Trilema

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Trilema (Inggris: trilemma) adalah pemilihan sulit di antara tiga pilihan yang masing-masingnya adalah (atau tampaknya) tidak dapat diterima atau tidak disukai.

Terdapat dua cara yang ekuivalen secara logis untuk mengekspresikan suatu trilema: trilema dapat diekspresikan sebagai suatu pemilihan di antara tiga pilihan yang tidak disukai, salah satunya harus dipilih, atau juga sebagai suatu pemilihan di antara tiga pilihan yang disukai, hanya dua di antaranya yang mungkin pada saat bersamaan.

Istilah ini berasalah dari istilah yang telah ada jauh sebelumnya, dilema, suatu pemilihan antara dua atau lebih alternatif yang sulit atau tidak disukai.

Catatan penggunaan paling awal istilah ini ditemukan dalam tulisan seorang pengkhotbah Britania bernama Philip Henry pada tahun 1672, dan kemudian, tampaknya secara bebas, dalam tulisan Isaac Watts pada tahun 1725.[1]

Dalam agama[sunting | sunting sumber]

Trilema Epikuros[sunting | sunting sumber]

Salah satu penggunaan paling awal seputar rumusan trilema adalah dari filsuf Yunani bernama Epikuros, yang menolak gagasan tentang Allah yang mahakuasa dan mahabaik (sebagaimana dirangkum oleh David Hume):[2]

  1. Jika Allah tidak dapat mencegah kejahatan, maka Ia tidak sepenuhnya berkuasa.
  2. Jika Allah tidak mau mencegah kejahatan, maka Ia tidak sepenuhnya baik.
  3. Jika Allah mau dan mampu mencegah kejahatan, maka kenapa kejahatan ada?

Kendati berdasarkan tradisi dianggap berasal dari Epikuros, dikemukakan bahwa istilah ini mungkin sebenarnya adalah karya dari seorang penulis skeptis awal, kemungkinan Karneades.[3]

Dalam studi filsafat, berbagai diskusi dan perdebatan terkait trilema ini sering kali disebut berhubungan dengan "masalah kejahatan".

Trilema apologetik[sunting | sunting sumber]

Terdapat satu trilema terkenal yang terkadang digunakan oleh apolog Kristen sebagai bukti keilahian Yesus,[4] dan yang paling dikenal umum adalah versi C. S. Lewis. Trilema tersebut berasal dari premis bahwa Yesus mengaku sebagai Allah, dan karenanya salah satu hal berikut ini tentu benar adanya:[5]

  1. Orang Gila: Yesus bukan Allah, tetapi Yesus dengan keliru meyakini demikian.
  2. Pendusta: Yesus bukan Allah, dan Yesus mengetahuinya, tetapi tetap mengatakan demikian.
  3. Tuhan: Yesus adalah Allah.

Trilema tersebut, biasanya dalam formulasi Lewis, sering digunakan dalam karya-karya apologetika populer, meskipun nyaris tidak ada sama sekali dalam diskusi-diskusi tentang status Yesus oleh para teolog profesional dan akademisi biblika.[6] Dalam buku The Metaphor of God Incarnate karyanya tahun 1993, John Hick ingat bahwa ketika masih kecil ia diajarkan argumen demikian, dan mengklaim kalau para akademisi Perjanjian Baru masa kini tidak mendukung pandangan bahwa Yesus mengaku sebagai Allah.[7]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) Metcalf, Allan A. (2004). Predicting New Words: The Secrets of Their Success. Houghton Mifflin Reference. hlm. 106–107. 
  2. ^ (Inggris) Hume, David (1779). Dialogues Concerning Natural Religion. Is God willing to prevent evil, but not able? Then is He impotent. Is He able but not willing? Then is He malevolent. Is He both able and willing? Whence then is evil? 
  3. ^ (Inggris) Larrimore, Mark Joseph (2001). The Problem of Evil: a reader. Blackwell. 
  4. ^ (Inggris) Davis, Steven T. (2009). "Was Jesus Mad, Bad or God?". Dalam Michael C. Rea. Oxford Readings in Philosophical Theology. Volume 1: Trinity, Incarnation, and Atonement. Oxford University Press. hlm. 166. 
  5. ^ (Inggris) Lewis, C.S. (1952). "Chapter 3: The Shocking Alternative". Mere Christianity. London: Collins. hlm. 54–56. 
  6. ^ (Inggris) Davis, Stephen T.; Kendall, Daniel; O'Collins, Gerald (2004). "Was Jesus Mad, Bad, or God?". The Incarnation: an interdisciplinary symposium on the Incarnation of the Son of God. Oxford University Press. hlm. 222–3. 
  7. ^ (Inggris) Hick, John. The Metaphor of God Incarnate. hlm. 27. A further point of broad agreement among New Testament scholars ... is that the historical Jesus did not make the claim to deity that later Christian thought was to make for him: he did not understand himself to be God, or God the Son, incarnate. ... such evidence as there is has led the historians of the period to conclude, with an impressive degree of unanimity, that Jesus did not claim to be God incarnate. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Templat:Teologi