Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 21: Baris 21:
Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap [[pertanian]] dan [[ketahanan pangan]]. Perempuan perdesaan dalam hal ini merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Mereka umumnya bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen.<ref name=":4">{{Cite web|last=FAO|date=2012|title=Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development: training guide|url=http://www.fao.org/3/md280e/md280e.pdf|website=FAO|access-date=2021-06-02}}</ref> Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan [[ternak]] dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga.<ref name=":4" /> Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh dan ini menambah beban mereka yang telah berat.<ref>{{Cite web|last=FAO|title=Gender-differentiated impacts of climate change|url=http://www.fao.org/climate-smart-agriculture-sourcebook/enabling-frameworks/module-c6-gender/chapter-c6-1/en/|website=FAO|access-date=2021-06-02}}</ref>
Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap [[pertanian]] dan [[ketahanan pangan]]. Perempuan perdesaan dalam hal ini merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Mereka umumnya bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen.<ref name=":4">{{Cite web|last=FAO|date=2012|title=Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development: training guide|url=http://www.fao.org/3/md280e/md280e.pdf|website=FAO|access-date=2021-06-02}}</ref> Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan [[ternak]] dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga.<ref name=":4" /> Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh dan ini menambah beban mereka yang telah berat.<ref>{{Cite web|last=FAO|title=Gender-differentiated impacts of climate change|url=http://www.fao.org/climate-smart-agriculture-sourcebook/enabling-frameworks/module-c6-gender/chapter-c6-1/en/|website=FAO|access-date=2021-06-02}}</ref>


Di masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen.<ref name=":4" /> Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat perempuan tidak bisa banyak berperan dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen. Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang antara lain berupa lahan, ternak, peralatan pertanian, [[pupuk]], tenaga buruh tani, dan akses ke pelatihan.<ref name=":4" /> Akibatnya, perempuan nampak kurang memiliki peran dalam produksi pangan secara keseluruhan. Menurut [[Organisasi Pangan dan Pertanian|FAO]], kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses pada sumber daya.<ref name=":4" />
Di masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen.<ref name=":4" /> Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat perempuan tidak bisa banyak berperan dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen. Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang antara lain berupa lahan, ternak, pasokan benih,<ref name=":15">{{Cite journal|last=Hariharan|first=Vinod K.|last2=Mittal|first2=Surabhi|last3=Rai|first3=Munmun|last4=Agarwal|first4=Tripti|last5=Kalvaniya|first5=Kailash C.|last6=Stirling|first6=Clare M.|last7=Jat|first7=M. L.|date=2020-01-01|title=Does climate-smart village approach influence gender equality in farming households? A case of two contrasting ecologies in India|url=https://doi.org/10.1007/s10584-018-2321-0|journal=Climatic Change|language=en|volume=158|issue=1|pages=77–90|doi=10.1007/s10584-018-2321-0|issn=1573-1480}}</ref> peralatan pertanian, [[pupuk]], tenaga buruh tani, dan penyuluhan.<ref name=":4" /> Laki-laki juga lebih mudah mengakses kredit usaha dan pasar.<ref name=":15" /> Akibatnya, perempuan nampak kurang memiliki peran dalam produksi pangan secara keseluruhan. Menurut [[Organisasi Pangan dan Pertanian|FAO]], kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses pada sumber daya.<ref name=":4" />


=== Bidang transportasi ===
=== Bidang transportasi ===
Baris 43: Baris 43:


== Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender ==
== Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender ==
Beberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya.<ref name=":1" /> Kajian [[interseksionalitas]] sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan multidimensional. Menurut mereka, isu perubahan iklim dan gender bukan hanya masalah kekuatan dominan laki-laki melawan kelompok perempuan yang terdominasi dan lebih rentan, tapi juga tentang apa yang terjadi dalam kelompok rentan itu sendiri.<ref name=":1" /> Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.<ref>{{Cite book|last=Pelling|first=Mark|date=2010-10-18|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=g6Z9AgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=t7Wo4bPMWs&sig=z8J7J0UyKzXKAhiRcfFm-3GbURY&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Adaptation to Climate Change: From Resilience to Transformation|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-02202-1|language=en}}</ref><ref name=":9" /> FAO juga mengingatkan bahwa perempuan bukan entitas yang homogen. Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, kasta, usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama, dan lokasi geografis.<ref name=":4" /><ref>{{Cite journal|last=Djoudi|first=H.|last2=Brockhaus|first2=M.|date=2011-06-01|title=Is adaptation to climate change gender neutral? Lessons from communities dependent on livestock and forests in northern Mali|url=https://www.ingentaconnect.com/content/cfa/ifr/2011/00000013/00000002/art00002|journal=International Forestry Review|volume=13|issue=2|pages=123–135|doi=10.1505/146554811797406606}}</ref> Sehingga, menurut sejumlah pakar, tidak tepat jika memandang perempuan semata-mata sebagai korban dari perubahan iklim<ref name=":1" /> atau laki-laki menghadapi risiko yang lebih kecil.<ref name=":4" /> Wanita di Asia dan Afrika, misalnya, tidak kekurangan rasa agensi mereka, tetapi dalam kondisi di bawah tekanan dan keterbatasan pekerjaan, agensi mereka diarahkan ke kepentingan bertahan hidup dan mencari solusi jangka pendek.<ref name=":9" />
Beberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya.<ref name=":1" /> Kajian [[interseksionalitas]] sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan multidimensional. Menurut mereka, isu perubahan iklim dan gender bukan hanya masalah kekuatan dominan laki-laki melawan kelompok perempuan yang terdominasi dan lebih rentan, tapi juga tentang apa yang terjadi dalam kelompok rentan itu sendiri.<ref name=":1" /> Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.<ref>{{Cite book|last=Pelling|first=Mark|date=2010-10-18|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=g6Z9AgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=t7Wo4bPMWs&sig=z8J7J0UyKzXKAhiRcfFm-3GbURY&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Adaptation to Climate Change: From Resilience to Transformation|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-02202-1|language=en}}</ref><ref name=":9" /> FAO juga mengingatkan bahwa perempuan bukan entitas yang homogen. Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, kasta, usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama, dan lokasi geografis.<ref name=":4" /><ref>{{Cite journal|last=Djoudi|first=H.|last2=Brockhaus|first2=M.|date=2011-06-01|title=Is adaptation to climate change gender neutral? Lessons from communities dependent on livestock and forests in northern Mali|url=https://www.ingentaconnect.com/content/cfa/ifr/2011/00000013/00000002/art00002|journal=International Forestry Review|volume=13|issue=2|pages=123–135|doi=10.1505/146554811797406606}}</ref> Sehingga, menurut sejumlah pakar, tidak tepat jika memandang perempuan semata-mata sebagai korban dari perubahan iklim<ref name=":1" /> dan laki-laki memikul beban yang lebih ringan, kondisi di masyarakat tidak seperti itu.<ref name=":4" /> Wanita di Asia dan Afrika, misalnya, tidak kekurangan rasa agensi mereka, tetapi dalam kondisi di bawah tekanan dan keterbatasan pekerjaan, agensi mereka diarahkan ke kepentingan bertahan hidup dan mencari solusi jangka pendek.<ref name=":9" />


== Studi kasus kebijakan iklim di sejumlah negara ==
== Studi kasus di sejumlah negara ==


=== Indonesia ===
=== Indonesia ===
Pengarusutamaan gender telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini.<ref name=":10" /> Namun, terkait isu perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki.<ref name=":10">{{Cite book|last=Murdiyarso|first=Daniel|last2=Herawati|first2=Hety|date=2005-01-01|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=TTjpGjXXAegC&oi=fnd&pg=PA176&dq=climate+change+and+gender+indonesia&ots=RmsF8NSrVv&sig=_Oxa2nL7XRkVQUxdoz0Zg1Vtfx8&redir_esc=y#v=onepage&q=climate%20change%20and%20gender%20indonesia&f=false|title=Carbon Forestry, who Will Benefit? Proceedings of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods|publisher=CIFOR|isbn=978-979-3361-73-4|language=en}}</ref> "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".<ref name=":10" /> Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.<ref name=":11">{{Cite web|last=Atmadja|first=Stibniati|last2=Lestari|first2=Hiasinta|date=2020-12-01|title=Making climate finance work for women and the poor: Insights from national climate finance mechanisms in Indonesia|url=https://www.cifor.org/publications/pdf_files/infobrief/7871-infobrief.pdf|website=CIFOR|access-date=2021-06-09|last3=Djoudi|first3=Houria|last4=Liswanti|first4=Nining|last5=Tamara|first5=Ade}}</ref>
Pengarusutamaan gender telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini.<ref name=":10" /> Namun, terkait isu perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki.<ref name=":10">{{Cite book|last=Murdiyarso|first=Daniel|last2=Herawati|first2=Hety|date=2005-01-01|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=TTjpGjXXAegC&oi=fnd&pg=PA176&dq=climate+change+and+gender+indonesia&ots=RmsF8NSrVv&sig=_Oxa2nL7XRkVQUxdoz0Zg1Vtfx8&redir_esc=y#v=onepage&q=climate%20change%20and%20gender%20indonesia&f=false|title=Carbon Forestry, who Will Benefit? Proceedings of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods|publisher=CIFOR|isbn=978-979-3361-73-4|language=en}}</ref> "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".<ref name=":10" /> Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.<ref name=":11">{{Cite web|last=Atmadja|first=Stibniati|last2=Lestari|first2=Hiasinta|date=2020-12-01|title=Making climate finance work for women and the poor: Insights from national climate finance mechanisms in Indonesia|url=https://www.cifor.org/publications/pdf_files/infobrief/7871-infobrief.pdf|website=CIFOR|access-date=2021-06-09|last3=Djoudi|first3=Houria|last4=Liswanti|first4=Nining|last5=Tamara|first5=Ade}}</ref>


Berdasarkan studi yang dilakukan oleh [[Center for International Forestry Research|CIFOR]] terhadap [[mekanisme pendanaan iklim]] di Indonesia, ditemukan adanya kesenjangan di level nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.<ref name=":11" /> Para peneliti tersebut melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan, yaitu Dana Desa, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan BPDLH. Peneliti juga menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu maupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.<ref name=":11" /> Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk dalam isu perubahan iklim.<ref name=":10" /> Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam [[Indeks Pembangunan Gender]] (IPG) 2020.<ref>{{Cite web|last=RI|first=Setjen DPR|title=Pengarusutamaan Gender, Indonesia Masih Jauh dari Harapan|url=http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32200|website=www.dpr.go.id|language=id|access-date=2021-06-08}}</ref>
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh [[Center for International Forestry Research|CIFOR]] terhadap [[mekanisme pendanaan iklim]] di Indonesia, ditemukan adanya kesenjangan antara level nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.<ref name=":11" /> Para peneliti CIFOR melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan, yaitu Dana Desa, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan BPDLH. Peneliti juga menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu maupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.<ref name=":11" /> Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk dalam isu perubahan iklim.<ref name=":10" /> Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam [[Indeks Pembangunan Gender]] (IPG) 2020.<ref>{{Cite web|last=RI|first=Setjen DPR|title=Pengarusutamaan Gender, Indonesia Masih Jauh dari Harapan|url=http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32200|website=www.dpr.go.id|language=id|access-date=2021-06-08}}</ref>


Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.<ref name=":10" />
Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.<ref name=":10" />


=== India ===
=== India ===
Avantika Singh, akademisi ilmu politik di [[Universitas Delhi]], mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi.<ref name=":12">{{Cite journal|last=Singh|first=Avantika|date=2020-06-01|title=Introspecting Gender Concerns in National Action Plan for Climate Change of India|url=https://doi.org/10.1177/0019556120922833|journal=Indian Journal of Public Administration|language=en|volume=66|issue=2|pages=179–190|doi=10.1177/0019556120922833|issn=0019-5561}}</ref> Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari dewan yang didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan dari bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim ini, tidak ada pelibatan perwakilan dari Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak, praktisi yang bekerja di masyarakat bawah, maupun LSM perempuan.<ref name=":12" /> Menurut [[Indeks Pembangunan Manusia]] 2020, India menempati posisi ke-131 dari 189 negara, dan mendapatkan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.<ref>{{Cite web|last=Krishnan|first=Revathi|date=2020-12-17|title=India slips two spots to 131 on human development index 2020, ranks low on gender equality|url=https://theprint.in/india/india-slips-two-spots-to-131-on-human-development-index-2020-ranks-low-on-gender-equality/568742/|website=ThePrint|language=en-US|access-date=2021-06-08}}</ref>
Avantika Singh, akademisi ilmu politik di [[Universitas Delhi]], mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi.<ref name=":12">{{Cite journal|last=Singh|first=Avantika|date=2020-06-01|title=Introspecting Gender Concerns in National Action Plan for Climate Change of India|url=https://doi.org/10.1177/0019556120922833|journal=Indian Journal of Public Administration|language=en|volume=66|issue=2|pages=179–190|doi=10.1177/0019556120922833|issn=0019-5561}}</ref> Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari dewan yang didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan ke bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim ini, tidak ada pelibatan perwakilan dari Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak, praktisi yang bekerja di masyarakat bawah, maupun LSM perempuan.<ref name=":12" /> Menurut [[Indeks Pembangunan Manusia]] 2020, India menempati posisi ke-131 dari 189 negara, dan mendapatkan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.<ref>{{Cite web|last=Krishnan|first=Revathi|date=2020-12-17|title=India slips two spots to 131 on human development index 2020, ranks low on gender equality|url=https://theprint.in/india/india-slips-two-spots-to-131-on-human-development-index-2020-ranks-low-on-gender-equality/568742/|website=ThePrint|language=en-US|access-date=2021-06-08}}</ref>


== Daftar rujukan ==
== Daftar rujukan ==

Revisi per 9 Juni 2021 23.35

Perempuan bekerja di persawahan di Gujarat, India

Perubahan iklim dan gender merupakan cara untuk menganalisis dampak gender akibat perubahan iklim. Perubahan iklim beserta kebijakan dan strategi adaptasinya memengaruhi masyarakat secara berbeda-beda bergantung pada aspek ekonomi, budaya, dan konteks sosial, termasuk pada konstruksi sosial mengenai peran dan relasi gender laki-laki dan perempuan.[1] Perempuan secara umum lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dan memikul beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki[2]. Kerentanan tersebut disebabkan oleh proporsi perempuan yang lebih tinggi sebagai penduduk miskin dunia dan ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam untuk mata pencaharian dan kelangsungan hidup keluarganya.[3] Dari 1,3 miliar penduduk negara berkembang yang hidup di bawah ambang kemiskinan, sebanyak 70 persennya adalah perempuan.[4] Para perempuan yang paling terdampak tersebut hidup di negara berkembang dan miskin yang memiliki kemampuan respon perubahan iklim yang rendah.[2][5]

Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah bencana alam, antara lain berupa peningkatan permukaan air laut, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai. Sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap.[3] Keduanya memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kekuasaan, politik, dan sosial yang tidak setara yang seringkali memposisikan mereka sekadar sebagai objek kebijakan dan implementasinya.[1] Perempuan tidak mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.[3] Sehingga, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang telah ada selama ini.[6][7]

Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim.[8][9] Selain itu, kesadaran mengenai peran dan kontribusi perempuan dalam mitigasi perubahan iklim juga diperlukan dalam menyusun kebijakan adaptasinya. Sejumlah organisasi dan pemerintah telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. Persetujuan Paris menekankan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.[10] Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.[11]

Perubahan iklim mungkin tidak hanya memengaruhi perempuan dan laki-laki, tapi juga sistem biner yang lain. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa jadi memperburuk kondisi masyarakat gender non-biner di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, belum banyak studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner.[12] Isu gender dalam perubahan iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang juga turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, seperti usia, kelas sosial, status perkawinan, dan kelompok etnik.[13]

Dampak gender perubahan iklim

Perubahan iklim membawa dampak ke berbagai aspek penting dalam kehidupan, antara lain air, energi, transportasi, margasatwa, pertanian, ekosistem, dan kesehatan manusia.[14] Dampak gender perubahan iklim dalam aspek-aspek tersebut mungkin saja berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada bidang kesehatan, misalnya, laki-laki di negara maju dilaporkan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa yang bisa mengarah pada aksi bunuh diri dan isolasi sosial.[15] Berdasarkan penelitian The Lancet pada 2019, perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem.[16]

Bidang kesehatan

Pemeriksaan wanita hamil di Brazil

Perubahan iklim memengaruhi kondisi kesehatan semua gender dan dapat memperlebar kesenjangan gender dalam bidang kesehatan yang telah lama ada.[17] Perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian yang dapat mendorong munculnya gangguan kesehatan, antara lain berupa peningkatan paparan panas, kualitas udara yang buruk, peristiwa cuaca ekstrem, perubahan transmisi penyakit tular vektor, penurunan kualitas air, dan penurunan ketahanan pangan.[17] Semua masalah tersebut memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda bergantung pada wilayah geografis dan faktor sosial ekonomi.[17] Asia, terutama Asia tenggara dan Asia Selatan, diperkirakan menjadi kawasan yang paling terdampak pemanasan global dan perubahan iklim di antara bagian bumi yang lain.[18] Peningkatan suhu secara ekstem diprediksi mengancam kesehatan para pekerja di luar ruangan di negara-negara Asia Tenggara pada 2050.[19] Salah satu risiko kesehatan yang muncul adalah pitam panas.[19]

Perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap paparan panas berlebihan.[17] Perempuan sebagai gender dengan kebutuhan spesifik, misalnya kebutuhan nutrisi yang cukup saat hamil, bisa terganggu kesehatannya akibat kurangnya ketersediaan pangan.[17] Panas yang ekstrem juga dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya, risiko yang dihadapi antara lain berupa kelahiran prematur, cacat bawaan, tekanan darah tinggi (hipertensi gestasional), dan pre-eklampsia .[17] Dampak lingkungan dari perubahan iklim berupa tingkat hujan ekstrem, banjir, dan kekeringan yang akhirnya mengakibatkan gagal panen berkontribusi pada kenaikan angka bunuh diri di kalangan petani di India.[20] Jumlah petani pria India yang bunuh diri lebih tinggi daripada petani wanita.[21] Bencana alam juga memicu kecemasan dan depresi pada perempuan.[22] Selain itu, perempuan yang melahirkan saat bencana juga berisiko mengalami komplikasi kehamilan, seperti pre-eklampsia, perdarahan, dan kelahiran bayi dengan bobot kurang.[23]

Bidang pertanian

Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap pertanian dan ketahanan pangan. Perempuan perdesaan dalam hal ini merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Mereka umumnya bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen.[24] Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan ternak dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga.[24] Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh dan ini menambah beban mereka yang telah berat.[25]

Di masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen.[24] Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat perempuan tidak bisa banyak berperan dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen. Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang antara lain berupa lahan, ternak, pasokan benih,[26] peralatan pertanian, pupuk, tenaga buruh tani, dan penyuluhan.[24] Laki-laki juga lebih mudah mengakses kredit usaha dan pasar.[26] Akibatnya, perempuan nampak kurang memiliki peran dalam produksi pangan secara keseluruhan. Menurut FAO, kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses pada sumber daya.[24]

Bidang transportasi

Transportasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 24,5% di seluruh dunia.[27] Laki-laki dan perempuan memiliki pola perjalanan yang berbeda sehingga menghasilkan emisi karbon dioksida yang juga berbeda. Berdasarkan hasil penelitian di lima negara, yaitu Brazil, Tiongkok, Britania Raya, Italia, dan Spanyol, perempuan lebih berminat mengubah pilihan transportasi jika tersedia informasi mengenai jejak karbon yang mereka hasilkan.[28] Penelitian di Skandinavia menunjukkan bahwa perempuan berpendapatan tinggi berpotensi menjadi pengguna kendaraan listrik.[29] Studi kasus di Swedia[30] dan Selandia Baru[31] menemukan bahwa wanita melakukan perjalanan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pria dan mereka lebih mempertimbangkan isu keberlanjutan dalam pola transportasi mereka.[30]

Bidang energi

Kemiskinan energi (energy poverty) menjadi salah satu isu penting dalam perubahan iklim dan gender, terutama di negara berkembang. Perempuan di negara berkembang memiliki akses ke energi yang terbatas. Para ilmuwan meyakini bahwa masalah akses ke energi adalah masalah interseksional.[32] Di perdesaan Asia dan Afrika, perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan energi untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, terutama energi biomassa yang berasal dari kayu, arang, sampah, dan sisa produksi pertanian.[3][33] Akibat perubahan iklim, keanekaragaman hayati terancam dan manusia pun kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber energi tersebut.[3]

Transisi dari energi bahan bakar fosil ke energi yang lebih rendah karbon juga tidak serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut sejumlah studi, perempuan berpotensi menjadi objek kebijakan jika tidak ada intervensi yang berbasis gender. Oleh karenanya, para peneliti merekomendasikan adanya kebijakan yang berbasis keadilan sosial dan gender saat mengenalkan energi terbarukan di masyarakat negara berkembang.[32]

Perbedaan gender tentang persepsi mengenai perubahan iklim

Pandangan seseorang atau kelompok mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain ras, kelompok etnik, status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender.[34] Terkadang juga ditambah dengan pandangan dan orientasi politik. Faktor-faktor tersebut secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang perubahan iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kelompok dalam mempertimbangkan solusinya.[34]

Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Hasil penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.[35] Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, mereka sedikit lebih ragu tentang apakah mayoritas ilmuwan mempercayai bahwa perubahan iklim tengah terjadi saat ini.[35] Dalam studi lain, perempuan ditemukan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang perubahan iklim daripada laki-laki. Namun, dibandingkan dengan pria, wanita lebih cenderung meremehkan pengetahuannya.[36]

Perbedaan gender tentang pendekatan kebijakan perubahan iklim

Menurut sejumlah penelitian, representasi perempuan dalam parlemen menentukan sikap parlemen terhadap kebijakan perubahan iklim. Sampel data yang dikumpulkan dari 91 negara menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan memengaruhi pendekatan negara dalam adaptasi perubahan iklim, termasuk di antaranya dengan mengadopsi kebijakan yang lebih ketat.[37] Sebuah studi di AS menyebutkan bahwa anggota parlemen perempuan memiliki pandangan yang lebih pro lingkungan dibandingkan anggota laki-laki.[38]

Partisipasi perempuan dalam kebijakan penanganan bencana alam

Kajian mengenai riskscapes di tiga daerah di Indonesia, yaitu Aceh, Bantul, dan Merapi mengindikasikan bahwa intervensi berbasis gender perlu dilakukan dalam penanganan bencana alam. Peneliti studi tersebut menulis "Ketika perempuan diberdayakan, mempunyai partisipasi dan lebih setara dalam ruang publik dan sipil, dan memiliki peluang untuk mengembangkan modal sosial dan pengalaman kepemimpinan, maka para perempuan tersebut bersama keluarga serta komunitasnya memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi bahaya yang menandai riskscapes bencana".[39] Mereka juga merekomendasikan para peneliti riskscapes untuk memasukkan aspek gender ke dalam penelitian, perencanaan, dan aksi penanganan bencana alam dan perubahan iklim.[39]

Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender

Beberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya.[1] Kajian interseksionalitas sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan multidimensional. Menurut mereka, isu perubahan iklim dan gender bukan hanya masalah kekuatan dominan laki-laki melawan kelompok perempuan yang terdominasi dan lebih rentan, tapi juga tentang apa yang terjadi dalam kelompok rentan itu sendiri.[1] Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.[40][13] FAO juga mengingatkan bahwa perempuan bukan entitas yang homogen. Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, kasta, usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama, dan lokasi geografis.[24][41] Sehingga, menurut sejumlah pakar, tidak tepat jika memandang perempuan semata-mata sebagai korban dari perubahan iklim[1] dan laki-laki memikul beban yang lebih ringan, kondisi di masyarakat tidak seperti itu.[24] Wanita di Asia dan Afrika, misalnya, tidak kekurangan rasa agensi mereka, tetapi dalam kondisi di bawah tekanan dan keterbatasan pekerjaan, agensi mereka diarahkan ke kepentingan bertahan hidup dan mencari solusi jangka pendek.[13]

Studi kasus di sejumlah negara

Indonesia

Pengarusutamaan gender telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini.[42] Namun, terkait isu perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki.[42] "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".[42] Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.[43]

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh CIFOR terhadap mekanisme pendanaan iklim di Indonesia, ditemukan adanya kesenjangan antara level nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.[43] Para peneliti CIFOR melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan, yaitu Dana Desa, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan BPDLH. Peneliti juga menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu maupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.[43] Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk dalam isu perubahan iklim.[42] Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2020.[44]

Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.[42]

India

Avantika Singh, akademisi ilmu politik di Universitas Delhi, mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi.[45] Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari dewan yang didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan ke bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim ini, tidak ada pelibatan perwakilan dari Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak, praktisi yang bekerja di masyarakat bawah, maupun LSM perempuan.[45] Menurut Indeks Pembangunan Manusia 2020, India menempati posisi ke-131 dari 189 negara, dan mendapatkan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.[46]

Daftar rujukan

  1. ^ a b c d e Djoudi, Houria; Locatelli, Bruno; Vaast, Chloe; Asher, Kiran; Brockhaus, Maria; Basnett Sijapati, Bimbika (2016-12-01). "Beyond dichotomies: Gender and intersecting inequalities in climate change studies". Ambio (dalam bahasa Inggris). 45 (3): 248–262. doi:10.1007/s13280-016-0825-2. ISSN 1654-7209. PMC 5120018alt=Dapat diakses gratis. PMID 27878531. 
  2. ^ a b "Introduction to Gender and Climate Change". unfccc.int. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  3. ^ a b c d e United Nations. "Women, Gender Equality and Climate Change". WomenWatch. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  4. ^ Denton, Fatma (2002-07-01). "Climate change vulnerability, impacts, and adaptation: Why does gender matter?". Gender & Development. 10 (2): 10–20. doi:10.1080/13552070215903. ISSN 1355-2074. 
  5. ^ Arora-Jonsson, Seema (2011-05-01). "Virtue and vulnerability: Discourses on women, gender and climate change". Global Environmental Change (dalam bahasa Inggris). 21 (2): 744–751. doi:10.1016/j.gloenvcha.2011.01.005. ISSN 0959-3780. 
  6. ^ UNDP (2012). "Overview of linkages between gender and climate change". Gender and Climate Change. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  7. ^ Rusmadi, Rusmadi (2017-07-06). "Pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia". Sawwa: Jurnal Studi Gender. 12 (1): 91–110. ISSN 2581-1215. 
  8. ^ Terry, Geraldine (2009-03-01). "No climate justice without gender justice: an overview of the issues". Gender & Development. 17 (1): 5–18. doi:10.1080/13552070802696839. ISSN 1355-2074. 
  9. ^ Buckingham, Susan; Masson, Virginie Le (2017-05-08). Understanding Climate Change through Gender Relations (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN 978-1-317-34061-4. 
  10. ^ UN Women (2021). "Climate change and the environment". UN Women (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-03. 
  11. ^ Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2015). "Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender" (PDF). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  12. ^ The Lancet (Februari 2020). "Climate change and gender-based health disparities" (PDF). The Lancet. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  13. ^ a b c "Gender is one of many social factors influencing responses to climate change | Adaptation at Scale in Semi-Arid Regions". www.assar.uct.ac.za (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  14. ^ National Oceanic and Atmospheric Administration (2019-02-01). "Climate change impacts". National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  15. ^ WHO (2014). (acce "Gender, climate change and health" Periksa nilai |url= (bantuan). WHO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  16. ^ Watts, Nick; Amann, Markus; Arnell, Nigel; Ayeb-Karlsson, Sonja; Belesova, Kristine; Boykoff, Maxwell; Byass, Peter; Cai, Wenjia; Campbell-Lendrum, Diarmid (2019-11-16). "The 2019 report of The Lancet Countdown on health and climate change: ensuring that the health of a child born today is not defined by a changing climate". The Lancet (dalam bahasa English). 394 (10211): 1836–1878. doi:10.1016/S0140-6736(19)32596-6. ISSN 0140-6736. PMID 31733928. 
  17. ^ a b c d e f Sorensen, Cecilia; Murray, Virginia; Lemery, Jay; Balbus, John (2018-07-10). "Climate change and women's health: Impacts and policy directions". PLoS Medicine. 15 (7). doi:10.1371/journal.pmed.1002603. ISSN 1549-1277. PMC 6038986alt=Dapat diakses gratis. PMID 29990343. 
  18. ^ Choudhury, Saheli Roy (2020-08-17). "Southeast Asia faces more severe effects of climate change than the rest of the world, McKinsey says". CNBC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  19. ^ a b Kjellstrom, Tord; Lemke, Bruno; Otto, Matthias (2013). "Mapping Occupational Heat Exposure and Effects in South-East Asia: Ongoing Time Trends 1980–2011 and Future Estimates to 2050". Industrial Health. 51 (1): 56–67. doi:10.2486/indhealth.2012-0174. 
  20. ^ Nandi, Jayashree (2020-09-11). "Extreme rains lead to more rural farmer suicides than droughts: Study". Hindustan Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  21. ^ Saini, Yashobanta Parida/Swati. "Weather woes add to farmer-suicide cases". @businessline (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  22. ^ Norris, Fran H.; Friedman, Matthew J.; Watson, Patricia J.; Byrne, Christopher M.; Diaz, Eolia; Kaniasty, Krzysztof (2002). "60,000 disaster victims speak: Part I. An empirical review of the empirical literature, 1981-2001". Psychiatry. 65 (3): 207–239. doi:10.1521/psyc.65.3.207.20173. ISSN 0033-2747. PMID 12405079. 
  23. ^ Tong, Van T.; Zotti, Marianne E.; Hsia, Jason (2011-04). "Impact of the Red River Catastrophic Flood on Women Giving Birth in North Dakota, 1994–2000". Maternal and Child Health Journal (dalam bahasa Inggris). 15 (3): 281–288. doi:10.1007/s10995-010-0576-9. ISSN 1092-7875. 
  24. ^ a b c d e f g FAO (2012). "Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development: training guide" (PDF). FAO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  25. ^ FAO. "Gender-differentiated impacts of climate change". FAO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  26. ^ a b Hariharan, Vinod K.; Mittal, Surabhi; Rai, Munmun; Agarwal, Tripti; Kalvaniya, Kailash C.; Stirling, Clare M.; Jat, M. L. (2020-01-01). "Does climate-smart village approach influence gender equality in farming households? A case of two contrasting ecologies in India". Climatic Change (dalam bahasa Inggris). 158 (1): 77–90. doi:10.1007/s10584-018-2321-0. ISSN 1573-1480. 
  27. ^ "gender cc - women for climate justice". www.gendercc.net. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  28. ^ Waygood, E. O. D.; Avineri, E. (2016-10-01). "Communicating transportation carbon dioxide emissions information: Does gender impact behavioral response?". Transportation Research Part D: Transport and Environment (dalam bahasa Inggris). 48: 187–202. doi:10.1016/j.trd.2016.08.026. ISSN 1361-9209. 
  29. ^ Sovacool, Benjamin K.; Kester, Johannes; Noel, Noel; de Rubens, Gerardo Zarazua (2018-09-01). "The demographics of decarbonizing transport: The influence of gender, education, occupation, age, and household size on electric mobility preferences in the Nordic region". Global Environmental Change (dalam bahasa Inggris). 52: 86–100. doi:10.1016/j.gloenvcha.2018.06.008. ISSN 0959-3780. 
  30. ^ a b Kronsell, Annica; Rosqvist, Lena Smidfelt; Hiselius, Lena Winslott (2016-09-13). "Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case". International Journal of Sustainable Transportation. 10 (8): 703–711. doi:10.1080/15568318.2015.1129653. ISSN 1556-8318. 
  31. ^ Shaw, Caroline; Russell, Marie; Keall, Michael; MacBride-Stewart, Sara; Wild, Kirsty (2020-09-01). "Beyond the bicycle: Seeing the context of the gender gap in cycling". Journal of Transport & Health (dalam bahasa Inggris). 18: 100871. doi:10.1016/j.jth.2020.100871. ISSN 2214-1405. 
  32. ^ a b Johnson, Oliver W.; Han, Jenny Yi-Chen; Knight, Anne-Louise; Mortensen, Sofie; Aung, May Thazin; Boyland, Michael; Resurreccióne, Bernadette P. (2020-12-01). "Intersectionality and energy transitions: A review of gender, social equity and low-carbon energy". Energy Research & Social Science (dalam bahasa Inggris). 70: 101774. doi:10.1016/j.erss.2020.101774. ISSN 2214-6296. 
  33. ^ Antwi, Sarpong Hammond (2020-06-25). "The trade-off between gender, energy and climate change in Africa: the case of Niger Republic". GeoJournal (dalam bahasa Inggris). doi:10.1007/s10708-020-10246-9. ISSN 1572-9893. 
  34. ^ a b Pearson, Adam R.; Ballew, Matthew T.; Naiman, Sarah; Schuldt, Jonathon P. (2017-04-26). "Race, Class, Gender and Climate Change Communication". Oxford Research Encyclopedia of Climate Science (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  35. ^ a b Ballew, Matthew; Marlon, Jennifer; Leiserowitz, Anthony; Maibach, Edward (2019-11-20). "Gender Differences in Public Understanding of Climate Change". Yale program on climate change communication. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  36. ^ McCright, Aaron M. (2010). "The effects of gender on climate change knowledge and concern in the American public". Population and Environment. 32 (1): 66–87. ISSN 0199-0039. 
  37. ^ Mavisakalyan, Astghik; Tarverdi, Yashar (2019-01-01). "Gender and climate change: Do female parliamentarians make difference?". European Journal of Political Economy (dalam bahasa Inggris). 56: 151–164. doi:10.1016/j.ejpoleco.2018.08.001. ISSN 0176-2680. 
  38. ^ Fredriksson, Per G.; Wang, Le (2011-12-01). "Sex and environmental policy in the U.S. House of Representatives". Economics Letters (dalam bahasa Inggris). 113 (3): 228–230. doi:10.1016/j.econlet.2011.07.019. ISSN 0165-1765. 
  39. ^ a b Tickamyer, Ann R; Kusujiarti, Siti (2020-07-01). "Riskscapes of gender, disaster and climate change in Indonesia". Cambridge Journal of Regions, Economy and Society. 13 (2): 233–251. doi:10.1093/cjres/rsaa006. ISSN 1752-1378. 
  40. ^ Pelling, Mark (2010-10-18). Adaptation to Climate Change: From Resilience to Transformation (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-134-02202-1. 
  41. ^ Djoudi, H.; Brockhaus, M. (2011-06-01). "Is adaptation to climate change gender neutral? Lessons from communities dependent on livestock and forests in northern Mali". International Forestry Review. 13 (2): 123–135. doi:10.1505/146554811797406606. 
  42. ^ a b c d e Murdiyarso, Daniel; Herawati, Hety (2005-01-01). Carbon Forestry, who Will Benefit? Proceedings of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods (dalam bahasa Inggris). CIFOR. ISBN 978-979-3361-73-4. 
  43. ^ a b c Atmadja, Stibniati; Lestari, Hiasinta; Djoudi, Houria; Liswanti, Nining; Tamara, Ade (2020-12-01). "Making climate finance work for women and the poor: Insights from national climate finance mechanisms in Indonesia" (PDF). CIFOR. Diakses tanggal 2021-06-09. 
  44. ^ RI, Setjen DPR. "Pengarusutamaan Gender, Indonesia Masih Jauh dari Harapan". www.dpr.go.id. Diakses tanggal 2021-06-08. 
  45. ^ a b Singh, Avantika (2020-06-01). "Introspecting Gender Concerns in National Action Plan for Climate Change of India". Indian Journal of Public Administration (dalam bahasa Inggris). 66 (2): 179–190. doi:10.1177/0019556120922833. ISSN 0019-5561. 
  46. ^ Krishnan, Revathi (2020-12-17). "India slips two spots to 131 on human development index 2020, ranks low on gender equality". ThePrint (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-08.