Hak atas lingkungan hidup

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Hak atas lingkungan hidup sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia merupakan hak untuk hidup dan berada dalam lingkungan hidup yang baik, sehat, terlindungi, serta terjaga. Dengan kata lain tiap manusia berhak hidup di lingkungan yang memungkinkan terwujudnya kehidupan yang bermartabat dan sejahtera.[1]

Ruang Lingkup dan Cakupan Hak atas Lingkungan Hidup[sunting | sunting sumber]

Ruang lingkup hak atas lingkungan hidup merujuk pada Draft Principles on Human Rights and the Environment yang disusun oleh tim United Nations Special Rapporteur On Human Rights And The Environment selama tiga hari pada tahun 1994. Deklarasi ini bukanlah suatu dokumen internasional yang secara formal memiliki kekuatan hukum, tetapi di dalamnya terkandung 27 prinsip-prinsip sebagai hak substansif atas lingkungan hidup yang telah termodifikasi dengan baik untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai hak atas lingkungan hidup.[2]

Terdapat 4 prinsip dasar konsep utama yang berlaku atas hak lingkungan hidup, yakni:

  • Hak asasi manusia, lingkungan hidup yang baik secara ekologis, pembangunan berkelanjutan, serta perdamaian merupakan hal-hal yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
  • Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang aman, sehat, dan baik secara ekologis, termasuk hak-hak sipil, ekonomi, politik, dan sosial.
  • Hak non-diskriminasi, bahwa setiap orang harus bebas dari bentuk diskriminasi apapun terkait perbuatan dan keputusan yang dimilikinya.
  • Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang layak untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan tanpa mengurangi hak dari generasi yang akan datang, sehingga terciptanya kebutuhan yang seimbang.[3]

Sejarah Konferensi Internasional Lingkungan Hidup[sunting | sunting sumber]

Seusai Perang Dunia II, pembangunan di berbagai negara tumbuh dengan pesat. Hal ini mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap lingkungan sehingga menyebabkan kualitas dari lingkungan hidup saat itu terus menurun. Kondisi ini diungkapkan oleh Rachel Carson dalam karyanya sebuah buku berjudul Musim semi yang sepi (Silent Spring) yang membuka mata dunia mengenai isu-isu lingkungan yang terjadi. Tingkat kepedulian lingkungan yang semakin meluas memicu perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian mengagas konferensi pertama global yang diadakan di Stockholm, Swedia.[4]

Konferensi Stockholm[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 5 Juni 1972, PBB mengadakan konferensi pertama lingkungan global di Stockholm, Swedia sehingga disebut sebagai Konferensi Stockholm. Konferensi ini berlangsung sejak tanggal 5 – 16 Juni 1972 dan dihadiri oleh 113 delegasi dari berbagai negara serta dua kepala negara yaitu Olaf Palme dari Swedia dan Indira Gandhi dari India. Dari pertemuan ini, terjadi pembentukan Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP) dan bertepatan dengan hari itu 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Sebagaimana tujuan diadakannya konferensi ini yaitu untuk menyelaraskan pembangunan negara tanpa adanya perusakan lingkungan, maka dari pertemuan ini terbagi atas dua kubu, yaitu kubu yang lebih mengutamakan lingkungan hidup (Environmentalist) dan kubu yang lebih mengutamakan pembangunan (developmentalist). Oleh karena itu, PBB mengupayakan pencarian titik temu antara pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup dengan cara meningkatkan jumlah pertemuan dan pelaporan hal-hal penting yang berkaitan.[5]

Salah satu laporan yang paling penting adalah laporan Bruntland (1987) mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam laporan ini terdapat rumusan prinsip dan faktor-faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, salah satunya adalah bagaimana memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial masyarakat suatu negara.[6]

Hasil konferensi Stockholm[sunting | sunting sumber]

Dari konferensi Stockholm, terdapat 26 poin prinsip utama yang dihasilkan dan dituangkan dalam Stockholm Declaration mengenai lingkungan dan pembangunan yakni:

  1. Hak asasi manusia harus ditegaskan, segala bentuk diskriminasi dan penjajahan harus dihapuskan.
  2. Sumber daya alam (SDA) harus dijaga.
  3. Kapasitas Bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbarui harus dilestarikan.
  4. Satwa liar harus dijaga.
  5. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus dibagi dan tidak dihabiskan.
  6. Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami.
  7. Pencemaran laut yang merusak harus dicegah.
  8. Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan.
  9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan
  10. Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola lingkungan.
  11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan.
  12. Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian lingkungan.
  13. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan.
  14. Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan pembangunan.
  15. Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan.
  16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai.
  17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam negara.
  18. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan.
  19. Pendidikan lingkungan sangat penting.
  20. Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang.
  21. Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh membahayakan orang lain.
  22. Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan.
  23. Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing.
  24. Harus ada kerjasama dalam isu internasional.
  25. Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan.
  26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan.[7]

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi)[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa Bangsa mengadakan konferensi KTT Bumi yang dikenal juga sebagai konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan, KTT Rio, dan Konferensi Rio. Konferensi ini merupakan salah satu konferensi utama dan terbesar Perserikatan Bangsa Bangsa yang diadakan di Rio de Jeneiro, Brasil. Saat itu, konferensi dihadiri oleh 108 kepala negara sehingga konferensi ini dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi).[8]

Setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT bumi) diadakan, pertemuan-pertemuan global penting yang berkaitan dengan lingkungan hidup semakin ditingkatkan. Salah satunya adalah Earth Summit yang dilaksanakan pada tahun 1997 di New York, Amerika Serikat, menghasilkan tujuan pembangunan milenium (Milenium Development Goals), KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) tahun 2002 di Johanesburg, Afrika Selatan, dan yang terakhir Rio+20 pada tahun 2012 di Rio de Jeneiro, Brasil.[9]

Hasil KTT Bumi[sunting | sunting sumber]

Hasil yang didapatkan dari KTT Bumi yaitu adanya dokumen-dokumen yang mengikat dan tidak mengikat. Dokumen mengikat merupakan dokumen berisi kesepakatan yang mengharuskan para pihak yang ikut serta menandatangani untuk patuh dan melaksanakan kesepakatan tersebut. Sedangkan dokumen tidak mengikat merupakan dokumen berisi norma-norma yang wajib dilakukan tanpa adanya paksaan untuk melaksanakan. Dokumen-dokumen yang tidak mengikat antara lain:

  1. Agenda 21, sebuah program komprehensif pembangunan berkelanjutan.
  2. Deklarasi Rio, berisi hak dan kewajiban negara berkenaan dengan lingkungan dan pembangunan.
  3. Prinsip-prinsip hutan, berisi prinsip-prinsip untuk mengelola hutan secara lestari.
  4. Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)
  5. Konvensi Kerangka PBB untuk perubahan Iklim (UNFCCC).[10]

KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development)[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2002 tepatnya 10 tahun setelah diadakan KTT Bumi pertama, Majelis Umum PBB kembali menyelenggarakan konferensi global yaitu KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan. Konferensi ini dihadiri oleh berbagai delegasi dari 191 negara dan 109 kepala negara termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri. Diperkirakan jumlah peserta mencapai 60.000 dan menjadi konferensi dengan peserta terbanyak sepanjang sejarah PBB. Penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan dilatarbelakangi oleh penilaian masyarakat global mengenai prinsip-prinsip dari agenda 21 yang merupakan sebuah program komprehensif pembangunan berkelanjutan dari KTT Bumi masih jauh dari harapan. Dengan kata lain implementasi dari agenda 21 belum bisa dirasakan oleh masyarakat.[11]

Terdapat 5 sektor utama yang menjadi prioritas dari KTT ini yaitu Water, Energy, Health, Agriculture and Biodiversity (WEHAB) dengan isu sentral menghidupkan kembali dan meningkatkan komitmen politik mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan; meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam upaya pemberantasan kemiskinan; meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan lapangan kerja; membangun pedesaan serta menigkatkan kesejahteraan masyarakat.[12]

Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan[sunting | sunting sumber]

KTT Pembangunan Berkelanjutan menghasilkan 3 dokumen utama, yakni:

  • Deklarasi Johannesburg pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Declaration for Sustainable Development). Deklarasi ini merupakan deklarasi politik berisi kesepakatan antara pemimpin negara dan pemerintah-pemerintah yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.
  • Rencana Implementasi Johannesburg (Johannesburg Plan of Implementation). Program ini bertujuan unutk melancarkan aksi pelaksanaan poin-poin penting dari agenda 21 dalam kurun waktu 10 tahun mendatang mengenai pembangunan berkelanjutan.
  • Program kemitraan dalam bentuk Dokumen Kerjasama (Partnership Document). Dokumen ini berisikan kerjasama antar pemangku kepentingan secara internasional dengan tujuan mempercepat proses pelaksanaan pembangunan berkelanjutan secara merata. Program ini juga disponsori oleh negara-negara maju serta Lembaga Internasional.[13]

KTT Perubahan Iklim di Bali[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 13 – 15 Desember 2007, badan PBB United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai perubahan iklim khususnya pemanasan global di Nusa Dua, Bali.konferensi ini didasari tujuan untuk meningkatkan kesadaran semua warga bumi untuk selalu tanggap dan aktif sekecil apapun untuk menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber kehidupan bersama.[14]

Hasil KTT Perubahan Iklim di Bali[sunting | sunting sumber]

Hasil dari KTT Perubahan Iklim ini disepakati sebuah peta keberlannjutan dan pengganti Protokol Kyoto yang diberi nama Bali Road Map. Inti keputusan yang tertuang didalam Bali Road Map yakni:

  1. Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilitas emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim
  2. Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanju
  3. Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama.
  4. Penegasan kesediaan sukarela Negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, didukung teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.
  5. Penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.
  6. Penegasan kewajiban Negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi
  7. Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan iklim.[14]

Protokol Kyoto[sunting | sunting sumber]

Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro 1992. Nama resmi dari amandemen ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Pada bulan Desember 1997, protokol ini dinegosiasikan di Kyoto dan dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Protokol Kyoto mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi secara resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.[15]

Jumlah negara yang meratifikasi Protokol Kyoto hingga Desember 2007 adalah 174 negara kecuali Kazakhstan dan Amerika Serikat yang tidak berminat untuk meratifikasi protokol ini. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran enam jenis gas rumah kaca (karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC) dalam rangka mengurangi risiko pemanasan global. Jika protokol ini berhasil diterapkan oleh semua negara yang meratifikasi, maka Protokol Kyoto ini diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050 mendatang.[16]


Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Fadhillah 2018, hlm. 3ː "Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. 1 Edith mengartikan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia untuk hidup dalam lingkungan hidup dengan kualitas minimal yang memungkinkan terwujudnya kehidupan yang bermartabat dan sejahtera."
  2. ^ HRI 1994, hlm. 1-3.
  3. ^ Quina 2012, hlm. 26-27ː "Konsep umum yang berlaku atas hak atas lingkungan hidup ini berdiri di atas empat prinsip dasar. yang pertama, bahwa hak asasi manusia, lingkungan hidup ynag baik secara ekologis, dan pembangunan berkelanjutan serta perdamaian merupakan hal-hal yang saling tidak terpisahkan. kedua, semua orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang aman, sehat, dan baik secara ekologis. Hak ini dan hak asasi manusia lainnya termasuk hak-hak sipil, ekonomi, politik, dan sosial, merupakan hak yang universal, saling terkait, dan tidak terpisahkan. ketiga, non-discrimination, setiap orang harus bebas dari bentuk diskriminasi apapun terkait perbuatan dan keputusan yang memiliki pengaruh terhadap lingkungan hidup. dan keempat, yaitu prinsip intra-generational equality, yaitu setiap orang berhak memiliki hak atas lingkungan hidup yang layak untuk memenuhi secara seimbang kebutuhan dari generasi masa kini dan tidak mengurangi hak dari generasi mendatang untuk memenuhi secara seimbang kebutuhannya."
  4. ^ Kusuma 2015, hlm. 2.
  5. ^ Risnandar 2018, hlm. 1.
  6. ^ UI 2021, hlm. 1.
  7. ^ Nations 1972, hlm. 1-4.
  8. ^ Dunia 2012, hlm. 1.
  9. ^ Kusnadi 2017, hlm. 9.
  10. ^ Kusnadi 2017, hlm. 12.
  11. ^ Indrastuti 2018, hlm. 1.
  12. ^ Kusnadi 2017, hlm. 13.
  13. ^ Indrastuti 2018, hlm. 1-2.
  14. ^ a b Kusnadi 2017, hlm. 14.
  15. ^ Kusnadi 2017, hlm. 16.
  16. ^ Kusuma 2015, hlm. 8.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku[sunting | sunting sumber]

Jurnal[sunting | sunting sumber]

Dokumen[sunting | sunting sumber]

Sumber Daring[sunting | sunting sumber]

Deklarasi[sunting | sunting sumber]