Sultan Alauddin Mahmud Syah I

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sultan Alauddin Mahmud Syah I (meninggal 1781) adalah sultan kedua puluh lima Kesultanan Aceh. Memerintah antara tahun 1760-1781, dalam rentang waktu itu pemerintahannya sebanyak dua kali terganggu oleh perampasan kekuasaan yaitu pada tahun 1764 dan tahun 1773.

Penobatan yang bermasalah[sunting | sunting sumber]

Pada masa sebelum menjabat sultan dikenal dengan nama Tuanku Raja atau Pocut Bangta, dia adalah putra dari Sultan Alauddin Johan Syah dengan ibu seorang puteri dari Kesultanan Asahan.[1] Menjelang berakhirnya pemerintahan ayahnya kesultanan mengalami masa oposisi dari kalangan lingkar dalam istana. Sultan Johan Syah meninggal pada tahun 1760 dan sebagai putera mahkota Tuanku Raja segera ditabalkan menjadi sultan yang baru dengan gelar Alauddin Mahmud Syah.

Namun, tidak semua daerah menghormati pengangkatannya menjadi sultan. Di antara mereka yang menentang terdapat orang-orang dari XXII mukim salah satu dari tiga sagi terkemuka di Aceh. Dalam menyuarakan perlawanannya orang-orang XXII mukim selama beberapa waktu sempat menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Namun aksi mereka ini berhasil digagalkan dan para penentang diusir paksa dari masjid. Setelah sekian bulan kemudian pada Desember 1760 ke tiga sagi akhirnya sepakat untuk mengakui Alauddin Mahmud Syah.[2]

Menurut catatan navigator Inggris Thomas Forrest, hubungan sultan dengan orang kaya (bangsawan) dalam keadaan yang tidak harmonis selama tahun-tahun pertama ia memerintah. Disebabkan oleh sikap sultan yang mencoba mengontrol sepenuhnya perdagangan, sultah juga memangkas banyak kekuasaan orang kaya dalam bidang politik serta ekonomi.[3] Kewenangan-kewenangan istimewa para bangsawan itu telah berlangsung di kesultanan selama abad ketujuh belas kini sudah coba diambil alih oleh sultan sehingga terjadi ketidakstabilan politik di internal pemerintahan. Selain itu sultan yang baru juga memiliki ambisi untuk memperluas pengaruh Aceh di sepanjang pantai barat yang dulunya milik kesultanan. Peristiwa lain di pertengahan abad kedelapan belas juga memberikan tambahan peran ekonomi bagi Aceh, yaitu ketika orang-orang Inggris mendirikan pelabuhan dagang mereka di Natal dan Tapanuli Tengah pada tahun 1751 dan 1756 guna mendukung perdagangan lada dari Bengkulu. Sementara itu para pedagang Prancis pada saat yang sama juga sedang merintis hubungan baik dengan Aceh. Agaknya langkah sultan di atas dikarenakan ia melihat meningkatnya jumlah kapal Eropa dan para pedagang yang berlabuh di pantai Aceh, tetapi kapal-kapal dagang itu dilihatnya lebih berkenan mendapatkan muatan lada dan produk-produk lokal lainnya dari banyak pelabuhan kecil di pantai barat daripada melalui pelabuhan ibu kota.[4]

Kejatuhan pertama[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1763 terjadi perpecahan di kalangan istana, para bangsawan birokrat yang kehilangan hak istimewa kini mulai melakukan perlawanan secara politik.[5] Para bangsawan yang tidak puas melakukan pemberontakan yang menyebabkan pengusiran Alauddin Mahmud Syah pada tahun berikutnya. Setelah sultan diturunkan dari tahta diangkatlah Menteri Meukuta Raja sebagai sultan dengan nama Sultan Badruddin Johan Syah. Alauddin Mahmud Syah melarikan diri ke benteng pantai Kuta Musapi di mana ia mendapatkan perlindungan dari Qadhi Malikul 'Adil. Lalu dengan bantuan Malikul 'Adil ia menyerang Badruddin Johan Syah dan berhasil membunuhnya pada bulan Agustus 1765. Dengan demikian tahta sultan kembali diduduki Alauddin Mahmud Syah, meskipun posisinya kini sama sekali telah jauh melemah. Dalam rangka upaya rekonsiliasi faksi-faksi politik setelah periode kedua pemerintahannya maka sultan menikahkan putera mahkota kesultanan Alauddin Muhammad Syah dengan puteri Badruddin Johan Syah.[6]

Kejatuhan kedua kali[sunting | sunting sumber]

Selama beberapa tahun Alauddin Mahmud Syah tetap tidak terganggu pemerintahannya. Inggris yang menegosiasikanmengenai kondisi perdagangan dengan Aceh pada tahun 1767, 1771 dan 1772-1773 mandapati posisi sultan dalam kondisi yang lemah serta labil. Sementara itu Panglima Laot Aceh dengan gencar memperluas pengaruh kesultanan di pantai barat utara. Beberapa kota-kota pelabuhan dibangun guna memblokade orang-orang Belanda di Barus, kota garnisun Belanda itu akhirnya diserang oleh Aceh pada tahun 1771.[7] Namun hal itu tidak mampu menghentikan retaknya kesatuan dalam kesultanan di ibu kota. Ketika Thomas Forrest kembali ke Aceh pada tahun 1772 ia menemukan suasana penuh kegelisahan. Forrest melaporkan adanya kelompok-kelompok yang tidak puas yang terkadang muncul di ibu kota dan menebarkan ancaman di luar komplek istana pada malam hari. Sadar akan ancaman itu, sultan mengerahkan tentara bayaran dari India (si Pai) sebagai pengawal istana. Pada April 1773 sekali lagi orang-orang XXII Mukim dan XXV Mukim bangkit melawan sultan dan kembali menurunkannya dari tahta.[8] Untuk dua bulan kemudian para bangsawan penentang Alauddin Mahmud Syah mendaulat seorang pejabat yang bernama Raja Udahna Lela menjadi dengan gelar Sultan Sulaiman Syah. Ketika Alauddin Mahmud Syah kembali dengan pengikutnya dan mengusir lawan-lawan politiknya dari kekuasaan. Setelah itu dia tetap berkuasa sampai kematiannya pada bulan Juni 1781. Beberapa pendapat menduga bahwa kematiannya adalah akibat diracuni oleh lawan politiknya dikalangan dalam istana.[9] Sultan meninggalkan dua orang putera sebagai calon pengganti, Tuanku Muhammad dan Tuanku Cut. Di mana yang lebih tua akhirnya dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Alauddin Muhammad Syah.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Zainuddin (1961), p. 413.
  2. ^ Djajadiningrat (1911), pp. 204-5.
  3. ^ Lee (1995), p. 24.
  4. ^ Lee (1995), p. 26.
  5. ^ Lee (1995), pp. 25-6.
  6. ^ Djajadiningrat (1911), p. 204.
  7. ^ Lee (1995), pp. 37-8.
  8. ^ Zainuddin (1961), p. 414.
  9. ^ Lee (1995), p. 90.
  10. ^ Djajadiningrat (1911), pp. 205-6.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  • Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
  • Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
  • Zainuddin, H.M. (1961) Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Didahului oleh:
Sultan Alauddin Johan Syah
Sultan Aceh
17601781 (selama tiga periode)
Diteruskan oleh:
Sultan Badruddin Johan Syah (1764), Sultan Sulaiman Syah (1773), Alauddin Muhammad Syah (1781)