Bambang Sumantri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Bambang sumantri)

Bambang Sumantri adalah seorang kesatria yang hebat dalam tokoh wayang yang memiliki paras tampan dan senjata pemusnah angkara murka, Cakrabaskara.[1] Bambang Sumantri atau sering juga disebut Raden Suwanda adalah anak sulung dari Begawan Suwandagni di pertapaan Ardisekar.[1] Resi Suwandagni masih saudara sepupu dengan Ramaparasu putra dari Resi Jamadagni.[1] Bambang Sumantri memiliki seorang adik yang wajahnya menyerupai raksasa, Bambang Sukrasana namanya.[1]

Sumantri Mengabdi[sunting | sunting sumber]

Pada suatu malam Sumantri menghadap Resi Suwandagni untuk memohon diri.[2] Ia hendak pergi melamar pekerjaan ke negeri Maespati.[2] Ia tidak mau membawa adiknya ikut serta karena malu terhadap wajah Sukrasana.[2] Sumantri diterima oleh Harjuna Sasrabahu asalkan dapat merebut putri dari negeri Magada.[2] Dengan gagah berani Sumantri berhasil menyisihkan semua lawannya dalam sayembara merebut Dewi Citrawati.[2] Setelah ia berhasil dalam benaknya muncul pikiran untuk memiliki Dewi Citrawati.[2] Sebenarnya Ia diberi tugas oleh Harjuna Sasrabahu untuk membawa Dewi Citrawati tetapi ia malah ingin menjadikan Dewi Citrawati sebagai istrinya.[2]

Akhirnya terjadi perselisihan antara Sumantri dan Harjuna Sasrabahu.[2] Tantangan Sumantri diterima oleh Harjuna Sasrabahu dengan senang hati.[2] Terjadilah peperangan yang seru dan dahsyat karena masing-masing adalah inkarnasi dari Batara Wisnu.[2] Sumantri mengangkat dan melepaskan Cakrabaskara ke arah Harjuna Sasrabahu. Cakrabaskara menyala, gemuruh suaranya membelah angkasa dan mengejutkan hati Harjuna Sasrabahu.[2] Karena terkejut hatinya, Harjuna Sasrabahu kemudian ber-triwikrama atau mengubah dirinya menjadi raksasa bermuka seribu.[2]

Sumantri berhasil diringkus dan diinjak di bawah telapak kakinya.[2] Sambil menangis, Sumantri meminta ampun atas kelancangan dan kesalahannya.[2] Harjuna Sasrabahu mau menerima maafnya tetapi dengan syarat yang lebih berat.[2] Sumantri diperintahkan untuk membangun taman Sriwedari.[2] Dalam kesedihan ini datanglah Sukrasana menyusul Sumantri.[2] Sukrasana bersedia membantu Sumantri asalkan ia diperbolehkan ikut kakaknya ke mana pun Sumantri berada.[2] Sumantri menyetujui tawaran Sukrasana.[2] Dengan kesaktiannya, Sukrasana berhasil memutar taman Sriwedari dan dipindahkan ke negeri Maespati.[2] Atas jasanya itu, Sumantri berterima kasih kepada adiknya tetapi dengan pesan agar Sukrasana bersembunyi dan tidak menemuinya di tempat umum.[2]

Pada suatu hari Citrawati bersama pengiringnya di kala sedang bersukaria di taman Sriwedari.[2] Tiba-tiba mereka lari ketakutan karena melihat raksasa kerdil berada di taman.[2] Citrawati kemudian mengadukannya kepada Harjuna Sasrabahu. Sumantri yang telah bergelar Patih Suwanda segera datang memeriksa taman.[2] Ternyata raksasa itu adalah Sukrasana dan Sumantri mengancam agar Sukrasana pergi dengan senjata Cakrabaskara.[2] Namun sial, senjata Sumantri lepas dari tangannya dan tewaslah Sukrasana.[2]

Nilai Filosofi[sunting | sunting sumber]

Kisah Sumantri dan Sukrasana adalah pencerminan dari jiwa dan raga.[3] Situasi menjadi tidak adil ketika jiwa yang mencari keluhuran malah sewenang-wenang terhadap sesama.[4][5] Pengabdian jiwa manusia yang akan berbakti dan menjunjung nama Tuhan tidak dapat bersama-sama dengan badan jasmaninya.[4] Hal ini tidak berarti menyampingkan jasmani tetapi setelah jiwa manusia diterima oleh Tuhan atau Manunggaling Kawula Gusti, jasmani tidak dapat ikut serta.[6] Maka dalam kisah ini Sukrasana harus menyingkir sebagai perwujudan jasmani artinya kebutuhan duniawi harus disisihkan terlebih dahulu.[4]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Kamajaya. "Tokoh Tripama 1: Bambang Sumantri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-24. Diakses tanggal 24 April 2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Ir.Sri Mulyono (1976). Wayang dan Karakter Manusia:Harjunasasra dan Ramayana. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 49-51. 
  3. ^ Ir.Sri Mulyono (1976). Wayang dan Karakter Manusia:Harjunasasra dan Ramayana. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 60. 
  4. ^ a b c Heniy Astiyanto, SH (2006). Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Yogyakarta: Warta Pustaka. hlm. 365. 
  5. ^ Hazim Amir (1991). Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm. 112-113. 
  6. ^ Ir.Sri Mulyono (1982). Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 32.