Penangkapan ikan berlebih

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
400 ton ikan mackerel ditangkap dengan pukat. Ukuran pukat dapat diperkirakan berdasarkan dengan keberadaan kru kapal di sisi kiri gambar
Grafik yang menunjukkan penurunan tangkapan ikan kod atlantik setelah terjadinya penangkapan berlebih

Penangkapan ikan berlebih adalah salah satu bentuk eksploitasi berlebihan terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat yang membahayakan. Hilangnya sumber daya alam, laju pertumbuhan populasi yang lambat, dan tingkat biomassa yang rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan berlebih, dan hal tersebut telah dicontohkan dari perburuan sirip hiu yang belebihan dan mengganggu ekosistem laut secara keseluruhan.[1] Kemampuan usaha perikanan menuju kepulihan dari jatuhnya hasil tangkapan akibat hal ini tergantung pada kelentingan (resillience) ekosistem ikan terhadap turunnya populasi. Perubahan komposisi spesies di dalam suatu ekosistem dapat terjadi pasca penangkapan ikan berlebih di mana, energi pada ekosistem mengalir ke spesies yang tidak ditangkap.

Dampak[sunting | sunting sumber]

Penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan telah diidentifikasi merusak terumbu karang yang ada[2] kurang Lebih 56% dari terumbu dunia terancam rusak oleh penangkapan ikan yang berlebihan atau penangkapan ikan yang merusak. Beberapa wilayah di Asia Tenggara, di klaim terancam, di mana hampir 95% dari terumbu karang terpengaruh. Faktanya, banyak terumbu karang paling terpencil di dunia yang banyak yang rusak.[3] Perikanan merupakan sumber makan dan juga sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. dalam beberapa kasus, pengelolaan ikan dapat di laksanakan dengan baik, Namun banyaknya permintaan ikan yang masuk menyebabkan berkurangnya stok ikan yang ada, dan hal ini juga menjadi salah satu pemicu banyaknya penangkapan ikan yang tidak lagi teratur, atau penangkapan ikan yang berlebihan (ilegal fishing).

Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak,merupakan jenis penangkapan yang merusak ekosistem, tujuan dari penangkapan ikan mengunakan bahan peledak ini adalah untuk membuat ikan pingsan atau mati. namun jenis penangkapan ini sangat dilarang, karena bukan hanya membuat koloni ikan mati dengan jumlah yang besar, namun juga dapat menghancurkan habitat dari ikan itu sendiri (terumbu karang). Penangkapan ikan yang dilarang karena dapat merusak banyak okosistem yag ada, salah satunya adalah penangkapan ikan mengunakan pestisida (racun). Cara pengoperasian dari jenis penangkapan ini adalah, dengan menyemprotkan pestisida ke terumbu karang yang di klaim menjadi tempat tinggal ikan ikan, dan dampak yang ditimbulkan dari jenis penangkapan ini dapat membunuh ikan dan juga merusak ekosistem terumbu karang. Namun hal ini tidak disadari oleh orang yang menangkap, karena jenis penangkapan seperti ini secara tidak langsung dapat membuaut stok ikan menipis karena penangkapan ini tidak dapat di manejemen jumlah yang mati, dan hal ini juga dapat berdampak pada manusia yang mengonsumsi ikan yan sudah terkontaminasi oleh pestisida tersebut.[4]

Dampak penangkapan ikan berlebih secara tidak langsung adalah mengurangi pendapatan nelayan sehingga sebagian beralih profesi. Di Laut China Timur, nelayan beralih profesi dari perikanan tangkap ke budi daya perairan, pemrosesan ikan, dan wisata bahari setelah hasil tangkapan lokal menurun.[5]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Kerusakan berdasarkan populasi ikan[sunting | sunting sumber]

Umumnya ikan ditangkap ketika sudah mencapai ukuran tubuh tertentu, dan ikan berukuran kecil tidak tertangkap oleh jaring atau dilepaskan oleh nelayan. Ikan yang ditangkap berlebih berdasarkan ukuran tubuh akan menyebabkan ikan yang tersisa di populasi merupakan ikan berusia muda yang masih jauh dari tahap kematangan seksual sehingga sulit bagi populasi untuk mengembalikan populasi.[6][7] Hal ini akan menjadikan tangkapan berikutnya menjadi lebih sedikit, sehingga peraturan dilonggarkan untuk menjaga pendapatan nelayan.

Kerusakan berdasarkan ekosistem[sunting | sunting sumber]

Penurunan populasi terjadi ketika penangkapan ikan berlebih mempengaruhi keseimbangan ekosistem, misal dengan menghabisi satu tingkatan trofik tertentu sehingga tingkatan trofik di atasnya tidak mendapatkan mangsa. Contoh lainnya adalah penangkapan ikan tuna berlebih yang menyebabkan populasi ikan kecil seperti ikan teri mengalami peningkatan.

Contoh kasus[sunting | sunting sumber]

  • Di Peru, penurunan hasil tangkapan jatuh pada tahun 1970an akibat penangkapan ikan berlebih dari gangguan cuaca oleh El Niño.[8][9][10] Ikan teri dulunya merupakan sumber daya alam yang utama bagi Peru dengan hasil tangkapan lebih dati 10 juta metrik ton per tahun, namun setelah tahun 1971 jumlahnya terus menurun hingga hanya 4 juta metrik ton per tahun.[8]
  • Di pulau Newfoundland, Kanada, populasi ikan kod mengalami penurunan drastis.[11] Pada tahun 1992, Kanada mengeluarkan moratorium yang melarang penangkapan ikan di wilayah tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan.[12]
  • Berbagai ikan demersal laut dalam seperti Hoplostethus atlanticus, Dissostichus eleginoides, dan Anoplopoma fimbria berada dalam kondisi terancam karena penangkapan ikan berlebih. Ikan laut dalam merupakan jenis ikan yang sangat lambat pertumbuhan dan laju reproduksinya. Ikan jenis ini baru mencapai tahap kematangan seksual pada usia 30 atau 40 tahun. Ikan laut dalam juga berada di perairan internasional yang tidak dilindungi oleh peraturan negara manapun. Ikan laut dalam semakin diincar sejak ditemukannya teknologi pendingin yang dapat dibawa hingga ke laut bebas.[13]

Mitigasi[sunting | sunting sumber]

Konvensi PBB mengenai Hukum Laut berkaitan erat dengan aspek penangkapan ikan berlebih.[14]

  • Pasal 61 mewajibkan negara pemilik garis pantai untuk mempertahankan sumber daya alam di dalam ruang lingkup ZEE mereka untuk menjauhkannya dari status terancam dan tereksploitas berlebihan.
  • Pasal 62 mengizinkan negara pemilik garis pantai untuk mendayagunakan secara optimum sumber daya alam di ZEE tanpa melanggar pasal 61.
  • Pasal 65 mengizinkan negara pemilik garis pantai untuk melarang, membatasi, atau mengatur eksploitasi hewan laut.

Berdasarkan beberapa pengamat, penangkapan ikan berlebih dapat dipandang sebagai tragedi kebersamaan (tragedy of commons), yaitu sebuah konsep di mana kepemilikan bersama justru menimbulkan kerugian bagi semua. Dalam hal ini, kepemilikan bersama adalah sumber daya perairan. Melalui kepemilikan perseorangan, seperti privatisasi sumber daya perairan dan budi daya ikan, menurut mereka, dapat menjadi solusi. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap populasi ikan halibut di British Columbia memperlihatkan dampak positif setelah sebagian dari sumber daya perairan di sana diprivatisasi.[15]

Solusi lainnya adalah kuota penangkapan ikan yang diberlakukan di mana nelayan hanya diizinkan untuk melabuhkan sejumlah ikan. Kemungkinan lainnya adalah menerapkan "kawasan dilarang masuk", di mana pada kawasan tersebut tidak boleh ada aktivitas penangkapan ikan komersial dan pelayaran sipil. Penerapan larangan masuk ini dapat berlangsung dalam batas waktu yang tidak ditentukan atau hanya diterapkan pada waktu tertentu saja, misal pada saat ikan berkembang biak.

Budi daya ikan[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2009, peneliti di Australia berhasil untuk pertama kalinya membiakkan tuna sirip biru di tangki tertutup dan membuka jalan untuk budi daya ikan tuna menggantikan penangkapan tuna di laut bebas.[16]

Penghapusan subsidi[sunting | sunting sumber]

Beberapa peneliti memaparkan bahwa subsidi yang dibayarkan kepada beberapa negara ke pelaku penangkapan ikan komersial laut dalam tidak diatur dengan ketat. Subsidi terutama diberikan pada bahan bakar dan kepemilikan teknologi penangkapan ikan seperti kapal penangkap ikan, jaring ikan ukuran besar dengan mesin penarik, pukat harimau, dan sebagainya. Akibatnya ikan laut dalam yang berumur panjang yang membutuhkan waktu lama untuk mencapai usia kematangan seksual mengalami penurunan populasi. Ekosistem terumbu karang laut dalam yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk berkembang bisa rusak dengan mudah karena jaring yang ditarik di dasar laut.[17]

Ilmuwan Daniel Pauly dan Ussif Rashid Sumaila telah meneliti subsidi pada kapal pukat laut dalam di berbagai negara. Sekitar 152 juta USD per tahun dikeluarkan dan sebagian besar untuk bahan bakar kapal berukuran besar tersebut. Dinyatakan bahwa subsidi ini merupakan pemborosan karena membutuhkan energi yang sangat besar untuk menarik jaring di laut dalam.[17]

Kesadaran konsumen[sunting | sunting sumber]

Berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti Marine Stewardship Council melakukan pelabelan terhadap hasil laut yang ditangkap atau dibudidayakan secara lestari sehingga konsumen dapat memilih hasil laut yang tidak ditangkap secara berlebihan. Lembaga lainnya yang melakukan hal serupa yaitu Friend of the Sea dan Seafood Choices Alliance. Monterey Bay Aquarium membuat program Seafood Watch, dan NOAA membuat program serupa untuk membantu konsumen memilih produk.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Scales, Helen (29 Maret 2007). "Shark Declines Threaten Shellfish Stocks, Study Says". National Geographic News. Diakses tanggal 2012-05-01. 
  2. ^ [Kushner,, Emily Cooper]. Reefs at Risk Revisited.  line feed character di |journal= pada posisi 14 (bantuan); Periksa nilai |author-link1= (bantuan); Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  3. ^ Bachruddin, Bachruddin (1994-01-27). "Bantuan-bantuan yang Dibutuhkan untuk Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia". Unisia. 14 (21): 53–60. doi:10.20885/unisia.vol14.iss21.art6. ISSN 0215-1421. 
  4. ^ "Ancaman Penangkapan Ikan yang Berlebihan dan Merusak | Ketahanan Karang". reefresilience.org. Diakses tanggal 2023-12-30. 
  5. ^ "Pollution, overfishing destroying E. China Sea fishery". China Dailiy. 2006-08-16. 
  6. ^ "Fish recruitment". The Scottish Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-01. Diakses tanggal 16 October 2013. 
  7. ^ Pauly, Daniel (1983). Some simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fisheries technical paper 234. ISBN 92-5-101333-0. Diakses tanggal 2012-05-01. 
  8. ^ a b "Peruvian Anchovy Case: Anchovy Depletion and Trade". Trade and Environment Database. 1999. Diakses tanggal 2012-01-05. 
  9. ^ Foreign Assistance Legislation for Fiscal Year 1982. Committee on Foreign Affairs. 1981. 
  10. ^ "Peru - Fishing". Federal Research Division of the U.S. Library of Congress. Diakses tanggal 2012-05-01. 
  11. ^ Kunzig, R (April 1995). "Twilight of the Cod". Discover: 52. Diakses tanggal 2012-05-01. 
  12. ^ Kurlansky, Mark (1997). "11–12". Cod: A Biography of the Fish That Changed the World. New York: Walker. ISBN 0-8027-1326-2. 
  13. ^ Floyd, Mark (2007). "Long-lived deep-sea fishes imperilled by technology, overfishing". AAAS. Diakses tanggal 2012-05-01. 
  14. ^ "Text of the United Nations Convention on the Law of the Sea: Part V". Diakses tanggal 2012-05-01. 
  15. ^ Benjamin, Daniel K (2001). "Fisheries are Classic Example of the Tragedy of the Commons". PERC Reports. 19 (1). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-02-19. 
  16. ^ "The Top 10 Everything of 2009: Top 10 Scientific Discoveries: 5. Breeding Tuna on Land". Time. 8 December 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-26. Diakses tanggal 2012-05-01. 
  17. ^ a b "The last wild hunt – Deep-sea fisheries scrape bottom of the sea" (PDF). AAAS. 2007. Diakses tanggal 2012-05-01. 

Bahan bacaan terkait[sunting | sunting sumber]