Gempar Soekarnoputra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gempar Soekarnoputra (lahir 13 Januari 1958) adalah seorang politikus Indonesia sekaligus sebagai anak Sukarno, presiden Indonesia pertama. Berdasarkan pengakuan Gempar, dia merupakan anak dari istri Bung Karno yang bernama Jetje Langelo yang dinikahi di Manado pada 1957. Ibunda Gempar adalah putri kecantikan dan siswa teladan se-Sulawesi tahun 1953 di Manado. Dari kecil hingga dewasa, dia menggunakan nama Charles Christoffel. Lahir di RS Hermana Lembean, Minahasa dengan nama lahir Leonard Alexander Charles Christoffel.

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Saat menjelang kejatuhan Orde Baru dan demonstrasi mahasiswa begitu kencang, Charles waktu itu sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Ekstension Universitas Indonesia ikut turun ke jalan berdemonstrasi dengan ribuan mahasiswa Universitas Indonesia yang menggunakan jaket kuning yang tergabung dalam Keluarga Besar Universitas Indonesia di kampus Depok maupun di Salemba dan mengadakan demonstrasi jalanan tersebut dari tanggal 15 Juni sampai tanggal 21 Juni 1998 bertempat di halaman kampus Universitas Indonesia di Salemba, dan di kampus Universitas Indonesia di Depok dan kemudian berpindah menduduki halaman dan ruangan gedung DPR/MPR-RI di Senayan untuk menyerukan agar Presiden RI Soeharto turun dari tampuk kekuasaannya. Itulah yang dikenal sebagai peristiwa reformasi Mei 1998. Ketika itu Sang ibu, Jetje Langelo risau melihat beberapa kali Gempar muncul di berita di beberapa stasiun televisi nasional berkaitan dengan demonstrasi mahasiswa tersebut, kemudian memanggil anaknya pulang ke Manado. Dalam pertemuan yang terjadi pada hari Natal tahun 1998, Charles mendapatkan kabar mengejutkan dari ibunya,

"Kamu adalah anak Soekarno." Begitu kata-kata Jetje yang dikenang Charles. Ibundanya kemudian menjelaskan panjang lebar mengapa hal ini dirahasiakan setelah puluhan tahun dipendam dalam-dalam. Hal itu tak lain karena amanat Soekarno atau Bung Karno sendiri yang menginginkan anaknya diamankan di Manado demi menjaga keselamatannya, jika sewaktu-waktu kekuasaannya jatuh. Apalagi pada awal-awal pemerintahan Orde Baru, kata Jetje, "ada operasi militer secara besar-besaran di seluruh Indonesia yang waktu itu hendak menumpas sisa-sisa rezim Orde Lama".

Tak hanya menjelaskan, Jetje juga menunjukkan kepada anaknya Charles berbagai bukti yang selama ini disembunyikan olehnya, berupa foto-foto bersama antara Bung Karno dengan Jetje ketika acara pernikahan dan ketika sedang bersantai di rumah Jetje di Jalan Toar-Lumimuut, Tikala, Manado, berikut surat-surat, tongkat komando, keris-keris pusaka antara lain Keris Kyai Sapujagat dan Keris Kyai Setan Kober serta amanat yang ditulis tangan oleh Bung Karno sendiri. Dalam amanat tertulis itu permintaan Bung Karno agar sang anak kelak pada saatnya ia sudah dewasa berpolitik dinamai: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarnoputra. Kemudian disampaikan, "Kutitipkan bangsa dan negara ini kepadanya!"

Menurut Gempar, ada beberapa pejabat dekat Bung Karno yang mengetahui soal pernikahan itu, seperti Mayor Sugandi (ajudan Presiden Soekarno, terakhir berpangkat Mayor Jenderal TNI Purnawirawan dan pencetus/pendiri MKGR bersama isterinya, Mien Sugandi), dan Henk Ngantung (Gubernur DKI Jakarta, sang pelukis handal yang menjadi salah satu sahabat dekat Bung Karno), dan Ibnu Sutowo (Letnan Jenderal TNI Purnawirawan, kemudian menjadi Dirut Pertamina), dan Ali Sadikin, Purnawirawan Letnan Jenderal KKO dan mantan Gubernur DKI Jakarta.

Meski awalnya ragu, namun perlahan-lahan Charles Christoffel mulai menerima kenyataan yang disampaikan ibunya itu bahwa dirinya adalah salah satu keturunan/anak kandungnya Bung Karno. Dia kemudian mengubah identitasnya/namanya menjadi Muhammad Gempar Soekarnoputra. Dia pun mulai gemar memakai pakaian khas Bung Karno, lengkap dengan peci hitam dan kacamata hitam saat bertemu publik atau ketika berorasi politik dalam kegiatan partai.

Berkat pengalaman berorganisasi ketika Gempar menjadi Ketua Umum IMEKS FHUI (Ikatan Mahasiswa Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan setelah lulus menjadi Sarjana Hukum (SH) pada Program Kekhususan Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, maka dengan naluri politiknya, kemudian Gempar Soekarnoputra terjun ke dunia politik praktis, dan menjelang Pemilu legislatif 2004, Gempar Soekarnoputra mendirikan Partai Nasionalis Indonesia Bersatu (PNIB) dan Gempar Soekarnoputra menjabat sebagai Ketua Umum, kemudian PNIB berubah nama menjadi Partai Pemersatu Nasionalis Indonesia (Partai PNI) dan Gempar Soekarnoputra tetap menjabat sebagai Ketua Umum Partai PNI, kemudian pada tahun 2003 Partai PNI disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, namun Partai PNI tersebut tidak lolos verifikasi KPU dan akhirnya gagal menjadi peserta pemilu tahun 2004. Dalam dunia politik sebenarnya Gempar sudah tidak asing lagi, sebab sejak tahun 1980 sampai tahun 1995 pernah aktif dan menjadi kader PDI yang waktu itu Ketua Umum PDI, Soerjadi dan ketika itu Gempar menjabat Wakil Ketua Dewan Pengurus Cabang PDI Jakarta Barat yang waktu itu Ketuanya dipimpin oleh Wim Salamun, dan Sekretarisnya Mahmud Chaniago serta Wakil Ketuanya Piet Dacunca.Itulah pengalaman pertama Gempar mengenal dunia politik meskipun pada waktu itu belum mengetahui dirinya sebagai anak kandungnya Bung Karno. Malahan Gempar menceritakan pada tahun-tahun itu Gempar justru dikucilkan oleh warga yang tinggal di Komplek militer daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat dikarenakan rumah tempat tinggalnya itu bersampingan dengan Komplek militer tersebut dan ada beberapa warga komplek militer itu keberatan dan resah melihat banyak dipasang poster-poster bergambar Bung Karno dan bendera-bendera PDI. Malahan suatu waktu ketika masa Kampanye, Gempar berani melawan oknum militer yang ingin mencopot poster-poster dan baleho bergambar Bung Karno dan bendera-bendera PDI yang dipasang di halaman depan rumahnya dan sekitar tempat tinggalnya. Gempar mengatakan bahwa memang pada jaman Orde Baru, PDI dianggap sebagai duri dalam daging. Ketika pasca Reformasi 98, Megawati Soekarnoputri mendirikan PDIP untuk persiapan mengikuti Pemilu 1999, Gempar bersama isterinya Jeane Augusta Lengkong berikut bersama kawan-kawannya turut turun ke jalan mengikuti kampanye sejuta kader dan simpatisan PDIP di jalan-jalan kota Jakarta untuk mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai calon Presiden RI, dan membiayai sendiri atribut-atribut kampanye berupa bendera PDIP dan baleho-baleho bergambar Megawati Soekarnoputri, meskipun waktu itu Gempar masih belum yakin sepenuhnya bahwa dia itu sebagai anaknya Bung Karno.

Dalam dunia politik Gempar Soekarnoputra pantang menyerah dan tetap terus berjuang, sekalipun mengalami kegagalan berkali-kali. Pada tahun 2007 bersama-sama dengan Vence Rumangkang (pendiri utama Partai Demokrat) dan Profesor Roy Sembel serta Komjen Pol. Purnawirawan, Dadang Garnida (mantan Kapolda Jawa Barat, mantan Waka Bareskrim Polri, mantan Sekjen Lemhannas) berikut beberapa pendiri awal dari Partai Demokrat menggagas dan mendirikan Partai Barisan Nasional (Barnas) untuk persiapan menghadapi pemilu 2009. Gempar Soekarnoputra menjadi Wakil Ketua Umum dan Ventje Rumangkang sebagai Ketua Umum Partai Barnas. Pada tahun 2007 Partai Barnas memperoleh Pengesahan dari Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI sebagai Partai Politik dan juga pada tahun 2008 lolos verifikasi KPU sehingga menjadi salah satu Partai Politik peserta Pemilu tahun 2009, namun akhirnya Partai Barnas gagal mendapatkan kursi legislatif di tingkat pusat dan hanya mendapat kursi legislatif di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Belakangan, pada tahun 2010 saat kepengurusan Partai Barnas pecah dua kubu yakni kubu Muhammad Arfan sebagai Ketua Umum dan dan yang satu lagi, kubu, William Jaya Kusli sebagai Ketua Umum, ternyata William Jaya Kusli mendaulatkan Gempar Soekarnoputra menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Barnas yang dinakhodainya. Memang saat itu Gempar sebagai salah satu pendiri utama Partai Barnas ingin mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, namun persoalan menjadi semakin rumit ketika kedua belah pihak saling menggugat di Pengadilan. Kemudian berita terakhir dalam perjalanan politik Gempar Soekarnoputra, ternyata Gempar bersama kawan-kawannya yang memiliki visi dan misi politik yang sama, khususnya yang berorientasi pada ajaran Marhaenisme Bung Karno, mendirikan Partai Indonesia Terang (Partai Pinter). Gempar Soekarnoputra menjabat sebagai Plt. Ketua Umum Partai Pinter dan merangkap Ketua Mahkamah Partai Pinter, dan Wakil Ketua Mahkamah Partai Pinter, Yohanes Yoso Nicodemus, serta Sekjennya, Haji Mabruri, dan Ketua Dewan Penasehat, Jeane Augusta Lengkong. Pada tanggal 03 Mei 2023, Partai Pinter telah disahkan oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI menjadi salah satu Partai Politik di Indonesia yang telah berbadan hukum sah, namun sayang sekali ketinggalan waktu untuk mengikuti verifikasi KPU sehingga Partai Pinter meskipun sudah memiliki badan hukum yang sah tetapi tidak dapat mengikuti Pemilu tahun 2024. Namun semua kader Partai Pinter akan tetap terus berjuang dan mempersiapkan diri untuk siap menghadapi Pemilu tahun 2029. Menurut Gempar Soekarnoputra, "semasih hayat di kandung badan, tentu perjuangan untuk kepentingan Rakyat, Bangsa dan Negara Republik Indonesia tetap akan dilanjutkan sampai titik darah penghabisan." Insya Allah.

Referensi[sunting | sunting sumber]