Adat Minangkabau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Adat Minang)
Rumah Adat Minangkabau yang disebut dengan Rumah Gadang

Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatera Barat. Dalam batas tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat Minang yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.

Adat adalah landasan bagi kekuasaan para Rajo atau Penghulu (pemimpin masyarakat adat), dan dipakai dalam menjalankan kepemimpinan masyarakat adat sehari-hari. Semua peraturan hukum dan perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam yang sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau.

Aturan adat dibangun berlandaskan pada tiga ketetapan utama adat Minangkabau. Dua ketetapan pertama ditetapkan oleh Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan, Yaitu:

Pertama: Ulayat Adat Milik Bersama. artinya tidak ada kepemilikan individu terhadap ulayat adat Minangkabau. Untuk pengaturan pemanfaatannya ditetapkan Niniekmamak sebagai pembuat kebijakan.

Kedua: Penurunan Ulayat Adat Pada Perempuan Garis Ibu. Kaum perempuan diamanahkan sebagai pemegang ulayat adat dan diturunkan kepada anak perempuannya sebagai pemegang estafet ulayat adat. Perempuan pemegang ulayat adat tersebut dikenal dengan istilah Bundokanduang.

Ketetapan ketiga Masyarakat Adat Minangkabau ditetapkan di puncak Pato Bukik Marapalam. Kesepakatan pemimpin adat dengan pemimpin agama islam, kaum ulama menyepakati penambahan satu ketapan adat untuk melengkapi dua ketatapan adat yang sudah ada sebelumnya, yaitu:

Ketiga: Islam Agama Masyarakat Adat Minangkabau. Akibat ketetapan ketiga tersebut di masyarakat adat lahir satu lagi kutup kepemimpinan masyarakat yang bertugas menjaga dan membimbing masyarakat dalam segi agama islam yaitu Alimulama.

Tiga ketetapan adat tersebut dikenal dengan "Tali Tigo Sapilin" adat Minangkabau, yang mengikat masyarakat adat sebagai satu kesatuan masyarakat adat Minangkabau.

Dengan demikian maka dianggap sempurnalah adat minangkabau, dua ketetapan adat yang tumbuh dari tanah disempurnakan dengan satu ketetapan yang datang dari langit, kesempurnaan ini dikenal dengan "Adat Nan Basandi Syaraka, Syarak Basandi Kitabullah" (ABS-SBK). Kepemimpinan masyarakat adat mengerucut pada tiga majlis musyawarah yang memiliki peran masing-masing dimasyarakat adat. Kelembagaan kepemimpinan itu dikenal dengan "Tungku Tigo Sajarangan" (TTS). Komponen TTS adalah yaitu:

  1. Majlis Musyawarah Alimulama, majlis yg bertugas sebagai pengontrol/penilai/pengarah mewakili peran Tuhan (Nan Bana) terhadap kesesuaian kebijakan-kebijakan yg dibuat dengan ajaran agama islam sebagai agama masyarakat adat. Majlis ini juga bertanggungjawab menjaga pelaksanaan ajaran islam di masyarakat adat minangkabau.
  2. Majlis Musyawarah Ninikmamak, majlis pembuat kebijakan, baik untuk pemanfaatan ulayat adat, maupun untuk kebijakan-kebijakan lainnya yang akan diberlakukan di masyarakat adat.
  3. Majlis Musyawarah Bundokanduang, majlis pemegang ulayat adat minangkabau dan harta-harta bersama lainnya serta penanggungjawab pendidikan generasi penerus masyarakat adat.

Lembaga adat TTS tersebut ada pada tiap tingkatan komunitas yang memiliki ulayat adat, seperti "Komunitas Nagari" Pemilik "Ulayat Adat Nagari", "Komunitas Suku" pemilik "Ulayat Adat Suku" dan "Komunitas Kaum" pemilik "Ulayat Adat Kaum". Pimpinan tertinggi dari masing-masing komunitas tersebut adalah Pangulu, yaitu pemimpin yang di pilih dari kaum Ninikmamak sebagai pemimpin komunitas Kaum, suku atau Nagari.

Struktur masyarakat yang terbentuk oleh penerapan ketetapan adat tersebut terbangunlah sebuah masyarakat adat yang terpimpin yang melahirkan adegium adat tentang konsep kepemimpinan adalah: "Kamanakan Barajo Ka Mamak, Mamak Barajo Ka Pangulu, Pangulu Barajo Ka Mufakat, Mufakat Barajo Ka Nan Bana, Nan Bana berdiri sendiriNyo".

Seorang Rajo atau Penghulu memegang kekuasaan karena keturunan, dan kekuasaan itu menjadi sah karena didukung oleh para ulama yang memegang otoritas agama dalam masyarakat sebagai implementasi adagium Adat basandi syarak; Syarak basandi Kitabullah.

Masyarakat adat Minangkabau telah mengalami tiga periode besar kekuasaan yang meliputinya, yaitu: Kerajaan Pagaruyung Abad ke-14, Pemerintahan Kolonial Belanda abad ke-17 dan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945, sampai saat ini. Kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang didirikan oleh Aditiawarman, keluarga raja Majapahit.

Pada masa kolonialis Eropa, wilayah hukum Adat dibatasi hanya pada pengaturan jabatan Penghulu, kekuasaan atas Tanah Ulayat, peraturan waris, perkawinan, dan adat istiadat saja. Kekuasaan hukum, keamanan dan teritorial diambil alih oleh pemerintah kolonial.

Keadaan ini berlanjut sampai pada zaman kemerdekaan. Pada masa era Ordebaru pemerintahan Indonesia pemerintah menerapkan UU No.5 Tahun 1979, dimana nagari-nagari di Minangkabau dipecah-pecah menjadi beberapa desa sebagai pemerintahan terendah. Akibat dari penerapan tersebut terjadi pergesaran cara pandang terhadap Ulayat adat. Kepemilikan bersama Ulayat adat di eliminir dengan ketetapan peraturan pemerintah menjadi milik Ninikmamak Kapalo warih unt Ulayat Kaum, Pangulu Suku untuk Ulayat Suku dan Pangulu-pangulu Nagari untuk Ulayat Nagari.

Setelah berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan gerakan Kembali ka Nagari, Adat Minang mendapat tempat yang lebih baik dan Nagari dijadikan sebagai salah satu pemerintahan terendah di Negara Indonesia. Namun upaya kembali untuk menegakkan adat minangkabau di nagari mengalami stagnasi, akibat kepemilikan ulayat adat tidak kembali dijadikan sebagai milik bersama.

Di bawah ini adalah ikhtisar Adat Minang, sering disebut Undang nan Empat, sebagaimana dipahami dan hidup dalam masyarkat Minangkabau.

Undang nan Empat[sunting | sunting sumber]

Adat Minangkabau sebagai peraturan dapat diringkas dalam sistematika yang disebut Undang nan Empat yaitu:

  1. Undang-undang Luhak dan Rantau
  2. Undang-undang Nagari
  3. Undang-undang dalam Nagari
  4. Undang-undang nan Duapuluh

Undang-undang Luhak dan Rantau[sunting | sunting sumber]

Bunyi undang-undang ini adalah sebagai berikut:

Luhak bapangulu
Rantau barajo
Bajalan samo indak tasundak
Malenggang samo indak tapampeh

Masyarakat Minangkabau meyakini adanya kesatuan genealogis semua Nagari-nagari dalam wilayah Minangkabau dan juga kesatuan genealogis penduduknya. Karena itu Adat Minang sebagai produk budaya adalah satu kesatuan juga. Nenek moyang orang Minangkabau diyakini turun dari puncak Gunung Marapi, dan Nagari tertua di Minangkabau adalah nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar sekarang.

Orang-orang yang satu keturunan menurut garis keturunan Ibu berkelompok membentuk sebuah suku (clans), dan dipimpin oleh seorang laki-laki yang disebut Penghulu.

Aturan ini berlaku di wilayah Minangkabau yang lebih dahulu berkembang, yaitu di Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limapuluh Koto.

Dalam perkembangannya, di daerah Rantau, meskipun terdapat juga suku-suku dan Penghulu, tiap-tiap Rantau dipimpin oleh seorang Raja yang biasanya berasal dari daerah Luhak juga, atau mendapat mandat dari Raja Pagaruyung.

Undang-undang Nagari[sunting | sunting sumber]

Nagari bakaampek suku
Dalam suku babuah paruik
Basawah baladang
Babalai bamusajik
Balabuah batapian

Undang-undang Nagari berisi aturan dasar dan syarat-syarat berdirinya sebuah Nagari, yaitu syarat-syarat yang menunjukkan kemampuan penduduk beberapa kampung untuk mendirikan suatu susunan masyarakat yang lebih teratur. Syarat-syarat ini meliputi kemampuan ekonomi, prasarana dan jumlah penduduk atau suku.

Disyaratkan paling kurang ada empat suku yang akan bergabung dalam Nagari dan masing-masing suku itu harus cukup besar—dikatakan terdiri dari beberapa paruik atau kelompok yang satu keturunan dari seorang nenek. Para Penghulu keempat suku itu secara kolektif menjadi Pimpinan Nagari. Perkawinan hanya berlaku secara eksogami, yaitu antara warga suku yang berlainan.

Harta benda tidak bergerak seperti sawah ladang dan rumah dimiliki secara bersama-sama oleh kaum perempuan dalam suatu suku, dan menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Laki-laki mengawasi dan mendayagunakan harta benda. Semua warga suku dapat mengambil manfaat dari harta benda.

Selain prasarana ekonomi seperti sawah dan ladang, jalan dan jembatan, serta sarana kebersihan, Nagari juga harus mampu mendirikan sebuah Masjid unutuk tempat ibadah dan sebuah Balairung tempat para Penghulu bersidang.

Undang-undang dalam Nagari[sunting | sunting sumber]

Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang
Saciok bak ayam, sadanciang bak basi,
Sakik basilau, mati bajanguak
Salah batimbang, hutang babayie

Undang-undang dalam Nagari mengatur tata hubungan warga masyarakat dalam sebuah nagari. Sistem yang dipakai adalah tipikal masyarakat komunal, dengan ciri-ciri:

  • Setiap orang secara alami langsung menjadi warga Nagari
  • Demokrasi langsung, karena para Penghulu sangat dekat dengan masyarakatnya, musyawarah dan mufakat dilaksanakan tanpa diwakilkan.
  • Gotong royong. Kebersamaan dalam menghadapi segala masalah dalam Nagari
  • Social safety net, semua warga Nagari, dapat mengandalkan bahwa dirinya akan dibantu secara bersama-sama oleh masyarakat jika dia mengalami kesusahan yang mendesak.

Untuk menjaga hubungan yang harmonis dan saling tolong menolong antar semua warga, anggota masyarakat Nagari selalu berusaha berkomunikasi dengan semua orang dengan bahasa yang tidak langsung, disebut baso-basi.

Selain itu, pada rites of passage seperi kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian selalu diadakan acara adat dengan format yang khusus dan baku, tetapi dapat sedikit berbeda antara satu Nagari dengan Nagari lainnya, sesuai dengan prinsip adat selingkar Nagari.

Termasuk dalam undang-undang dalam Nagari adalah adat-istiadat yang menyangkut hiburan dan rekreasi, seperti Randai, pertandingan layang-layang dan buru babi.

Undang-undang nan Duapuluh[sunting | sunting sumber]

Undang-undang nan Duapuluh adalah duapuluh fasal yang dipakai oleh para Penghulu dalam mengadili dan memutus perkara kejahatan yang terjadi dalam Nagari. Delapan fasal yang pertama merinci nama-nama tindak kejahatan, sedang duabelas fasal berikutnya berisi nama-nama tuduhan dan dugaan tindak kejahatan.

  • Salah nan Salapan yaitu:
  1. Dago-dagi, perbuatan yang menimbulkan kekacauan umum
  2. Sumbang-salah, perbuatan tidak senonoh
  3. Samun-sakar, perampokan
  4. Maling-curi, pencurian
  5. Tikam-bunuh, penyerangan dan pembunuhan
  6. Lacung-kicuh, penipuan
  7. Upeh-racun, pemberian bahan yang mengandung racun untuk membunuh atau menyebabkan sakit
  8. Siar-bakar, pembakaran rumah atau bangunan dengan sengaja
  • Tuduh nan Enam berisi nama-nama tuduhan
  • Cemo nan Enam berisi nama-nama kecurigaan atau dugaan tindak kejahatan

Kejahatan yang dituduhkan atau diduga dilakukan hanya dapat dihukum jika terbukti secara meyakinkan.

Sistem Adat[sunting | sunting sumber]

Semenjak zaman Pariangan, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :

  1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
  2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
  3. Sistem Kelarasan Panjang

Dalam pola pewarisan Sako (kepemimpinan Adat) dan Pusako (Ulayat Adat), suku Minang menganut pola matrilineal sebagai akibat dari Ketetapan adat yang kedua ( Penurunan Ulayat Adat pada Perempuan garis ibu). Setiap anak-anak yang lahir dari perempuan pemegang ulayat adat suku adalah satu suku atau satu marga. Mereka lah yang memiliki hak untuk memanfaatkan harta bersama milik Suku. Harta Milik bersama tersebut disebut "harta pusaka tinggi" harta yang tidak boleh di bagi, dijual tetapi boleh dimanfaatkan. Harta tersebut menjadi harta abadi milik Suku atau Kaum yang berfungsi sebagai "social saftynet" anggota komunitas suku/kaum. Semenatar harta yang di peroleh oleh individu/keluarga disebut "harta pusaka rendah". Harta pusaka rendah di wariskan menurut hukum islam.

Sistem Kelarasan Koto Piliang[sunting | sunting sumber]

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang sudah ditetapkan seperti penurunan rajo, penurunan tersebut tetap berlandaskan pada garis ibu. Sako diturunkan dari mamak ke kamanakan (anak saudara perempuan pemegang pusako). Pusako diturukan dari ibu ke anak perempuannya. Sistem adat Koto Piliang banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.

Sistem Kelarasan Bodi Caniago[sunting | sunting sumber]

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi. Penurunan Sako dan Pusakao tetap berlandaskan pada garis ibu, Tetapi pilihan pemegang penurunan tidak terpaku pada satu keturunan. Pilihan lebih di prioritaskan kepada yang memiliki kemampuan kepemimpinan baik sebagai ninikmamak penurunan Sako, maupun kaum Bundokandung untuk penurunan Pusako. Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.

Sistem Kelarasan Panjang[sunting | sunting sumber]

Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh di atas yang bernama Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam nagari yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.

Namun dewasa ini semua sistem adat di atas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis.

Sumber bacaan[sunting | sunting sumber]

  • St. Mahmud BA, A. Manan Rajo Pangulu, Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah, Pustaka Indonesia Medan Cetakan ke IV 1987
  • Darwis Thaib glr. Dt. Sidi Bandaro, Seluk Beluk Adat Minangkabau, N.V. Nusantara Bukittinggi—Djakarta

Lihat pula[sunting | sunting sumber]