Abu Syekh Mud

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Abuya Syaikh Tgk. H. Teuku Mahmud bin Teuku Ahmad (Lahir di Mukim Lampu'uk, Lhoknga, Aceh Besar, tahun 1899 Meninggal: Kuta Tuha, Mukim Kuta Batee, Blangpidie, Aceh Barat Daya tahun 1966) atau yang kerap disebut Abu Syekh Mud adalah ulama kharismatik, syaikhul masyaikh (mahaguru para ulama), tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah Aceh dan pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie. Ulama yang memiliki darah bangsawan ini merupakan alumni Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee, Aceh Besar dan Madrasah Irsyadiyah Yan, Kedah, Malaysia.[1]

Kehidupan Pribadi[sunting | sunting sumber]

Abu Syekh Mud merupakan keturunan bangsawan Aceh. Ayahnya yang bernama Teuku Ahmad adalah uleebalang Lampu'uk, Lhoknga, Aceh Besar. Pada tahun 1930, Abu Syekh Mud menikahi Cut Nyak Maryam binti T. Mamad, putri Uleebalang Lam Seukee, Lamlhom, Lhoknga yang saat itu berusia sekitar 12 tahun. Saat menikah dengan Abu Syekh Mud yang saat itu telah tinggal di Blangpidie. Cut Nyak Maryam tidak langsung pindah ke Blangpidie tetapi tetap tinggal di Lhamlhom sampai tahun 1937. Selanjutnya tinggal di Blangpidie sampai tahun 1986. Kemudian beliau kembali menetap di Lamlhom dan meninggal serta dikebumikan di Meunasah Manyang, Lamlhom, Lhoknga, Aceh Besar pada tahun 2006. Abu Syekh Mud dan istrinya memiliki tiga orang anak yaitu, seorang anak laki-laki lahir 1933, kemudian meninggal dunia beberapa hari setelah dilahirkan. Selanjutnya lahir pula anak perempuan Cut Ridhwan Mahmud pada tahun 1935, dan Cut Asmanidar Mahmud pada tahun 1941.

Selain memimpin Dayah Bustanul Huda Blangpidie, Abu Syekh Mud juga tercatat sebagai pengurus Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Provinsi Aceh yang saat itu diketuai oleh Abu Syekh Hasan Krueng Kalee. Organisasi ini pertama kali dibawa ke Aceh oleh murid Abu Syekh Mud bernama Syekh Muhammad Waly al-Khalidy gelar Abuya Muda Waly yang sekembalinya dari Sumatera Barat membentuk cabang PERTI di Aceh Selatan pada tahun 1942.

Pada tahun 1966 bertepatan dengan 1 Ramadhan 1385 H, Abu Syech Mud meninggal dunia dan dikebumikan di depan rumah beliau di Blangpidie. Kepemimpinan Dayah Bustanul Huda Blangpidie selanjutnya diteruskan oleh menantu nya atau suami Cut Ridhwan Mahmud yaitu Abuya Syaikh Tgk. H. Abdul Hamid bin Tgk. Kamaluddin sampai tahun 1980.[2]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Abu Syekh Mud pertama kali mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) Lhoknga dari tahun 1904-1907. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan di Lhoknga hingga 1914. Pendidikan agamanya pertama kali ia dapatkan dari guru-guru ilmu Alquran dan ilmu agama dasar lain di desanya di Mukim Lampu'uk, Lhoknga. Kemudian ia belajar ke Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee kepada Abu Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dari tahun 1915 sampai 1920. Setelah itu sebagai putra bangsawan pemerintah Hindia Belanda memintanya untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke OSVIA. Akan tetapi saat menaiki kapal yang menuju Batavia, Abu Syekh Mud malah turun saat kapal bersandar di Pelabuhan Pulau Pinang. Setelah itu ia berangkat ke Madrasah Irsyadiyah Yan, Kedah, Malaysia sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam yang dipimpin Teungku Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Abu Syekh Mud berada di negeri Yan selama lima tahun dari tahun tahun 1921 sampai 1925. Disana ia lebih banyak bertindak sebagai guru dibandingkan sebagai santri. Walaupun demikian, banyak pula pengetahuan yang diperolehnya di negeri itu. Keberadaan Abu Syekh Mud di negeri Yan, Malaysia tidak diketahui oleh keluarganya di Lampuuk, Lhoknga. Keluarganya di kampung mengira Teuku Mahmud berangkat dan bersekolah di pulau Jawa dengan beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Abu Syekh Mud pun tidak mengirimkan surat ke kampung halamannya karena khawatir hal tersebut diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan Abu Syekh Mud harus membiayai dirinya sendiri dengan bekerja kepada satu keluarga asal Aceh di Malaysia. Keluarganya baru mengetahui keadaan Abu Syekh Mud di Malaysia setelah salah seorang santri asal Lhoknga yang berada di sekolah yang sama dengan Abu Syekh Mud bernama Muhammad Yusuf mengabarkan keadaan Abu Syekh Mud kepada keluarganya di Aceh.

Membangun Dayah[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1925, Abu Syekh Mud kembali ke kampung halamannya di Lhoknga, Aceh Besar. Pada saat yang bersamaan terjadi pergolakan di Blangpidie, Aceh Barat Daya yang dilakukan oleh Teungku Peukan dengan menyerang bivak Belanda di Blangpidie. Penyerangan ini dilakukan oleh pasukan Tgk. Peukan sekitar pukul empat pagi. Setelah banyak tentara Belanda yang tewas, pasukan Tgk. Peukan berkumpul di Masjid Jami' yang berada tidak jauh dari lokasi bivak Belanda. Saat pasukan Tgk. Peukan melaksanakan salat subuh di masjid tersebut, tentara Belanda yang tersisa mengambil kesempatan dan langsung membrondongi masjid tersebut dengan tembakan peluru. Hal tersebut membuat pasukan Tgk. Peukan syahid termasuk Tgk. Peukan sendiri. Anak Teungku Peukan bernama bernama Muhammad Kasim yang kemudian melakukan serangan balasan akhirnya juga turut syahid.[3] Setelah kejadian itu, Tgk. Muhammad Yunus Lhoong (Imum Chik Masjid Jami' Blangpidie dan ulama pimpinan pengajian Jamiatul Muslimin) menguburkan jasad Tgk. Peukan dan pasukannya laksana syuhada di halaman Masjid Jamik Blangpidie. Kejadian itu membuat pemerintah Hindia Belanda menilai Tgk. Yunus Lhoong berpihak kepada pemberontakan Tgk. Peukan. Sehingga Tgk. Yunus Lhoong tidak diizinkan memimpin pengajian di Masjid Jami' Blangpidie. Sepeninggal Tgk. Yunus Lhoong maka dengan sendirinya aktivitas pengajian di masjid jami' mukim Kuta Batee, Blangpidie ini kosong. Hal ini menyebabkan Teuku Sabi (cucu Teuku Ben Mahmud) uleebalang Blangpidie pada tahun 1927 meminta pemerintah Hindia Belanda untuk mendatangkan seorang pengajar dan ulama lain ke mukim Kuta Batee, Blangpidie. Abu Syekh Mud yang sudah tiba setahun sebelumnya di mukim Lampu'uk, Lhoknga mendapat rekomendasi dari Abu Hasan Krueng Kalee dan pemerintah sipil di Banda Aceh untuk menjadi pengajar ilmu agama Islam di mukim Kuta Batee, Blangpidie. Setelah tiba di Blangpidie, masyarakat setempat membangunkan rumah untuk Abu Syekh Mud yang berada sekitar 100 m dari Masjid Jami'. Hal ini menyebabkan aktivitas Abu Syekh Mud dilakukan di sekitar Masjid Jami' Blangpidie. Setelah setahun berada di Blangpidie, Abu Syekh Mud mendirikan Dayah Bustanul Huda di komplek Masjid Jami' Baitul Adhim Blangpidie pada tahun 1928. Ia memimpin dayah tersebut hingga meninggal dunia pada tahun 1966.[4]

Abu Syekh Mud menerapkan sistem pembelajaran di Dayah Bustanul Huda dengan mengkombinasikan pola pendidikan yang berkembang di Aceh, seperti sistem di Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee atau di beberapa tempat lain dengan pola pendidikan yang dilakukan di negeri Yan Malaysia. Hal ini menyebabkan Dayah Bustanul Huda menjadi masyhur dan didatangi oleh santri dari seluruh Aceh bahkan dari wilayah lain di Sumatra khususnya setelah akses jalan ke wilayah Blangpidie sudah mulai bagus.

Murid-murid Abu Syekh Mud banyak yang berhasil menjadi ulama besar di Aceh. Diantaranya Syaikhul Islam Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy (Pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji), Abuya Syaikh Tgk. H. Adnan Mahmud Bakongan (Pendiri Dayah Ashabul Yamin Bakongan), Abuya Syaikh Tgk. H. Ja’far Lailon (Pendiri Dayah Darul Halim Kuala Batee), Abuya Syaikh Tgk. H. Jailani Musa (Pendiri Dayah Darussa’adah Kota Fajar), Abuya Syaikh Tgk.H. Muhammad Bilal Yatim (Pendiri Dayah Darul Ulumudiniyah Suak Setia)[5], Abuya Syaikh Tgk. H. Imam Syamsuddin (Pendiri Dayah Darul Aman atau Dayah Babussalam Sangkalan), Abuya Syaikh Tgk. H. Abdul Hamid Kamal (Pendiri Dayah Raudhatul Ulum Kuala Batee), Abuya Syaikh Tgk. H. Muhammad Arsyad Lamno (Pendiri Meunasah Abu Tuha Calang), Teungku Din Affany (Pendiri Dayah Darul Huda Samatiga), Abuya Syaikh Tgk. H. Abdul Ghafar (Imum Chik Masjid Lhoknga), Tgk. Salim Mahmud Samadua, Abu Ibrahim Woyla (seorang ulama sufi), Abu Muhammad Amin Lhok Sukon Lamainong (seorang ulama abdya) dan lain-lain. Begitu juga alumni Bustanul Huda yang bergerak dibirokrasi misalnya Ustaz H. Mahdi Muhammad, Tgk. H. Ainul Amin, Tgk. M. Saleh Kapha, Drs. Tgk. H. Tarmizi Dahmi, Drs. Tgk. H. Usman Nuris dan lain-lain. Setelah Abu Syekh Mud meninggal pada tahun 1966, kepemimpinan Dayah Bustanul Huda dilanjutkan oleh menantu beliau yaitu Abuya Syaikh Tgk. H. Abdul Hamid Kamal.[6]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Abu Syech Mud Blangpidie; Guru Syekh Muda Waly, Pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie - Jaringan Santri". 2020-06-17. Diakses tanggal 2022-06-27. 
  2. ^ Haridhy, Silman. Autobiografi TEUNGKU SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL Seorang Ulama Diplomat. Aceh Barat Daya: Yayasan AHKAM Dayah Raudhatul Ulum. 
  3. ^ El-Sakandary, Nurkhalis Mukhtar (2020-09-16). "Teungku Peukan Blangpidie: Ulama Karismatik dan Pemimpin Para Pejuang Blangpidie". Tarbiyah Islamiyah. Diakses tanggal 2022-06-27. 
  4. ^ "Ma had Bustanul Huda Diniyah Islamiyah Asyafi iyah - PDF Free Download". docplayer.info. Diakses tanggal 2022-06-27. 
  5. ^ Tulisan Riwayat Hidup Abuya Prof. Dr. Sy. H. M. Yatim bin Murabby oleh Tgk. M. Yunus. NIL. pada 1 Agustus 1992
  6. ^ Haridhy, Silman. Biografi Abuya Teungku Syech Teuku Mahmud “Gurunya Para Ulama”. Aceh Barat Daya: Yayasan AHKAM Dayah Raudhatul Ulum.