instrumen hak asasi manusia menetapkan bahwa hak atas pembangunan merupakan salah satu hak asasi yang tidak dapat dicabut. Dalam pemenuhannya, hak atas pembangunan berkaitan dengan hak-hak lainnya seperti hak atas pangan, hak atas kesehatan, dan hak untuk ikut serta dalam politik negara. Syarat pemenuhan hak atas pembangunan adalah adanya keberterimaan oleh seluruh masyarakat. Pengabaian atau tidak diterapkannya hak atas pembangunan oleh suatu negara dianggapp sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.[26]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Firdaus, dkk. 2013, hlm. 7.
  2. ^ Smith, R.K.M., dkk. (2008). Asplund, K.D., dkk., ed. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. hlm. 16. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-02. Diakses tanggal 2021-07-14. 
  3. ^ Arifin, Firdaus (2019). Hak Asasi Manusia: Teori, Perkembangan dan Pengaturan (PDF). Yogyakarta: Penerbit Thafa Media. hlm. 21–22. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-14. Diakses tanggal 2021-07-14. 
  4. ^ Asfinawati 2019, hlm. 5.
  5. ^ Baderin, Mashood A. (2010). Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam (PDF) (edisi ke-2). Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. hlm. 21. ISBN 978-979-26-1433-6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-08-14. Diakses tanggal 2021-07-14. 
  6. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr,org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. The right to development can be rooted in the provisions of the Charter of the United Nations, the Universal Declaration on Human Rights and the two International Human Rights Covenants. Through the United Nations Charter, Member States undertook to "promote social progress and better standards of life in larger freedom" and "to achieve international cooperation in solving international problems of an economic, social, cultural or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language or religion." 
  7. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. The Universal Declaration on Human Rights contains a number of elements that became central to the international community's understanding of the right to development. It attaches importance, for example, to the promotion of social progress and better standards of life and recognizes the right to non-discrimination, the right to participate in public affairs and the right to an adequate standard of living. It also contains everyone's entitlement to a social and international order in which the rights and freedoms set forth in the Declaration can be fully realized. 
  8. ^ a b Asfinawati 2019, hlm. 6.
  9. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. An important step towards the recognition of the right to development was UN General Assembly resolution 1161 (XII), made in 1957. In this resolution, the General Assembly expressed the view "that a balanced and integrated economic and social development would contribute towards the promotion and maintenance of peace and security, social progress and better standards of living, and the observance of and respect for human rights and fundamental freedoms." 
  10. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. In 1969, the General Assembly, in its resolution 2542 (XXIV), adopted the Declaration on Social Progress and Development, which states that "social progress and development shall aim at the continuous raising of the material and spiritual standards of living of all members of society, with respect for and in compliance with human rights and fundamental freedoms." 
  11. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. In its resolution 4 (XXXIII) of 21 February 1977, the UN Commission on Human Rights decided to pay special attention to consideration of the obstacles impeding the full realization of economic, social and cultural rights, particularly in developing countries, and of national and international action to secure the enjoyment of those rights. Recognizing the right to development as a human right, the Commission requested the UN Secretary-General to undertake a study on "the international dimensions of the right to development as a human right in relation with other human rights based on international cooperation, including the right to peace, taking into account the requirements of the New International Economic Order and fundamental human needs." The study was submitted and considered by the Commission on Human Rights at its thirty-fifth session in 1979. 
  12. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. The Commission subsequently, by its resolution 36 (XXXVII) of 11 March 1981, established a working group of 15 governmental experts to study the scope and contents of the right to development and the most effective means to ensure the realization, in all countries, of the economic, social and cultural rights enshrined in various international instruments, paying particular attention to the obstacles encountered by developing countries in their efforts to secure the enjoyment of human rights. It also requested the Working Group to submit a report with concrete proposals for implementation of the right to development and for a draft international instrument on this subject. 
  13. ^ United Nations Human Rights. "Milestone Events in the Right to Development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. 
  14. ^ United Nations Human Rights. "Milestone events in the right to development". ohchr.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 2 Juni 2021. The World Conference on Human Rights, held in Vienna in 1993, dealt extensively with the right to development. It adopted the Vienna Declaration and Programme of Action, which recognizes that democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms are interdependent and mutually reinforcing. The World Conference reaffirmed by consensus the right to development as a universal and inalienable right and an integral part of fundamental human rights. It further stated that, while development facilitates the enjoyment of all human rights, lack of development may not be invoked to justify the abridgement of internationally 
  15. ^ Armiwulan, Hesti (2017). Pelanggaran HAM dan Mekanisme Penanganannya (PDF). Yogyakarta: Ruas Media. hlm. 20–21. ISBN 978-602-61576-2-1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2021-07-14. 
  16. ^ Asfinawati 2019, hlm. 7.
  17. ^ United Nations Human Rights 2016, hlm. 13.
  18. ^ Manan, B., dan Susi Dwi Harijanti (2019). Perwira, I., Mei S., dan M. A.Y. Zulfikar, ed. "Hak Asasi Ekonomi dan Sosial Dalam UUD 1945" (PDF). Hukum, Hak Asasi, dan Demokrasi: Kumpulan Artikel dalam Rangka Ulang Tahun ke-80 Prof (em). Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H. Pusat Studi Kebijakan Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran: 76. ISBN 978-602-95828-4-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-14. Diakses tanggal 2021-07-14. 
  19. ^ United Nations Human Rights 2016, hlm. 13-14.
  20. ^ United Nations Human Rights. "The Right to Development at a glance" (PDF). un.org. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-04-24. Diakses tanggal 2 Juni 2021. The intergovernmental open-ended Working Group on the Right to Development was established in 1998.The Working Group meets once a year and reports to the Human Rights Council (HRC) and the GA. 
  21. ^ United Nations Human Rights. "The Right to Development at a glance" (PDF). un.org. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-04-24. Diakses tanggal 2 Juni 2021. Its mandate is inter alia: (a) to monitor and review progress made in the promotion and implementation of the right to development as elaborated in the Declaration, at the national and international levels, providing recommendations thereon and further analyzing obstacles to its full enjoyment…; (b) to review reports and any other information submitted by States, United Nations agencies, other relevant international organizations and non-governmental organizations on the relationship between their activities and the right to development; and (c) to present for the consideration of the HRC a sessional report on its deliberations, including advice to the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) with regard to the implementation of the right to development, and suggesting possible programmes of technical assistance at the request of interested countries with the aim of promoting the implementation of this right. 
  22. ^ United Nations Human Rights. "The Right to Development at a glance" (PDF). un.org. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-04-24. Diakses tanggal 2 Juni 2021. Until April 2010, the Working Group was supported by the high-level task force on the implementation of the right to development, established in 2004 with the composition of five independent experts, to provide expert advice to the Working Group. At the request of the Working Group, the high-level task force proposed a set of criteria and corresponding operational sub-criteria for the implementation of the right to development. 
  23. ^ Uniited Nations Human Rights. "The Right to Development at a glance" (PDF). un.org. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-04-24. Diakses tanggal 2 Juni 2021. GA resolution 48/141 which established the post of High Commissioner (HC) explicitly includes the mandate “to promote and protect the realization of the right to development and to enhance support from relevant bodies of the UN system for this purpose.” The right to development has been consistently highlighted by the GA and the HRC which both request the Secretary-General and the HC to report annually on progress in the implementation of the right to development including activities aimed at strengthening the global partnership for development between Member States, development agencies and the international development, financial and trade institutions. UN agencies and international institutions involved in the work of human rights and development as well as the right to development include UNDP, UNCTAD, UNFCCC, ECA, the World Bank, IMF, WTO, UNESCO, WIPO, WHO, the Global Fund and ICTSD. 
  24. ^ Firdaus, dkk. 2013, hlm. 17-18.
  25. ^ Asfinawati 2019, hlm. 17.
  26. ^ Suntoro, Agus (2018). Kajian Terhadap UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Peengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (PDF). Jakarta Pusat: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. hlm. 26–27. ISBN 978-602-50342-6-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-14. Diakses tanggal 2021-07-14. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Asfinawati (2019). Hak Atas Pembangunan (Fact Sheet). Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-02. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  2. Firdaus, dkk. (2013). Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan (PDF). Jakarta Pusat: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. ISBN 978-979-26-1447-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-06-15. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  3. United Nations Human Rights (2016). Frequently Asked Questions on the Right to Development (PDF). New York dan Genewa: United Nations. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2021-06-02.