Rondang Bintang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Rondang Bintang merupakan salah satu tradisi Masyarakat Adat Simalungun sebagai ungkapan kegembiraan dan bentuk rasa syukur Kepada Yang Maha Kuasa yang diwujudkan dengan mengadakan pesta. Ada beberapa momen yang di-Rondang Bintang-kan oleh Orang Simalungun: Sehabis panen raya (Rondang Bintang Sahuta), mencari atau mendapatkan jodoh (Rondang Bintang Garama & Anak Boru), atau Rondang Bintang untuk momen perpisahan karena hendak menikah. Pesta yang kerap dilakukan biasanya untuk momen yang pertama dan kedua saja. Rondang Bintang (atau Rondang Bittang) dalam Bahasa Indonesia berarti bulan yang bersih. Rondang artinya bersih (gerondong), bintang artinya bulan.[1]

Rondang Bintang Sering diartikan juga sebagai terang-benderang (melebihi terang biasa). Inilah sebabnya mengapa pesta Rondang Bintang biasanya dilaksanakan pada malam hari ketika bulan purnama muncul, kala bintang biasanya sedang bertaburan. Di malam itu masyarakat berpesta diisi dengan kegiatan menari, bermusik, bermain. Kegiatan itu diikuti oleh semua lapisan umur.[2]

Rondang Bintang untuk merayakan hasil panen dan yang bermaksud mencari jodoh antar pemuda-pemudi biasanya digabung menjadi satu. Sejak tahun 1981 pemerintah Kabupaten Simalungun menjadikan Rondang Bintang sebagai agenda wisata resmi yang dilaksanakan setahun sekali. Pemerintah setempat secara resmi menangani langsung pesta ini dan dilaksanakan bergantian di kecamatan Kabupaten Simalungun. Pertama kali pelaksanaannya adalah di Kecamatan Purba, dan masih berlanjut hingga kini.[3]

Persiapan[sunting | sunting sumber]

Sebelum Rondang Bintang dimulai diadakanlah Tradisi Mamuhun, atau meminta ijin pelaksanaan acara kepada keturunan Raja-raja Simalungun. Pihak yang akan menggelar Rondang Bintang menyerahkan demban (sirih) dan Demban Sise, atau sejumlah uang yang ditaruh di bawah sirih. Juga diserahkan ayam dan beras sebagai bekal dalam pelaksanaan adat.[4]

Dahulu jumlah uang yang diserahkan harus kelipatan 12 sen. Namun sekarang jumlahnya disesuaikan dengan nominal yang berlaku pada saat ini. Prosesi tersebut merupakan wujud penghormatan orang-orang Simalungun kepada raja-raja mereka terdahulu. Sebelum Indonesia merdeka, Simalungun merupakan wilayah yang dikuasai oleh tujuh kerajaan yang sering disebut sebagai Kerajaan Marpitu. Awalnya Simalungun dipimpin oleh Kerajaan Maropat yang sudah lebih dahulu ada ratusan tahun sebelum Pemerintah Kolonial Belanda datang ke Sumatera[5].

Raja Siantar dan Raja Dolok Silou berpose bersama. Foto diambil sebelum tahun 1930-an (Koleksi Tropen Museum Belanda)

Kerajaan Maropat terdiri dari Siantar, Tanah Jawa, Panei, dan Dolok Silou. Pada tahun 1888 Belanda mulai campur tangan terhadap Simalungun. Kemudian secara resmi mengakui Raya, Purba, dan Silimakuta menjadi kerajaan penuh. Jadilah Simalungun dipimpin oleh tujuh kerajaan. Ketujuh kerajaan tersebut lenyap hanya dalam tempo beberapa hari saja pada tahun 1946 oleh gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menolak keras adanya sistem pemerintahan kerajaan. Raja-raja Simalungun ditangkapi beserta para keluarganya.

Setelah Prosesi Mamuhun selesai dilaksanakan, penyelenggara bersama-sama dengan tetua adat dan keturunan raja-raja lalu berziarah ke makam Raja-raja Simalungun, yakni Makam Raja Raya Tuan Rondahaim Saragih Garingging (Kecamatan Raya), Raja Pane Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha (Kecamatan Panombeian Panei), Raja Purba Pakpak (Kecamatan Purba), Raja Girsang (Kecamatan Silimakuta), Raja Purba Tambak (Kecamatan Dolok Silou) dan Makam Raja Sangnauwaluh Damanik di Bengkalis, Provinsi Riau.[6]

Seusai berziarah, prosesi dilanjutkan dengan saling memberikan Dayok Nabinatur, makanan khas Orang Simalungun, yakni ayam yang dimasak dicampur dengan perasan kulit kayu, jahe, dan cabai rawit.[4] Pesta Rondang Bintang menggambarkan semangat kebersamaan Orang Simalungun.[1] Sebelum digelar diadakanlah gotong royong membersihkan desa dan menghiasnya, Tujuannya selain agar desa menjadi enak dilihat, juga demi menghindari roh-roh jahat atau ilmu hitam. Membersihkan desa dilakukan oleh seluruh penyelenggara tanpa membedakan jenis kelamin dan umur.

Lalu dipersiapkan pula alat-alat serta memasak untuk para undangan. Biasanya ini dilakukan oleh kaum wanita, kecuali memasak daging (dikerjakan oleh pria). Tugas pria termasuk juga mempersiapkan peralatan musik (gendang), membuat gaba-gaba, menghias gerbang dengan pokok pisang kapok yang sedang bertandan (berbuah), dan hiasan-hiasan lainnya. Pekerjaan mempersiapkan makanan dan minuman itu adalah persiapan akhir Rondang Bintang. Setelah semua persyaratan genap terpenuhi, maka pesta rakyat Rondang Bintang siap dimulai.

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Seluruh peserta terlebih dahulu pergi ke tapian untuk berpangir. Maksudnya adalah menyucikan diri, supaya roh-roh jahat atau ilmu hitam yang mungkin ada di dalam diri masing-masing pergi. Sekembalinya dari tapian mereka memakai bunga mange-mange (mayang pinang) dan bunga banei pansur (sejenis bunga ehevelin yang harum). Ketika mereka tiba di desa, mereka disambut dengan gendang aning-aning tondui, yaitu gendang penyambut supaya roh para peserta Rondang Bintang selamat.[1]

Pada zaman dahulu, pada pesta ini para gadis keluar menumbuk padi bersama. Jika mereka mendapat perhatian dari sang pemuda, maka para gadispun mengikuti proses maranggir atau pembersihan diri menggunakan jeruk purut sebagai simbol pembersihan badan, hati, dan pikiran.[2] Pada era sekarang Rondang Bintang menjadi kegiatan resmi pariwisata Pemerintah Kabupaten Simalungun. Ditampilkanlah beragam tradisi dan tarian Khas Orang Simalungun, seperti menarik rotan (Cerita Otang), perayaan kedinginan (Bodat Nanga Lian), Makail (memancing), tarian Tor-Tor Somba,[7] dan seni bela diri tradisional Orang Simalungun yang disebut dengan Dihar.[5]

Dalam Pesta Rondang Bintang juga diadakan berbagai perlombaan. Ada perlombaan modifikasi busana tradisional Simalungun, lomba musik tradisional, tari-tarian, vokal grup dan solo, hingga pertandingan olahraga tradisional. Hal ini dimaksud agar Budaya Simalungun tetap lestari dan diingat sebagai warisan para leluhur.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Simanjuntak, B.A.; Hasyim, Hasmah; Turnip, A.W.; Purba, Jugat; Siahaan, E.K. (1980). Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Sumatera Utara. Medan: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  2. ^ a b Gultom, Jones (22 Januari 2018). "Rondang Bintang, Tradisi Mencari Jodoh di Musim Panen dari Simalungun". medanbisnisdaily. Diakses tanggal 29 Maret 2019. 
  3. ^ Yuningtyas, Risty (2014). Perkembangan Tor-Tor Sombah Pada Pesta Rondang Bittang Di Simalungun. Medan: Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan. 
  4. ^ a b "Rondang Bittang, Cerita dari Simalungun". Liputan6.com. 10 Juli 2011. Diakses tanggal 29 Maret 2019. 
  5. ^ a b Sihotang, Susana Yokhebed (2017). "Pelestarian Lanskap Sejarah Kerajaan Simalungun Di Provinsi Sumatera Utara". ipb. Diakses tanggal 3 April 2019. 
  6. ^ "Pemkab Simalungun Ziarah ke Makam Raja Marpitu". hetanews. 9 Mei 2015. Diakses tanggal 3 April 2019. 
  7. ^ Kodrati, Finalia (19 Maret 2017). "Mengulik Pesta Rondang Bintang di Simalungun". VIVA.co.id. Diakses tanggal 29 Maret 2019.