Wakalah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wakalah dalam hukum Islam adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan. Wakalah dalam bahasa Arab berarti menolong, memelihara, mendelegasikan, atau menjadi wakil yang bertindak atas nama orang yang diwakilinya. Secara istilah, wakalah berarti tolong menolong antar-pribadi dalam suatu persoalan ketika seseorang tidak mampu secara hukum atau mempunyai halangan untuk melakukannya. Objek yag diwakilkan itu dapat menyangkut masalah harta benda dan masalah pribadi lainnya, seperti nikah.[1]

Defenisi[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa definisi wakalah menurut ulama fikih, antara lain:

  1. Mazhab Hanafi, wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain yang bertindak sebagai wakil.
  2. Mazhab Syafii, wakalah adalah pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang dapat diwakilkan kepada orang lain selama ia hidup. Definisi 'selama ia hidup' jadi pembeda antara wakalah dengan wasiat.

Dalil[sunting | sunting sumber]

Diperbolehkannya wakalah berasal dari keterangan yang terdapat di dalam Al-Qur'an mengenai kisah Ashabul Kahfi pada Surah Al-Kahfi ayat 19. Dalam kisah ini, salah seorang penghuni gua memerintahkan salah satu penghuni lainnya untuk pergi membelikannya makanan dengan uang perak. Ayat ini menyiratkan mengenai tindakan seorang teman sebagai perwakilan dari temannya yang lain dalam transaksi pembelian makanan.[2] Hukum diperbolehkannya wakalah juga ditemukan pada Surah Yusuf ayat 55 yang mengisahkan tentang pengajuan diri Nabi Yusuf untuk menjadi bendahara raja yang berkuasa di Mesir pada masa hidupnya.[3] Wakalah juga diperbolehkan berdasarkan hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan kepada Abu Rafi' dan seorang dari kaum Ansar untuk mewakilinya dalam pernikahannya dengan Maimunah binti Al-Harits. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik bin Anas dalam Muwatta Malik.[4] Para ulama juga menyepakati diperbolehkannya wakalah melalui ijmak. Kecenderungan yang timbul dari para ulama ialah kedudukan wasilah sebagai bagian dari sunnah. Hal ini dilandasi oleh kegiatan wasilah yang termasuk dalam kegiatan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Mereka mendasari kedudukan ini berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Ma'idah ayat 2. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusa untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta larangan tolong-menolong dalam perubuatan dosa dan terlarang.[5]

Dibolehkannya wakalah juga ditemukan berdasarkan keterangan dalam Surah An-Nisa' ayat 35 yang artinya "Maka suruhlah juru damai (hakam) dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai (hakam) dari keluarga perempuan....". Selain itu diperoleh pula dari hadits tentang Rasulullah mengutus seorang pemungut zakat untuk memungut zakat (HR Bukhari dan Muslim). HAdis lainnya ialah dari hadits penunjukan Amr bin Umayya Ad-Damiri sebagai wakilnya dalam menerima nikah Ummu Habibah binti Abu Sufyan (HR Abu Dawud).[1]

Rukun[sunting | sunting sumber]

  1. Ada yang mewakilkan dan wakil. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk ( boleh ) mewakilkan dalam tindakan yang bermanfaat , seperti perwakilan untuk menerima hibah , sedekah dan wasiat.

2. Ada sesuatu yang diwakilkan. sbb ;

  • Menerima penggantian , maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya. Tidak sah mewakilkan sesuatu , seperti solat , puasa dan membaca ayat Al - Quran
  • Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil. Oleh karena itu , batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli
  • Diketahui dengan jelas. Batal mewakilkan sesuatu yang masih samar , seperti seseorang berkata ; ' aku jadika engkau sebagai wakilku untuk menikahkan salah seorang anakku '

3. Ada lafal yang menunjukan rida yang mewakilkan dan wakil menerimanya.

Syarat Wakalah[sunting | sunting sumber]

Menurut al Qadhi Abu Syuja' seorang wakil tidak boleh melakukan jual beli, kecuali dengan 3 syarat:

  1. Menjual dengan harga standar.
  1. Menggunakan mata uang setempat.
  1. Tidak boleh menjual dengan mengatasnamakan dirinya dan mengakui barang yang diwakilkan atas namanya sendiri, kecuali dengan izin orang yang mewakilkan.[6]

Syarat Orang yang Berakad[sunting | sunting sumber]

  1. Cakap bertindak hukum
  2. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan yang diwakilkan kepadanya
  3. Bertindak sebagai wakil secara serius
  4. Ditunjuk secara langsung oleh yang diwakili

Objek yang Diwakilkan[sunting | sunting sumber]

  1. Yang diwakilkan bukan sesuatu yang boleh (mubah) dilakukan oleh setiap orang
  2. Yang diwakilkan itu merupakann milik orang yang diwakili
  3. Yang diwakilkan itu jelas

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Tim Suplemen Ensiklopedi Islam (2001). Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 277. ISBN 979-8276-75-2. 
  2. ^ Sudiarti 2018, hlm. 182-183.
  3. ^ Sudiarti 2018, hlm. 184.
  4. ^ Sudiarti 2018, hlm. 184-185.
  5. ^ Sudiarti 2018, hlm. 185.
  6. ^ admin (2020-02-04). "Resensi Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum Islam Madzhab Syafi'i". Pusda Bayat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-05. Diakses tanggal 2020-02-05. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]