Ekonomi biru

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ekonomi biru (bahasa Inggris: blue economy) adalah rancangan optimalisasi sumber daya air yang bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kegiatan yang inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin usaha dan kelestarian lingkungan. Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs. Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem yang menuju tingkat efisiensi yang lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar semua kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru berfokus pada inovasi dan kreativitas yang meliputi keragaman produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya.[1]

Ekonomi biru adalah kegiatan yang pro ekosistem. Limbah keluaran dari kegiatan perikanan harus berada dalam kondisi yang tidak mencemari lingkungan tanah maupun perairan umum. Baik dari limbah kimia maupun limbah organik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada habitat dan kehidupan ekosistem. Oleh sebab itu, perlu adanya ilmu dan teknologi dalam persoalan limbah. Jika hal ini dapat terealisasi maka ekonomi biru yang terintegrasi dengan program industrialisasi perikanan akan semakin berhasil dan memajukan sektor perikanan yang ada di Indonesia.

Ekonomi biru juga hadir sebagai program yang menjadikan kebijakan dalam berburu ikan lebih terorganisir. Regulasi penangkapan ikan secara terukur harus benar benar pemerintah terapkan sehingga aspek ekologi dari perkembangan biakan hewan laut terjaga dan berkembang dengan baik.

Tindakan penerapan ekonomi buru juga secara efektif dapat membuat aktivitas membahayakan seperti overfishing dan juga overfished bisa teratasi. Kedua kegiatan ini sangat mengerikan dan efektif menghancurkan ekosistem laut Indonesia. Maka dari itu, penting menerapkan penangkapan terukur[2].

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejak diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa. Kebijakan pembangunan ekonomi kelautan sebagai pembangunan ekonomi kelautan dengan model ekonomi biru demi terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional. Ekonomi biru terus berjalan dan selalu dikaitkan dengan pengembangan wilayah pesisir. Konsep ekonomi biru sama dengan konsep ekonomi hijau yaitu ramah lingkungan dengan berfokus kepada negara berkembang yang memiliki wilayah laut, yang biasa disebut dengan Small Island Development States (SIDS). Dalam hal ini ekonomi biru diarahkan untuk menanggulangi masalah kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan biota laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di wilayah pesisir, serta mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim.

Program[sunting | sunting sumber]

Program yang akan dirancangkan sebagai bagian dari terciptanya ekonomi biru untuk menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan, yaitu Program Infrastruktur Kawasan Terumbu Karang dan Mangrove LAUTRA (Laut Sejahtera). Program ini bertujuan untuk peningkatan pengelolaan terumbu karang dan ekosistem mangrove beserta kawasan konservasi, dengan adanya penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan, serta memperbaiki kondisi sosial ekonomi untuk meningkatkan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat.[3]

Tantangan[sunting | sunting sumber]

Fakta bahwa Indonesia mempunyai berbagai potensi sangat besar dan melimpah namun tidak tercermin dalam kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Terdapat banyak nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi lingkunganya yang mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan karena kapasitas untuk akses pekerjaan yang lebih baik merupakan alasan beberapa para nelayan yang tetap ingin bertahan. Ditambah lagi, bantuan pemerintah berupa kapal Inka Mina, misalnya, banyak masalah kendala dalam operasionalisasinya. Hasil tangkapan para nelayan tradisional juga sangat terbatas karena peralatan yang dipakai dibandingkan dengan perusahaan penangkap ikan yang mempunyai kapal dan peralatan lebih canggih yang membuat nelayan tradisional kalah dalam bersaing, beberapa nelayan kemudian memutuskan untuk berhenti mencari ikan dan menjadi buruh nelayan pada perusahaan ikan yang secara ekonomi tidak membuat mereka lebih baik. Dengan keterbatasan pengetahuan dan dengan ditambah tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menyebabkan aspek ekologi menjadi terabaikan. Penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan, seperti bom, potas, dan pukat harimau, cenderung merusak keanekaragaman hayati dan biota laut.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ilma Nijma, Ajeng Faizah. "Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan Lingkungan". jurnal.uns.ac.id. 
  2. ^ "Apa Yang Dimaksud Ekonomi Biru Dan Eksistensinya Di Sektor Kelautan Dan Perikanan". ZONABAHARI.COM. 27 November 2022. Diakses tanggal 26 Desember 2022. 
  3. ^ "Hadapi Era Ekonomi Biru, Pelestarian dan Peningkatan Kesejahteraan di Sektor Kelautan dan Perikanan Menjadi Prioritas". maritim.go.id. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 2 Febuari 2022. 
  4. ^ "Ekonomi Biru untuk Maritim Indonesia yang Berkelanjutan". kemenkeu.go.id. 09 Desember 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-02. Diakses tanggal 2 Febuari 2022.