Lompat ke isi

Sastra profetik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sastra profetik adalah perluasan dari sastra religius, di mana dalam sastra ini tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan yang diutamakan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya. Sastra profetik memiliki karakter transendental dan sufistik, karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan[1]. Sastra profetik tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menyerap dan mengekspresikan ide, tetapi juga berperan dalam memberi arah pada realitas[2]. Sastra profetik bersifat dialektik karena berinteraksi langsung dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab, serta terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Melalui sastra profetik maka sastra dapat membebaskan manusia dari belenggu realitas dan membangun realitasnya sendiri. Realitas dalam sastra adalah simbolik, bukan aktual dan historis. Melalui simbol-simbol inilah, sastra memberikan arahan dan kritik terhadap realitas sebagai bagian dari kecerdasan kolektif.[3]

Sejarah dan perkembangan[sunting | sunting sumber]

Sastra profetik mulai dikenal dalam tradisi kesusastraan Islam sejak awal perkembangan Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, wahyu yang diterima beliau berupa ayat-ayat Al-Quran dianggap sebagai karya sastra tertinggi yang mengandung nilai-nilai profetik. Ayat-ayat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk hidup beragama tetapi juga sebagai inspirasi untuk karya-karya sastra yang menekankan moral, etika, dan spiritualitas[1]. Sufisme, atau tasawuf, memainkan peran penting dalam perkembangan sastra profetik karena sering kali menggunakan puisi dan prosa untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman mistis di dalamnya.[3]

Beberapa tokoh penting dalam sastra sufistik antara lain Jalaluddin Rumi, yang terkenal dengan karya-karya puisinya seperti "Masnavi". Karya-karya Rumi menggambarkan perjalanan spiritual menuju Tuhan dan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa. Selain Rumi, ada juga Ibn Arabi yang menulis karya-karya filosofis dan mistis tentang ketauhidan dan pengalaman spiritual.[2]

Sastra profetik berkembang di berbagai wilayah di dunia Islam, masing-masing dengan karakteristik dan corak yang unik. Di Persia, karya-karya sastra profetik sering kali berbentuk puisi sufistik. Di wilayah Arab, sastra ini lebih banyak ditemukan dalam bentuk prosa dan puisi yang menekankan ajaran-ajaran moral dan etika. Sementara itu, di Nusantara, sastra profetik berkembang melalui karya-karya ulama dan penyair lokal yang menggabungkan ajaran Islam dengan budaya lokal.

Pada abad ke-20, sastra profetik mengalami kebangkitan kembali dengan munculnya para penulis yang mencoba menggabungkan nilai-nilai religius dengan konteks sosial dan politik yang lebih luas. Salah satu tokoh penting dalam perkembangan ini adalah Mohammad Iqbal, seorang penyair dan filosof dari India yang dikenal dengan karya-karyanya yang menggabungkan pemikiran sufistik dengan semangat nasionalisme dan modernitas[1]. Iqbal menggunakan puisi-puisinya untuk menginspirasi perubahan sosial dan politik, serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual yang murni.

Sastra profetik di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, sastra profetik mulai dikenal pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Beberapa penulis Indonesia seperti Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, dan Abdul Hadi WM dikenal dengan karya-karya sastra profetik mereka. Kuntowijoyo, misalnya, dalam esainya "Maklumat Sastra Profetik", menyatakan bahwa sastra profetik harus mengandung tiga nilai utama: humanisasi, liberasi, dan transendensi[4]. Karya-karya Kuntowijoyo menggabungkan nilai-nilai religius dengan kritik sosial dan upaya untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.

Gagasan sastra profetik berawal dari konsep ilmu sosial profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo pada acara Temu Budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada tahun 1986. Sebelumnya, pada acara “Temu Sastra 6-8 Desember 1982” di tempat yang sama, Kuntowijoyo telah mengemukakan ide tentang perlunya sastra transendental. Gagasan-gagasan ini dapat dijadikan acuan baik untuk ilmu sosial profetik maupun sastra profetik.

Kuntowijoyo mengusulkan perlunya ilmu sosial profetik karena ilmu sosial yang ada mengalami stagnasi, hanya menjelaskan fenomena sosial tanpa berusaha mentransformasikannya. Menurut Kuntowijoyo, kita kini mengalami dehumanisasi akibat masyarakat industri yang menjadikan kita bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan[4]. Kuntowijoyo berpendapat bahwa yang dibutuhkan adalah ilmu sosial profetik yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberikan petunjuk arah transformasi, tujuannya, dan pelakunya[2].

Kaidah sastra profetik[sunting | sunting sumber]

Dalam upayanya untuk memberi arah pada realitas, Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang menjadi dasar. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut[2]:

Kaidah Pertama: Epistemologi Strukturalisme Transendental[sunting | sunting sumber]

Sastra profetik bertujuan untuk melampaui keterbatasan akal manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu, sastra profetik mengacu pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas dan memilih epistemologi strukturalisme transendental karena dua alasan. Pertama, kitab-kitab suci bersifat transendental karena merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden dan Abadi, sehingga melampaui zaman dan tetap relevan sebagai petunjuk bagi orang beriman. Kedua, kitab-kitab suci adalah struktur yang koheren secara internal dan konsisten secara eksternal, artinya setiap bagian membentuk kesatuan yang utuh dan tidak bertentangan satu sama lain. Kitab-kitab suci yang berbeda juga dianggap sejajar dan tidak lebih tinggi satu dari yang lain[2].

Kaidah Kedua: Sastra sebagai Ibadah[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an dan Islam sebagai struktur mencerminkan keutuhan, seperti yang dijelaskan oleh Jean Piaget dalam "Structuralism". Dalam Islam, keutuhan ini disebut kaffah (Q.S. 2:208). Keutuhan Islam tidak dapat dipisahkan menjadi unsur-unsur rukun (syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji) saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek mu'amalah. Seorang penulis yang menjalankan ibadah seperti shalat, zakat, dan haji dengan baik tidak dapat dikatakan kaffah jika karya sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah[2].

Kaidah Ketiga: Keterkaitan Antar-Kesadaran[sunting | sunting sumber]

Dari Tuhan ke manusia bukanlah suatu loncatan, karena ajaran agama menuntut adanya hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas) (Q.S. 3:112). Keterkaitan ini adalah salah satu ciri strukturalisme, di mana kesadaran ketuhanan harus memiliki kesinambungan dengan kesadaran kemanusiaan, dan sebaliknya.[2]

Meskipun sastra profetik memiliki tiga kaidah ini, Kuntowijoyo menekankan bahwa sastra profetik tetap bersifat demokratis dan tidak otoriter. Sastra profetik tidak memaksakan satu premis, tema, teknik, atau gaya tertentu, baik yang bersifat pribadi maupun baku. Keinginan sastra profetik hanyalah dalam ranah etika dan sukarela, tidak memaksa.

Etika profetik[sunting | sunting sumber]

Humanisasi[sunting | sunting sumber]

Humanisasi sangat diperlukan karena masyarakat kita menunjukkan tanda-tanda menuju dehumanisasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dehumanisasi mencakup objektivikasi manusia (secara teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, individual, kriminal), kesepian (privatisasi, individualisasi), dan keterasingan spiritual. Dalam dehumanisasi, perilaku manusia lebih dikuasai oleh bawah sadar daripada kesadaran. Tanpa kita sadari, dehumanisasi telah menggerogoti masyarakat Indonesia, yang menghasilkan manusia mesin, masyarakat massa, dan budaya massa.[4]

Liberasi[sunting | sunting sumber]

Liberasi dapat diidentifikasi dari kekuatan eksternal dan kekuatan internal. Dalam Maklumat Sastra Profetik, Kuntowijoyo lebih menyoroti penindasan dan ketidakadilan internal di Indonesia, seperti penindasan politik atas kebebasan seni sebelum tahun 1965, penindasan negara atas rakyatnya oleh rezim Orde Baru, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender. Meski tidak membahas secara mendalam tentang kekuatan eksternal seperti kolonialisme dan kapitalisme, fokus pada ketidakadilan internal tetap menjadi inti dari liberasi menurut Kuntowijoyo.[4]

Transendensi[sunting | sunting sumber]

Transendensi tidak hanya berarti kesadaran ketuhanan melalui agama, tetapi juga kesadaran terhadap makna yang melampaui batas kemanusiaan. Namun, Kuntowijoyo meyakini bahwa transendensi yang efektif bagi kemanusiaan berada di tangan orang beragama[4]. Menurut tokoh-tokoh seperti Muhammad Iqbal, Roger Garaudy, Seyyed Hosein Nasr, Kuntowijoyo, dan Abdul Hadi W.M., krisis peradaban yang dialami Barat, dunia, termasuk Indonesia, dapat diatasi melalui transendensi. Roger Garaudy dalam bukunya "Mencari Agama Abad XX" menyatakan bahwa unsur transendensi mencakup: (1) pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, (2) perbedaan mutlak antara Tuhan dan manusia, dan (3) pengakuan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari akal manusia.

Ciri-ciri sastra profetik[sunting | sunting sumber]

Hubungan Transendental[sunting | sunting sumber]

Sastra profetik berfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya[2]. Sastra ini melibatkan nilai-nilai ketauhidan yang mengutamakan kesadaran akan keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia. Pengalaman yang disampaikan dalam sastra profetik sering kali bersifat transendental, yaitu melampaui kehidupan sehari-hari dan melibatkan unsur-unsur mistis seperti ekstase dan persatuan mistikal dengan Yang Maha Transenden.

Karakter Sufistik[sunting | sunting sumber]

Karakter sufistik dalam sastra profetik terlihat dari cara penulis menyampaikan pengalaman spiritual dan emosional[1]. Sastra ini sering menggambarkan kerinduan, pencarian makna hidup, dan persatuan mistikal dengan Tuhan. Pengalaman-pengalaman ini biasanya disajikan dengan cara yang puitis dan simbolis, yang mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan spiritualitas.

Semangat Kenabian[sunting | sunting sumber]

Sastra profetik membawa semangat kenabian yang berperan dalam perubahan sejarah kemanusiaan[4]. Sastra ini menginspirasi pembaca untuk berperan aktif dalam menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Penulis sastra profetik sering menyampaikan pesan-pesan moral dan etis yang kuat, yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial dan kemanusiaan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d operator. "Sastra Profetik Perspektif Kuntowijoyo | Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kemendikbudristek". badanbahasa.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-07-07. 
  2. ^ a b c d e f g h "Sastra Profetik: Kajian Analisis Pemikiran Kuntowijoyo". Adabiya. 19 (2): 148–150. 2 Agustus 2017. 
  3. ^ a b Efendi, Anwar (Mei 2011). "Pembelajaran Sastra Profetik Sebagai Media Pengembangan Karakter Siswa". Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Dies Natalis UNY: 41. 
  4. ^ a b c d e f author, Kuntowijoyo (2019). Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: DIVA Press. ISBN 978-602-391-750-1.