Lompat ke isi

Vegetarianisme Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Vegetarianisme dan veganisme Islam adalah praktik berpantang daging (dan produk hewani lainnya dalam kasus vegan) di kalangan umat Islam. Mayoritas umat Islam makan daging; banyak ahli fikih menganggap vegetarianisme diperbolehkan tetapi tidak lebih baik dari memakan daging. Argumen keagamaan untuk pola makan vegetarian mencakup keharusan untuk berbelas kasih yang dikenakan pada umat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan sunah serta konsep pelayanan (khalifah). Muslim vegetarian modern sering menghadapi prasangka terhadap pola makan mereka. Contoh kasus khusus adalah tradisi menyembelih hewan pada saat perayaan Iduladha, yang oleh banyak umat Islam dipandang sebagai suatu keharusan atau setidaknya merupakan sunah yang ditekankan.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Vegetarianisme sangat jarang terjadi di kalangan umat Islam, namun tersebar luas di kalangan penganut agama lain seperti Hinduisme dan Buddhisme.[1][2][3] Banyak umat Islam makan daging sesering mungkin.[4]

Meskipun Al-Qur'an dan hadis sangat menganjurkan umat Islam untuk memperlakukan hewan secara manusiawi dan Nabi Muhammad menentang perburuan untuk rekreasi, Al-Qur'an secara eksplisit mengizinkan konsumsi daging (halal) di ayat pertama surah Al-Ma'idah.[5][1] Aturan ritual penyembelihan halal menyebutkan bahwa hewan tidak boleh menderita lebih dari yang diperlukan.[1] Secara historis, umat Islam pertama, yaitu orang Arab nomaden, harus makan daging untuk menopang kehidupan mereka.[6]

Pendapat yang setuju

[sunting | sunting sumber]
Restoran vegetarian di Karaj, Iran
Aktivis vegetarian Sepehr Salimi

Beberapa sufi, termasuk Suhrawardi Hamiduddin Nagori dari Nagaur, Bawa Muhaiyaddeen, dan beberapa lainnya di Afrika Utara mempraktikkan pola makan vegan yang ketat.[1][7] Perkumpulan rahasia abad ke-9 hingga ke-10, Ikhwan As-Shafa, menerbitkan sebuah surat berjudul [./Https://en.wikipedia.org/wiki/The_Case_of_the_Animals_versus_Man Kasus Hewan versus Manusia], di mana mereka menyampaikan cerita tentang Rabi'ah Basri yang memberi tahu Hasan al-Bashri bahwa hewan-hewan datang kepadanya tetapi lari dari Hasan karena pola makan dagingnya.[1] Ulama India Bashir Ahmad Masri, seorang pelopor kesejahteraan hewan, telah menyatakan ketidakpuasannya terhadap banyaknya kekejaman yang dilakukan terhadap hewan yang berasal dari antroposentrisme dan menganjurkan diet Muslim vegetarian.[1][8] Beberapa pemikir menghubungkan topik berpantang daging dengan khilafah, tugas pelayanan yang dibebankan Tuhan kepada manusia.[9]

Beberapa fatwa yang dikeluarkan para ahli fikih seperti Ebrahim Desai, Hamza Yusuf, Muhammad Hussein Fadlallah, Muzammil H. Siddiqi, Muhammad al-Munajjid, dan Ali Khamenei menyatakan bahwa berpantang daging boleh bagi umat Islam selama tidak menganggapnya sebagai kewajiban atau cara menjadi Muslim yang lebih baik dibandingkan yang lain.[10][11] Inayat Khan menyimpulkan bahwa tidak makan daging adalah hal yang diperlukan karena daging "menghambat kemajuan spiritual", sementara tindakan membunuh itu tindakan yang tidak baik.[12] Para pendukung veganisme Islam modern menyebutkan penderitaan berlebihan yang dialami hewan-hewan yang diternakkan di pabrik, kerusakan lingkungan akibat industri daging dan susu, serta infeksi zoonosis sebagai alasan untuk beralih ke pola makan vegan.[13] Penganut vegetarian mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai apakah daging dari hewan yang dipelihara secara tidak manusiawi dapat dianggap halal meskipun telah disertifikasi demikian.[14] Para dokter Muslim yang menganjurkan vegetarianisme dari sudut pandang kesehatan juga menggunakan contoh Muhammad sebagai orang yang menjalani gaya hidup "sebagian besar vegetarian".[15] Akademisi Muslim modern yang menganjurkan vegetarianisme termasuk Duke McLeod dan Mohamed Ghilan.[16]

Pendapat yang tidak setuju

[sunting | sunting sumber]

Ulama Irak Mawil Izzi Dien memutuskan bahwa vegetarianisme Islam sama sekali tidak dapat diterima.[10] Izzuddin bin Abdissalam: “Orang kafir yang mengharamkan penyembelihan hewan [tanpa suatu alasan melainkan] untuk memperoleh kemaslahatan hewan tersebut adalah keliru, karena dengan demikian dia mengutamakan hewan yang lebih rendah (khasis) dibandingkan hewan yang lebih tinggi (nafis)” dalam Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam.[1] Ibnu Hazm berpendapat bahwa yang berhak mengharamkan hanyalah mereka yang mampu memahami hukum-hukum Islam.[1] Ulama Pakistan Abul A'la Maududi mengatakan bahwa Islam membolehkan manusia membunuh hewan lain untuk makanan dan membolehkan membunuh hewan yang dianggap berbahaya karena manusia adalah khalifah (utusan) Tuhan.[17] Beberapa ulama memuji pengurangan konsumsi daging, sementara ulama-ulama lain menekankan pentingnya perlakuan manusiawi terhadap hewan, namun tidak mendukung vegetarianisme.[18]

Kaum vegetarian secara historis sering dipandang sebagai kaum yang sesat; contohnya termasuk al-Ma'arri.[19] Pandangan bahwa vegetarianisme itu tidak Islami bermula dari permusuhan historis antara umat Muslim dan penganut Buddhisme dan Hinduisme.[1] Kaum vegetarian dan vegan Muslim modern sering kali harus menghadapi prasangka dan kebencian.[11]

Kurban Iduladha

[sunting | sunting sumber]
Daging dalam hidangan Iduladha di Uganda

Kebiasaan menyembelih hewan pada hari raya Iduladha tersebar luas di kalangan umat Islam, namun sebagian besar ahli fikih berpendapat bahwa menyembelih hewan pada hari tersebut hukumnya sunah, bukan wajib.[20][1] Bashir Ahmad Masri dan beberapa fakih lainnya menyarankan mengganti kurban hewan dengan sedekah atau puasa.[21][22] Beberapa pihak lainnya menyuarakan penolakan mereka terhadap praktik penyembelihan hewan saat ini yang “berlebihan” yang dagingnya sering kali tidak termakan dan terbuang sia-sia.[23] Aktivis Shahid Ali Muttaqi menulis bahwa penyembelihan pada perayaan Iduladha dilakukan demi nafsu manusia.[24]

Umat Muslim yang melakukan praktik veganisme menyumbangkan uang agar penyembelihan dilakukan atas nama mereka tanpa berpartisipasi di dalamnya, atau menyumbangkannya untuk tujuan amal lainnya.[22]

  1. ^ a b c d e f g h i j Folz 2010.
  2. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 437.
  3. ^ Ali 2015, hlm. 273.
  4. ^ Folz 2006, hlm. 105.
  5. ^ [Qur'an Al-Ma’idah:1]
  6. ^ Folz 2006, hlm. 106.
  7. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 449, 450.
  8. ^ Ali 2015, hlm. 275.
  9. ^ Ali 2015, hlm. 274.
  10. ^ a b Leaman & Shaikh 2022, hlm. 447.
  11. ^ a b Folz 2006, hlm. 108.
  12. ^ Keshani 2010, hlm. 19.
  13. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 440-445.
  14. ^ Folz 2006, hlm. 119.
  15. ^ Folz 2006, hlm. 110.
  16. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 450.
  17. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 439.
  18. ^ Ali 2015, hlm. 272, 273.
  19. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 449.
  20. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 445.
  21. ^ Leaman & Shaikh 2022, hlm. 446-447.
  22. ^ a b Atayee-Bennett 2023.
  23. ^ Folz 2006, hlm. 122.
  24. ^ Folz 2006, hlm. 122-123.

Referensi

[sunting | sunting sumber]