Semangkin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Roro Ayu Mas Semangkin yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas atau bergelar Ratu Mas Kagaluhan merupakan seorang wanita yang menjadi Senopati perang[1] kerajaan Mataram melawan sisa-sisa prajurit Kerajaan Jipang yang masih setia kepada Arya Penangsang menciptakan berbagai bentuk kerusuhan seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, serta bentuk-bentuk tindak kejahatan lainnya. Hal ini mereka lakukan demi menciptakan ketidak tentraman dan keresahan bagi masyarakat di Kasultanan Mataram.

Daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang sering kali terjadi huru hara yaitu di wilayah Pati, Jepara (Lereng Muria), karena wilayahnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Tetapi setelah tugas Roro Ayu Mas Semangkin selesai ia tidak mau kembali ke Mataram, Roro Ayu Mas Semangkin memilih tinggal di Jepara.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Roro Ayu Mas Semangkin, yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas atau bergelar Ratu Mas Kagaluhan adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto) cucu dari Sunan Trenggono dan cicit dari Raden Patah. Sunan Prawoto adalah cucu dari Raden Patah putra dari Sultan Trenggono (Raja ketiga dari Demak Bintoro) dengan Roro Ayu pembayun putri Sunan Kalijaga yang dikaruniai sepuluh anak. Sedangkan Pangeran Haryo Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak yakni P. Haryo Panggiri (Pangeran Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Rr. Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Mas Prihatin. Pada saat kelahiran Roro Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang terjadi kemelut politik disebabkan wafatnya Sultan Trenggono (1546 M).

Suksesi pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi konflik di Kerajaan Demak Bintoro., Faktor penyebab konflik dari intern (dalam kerajaan) dan factor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon pengganti Sultan Trenggono).

Putri Angkat Ratu Kalinyamat[sunting | sunting sumber]

Setelah Sunan Prawoto dan isterinya wafat dibunuh oleh budak suruhan Arya Penangsang yang bernama “Rungkut”, kehidupan keluarganya tidak tenteram karena selalu mendapatkan ancaman dan teror dari para pengikut Arya Penangsang, sehingga akan mengganggu keselamatan jiwanya.

Selain itu suasana politik yang memanas menyebabkan Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin berusaha untuk menyelamatkan keluarga Sunan Prawoto yang tidak lain kakak kandungnya. Maka Pangeran Haryo Panggiri, Ratu Prihatin dan Roro Ayu mas Semangkin berusaha dilindungi dan diasuh agar jiwanya selamat. Sedangkan Rr. Ayu Mas Semangkin dijadikan sebagai anak angkat Ratu Kalinyamat dan dipindahkan dari Prawoto ke Jepara yaitu Keraton Kalinyamatan (lokasinya yang kini di belakang SMP Islam Sultan Agung 3 Jepara).

Salah satu prajurit yang turut di gladi perang adalah putri angkatnya sendiri yaitu Roro Ayu Semangkin dan Roro Ayu Prihatin. Roro Ayu Semangkin selalu digladi oleh para tamtama kerajaan hingga memiliki oleh kanuragan cukup tinggi tanpa pilih tanding. Roro Ayu Semangkin yang telah tumbuh menjadi seorang dewasa sangat giat berlatih dan tekun belajar dibawah bimbingan bibinya Ratu Kalinyamat.

Selain belajar ilmu kanuragan dia juga mempelajari ilmu-ilmu agama Islam serta ilmu-ilmu batin untuk menempa dirinya. Ilmu kanuragan digunakan untuk melindungi diri dari musuh terutama dari para pengikut Arya Penangsang. Motivasi dan semangat yang mambara di hati Roro Ayu Semangkin karena adanya bara api dendam kepada para pengikut Arya Penangsang yang telah membunuh ayahnya. Ketekunan dan keprigelan Roro Ayu Semangkin kemudian dijadikan Senopati Putri dari Kerajaan Jepara (Kerajaan Kalinyamat). Keadaan ini menyebabkan kerajaan Jepara memperoleh kebesaran dan mencapai puncak kejayaannya.

Jadi Istri Sutowijoyo[sunting | sunting sumber]

Setelah Sutowijoyo berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (Adipati Jipang) sesuai janjinya Ratu Kalinyamat menghadiahkan kedua putri angkatnya Rr.Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin diperistri oleh Raden Sutowijoyo dan selanjutnya diboyong dari Jepara ke Pajang. Waktu itu Sutowijoyo menjadi Senopati perang di Kerajaan Pajang. Pada saat inilah Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin mendalami olah kanuragan dan mulai tertarik untuk mulai berlatih perang bersama-sama prajurit Pajang Rr. Mas Semangkin sejak di keraton Kalinyamat dulu, sering berlatih olah kanuragan dan turut mendampigi Ratu Kalinyamat dalam melatih para prajuritnya. Kebiasaan itu juga dilakukannya saat mendampingi suaminya Sutowijoyo di arena latihan maupun di palagan / di tengah-tengah peperangan. Rr Ayu Semangkin dan Sutowijoyo dikenal sebagai senopati pilih tandingyang sangatditakuti oleh para musuh-musuhnya. Setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama Rr. Ayu Semangkin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya ketika sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan dihadiahi bumi Pati dan hutan Mentaok. Sultan Hadiwijaya baru menepati satu janjinya yakni memberikan hadiah Bumi Pati yang kemudian diserahkan kepada Ki Penjawi sedangkan Hutan Mentaok (Yogyakarta) tak kunjung diberikan sehingga Ki Ageng pemanahan dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabat hutan Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.

Bertindak Sebagai Senopati Perang[sunting | sunting sumber]

Pada awal masa pemerintahan Mataram, sisa-sisa prajurit Jipang yang masih setia kepada Arya Penangsang, senantiasa mencptakan berbagai bentuk kerusuhan seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, serta bentuk-bentuk tindak kejahatan lainnya. Hal ini mereka lakukan demi menciptakan ketidaktenteraman dan keresahan bagi masyarakat di Kasultanan Mataram. Daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang sering kali terjadi huru hara yaitu di wilayah Pati, Jepara (lereng Muria), karena wilayahnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan kerajaan Mataram. Selain berbagai kerusuhan dan huru-hara juga terjadi di sekitar Mayong, Jepara. Pada permulaan abad 17, Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo (Bupati Pragola Pati II) bermaksud membangkang mengadakan “kraman” dari kekuasaan Sultan di Mataram. Pembangkangan yang dilakukan oleh Bupati Pati terhadap Kasultanan Mataram ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau membayar upeti dan tidak mau tunduk kepada perintah Sultan Mataram. Sikap tersebut ditandai dengan berkali-kali tidak hadir pada saat pisowanan agung yang digelar oleh Sultan. Untuk mengetahui kebenaran itu maka dikirimlah telik sandi ke Pati, Jepara dan daerah-daerah lain yang dianggap rawan tersebut. Setelah telik sandi dikirim ke tempat kerusuhan tersebut kemudian melaporkan kebenaran informasi kepada Sultan Mataram. Atas kebenaran laporan tersebut Sultan Mataram kemudian memerintahkan para perwiranya untuk menumpas huru hara dan kraman di sekitar lerang pegunungan Muria. Mendengar berita tentang keadaan yang sangat merisaukan dan membahayakan Kasultanan Mataram ini, maka Rr. Ayu Semangkin sebagai salah satu dari Senopati Putri pada waktu Ratu Kalinyamat terketuk dan terpanggil hatinya turut menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menyangkut keamanan di wilayah lereng pegunungan Muria. Rr. Ayu Semangkin merasa berutang budi dengan masyarakat di wilayah Jepara karena bertahun-tahun ia hidup dan dibesarkan di istana Kalinyamatan serta telah digembleng berbagai ilmu kanuragan, ilmu keprajuritan dan ilmu spriritual. Rr. Ayu Semangkin dengan keteguhan hatinya untuk turut serta menumpas huru-hara dan “kraman” yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo beserta para sorengpati-sorengpati pengikut Arya Penangsang. Darah keprajuritan dan keprawiraan yang mengalir dalam jiwanya hal ini menyebabkan ia berkeinginan untuk turun di tengah-tengah palagan dan memimpin sendiri penumpasan tersebut. Keteguhan hatinya untuk menjadi senopati perang melawan Bupati Pati dan para sorang-soreng pati pengikut Aryo Penangsang ini disampaikannya sewaktu ada pisowanan agung / musyawarah agung yang membahas tentang permasalahan gangguan keamanan di lereng pegunungan Muria. Pada pertemuan ini Rr. Ayu Semangkin memohon izin untuk menumpas kraman tersebut tetapi Sultan Mataram tidak memperkenankan turut dalam penumpasan tersebut karena mengkhawatirkan keselamatannya. Namun Rr. Ayu Semangkin mendesak dan meyakinkan kepada sultan hingga akhirnya merestui dan mengizinkan untuk turut menumpas huru hara dan kraman tersebut. Setelah mendapatkan izin dan restu dari Sultan Mataram maka Rr. Ayu Mas Semangkin pergi ke tengah-tengah palagan dengan didampingi oleh dua orang tamtama perang yang sakti mandraguna yakni Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Selain rombongan prajurit dari Rr. Ayu Semangkin, Panembahan Senopati juga mengirimkan empat perwira terbaiknya guna membantu Rr. Ayu Semangkin yang dikhususkan untuk menumpas kraman yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Bupati Pati dikenal sebagai salah satu seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi dan daya kesaktian yang menakjubkan serta memiliki pusaka “Kere Wojo” rampasan dari “Baron Sekeder” yang dapat menambah kesaktiannya dalam pepatah Jawa “Ora tedhas Tapak Palune Pandhe sisaning gurendo”. Keempat perwira masing-masing Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Amoh, Kanjeng Tumenggung Roro Meladi, orang menyebut Roro Molo, Kajeng Raden Tumenggung Candang Lawe orang menyebut Raden Slendar, Kanjeng Raden Tumenggung Samirono, orang menyebut Raden Sembrono. Keempat perwira beserta para prajurit dan pasukannya setelah mendapatkan tugas dan restu dari Kanjeng Sultan kemudian segera berangkat ke medan perang. Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas untuk sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Wasis Joyo Kusumo beserta pasukannya. Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Berkat kejituan strategi perang yang digunakan dan semangat dari para prajurit Mataram untuk memenangkan peperangan maka dalam waktu yang cukup singkat Bupati Wasis Joyo Kusumo dan pasukannya dapat ditakukkan. Sepulang dari peperangan, para prajurit bersemayam / mesanggrah di Kademangan Sukolilo. Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit terbiasa memperingati di setiap tanggal 12 Maulud di Keraton Mataram diadakan upacara Sekaten untuk itu mereka mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Keempat perwira tersebut kemudian mohon izin untuk tinggal di Sukolilo guna mengawasi para pengikut Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Panembahan Senopati mengizinkan membangun tenpat tinggal disana serta memberikan “palilah” (izin), di Kademangan Sukolilo untuk melestarikan Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan yang mirip Skaten yang disebutnya Meron, yang dalam bahasa Jawa dimaksudkan ramene tiron-tiron. Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi Dukuh Pesanggrahan. Di antarakeempat Tumenggung tersebut ada yang meninggal di Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di makan Sentono Pesanggrahan (300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung) Berkat kerjasama Pasukan Rr. Ayu Semangkin dan Tumenggung Sukolilo beserta para prajurit dan pengikut-pengikutnya maka Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo dapat ditumpas. Kemudian keempat perwira tersebut memutuskan untuk menetap dan membangun Desa Sukolilo dan sekitarnya. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin melanjutkan perjuangan di Mayong untuk menumpas para perusuh dan pengikut setia Arya Penangsang yang senantiasa membuat huru hara dan kerusuhan seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan sehingga membuat keresahan dan ketidaktentraman masyarakat di Mayong dan sekitarnya. Berkat semangat dan kegigihan serta kemahiran dari para prajurit Mataram lebih-lebih Lurah Tamtono Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Maka pasukan Rr. Ayu Semangkin dalam waktu yang cukup singkat dapat menumpas para perusuh sehingga keadaan menjadi tenang dan pulih kembali seperti sediakala. Namun Rr. Ayu Mas Semangkin masih khawatir terjadi kerusuhan lagi sehingga ia beserta para pengikutnya untuk mendirikan pesanggrahan dan sekaligus membabat hutan di Mayong Lor sebagai tempat tinggalnya.

Roro Ayu Mas Semakin Meninggal[sunting | sunting sumber]

Setelah mendirikan Padepokan Agung di Mayong bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Rr. Ayu Semangkin kemudian memutuskan untuk menetap di desa Mayonglor dan mendirikan pesanggrahan serta rumah persinggahan di Mayonglor yang kini bekasnya masih ada tetapi hanya tinggal puing-puingnya. Ia mengabdikan dirinya untuk bersama-sama masyarakat membangun desa Mayong Lor maupun Mayong Kidul. Selain ia bertempat tinggal di Mayong Lor sesekali juga sowan di Kasultanan Mataram. Dan setelah ia mengenalkan putranya bernama Danang Syarif dan Danang Sirokol kepada ayahhandanya Panembahan Senopati dan akhirnya kedua putranya ini diangkat menjadi senopati perang. Tak lama kemudian ia wafat dan dimakamkan di Desa Mayong Lor. Masyarakat Mayong berkeyakinan bahwa kesucian batin dan kedekatan Kanjeng Ibu Mas dengan sang pencipta, maka banyak warga masyarakat yang memohon kepada Allah SWT dengan berwasilah kepada Kanjeng Ibu Mas. Permohonan umat manusia kepada Tuhannya dengan cara berwasilah kepada leluhur yang dianggap suci dan dekat kepada Allah tidak dilarang menurut agama Islam. Permohonan ini terjadi karena merasa diri mereka tidak sebersih dan sesuci para leluhur yang diwasilahilah ini diharapkan agar hajat mereka kehendaki dapat terkabul. Berdasarkan anggapan masyarakat tentang diri Rr. Ayu Mas Semangkin sebagai seorang hamba dan kekasih Allah yang dipilih karena sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya demi keamanan, ketentraman masyarakat di wilayah Mayong serta turut membangun kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Untuk menghormati jasanya ini maka ia dijadikan sebagai cikal bakal dan dimakamkan di Dukuh Gleget Desa Mayonglor yang kini setiap hari dan hari-hari tertentu makamnya dijadikan sebagai tempat para peziarah, dari berbagai golongan masyarakat. Dan setiap tahunnya tepat pada tanggal 10 Suro / Muharram diadakan upacara bukak luwur.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-27. Diakses tanggal 2013-11-16.