Cinchona

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Cinchona
Cinchona pubescens - bunga
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Genus:
Cinchona

L. 1753
Spesies

sekitar 25 spesies

Cinchona adalah genus beranggotakan sekitar 25 spesies dari suku Rubiaceae yang berasal dari Amerika Selatan tropika. Anggota genus ini berupa tanaman perdu besar atau pohon kecil hijau abadi yang tumbuh hingga ketinggian 5—15 meter.

Kulit pohonnya merupakan sumber dari berbagai jenis alkaloid,[1] yang paling dikenal adalah kuinina, suatu senyawa antipiretik (penawar demam) yang terutama digunakan dalam pengobatan malaria. Dari banyak penghasil kuinina, hanya C. officinalis dan C. pubescens (syn. C. succirubra) yang dibudidayakan dalam perkebunan. C. officinalis subsp. ledgeriana yang dipakai sebagai batang bawah. Kedua jenis ini dikenal dalam perdagangan sebagai tumbuhan kina.

Persebaran dan Syarat Pertumbuhan[sunting | sunting sumber]

Pesebaran tanaman Kina pada Andes Timur dan Peru.

Kina merupakan pohon dengan genus Cinchona sp. yang berasal dari Pegunungan Andes. Pohon ini tumbuh pada ketinggian 1050 hingga 1500 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia, pohon ini dapat hidup di daerah dengan ketinggian 800 hingga 2000 mdpl, dengan ketinggian optimum untuk budidaya sekitar 1400 hingga 1700 mdpl. Curah hujan yang ideal untuk budidaya kina adalah 2000 hingga 3000 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 13.5 hingga 21 derajat Celcius, dengan kelembaban relatif harian minimum dalam satu tahun sekitar 68% hingga 97%. Karakteristik tanah yang cocok untuk budidaya Kina bersifat subur, gembur, tidak bercadas dan berbatu, banyak mengandung bahan organik, serta memiliki derajat keasaman (pH) sekitar 4.6 hingga 6.5 dengan pH optimum sebesar 5.8.[2]

Spesies[sunting | sunting sumber]

Kulit kina siap disortir. Foto koleksi KITLV.

Produksi Kina[sunting | sunting sumber]

Terdapat dua spesies Kina yang penting, yakni C. succirubra yang dipakai sebagai batang bawah dan C. ledgriana yang digunakan sebagai bahan tanaman batang atas. Di Indonesia banyak tanaman Kina diperbanyak dengan cara stek sambung batang bawah dan atas. Tanaman ini dapat dibudidaya, dengan cara yang pertama dilakukan pembibitan dengan metode stek sambung, lalu media mempersiapkan lahan dan pemupukan lahan, selanjutnya dilakukan penanaman. Masa penanaman Kina dapat dilakukan pada awal musim hujan untuk menghindari penguapan yang berlebihan. Pemanenan Kina dapat dilakukan saat musim kemarau.[2]

Produk Sekunder Pohon Kina[sunting | sunting sumber]

Manfaat senyawa alkaloid pohon Kina sebagai obat anti-malaria saat ini telah banyak digantikan dengan obat anti-malaria sintetik yaitu chloroquine. Hal ini disebabkan karena munculnya agen penyebab malaria yang bersifat resisten terhadap obat anti-malaria sebelumnya. Sehingga saat ini senyawa alkaloid pohon Kina, contohnya quinine, lebih banyak digunakan sebagai penambah rasa pahit pada beberapa jenis minuman, selain itu quinine digunakan dalam produksi sampo, minyak rambut, insektisida, agen vulcanizing pada produksi karet, dan preparasi beberapa jenis logam. Senyawa pohon Kina lain, seperti quinidine digunakan sebagai senyawa anti-arrythmic. Senyawa alkaloid dari pohon Kina dapat dimanfaatkan dalam pengobatan ophthalmia, internal haemorrhoid, dan hiccups.[3]

Potensi di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Manfaat Kina yang dapat menjadi obat menyebabkan kebutuhannya semakin meningkat. Namun sayangnya, luas perkebunan Kina milik negara menurun pada tahun 2009 hingga 2014 [4] .Hal ini menyebabkan tingkat produksi Kina cukup stagnan setiap tahunnya, yakni sekitar 500 ton per tahun. Fakta uniknya adalah, sejumlah 90 persen kebutuhan Kina di dunia dipasok dari kebun Kina di daerah Priangan, Jawa Barat dan memiliki pabrik di Bandung, Jawa Barat. Kabupaten Bandung Barat merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan Pohon Kina. Hal ini didukung oleh karakteristik topografi dan iklim yang sesuai dengan syarat pertumbuhan Pohon Kina.[5]

Produk Utama: Karakterisasi, dan Kualitas[sunting | sunting sumber]

Bagian bunga, daun, dan batang dari tanaman Kina.

Bagian tanaman kina yang diambil adalah kulit batang, dahan, cabang, dan ranting. Pemanenan ranting dapat dilakukan saat tanaman berusia 6-7 tahun dengan diameter lebih dari 7 cm. Ranting dengan diameter kurang dari 7 cm memiliki kadar quinine sulfate yang rendah. Umur pohon Kina yang siap ditebang yakni antara 9 hingga 11 tahun. Kina yang telah dipanen, selanjutnya diproses pada tahapan downstream. Proses downstream tersebut melingkupi penyortiran dari bagian tanaman yang tidak diinginkan; pencucian untuk membersihkan kotoran agar kualitas kina tetap terjaga; pengeringan selama 2-3 hari di bawah sinar matahari atau hingga kadar air di bawah 8%; penyortiran kembali; lalu dikemas pada wadah bersih dan kedap udara; dan produk disimpan pada ruangan kering. Kina yang diproduksi dari perkebunan Indonesia memiliki standar mutu yang memenuhi standar internasional, yakni memiliki kadar quinine sulfate pada kelas SQ7.[2]

Produksi Kina tidak memiliki sistem grading. Namun, Kina yang siap dipasarkan harus dalam bentuk yang kecil dan “druggist quills” yang memiliki panjang 30 cm, lebar 1–8 cm, serta ketebalan 2–6 mm. Beberapa spesifikasi penjualan Kina antara lain asal negara, warna didalam kulit kina, kelembaban, total konten alkaloid, quinine, quinidine, dan quinine sulfate. Standar konten alkaloid direpresentasikan dalam persentase QAA (quinine as anhydrous alkaloid) dan SQ (Quinine sulfate) dengan nilai SQ-7 (quinine sulfate dengan 7 molekul air) atau SQ-2 (quinine sulfate dengan 2 molekul air).[6]

Kajian Metabolomik[sunting | sunting sumber]

Cinchonidine
Cinchonine

Spesies Cinchona calisaya menghasilkan beberapa metabolit. Salah satu metabolit Pohon Kina yang banyak dianalisis merupakan metabolit yang berasal dari kelompok alkaloid quinoline, yaitu quinine, quinidine, cinchonine, dan cinchonidine. Keempat metabolit ini memiliki aktivitas antimalaria. Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak diproduksi oleh tumbuhan berpembuluh dan diproduksi sebagai respons terhadap perubahan lingkungan. Senyawa alkaloid pada Pohon Kina banyak ditemukan pada bagian kulit pohon dan akar.[7] Saat ini, analisis metabolit dengan tujuan memisahkan, mengidentifikasi, serta mengkuantifikasi metabolit dari Pohon Kina dilakukan melalui metode TLC, HPTLC, HPLC, LC-MS, dan elektokromatografi.[8]

Kandungan alkaloid di dalam kulit kayu pohon Kina dapat dideteksi dengan cara mengekstraksi terlebih dahulu senyawa alkaloid dari kulit kayu pohon Kina. Kulit kayu terlebih dahulu dipisahkan dari lichen yang menempel. Lalu, kulit kayu digiling dengan mesin. Selanjutnya, kulit dilarutkan dalam DMSO (Dimethyl sulfoxide) dan sel dilisiskan dengan metode ultrasonikasi. Setelah diultrasonikasi, ditambahkan larutan metanol 70% yang mengandung asam format 0.1%, lalu kembali diultrasonikasi. Selanjutnya, campuran tersebut disentrifugasi untuk memisahkan komponen alkaloid dengan debris sel. Recovery produk dsri proses ekstraksi ini dapat mencapai 73%.[7]

Quinine
Quinidine

Kandungan senyawa alkaloid quinoline ini berbeda pada setiap spesies Pohon Kina.[9] Analisis metabolit alkaloid pada Pohon Kina Cinchona calisaya dapat dilakukan dengan pendekatan Targeted approach. Pertama, senyawa alkaloid diekstraksi dari kulit batang dan akar Pohon Kina. Lalu, pendeteksian keempat senyawa alkaloid ini dapat dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Metode analisis menggunakan HPLC dapat memisahkan serta mengkuantifikasi berbagai jenis senyawa alkaloid yang terkandung dalam Pohon Kina. Berdasarkan hasil analisis dengan metode HPLC, didapatkan hasil bahwa konsentrasi senyawa quinine paling tinggi dibandingkan metabolit kelompok alkaloid lainnya, diikuti oleh quinidine, cinchonine, lalu cinchonidine.[7]

Selain senyawa alkaloid quinoline, genus Cinchona sp. juga mengandung metabolit alkaloid indole-type minor seperti cinchonamine; quinamine, tetracyclic 3-isocorynantheil, pentacyclic aricine, cinchotannic yang apabila terjadi oksidasi, akan menghasilkan pigmen berwarna merah yang menyebabkan kulit pohon berwarna kemerahan. Selain senyawa kelompok alkaloid, terdapat pula senyawa non-alkaloid seperti kelompok asam fenolik, contohnya caffeic, chlorogenic, protocatechic p-coumaric acid, epicatechin, phenylpropane-substituted flavane-3-oles - cinchonaines, triterpene, quinovic acid, glycoside quinovin, cincholic acid, anthocyanosides, flavonoid, dan anthraquinones.[8]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Parker, Sybil, P (1984). McGraw-Hill Dictionary of Biology. McGraw-Hill Company. 
  2. ^ a b c Distan Provinsi Jogja. 2018. Chinchona spp. [Online]. https://distan.jogjaprov.go.id/wp-content/download/tanaman_obat/kina.pdf
  3. ^ Plantuse. 2016. Cinchona (PROSEA). [online]. https://uses.plantnet-project.org/en/Cinchona_(PROSEA) diakses pada 22 Mei 2019.
  4. ^ Media, 4 Vision. "Kina". Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-10. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  5. ^ Suciyati, N. 2017. Evaluasi Kesesuain Lahan Tanaman Kina di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat menggunakan Sistem Informasi Geografi. Universitas Pendidikan Indonesia.
  6. ^ Nair, K. P. Prabhakaran. (2014). The Agronomy and Economy of Important Tree Crops of the Developing World. Elsevier Science. ISBN 9780123846785. OCLC 956669866. 
  7. ^ a b c Maldonado, Carla; Barnes, Christopher J.; Cornett, Claus; Holmfred, Else; Hansen, Steen H.; Persson, Claes; Antonelli, Alexandre; Rønsted, Nina (2017-03-22). "Phylogeny Predicts the Quantity of Antimalarial Alkaloids within the Iconic Yellow Cinchona Bark (Rubiaceae: Cinchona calisaya)". Frontiers in Plant Science. 8. doi:10.3389/fpls.2017.00391. ISSN 1664-462X. 
  8. ^ a b Kacprzak, Karol Michał (2013). Ramawat, Kishan Gopal; Mérillon, Jean-Michel, ed. Natural Products (dalam bahasa Inggris). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 605–641. doi:10.1007/978-3-642-22144-6_22. ISBN 9783642221439. 
  9. ^ Toruan-Mathius, Nurita; Reflini, .; Nurhaimi-Haris, .; Joko-Santoso, .; Priangani-Roswiem, A (2016-03-08). "Kultur akar rambut Cinchona ledgeriana dan C. succirubra dalam kultur in vitro Hairy root culture of Cinchona ledgeriana and C. succirubra by in vitro culture". E-Journal Menara Perkebunan. 72 (2). doi:10.22302/iribb.jur.mp.v72i2.123. ISSN 1858-3768.