Suku Dayak Kancikgh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dayak Kancikgh
Tarian botaja yang ditampilkan dalam upacara naik balai.
Daerah dengan populasi signifikan
Kalimantan Barat (Sekadau dan Sanggau)
Bahasa
Dayak Kancikgh
Agama
Kekristenan (terutama Katolik), Kaharingan
Kelompok etnik terkait
Bidayuh

Suku Dayak Kancikgh[1] (disebut juga Dayak Kancinkng[2] atau Kancikng[3]) adalah sub-suku Dayak yang mendiami Kalimantan Barat, Indonesia.

Suku Dayak Kancikgh merupakan salah satu dari 151 sub-suku Dayak yang menempati wilayah Kalimantan Barat.[2]

Asal usul dan legenda[sunting | sunting sumber]

Pindah dari Labai Lawai[sunting | sunting sumber]

Sejarah Suku Kancikgh bermula dari sebuah peristiwa besar yang oleh orang-orang Kancikgh disebut “Beajo Ngolangar Jawa, Minte Bantu Cina nik Kubu”. Disebut demikian sesuai dengan penuturan aslinya yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang orang Kancikgh. Peristiwa tersebut terjadi kira-kira tahun 1280-an saat laskar Kubilai Khan dari Kekaisaran Mongolia berlayar menuju pulau Jawa dalam rangka hendak menghukum Maharaja Kartanegara dari Kerajaan Singhasari yang telah melakukan penghinaan terhadap Kaisar Kubilai Khan karena menganiaya utusan Kaisar yang menyampaikan pesan penaklukan kepada Maharaja Kartanegara.

Istilah “Beajo Ngolangar Jawa, Minte Bantu Cina nik Kubu” artinya akan terjadi perang besar di tanah Jawa tetapi melibatkan koloni Singhasari yang berada di Pulau Borneo bagian Barat termasuk daerah Labai Lawai yaitu daerah pesisir pantai sungai Kapuas bagian Hilir yaitu daerah Kubu Raya sekarang. Dari Labai Lawai inilah asal-usul Suku Kancikgh dan beberapa Suku di Wilayah Kabupaten Sekadau. Konon pada waktu itu dan jauh sebelumnya sejak kejayaan Singhasari, orang Labai Lawai dan mungkin seluruh penghuni Borneo Bagian Barat dengan sukarela menyatakan diri sebagai bagian atau koloni dari Kerajaan Singhasari yang kemudian diwariskan ke Kerajaan Majapahit.

Akibat prahara “Beajo Ngolangar Jawa, Minte Bantu Cina nik Kubu” muncul dua kelompok masyarakat. Yang pertama adalah mereka yang tidak mau perang terjadi dan ingin tetap setia di bawah panji-panji Singhasari, dan yang kedua adalah mereka yang ingin membelot memihak kepada Laskar Kubilai Khan, karena dituturkan juga bahwa Laskar Kubilai Khan sempat meminta bantuan orang Cina di daerah itu untuk memerangi Kerajaan Singhasari. Perpecahan sepertinya tidak bisa dihindari, sehingga kelompok yang tidak mau berperang tersebut memilih untuk memisahkan diri dan berpindah dari Labai Lawai ke bagian hulu Sungai Kapuas. Dengan tetap setia kepada Raja Singhasari mereka memulai perjalanan panjang menelusuri Sungai Kapuas menggunakan sampan menuju ke suatu tanah baru yang menurut mereka tidak mungkin diketahui oleh orang-orang Kubilai Khan jika mereka menang perang. Bukti kesetiaan kepada Raja Singhasari kemudian Majapahit dapat diketahui dari penggunaan alat-alat musik gamelan, alat-alat upacara adat yang terbuat dari tembaga, kuningan dan perunggu serta keris. Alat-alat tersebut mereka bawa pada saat migrasi ke bagian hulu sungai Kapuas. Di kalangan Suku Kancikgh sendiri sampai saat ini masih tersimpan “tonah borani” warisan Majapahit (sebelumnya Singhasari) sebagai simbol persatuan orang Kancikgh dalam memelihara adat istiadat dan budaya.

Sejarah mencatat bahwa pada akhirnya laskar Kubilai Khan porak poranda diperalat dan dibantai oleh tentara Raden Wijaya pendiri Kerajaan majapahit sehingga kelompok pro Kubilai Khan yang ada di Kubu pun berpencar ke hulu Sungai Kapuas menyusul kelompok yang anti perang. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Tionghoa juga memiliki sejarah tua tentang keberadaan mereka di pedalaman Kalimantan Barat.

Setelah menempuh perjalanan berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun, sampailah salah satu kelompok migran tersebut ke sebuah Muara Sungai yang jernih airnya. Kelompok tersebut bersepakat untuk masuk menelusuri Sungai tersebut setelah menemukan tanda bahwa diyakini ada manusia yang berdomisili di pedalamannya. Tanda dimaksud adalah ditemukannya potongan bambu yang ada bekas tebasan parang. Kelompok tersebut akhirnya memutuskan untuk masuk ke sungai setelah melewati rintangan batang pohon adau yang tumbang melintang di dekat muara sungai. Itulah asal muasal mengapa sungai tersebut kemudian diberi nama sungai Sekadau. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari (kondisi pada saat itu) sampailah kelompok itu ke sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Kematu lokasinya di sekitar Dusun Dangkuk Rawak Hilir sekarang. Ekspedisi itu pun menetap di Kampung tersebut setelah memperoleh sambutan dan ijin dari Kepala Kampung. Konon di kemudian hari Kampung Kematu tersebut berkembang menjadi kerajaan Kematu. Raja kematu kemudian memeluk agama Islam setelah adanya penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Melayu.

Setelah sekian lama menetap di Kematu, kelompok dari Labai Lawai itupun berkembang biak dan semakin banyak populasinya. Oleh karenanya muncul keinginan untuk berpindah dari Kematu dalam rangka mencari daerah baru yang lebih luas untuk berladang, lebih subur dan masih banyak ikan serta hewan buruannya. Gagasan ini pun disetujui oleh Raja Kematu mengingat wilayah Kematu sangat sempit karena diapit oleh dua buah sungai besar yaitu Sungai Sekadau dan Sungai Menterap. Pada hari yang disepakati, berangkatlah seluruh anggota kelompok keturunan Labai Lawai tersebut menelusuri bagian hulu Sungai Sekadau. Dalam perjalanan, kelompok tersebut akhir berpisah-pisah dengan perjanjian bahwa mereka harus tetap mengingat satu sama lainnya sebagai orang keturunan dari Labai Lawai. Tanda dari perjanjian tersebut adalah “Tonah Borani” yang mereka bawa dari Labai Lawai. Konon ceritanya tanah tersebut dikirim dari Kerajaan Majapahit sebagai tanda persatuan antara Majapahit dan daerah-daerah koloninya. Tonah Borani tersebut kemudian mereka bagi sesuai jumlah kelompok yang berpisah-pisah, sehingga satu kelompok hanya dibolehkan membawa sekitar satu mangkok Tonah Borani. Selain perjanjian, mereka juga bersumpah bahwa siapapun yang membawa, memelihara dan menghormati Tonah Borani, berarti memelihara adat istiadat sehingga kepada mereka diberikan hikmat dan kebijaksanaan, kekuatan dan keadilan, serta kemakmuran dan kelimpahan.

Salah satu kelompok dipimpin oleh Patih Bangi menelusuri Sungai Mentuka dan menetap di Penepat (dekat Dusun Nanga Sekotong, Desa Lubuk Tajau sekarang). Di Penepat, kelompok ini kemudian dikenal sebagai orang Ntuka (suku Mentuka), berbahasa Ntuka. Kelompok ini kemudian menyebar lagi ke bagian hulu membentuk pemukiman baru seperti Pantok, Lubuk Tajau, Sungi Bayuh (Beana), Landau Mentawak, Kenatok, Kenore, Tapang Lalau, Pekawai, bahkan sampai ke hulu Sungai Sekadau yaitu Tapang Bira, Tajau Bunga, Soruk, Nanga Kebiuk, Karang Botong, Gurung Urau, bahkan Nanga Ensayang.

Satu kelompok lainnya dipimpin oleh Akek Singapati Mangkubumi masuk ke Sungai Mongko dan menetap di Penyogatn (dekat Nanga Mongko sekarang). Karena itulah kelompok ini juga sering disebut orang Mongko.

Disebut Kancikgh setelah berpindah dari Penyogatn[sunting | sunting sumber]

Menjelang akhir hayatnya, Akek Singapati Mangkubumi berpesan kepada anak cucunya, kira-kira seperti ini pesannya: “Setelah saya meninggal, saya berharap kalian harus berpindah dari Penyogatn, karena tanah penyogatn ini sangat tidak cocok untuk tempat tinggal, disamping sempit karena diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai Sekadau dan Sungai Mongko, lahan berladang juga sempit, mudah terkena banjir, dan mudah ditemukan oleh kaki tangan Raja Islam. Tonah borani yang dibagi untuk kita tolong dijaga, dipelihara dan dihormati sebagai simbol dan peringatan agar kalian memelihara adat istiadat dan tradisi, agar kalian diberikan hikmat dan kebijaksanaan, kekuatan dan keadilan, serta kemakmuran dan kelimpahan.” Akek Singapati Mangkubumi meninggal dan dimakamkan oleh anak cucunya di Penyogatn, tepatnya di Riam Togarot dimana sampai saat ini masih tampak peninggalannya walaupun sudah jadi hutan rimba.

Selang beberapa tahun setelah Akek Singapati Mangkubumi meninggal, sesuai pesan beliau maka bermufakatlah anak cucu Akek Singapati Mangkubumi untuk berpindah tempat tinggal dari Penyogatn. Arahnya selalu menuju ke bagian hulu sungai dalam rangka membuka lahan baru yang lebih luas, lebih subur, lebih kaya dengan binatang buruan dan jauh dari jangkauan kaki tangan Raja Islam yang selalu berekspansi untuk memaksa kelompok nomaden tersebut memeluk agama Islam, bahkan konon dengan ancaman ditusuk duburnya dengan besi panas. Lokasi berikutnya yang menjadi tujuan migrasi orang “Mongko” tersebut adalah suatu daerah yang sekarang disebut Ongatn yaitu lokasi yang saat ini berada diantara Dusun Leminang dan Dusun Sarik Kecamatan Nanga Taman. Awalnya lokasi tersebut akan dijadikan lokasi permanen untuk membuat kampung orang “Mongko” tapi karena situasinya tidak aman akibat sering diganggu oleh makhluk halus (hantu) maka disepakati untuk segera berpindah ke daerah hulu disebuah muara sungai kecil yang kemudian diberi nama “Sungi Kancikgh”.

Saat masih bermukim di Ongatn, ada beberapa kepala keluarga yang terlanjur berladang di bagian hilir sungai Mongko yang sekarang disebut dengan Kampung Leminang dan ada juga bahkan berladang di Nongu Konak (dekat dusun Seladan sekarang), sehingga ketika pemukiman dipindahkan ke Nongu Kancikgh di bagian hulu, beberapa kepala keluarga tersebut membuat pondok ladang mereka menjadi permanen sehingga layak untuk bermalam bahkan untuk masa waktu berbulan-bulan. Walaupun begitu, pada saat akhir tahun padi, mereka harus pulang dan berkumpul dengan masyarakat umum di kampung untuk merayakan hari Gawai Nyopat Soa. Kebiasaan membuat pondok ladang permanen ternyata berkembang bahkan secara berkelompok. Selain kelompok Leminang dan Konak, berkembang pula kelompok Penyabokgh (dekat dusun Meromo sekarang) dan kelompok Tunong (dekat dusun Mulai sekarang). Kelak, kelompok-kelompok tersebut membentuk pemukiman baru sebagai pecahan dari kelompok “Mongko”. Menyadari bahwa suatu saat nanti pasti akan terjadi diaspora terhadap keturunan Akek Singapati Mangkubumi yang saat ini bermukim di kampung baru ini maka diadakanlah permufakatan adat. Tujuan dari pemufakatan itu adalah untuk melakukan doktrinasi ideologi yang disimpul, dibungkus, dikemas, dikunci atau diikat dalam bentuk adat istiadat, tradisi dan hukum adat yang harus dipelihara, dijunjung tinggi dan diterapkan dalam setiap seluk beluk kehidupan masyarakat keturunan Akek Singapati Mangkubumi dimanapun mereka berada. Mulai saat itulah kelompok masyarakat ini menyebut dirinya Suku Kancikgh (Kancikgh artinya simpul, kunci, kait, ikat). Dan untuk mengingat tonggak sejarah suku ini, maka sungai yang bermuara di perkampungan baru tersebut dinamakan Sungai Kancikgh, sehingga kampung tersebut dinamakan Nongu Kancikgh (Muara Sungai Kancikgh).

Dalam pemufakatan adat tersebut diambillah keputusan-keputusan penting yaitu:

  1. Semua orang yang merupakan keturunan dari Akek Singapati Mangkubumi dimanapun mereka berada harus menyebut dirinya sebagai orang Kancikgh sebagai jati diri;
  2. Dimanapun mereka berada wajib melaksanakan adat istiadat, tradisi dan hukum adat Suku Kancikgh;
  3. Wajib menggunakan dan melestarikan bahasa Kancikgh sebagai bahasa persatuan;
  4. Tonah borani warisan Labai Lawai sebagai simbol persatuan suku disimpan oleh Kelompok yang menetap, bukan kelompok yang memisahkan diri, namun kelompok-kelompok yang memisahkan diri harus membuat replika dari rumah tonah borani tersebut;
  5. Jika terjadi perkara besar, yang memutuskannya adalah Tumenggung Adat yang berkedudukan di lokasi kelompok yang menetap

Penyebaran Suku Kancikgh[sunting | sunting sumber]

Persebaran Suku Kancikgh dibedakan dalam dua jenis persebaran yaitu: 1) persebaran secara berkelompok (pemisahan) pemukiman/pemisahan kampung; dan 2) persebaran secara individu. Persebaran secara kelompok terjadi untuk kampung Leminang, kelompok Penyabokh dan kelompok Tunong. Kelompok Konak berbaur dan berasimilasi dengan Suku Kerabat dari Seluak namun bergabung dengan Leminang. Kelompok Penyabokh kemudian berbaur dan berasimilasi dengan Suku Semerawai membentuk pemukiman Kampung Meromo, sedangkan kelompok Tunong berbaur dan berasimilasi dengan Suku Kerabat dari Engkulun Hulu membentuk pemukiman kampung Mulai.

Dalam perkembangan selanjutnya, kampung Nongu Kancikgh sendiri berpindah lokasi ke arah sedikit ke hulu mendiami dataran rendah antara Sungai Mongko dan Sungai Sarik sehingga kemudian diberi nama Kampung Sarik (Dusun Sarik sekarang). Pemindahan pemukiman dari Nongu Kancikgh ke Sarik dilatar belakangi oleh banyak peristiwa gaib seperti rumah diserang hantu, dilanggar segerombolan cacing besar, sampai peristiwa kebakaran yang menelan korban. Walaupun berpindah dari Nongu Kancikgh, kelompok Kancikgh tersebut tetap menyebut dirinya Suku Kancikgh, demikian juga dengan Kelompok Penyabokgh dan Tunong, sesuai kesepakatan dan sumpah adat. Hebatnya lagi, walaupun sudah berbaur dengan Suku lain, komunitas baru yang terbentuk juga tetap menggunakan adat istiadat dan tradisi Suku Kancikgh. Baik Meromo (asimilasi Kancikgh-Semerawai), maupun Konak dan Mulai (asimilasi Kancikgh-Kerabat) merupakan komunitas yang menggunakan adat istiadat dan bahasa Kancikgh sebagai jati dirinya.

Seiring dengan berpindahnya pemukiman, lokasi untuk tonah borani pun berpindah-pindah juga. Diyakini oleh Suku Kancikgh bahwa antara keramat dan komunitas masyarakat Suku Kancikgh terdapat hubungan spiritual yang saling membutuhkan. Disatu sisi Komunitas Kancikgh memerlukan perlindungan, tuntunan dan berkat dari keramat, di sisi lain keramat juga memerlukan pemeliharaan, pemujaan dan penghormatan dari komunitas. Keramat itu sendiri merupakan suatu tempat yang disucikan dan dijadikan tempat pemujaan. Diyakini oleh Orang Kancikgh yang asal muasalnya adalah kaum yang oleh pemerintah disebut “penganut kepercayaan Animisme-Dinamisme”, keramat merupakan tempat bersemayamnya roh Duata Potara (Yang Maha Kuasa).

Demografi[sunting | sunting sumber]

Nanga Mongko, Nanga Taman, Sekadau, salah satu daerah yang menjadi konsentrasi Suku Dayak Kancikgh di Kalimantan Barat.

Di Kabupaten Sekadau, populasi Dayak Kancikgh tersebar di 4 buah kampung di Wilayah Kecamatan Nanga Taman, yakni Kampung Sarik, Leminang, Mulai dan Meromo. Sedangkan di Kabupaten Sanggau tersebar di beberapa buah kampung di wilayah Kecamatan Meliau, yaitu Kampung Batu Laut, Sebude, Kuala Rosan, Pampang Dua, Binjai, Sungai Dekan, dan Tapang Sedendang. Migrasi Orang Kancikgh juga membentuk 2 buah kampung di wilayah Kabupaten Ketapang, yakni Cempede’ dan Selimbong.[3] Sebagian besar warga Dayak Kancikgh, baik yang berdomisili di Wilayah Kabupaten Sekadau maupun Kabupaten Sanggau bekerja di sektor pertanian sebagai petani, walaupun ada beberapa yang menjadi karyawan perusahaan perkebunan, berdagang dan berkebun.

Agama[sunting | sunting sumber]

Agama Katolik baru masuk dan dikenal di kalangan Suku Kancikgh pada tahun 1970-an setelah Paroki Senangak dibentuk oleh Keuskupan Sanggau. Bernardo Mattani adalah pastor pertama yang datang dan memperkenalkan agama Katolik di Kalangan Masyarakat Suku Kancikgh.[4]

Di Kampung Sarik, Pastor Mattani menunjuk Bapak Tengkong sebagai Pemimpin Umat di Stasi Sarik. Agama Katolik dinilai tidak terlalu kontradiksi dengan keyakinan, adat istiadat dan budaya asli Suku Kancikgh. Penginjilan berlangsung dengan humanis, penuh toleransi, fleksibel dan lemah lembut. Agama Katolik berkembang pesat di Kalangan Masyarakat Suku Kancikgh.

Disamping agama Katolik, agama lain yang juga memiliki penganut di kalangan Suku Kancikgh adalah agama Kristen Protestan walaupun dengan persentase yang relatif kecil. Agama Kristen Protestan masuk melalui misi Kependetaan yang mengedepankan penerapan syiar Injili dan Etika Protestan. Kristen Protestan dianut oleh beberapa warga Suku Kancikgh yang menginginkan perubahan tatanan kehidupan sosial dan spiritual yang lebih modern, dinamis dan progresif.

Kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Tiga prinsip adat[sunting | sunting sumber]

Secara garis besar adat istiadat dan budaya Suku Kancikgh dikelompokkan dalam tiga domain adat, yakni “Basa tipu, tanga tulok”, “Bojodi bosopat” dan “Bouma botanam”.

Basa tipu dan Tanga tulok[sunting | sunting sumber]

Adat “Basa tipu” merupakan aturan emas yang menjadi pedoman suku Kancikgh dalam berinteraksi dengan sesama.

Falasafi dari adat “basa tipu” adalah bagaimana cara orang Kancikgh memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Jika kita ingin diperhatikan, hendaknyalah kita terlebih dahulu memperhatikan orang lain;jika kita ingin dihormati, hendaknyalah kita terlebih dahulu menghormati orang lain. Jika kita tidak ingin diabaikan; janganlah mengabaikan orang lain. Jika kita tidak ingin disakiti atau diganggu;janganlah kita menyakiti atau mengganggu orang lain.

Selain mengatur interaksi antar sesama manusia, adat “basa tipu” dalam Masyarakat suku Kancikgh juga mengatur hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan Duata Potara (Tuhan) dan manusia dengan makhluk halus.

Penerapan dari adat basa tipu ini dapat ditemukan dari cara bertegur sapa, cara memperlakukan orang lain baik orang tua maupun orang muda, cara bersikap, berpakaian, bekerja dan berperasaan. Intinya adalah bagaimana sikap kita terhadap orang lain agar orang lain merasa nyaman dengan keberadaan kita. Pelanggaran terhadap norma adat tersebut harus ditindak dengan sanksi adat yang disebut “Tanga tulok.” Atau “Butakng tanga.” Tujuannya adalah menjamin keadilan dan memberikan efek jera kepada pelaku. Untuk menjamin terlaksananya sistem penegakkan norma adat, maka dibentuklah sistem pemerintahan adat.

Bojodi bosopat[sunting | sunting sumber]

Tradisi Bojodi bosopat merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk perjalanan berkeluarga orang Kancikgh. Proses ini membentuk suatu siklus kehidupan yang diwariskan kepada keturunan berikutnya. Rangkaian peristiwa tersebut dimulai dengan upacara “ntomu tutor” yaitu pertemuan mufakat antara pihak laki-laki dan perempuan setelah melihat dan menilai adanya indikasi jodoh (saling mencintai) antara laki-laki (bujang) dan perempuan (dara).

Mufakat tersebut membahas antara lain:

  1. apakah hubungan cinta antara bujang dan dara tersebut sudah serius atau hanya sekedar suka-suka atau main-main
  2. apakah keduanya sudah cukup dewasa baik dari segi usia maupun sikap
  3. apakah antara keduanya tidak terhalang oleh tingkatan silsilah yang tidak sejajar.

Jika menurut pihak-pihak yang hadir dalam pemufakatan tersebut tidak ada persoalan terutama terkait tiga masalah tersebut maka disepakati kapan waktunya untuk mengadakan acara bopampoh (pertunangan) antara bujang dan dara. Pada tahap bopampoh, si bujang datang membawa cindera mata sebagai simbol bahwa si bujang serius untuk meminang si dara sebagai calon pendamping hidupnya. Jika tidak ada kendala dan si dara menerima pinangan tersebut maka kedua insan tersebut secara resmi terikat oleh aturan-aturan adat pertunangan. Setelah acara pertunangan yang juga menyepakati siapa yang harus ikut dengan siapa maka sepasang bujang dan dara tersebut diwajibkan tinggal serumah namun tidak boleh seranjang sekelambu. Untuk memperjelas status bahwa masing-masing dari mereka sudah bertunangan, biasanya dipasang cincin pada jari masing-masing (tradisi saat ini).

Tradisi masyarakat Suku Kancikgh melaksanakan pernikahan berbarengan dengan acara tahunan “nyopat soa” walaupun dibolehkan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan diluar acara nyopat soa jika kondisi tidak memungkinkan bagi kedua pasangan untuk menunggu sampai acara nyopat soa yang biasanya dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli. Pada umumnya suku Kancikgh melakukan perkawinan secara monogami (sepasang), namun perkawinan poligami (beristri lebih dari satu) juga tidak dilarang , walaupun tidak disukai, kurang disetujui dan tidak lumrah. Sehingga etika adat istiadat mengatur dengan berat syarat-syarat seorang laki-laki boleh memiliki isteri lebih dari satu.

Bouma botanam[sunting | sunting sumber]

Adat istiadat dan atau tradisi mengolah tanah sebagai lahan pertanian dalam istilah orang Kancikgh disebut Bouma Botanam. Proses Bouma botanam yang merupakan rangkaian panjang siklus pekerjaan bertani yang sarat dengan aturan-aturan tidak tertulis namun selalu diterapkan oleh Suku Kancikgh. Siklus bouma botanam dimulai dari kegiatan ngorarakh dan berakhir pada upacara Gawai Nyopat Soa dalam periode satu tahun. Kehidupan orang Kancikgh tidak bisa terlepas dari tanah sebagai media utama untuk melangsungkan hidup. Tanah adalah tempat berpijak, tempat mencari nafkah dan tempat untuk melangsungkan kehidupan. Oleh karenanya Orang Kancikgh sangat serius dalam memperlakukan dan mengelola tanah mereka. Sebagai wujud rasa cinta dan hormat kepada “Sang Duata Puyang Gana” maka orang Kancikgh selalu setia memelihara adat istiadat dalam mengolah tanah untuk mencari nafkah.

Tingkatan sosial[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Kancikgh tidak mengenal strata atau kasta dalam tatanan kehidupan sosial mereka. Pemimpin dipilih bukan berdasarkan garis keturunan melainkan dipilih melalui musyawarah mufakat dengan mempertimbangkan integritas dan kompetensi calon pemimpin. Asas kekeluargaan, mufakat dan gotong royong menjadi prinsip utama yang harus dipegang dalam memecahkan masalah, menghadapi atau merencanakan kegiatan besar yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Karena masyarakat Suku Kancikgh tidak mengenal istilah kasta, maka dalam penerapan sistem pemerintahan, pemegang kekuasaan tertinggi ada dalam musyawarah adat. Oleh karenanya pemerintahan seperti ini disebut pemerintahan adat. Walaupun ada pengurus adat seperti Tomongokgh Adat dan Menteri Adat, namun dalam pengambilan keputusan tetap harus melalui musyawarah adat. Tomongokgh Adat atau Menteri Adat hanyalah pemimpin yang diberi mandat untuk menetapkan kesepakatan adat. Dengan demikian tidak ada istilah pemerintahan absolut dalam hierarki masyarkaat Kancikgh.

Sistem kekerabatan[sunting | sunting sumber]

Keluarga[sunting | sunting sumber]

Prinsip kekeluargaan juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal saling memberi dan menerima perolehan hasil usaha seperti bertani dan berburu. Jika suatu keluarga membawa pulang hasil ladang selain padi seperti jagung, mentimun dan berbagai jenis sayuran, begitu datang ke rumah, maka komoditas-komoditas tersebut biasanya dibagi dengan tetangga terdekat yang kebetulan pada hari itu tidak sempat pergi ke ladang. Demikian juga jika salah satu keluarga mendapat binatang hasil buruan, setelah dipotong, hasil buruan tersebut selalu dibagi kepada tetangga lain terutama yang terdekat sesuai banyak dan besarnya hasil buruan. Tidak ada istilah jual beli dalam hal berbagi hasil ladang dan buruan, yang ada adalah balas budi sehingga berkembang menjadi tradisi saling memberi.

Musyawarah[sunting | sunting sumber]

Asas mufakat selalu dikedepankan jika ada permasalahan yang menyangkut kehidupan sosial orang banyak sehingga harus dibicarakan terlebih dahulu, misalnya pergantian kepala kampung, pergantian pengurus adat, rencana pengembangan infrastruktur, penetapan hari gawai, penetapan aturan dan lain sebagainya. Kepala Kampung atau pengurus adat atau warga yang tunjuk untuk memimpin musyawarah memaparkan kondisi yang dihadapi, maksud dan tujuan musyawarah serta keinginan atau rencana ke depan yang sebaiknya dilaksanakan terkait permasalahan, namun keputusan akhir tetaplah ada ditangan forum musyawarah setelah mendengar pendapat anggota masyarakat (peserta musyawarah) yang mengarah pada kesepakatan bersama.

Segala sesuatu yang telah disepakati dalam musyawarah selanjutnya dilaksanakan secara bergotong royong. Tidak terkecuali apakah Kepala Kampung, Pengurus Adat dan Masyarakat biasa wajib ikut melaksanakan gotong royong sebagai amanat musyawarah. Apakah itu sifatnya pungutan, iuran ataupun kerja bakti wajib sifatnya untuk diikuti oleh seluruh warga komunitas. Demikian juga halnya dengan pekerjaan berladang, semangat gotong royong yang disebut dengan perari menjadi kearifan khas masyarakat suku Kancikgh dalam mensiasati penyelesaian pekerjaan utama yang mereka hadapi secara rutin sepanjang tahun. Hanya saja ruang lingkupnya sangat terbatas untuk beberapa anggota kelompok tertentu saja.

Petinggi-petinggi adat[sunting | sunting sumber]

Sistem pemerintahan adat di lingkungan suku Kancikgh dipimpin oleh seorang Tomongokgh Adat yang dipilih secara musyawarah mufakat dengan mempertimbangkan faktor integritas dan kompetensi calon. Tomongokgh Adat adalah pimpinan tertinggi pemerintahan adat suku Kancikgh, artinya untuk semua kelompok Kancikgh yang tersebar di beberapa kampung hanya ada satu Tomongokgh Adat. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Tomongokgh adat membawahi dan dibantu oleh Domong, Menteri Adat, Kobayatn dan Jaga Boyo. Berdasarkan ruang lingkup permasalahan dan keperluan kepengurusan adat, maka setiap kampung Suku Kancikgh boleh membentuk atau menunjuk seorang Domong dan Menteri Adat.

Selain Domong dan Menteri Adat, Tomongokgh juga dibantu oleh seorang Pengorah (Data) yang bertugas secara khusus sebagai imam dalam melaksanakan upacara-upacara yang berskala besar. Walaupun berada dibawah Tomongokgh baik Domong, Menteri Adat maupun Pengorah tidak ditunjuk oleh Tomongokgh, melainkan dipilih secara musyawarah mufakat dengan mempertimbangkan faktor integritas dan kompetensi. Dalam menjalankan tugasnya, Domong dan Menteri Adat dibantu oleh beberapa orang Kobayatn dan Jaga Boyo. Sehingga terbentuklah hierarki pemerintahan adat mulai dari Warga naik ke Jaga Boyo, Kobayatn, naik ke Menteri Adat dan Domong dan puncaknya di Tomongokgh Adat. Secara fungsional dapat dijelaskan sebagai berikut: misalkan terjadi permasalahan adat yang menimpa salah satu warga maka yang harus dilakukan adalah:

  1. Warga yang bersangkutan harus menimbang dengan seksama apakah masalah yang menimpanya layak dilaporkan kepada pengurus adat atau cukup diselesaikan secara kekeluargaan saja;
  2. Jika warga tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, maka yang bersangkutan berhak meminta bantuan penyelesaian dari Jaga Boyo dan atau Kobayatn;
  3. Jika Jaga Boyo atau Kobayatn juga tidak mampu menyelesaikan perkara adat tersebut, maka perkara itu harus dibawa ke Menteri Adat. Biasanya untuk tingkat Menteri Adat masalah tersebut harus dapat diselesaikan. Namun jika tidak bisa diselesaikan maka perkara tersebut harus disidangkan didepan Domong yang memutus Perkara Adat tersebut;
  4. Apabila sampai ke tingkat Domong, perkara tersebut juga tidak terputuskan, maka perkara itu harus dinaikkan ke tingkat Tomongokgh Adat dan harus dapat diputuskan.

Baik Jaga Boyo, Kobayatn, Menteri Adat, Domong dan Tomongokgh Adat dalam tradisi suku Kancikgh merupakan jabatan sosial, artinya jabatan tanpa tunjangan (insentif) apalagi gaji. Kalaupun bisa disebut pendapatan, maka pendapatan Pejabat Adat tersebut diperoleh dari bagian sanksi adat yang dibayar oleh pelanggar adat yang dikenai sanksi adat. Itupun tidak dalam bentuk uang atau barang likuid lainnya, karena sanksi adat menurut tradisi masyarakat Kancikgh dibayar dengan benda-benda adat seperti tapang tembawang, tempayan, mangkok, piring dan barang antik lainnya. Dengan demikian jumlahnya tergantung pada berapa banyak perkara yang bisa diselesaikan dan seberapa besar perkara yang bisa diselesaikan. Besarnya sanksi adat untuk suatu pelanggaran norma adat bervariasi sesuai tingkat kesalahan, status pelanggar, dan tingkat peradilan adat yang memutuskan.

Yumah omuh[sunting | sunting sumber]

Sampai pertengahan dekade 1970-an masyarakat Kancikgh masih memelihara tradisi hidup di rumah betang yang disebut yumah omuh. Tradisi yumah omuh merupakan tradisi turun temurun semenjak dahulu kala. Dengan mendiami “yumah omuh” mereka membentuk komunitas yang menyatu dan selalu berinteraksi secara sosial tanpa jarak dan tanpa sekat. Apa yang terjadi dengan salah satu keluarga, spontan cepat diketahui oleh keluarga lainnya, sehingga semua permasalahan dapat cepat dan segera dicari solusinya. Semua anggota komunitas “yumah omuh” secara spontan bahu membahu memberikan bantuan dan pertolongan jika ada masalah yang terjadi dengan salah satu anggota komunitas seperti sakit keras, kecelakaan, kebakaran dan lain sebagainya.

Sistem perkawinan[sunting | sunting sumber]

Walaupun tidak disukai, kurang disetujui dan tidak lumrah, namun perilaku poligami (beristri lebih dari satu) juga tidak dilarang dalam tatanan sosial masyarakat Kancikgh. Seorang lelaki yang sudah berkeluarga tidak dilarang oleh adat istiadat apabila hendak beristri lagi asalkan mendapat persetujuan dari istri pertama dan berjanji untuk mampu menjaga kerukunan dan ketenteraman serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Oleh karenanya dibuatlah persyaratan yang sangat berat untuk mereka yang berniat poligami. Karena jumlah pintu (lawang) rumah betang sangat terbatas, maka seseorang yang baru menikah dan membentuk keluarga baru harus bergabung dengan orang tuanya dalam satu lawang. Demikian juga seorang yang beristri lebih dari satu harus mampu menjaga kerukunan keluarga dalam satu lawang. Jika karena kondisi tersebut kerukunan keluarga menjadi terancam sehingga terjadi pertengkaran yang mengganggu ketenteraman komunitas, maka kepala keluarga tersebut wajib meminta maaf (“nyurokgh nyomah”) dengan membayar adat pemomar darah kepada orang banyak. Hal tersebut sebaiknya dilakukan sebelum pengurus adat menghukum yang bersangkutan.

Jika ada keluarga baru yang ingin memisahkan diri dari lawang orang tuanya, maka wajiblah yang bersangkutan membuat lawang sendiri yaitu mendirikan lawang sambungan dari rumah betang yang ada. Dengan menempati lawang sendiri maka keluarga baru tersebut secara otonom berhak menyelenggarakan roda kehidupan rumah tangga sendiri, walaupun dalam hal tradisi keluarga masih diwajibkan ikut tradisi yang dilaksanakan oleh keluarga besarnya misalnya dalam hal berpantang, berladang dan lain sebagainya.

Sistem perekonomian[sunting | sunting sumber]

Siklus berladang Suku Dayak Kancikgh

Dalam hal perekonomian, suku Kancikgh juga mengandalkan tradisi berladang sebagai mata pencaharian utama mereka. Dari berladang itulah mereka mendapatkan bahan pangan berupa beras yang merupakan makanan pokok mereka. Dari berladang itu juga mereka mendapatkan sayur mayur dan palawija lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari berladang itu juga mereka kemudian mengembangkan lahan mereka menjadi kebun karet dan tapang tembawang yang kemudian menjadi aset yang bernilai ekonomis.

Pada waktu orang Kancikgh belum mengenal uang, bank dan lembaga keuangan lainnya seperti Credit Union sebagai sarana dan wadah untuk menabung dan berinvestasi, beternak adalah cara bijaksana yang mereka lakukan untuk mempersiapkan masa depan secara ekonomi. Walaupun tujuannya hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan terhadap peristiwa-peristiwa penting seperti perkawinan, kematian, upacara adat, acara berladang dan lain sebagainya. Belum ada konsep untuk mengembangkan investasi peternakan dalam rangka untuk membiayai pendidikan, membangun usaha, menciptakan kekayaan dan mengumpulkan dana untuk pensiun. Dewasa ini hampir setiap jengkal tanah yang diikuasai oleh masyarakat Suku Kancikgh ditumbuhi pohon karet sebagai tanda bahwa tanah tersebut dimiliki oleh orang yang menanam karet itu.

Walaupun hasil berladang sangat bernilai secara ekonomis, namun orang Kancikgh pada masa lalu tidak pernah mengambil manfaat dari nilai ekonomis hasil berladang mereka karena tiga hal, yakni:

  • Kepercayaan bahwa padi yang ditanam di ladang merupakan tanaman yang berasal dari manusia sehingga diyakini mempunyai roh (“somongat”), oleh karenanya tidak boleh diperjualbelikan sama halnya dengan manusia.
  • Sangat tidak etis meminta harga dari hasil ladang lainnya seperti sayur mayur dan palawija lainnya karena hanya komoditas-komoditas seperti itulah yang dapat dijadikan sarana untuk saling berbagi sesama anggota komunitas.
  • Pada masa lalu, tidak ada akses untuk menjual komoditas hasil berladang tersebut ke pasar, sehingga masyarakat tidak mengerti bahwa ada nilai ekonomis dari komoditas hasil berladang mereka.

Pemahaman hidup sejahtera bagi orang Kancikgh bukan berarti punya banyak uang atau harta benda. Jika sebuah keluarga punya cadangan pangan cukup (bahkan berlebih), punya cukup ternak (ayam, babi atau lainnya), bisa membeli sandang dengan sumber pendapatan yang seadanya, maka sudah cukup bagi Orang Kancikgh untuk menganggap bahwa keluarga tersebut sejahtera.

Hasil ladang[sunting | sunting sumber]

Sama halnya dengan hasil ladang, hasil tapang tembawang seperti buah durian, pekawai, cempedak, dan buah-buahan lokal lainnya juga tidak mempunyai nilai ekonomis pada jaman dahulu karena tidak pernah diperjualbelikan. Komoditas kebun dan hutan yang bernilai ekonomis adalah karet, kayu, damar dan rotan karena dibeli oleh pedagang-pedagang Tionghoa yang bermukim di kota. Dari hasil menjual karet, kayu, damar atau rotan tersebut, orang Kancikgh memenuhi kebutuhan papan mereka seperti pakaian, minyak tanah, garam, rokok dan lain sebagainya. Karena komoditas kebun dan hutan ini jugalah membuat orang Kancikgh mengenal istilah perdagangan yang kemudian memunculkan pedagang-pedagang kecil di kampung. Pedagang-pedagang kecil tersebut mengumpulkan komoditas masyarakat untuk dibarter dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari dan secara berkala mengangkut komoditas tersebut ke kota menggunakan sampan atau rakit sebagai satu-satunya alat transportasi yang bisa dipakai pada waktu itu. Di kota, komoditas tersebut dijual kepada pedagang-pedagang Tionghoa yang juga membeli dengan cara barter, demikianlah sistem perdagangan yang dikenal oleh orang Kancikgh pada zaman dahulu. Sistem perdagangan melibatkan mata uang baru dikenal pada saat penjajahan Belanda walaupun itu sangat sedikit dan terbatas.

Hewan ternak[sunting | sunting sumber]

Selain hasil kebun dan hutan, komoditas lain yang menjadi objek perdagangan yang dikenal oleh orang Kancikgh adalah ternak khususnya sapi, kambing dan ayam. Perdagangan ternak juga masih menggunakan sistem barter, biasanya untuk membeli barang-barang mahal seperti perhiasan, lampu petromak, barang antik, ranjang besi dan lain sebagainya. Selain sapi, kambing dan ayam, babi juga merupakan komoditas ternak yang biasa diperdagangkan khusus untuk kalangan “Orang Darat”.

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Ditinjau dari dialek bahasanya, Dayak Kancikgh termasuk pada rumpun Bidayuh yang menuturkan bahasa Mongko. Oleh karenanya Dayak Orang Kancikgh juga biasa disebut Orang Mongko.

Dayak Kancikgh adalah penutur dialek “bomedeh, boodeh” yang lazim disebut bahasa Kancikgh atau Bahasa Mongko, mirip dengan bahasa Koman, Semandang dan Bahasa Jongkang (Jangkang, Sanggau), Pompakh dan Pengkodatn (Bokidoh, boodoh). Walaupun bahasanya sama, namun antara satu kampung dengan kampung lainnya bisa dikenal dari logat bicaranya yang khas, misalnya warga Kancikgh Kampung Mulai terkenal dengan logatnya yang halus, lembut dan berirama, sedangkan warga Kancikgh Kampung Sarik dikenal dengan logatnya yang monoton dan keras.

Daftar bentuk-bentuk kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Orang Kancikgh memiliki ragam budaya baik yang berwujud benda maupun yang tidak berwujud benda. Wujud budaya yang bisa ditemukan di kalangan masyarakat Suku Kancikgh adalah:

A. Yang berwujud benda:

  1. Tanah Keramat;
  2. Tiang Bumi;
  3. Balai Tengkawang;
  4. Balai Pengantin;
  5. Tiang Sandong;
  6. Rumah Betang Panjang;
  7. Alat Musik Gamelan/Keromong;
  8. Alat Musik Telontang;
  9. Berbagai bentuk dan jenis perkakas besi;
  10. Berbagai bentuk dan jenis anyaman;
  11. Tuak Tempayan;
  12. Tuak Salai;
  13. Hidangan Nasi Tungkus Daun Rabu;
  14. Hidangan Masak Pansuh.

B. Yang tak berwujud benda:

  1. Tarian Taja Soa;
  2. Tarian Taja Ngkuya;
  3. Sastra Selobar;
  4. Sastra Ngkata;
  5. Seni Begolekng;
  6. Seni Beubai Bejolai;
  7. Seni Jaoh Malapm;
  8. Seni Maing Somputn;
  9. Musik Tobah Bujor;
  10. Musik Telontang;
  11. Musik Senggayong;
  12. Kerumbi;
  13. Seni Bela Diri;
  14. Resep Masakan Daun Seluai.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Pokok-Pokok Hukum Adat Suku Dayak Kancikgh, ytprayeh. Akses: 16 Agustus 2022.
  2. ^ a b Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Kalimantan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang - Badan Pertanahan Nasional, Tahun 2014. Tabel 4.2. Subsuku Dayak yang ada di Kalimantan Barat berdasarkan hasil penelitian etnolinguistik Institut Dayakologi (2008). Akses: 16 Agustus 2022.
  3. ^ a b Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Sujarni Alloy (pengarang), Albertus (pengarang), Chatarina Pancer Istiyani (pengarang), John Bamba (editor). Institut Dayakologi, Pontianak (2008). Akses: 16 Agustus 2022.
  4. ^ Buku Kenangan 50 Tahun Kongregasi Passionis di Indonesia 1946-1996. Malang (1996)

Pranala luar[sunting | sunting sumber]