Pegunungan di Sulawesi Selatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pegunungan di Sulawesi Selatan menjadi ciri khas dataran tinggi di Sulawesi Selatan. Bentangan pegunungan di Sulawesi Selatan mulai dari pantai laut Flores di Kota Bantaeng hingga ke perbatasan dengan Sulawesi Tengah di bagian utara Sulawesi Selatan. Ketinggian pegunungan di Sulawesi Selatan antara 2000-3000 meter.  Pegunungan di Sulawesi Selatan ada tujuh dengan formasi geologi tersier dan kuarter.

Wilayah Pegunungan di Sulawesi Selatan telah dihuni sejak masa prasejarah. Suku-suku yang menetap di pegunungan Sulawesi Selatan utamanya adalah suku Toraja dan suku Konjo Pegunungan. Sementara itu, beberapa hewan langka yang menghuni wilayah pegunungan Sulawesi Selatan adalah anoa, sikatan lompobattang dan monyet tonkean.

Eksplorasi mineral telah diadakan di pegunungan di Sulawesi Selatan.

Kelompok[sunting | sunting sumber]

Pegunungan yang membentuk dataran tinggi menjadi salah satu ciri geografis utama yang menjadi karakteristik kewilayahan di Sulawesi Selatan.[1]  Pegunungan merupakan salah satu pembentuk permukaan Bumi di Sulawesi Selatan bersama dengan padang rumput.[2] Pegunungan di Sulawesi Selatan sebanyak tujuh pegunungan.[3] Rangkaian pegunungan di Sulawesi Selatan membentang dari wilayah pantai laut Flores di Kota Bantaeng di bagian selatan semenanjung Sulawesi Selatan, hingga ke perbatasan dengan Sulawesi Tengah di bagian utara Sulawesi Selatan.[4]

Pegunungan Bawakaraeng[sunting | sunting sumber]

Letak Pegunungan Bawakareang berada di bagian timur ke tengah Sulawesi Selatan.[5] Pegunungan Bawakaraeng menjadi hulu sungai bagi sungai Walanae yang bermuara di danau Tempe. Bagian hulu sungai Walanae terletak di wilayah dataran tinggi pada daerah Camba, Kabupaten Maros.[6] Pegunungan Bawakaraeng juga menjadi hulu bagi sungai Tangka yang bermuara di pantai Selat Bone.[7]

Pegunungan Lamuru[sunting | sunting sumber]

Pegunungan Lamuru menjadi hulu sungai bagi sungai Cenrana yang terhubung dengan danau Tempe. Sungai ini merupakan anak sungai dari sungai Walanae yang bermuara di pantai Teluk Bone.[6]

Pegunungan Tokalekaju[sunting | sunting sumber]

Pegunungan Tokalekaju merupakan pegunungan yang membentang di wilayah Sulawesi Selatan, mulai dari Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara hingga Kabupaten Luwu Timur. Nama pegunungan ini merupakan nama lokal yang diberikan oleh masyarakat lokal. Pegunungan Tokalekaju sebenarnya terbagi menjadi dua pegunungan, yaitu pegunungan Querles dan pegunungan Verbeek.[8] Pegunungan Querles sepenuhnya masuk di wilayah Sulawesi Selatan. Sementara letak pegunungan Verbeek sendiri berada di perbatasan antara Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah.[9]

Pegunungan Latimojong[sunting | sunting sumber]

Letak pegunungan Latimojong berada di Kabupaten Enrekang.[10] Pegunungan Latimojong terdiri dari tanah vulkanis yang membentuk topografi tanah di bagian barat Sulawesi Selatan.[11] Status pegunungan Latimojong bukan sebagai gunung berapi, melainkan pegunungan denga beberapa puncak. Puncak tertinggi di pegunungan Latimojong disebut Rantemario. Tingginya adalah 3.478 meter dan yang tertinggi di Sulawesi.[12]

Pegunungan Lompobattang[sunting | sunting sumber]

Pegunungan Lompobattang terdiri dari tanah vulkanis yang membentuk topografi tanah di bagian timur Sulawesi Selatan.[11] Puncak pegunungan Lompobattang disebut Tao-Tao. Tingginya adalah 2871 meter.[13]

Formasi geologi[sunting | sunting sumber]

Sulawesi Selatan memiliki karakteristik geologi yang bervariasi dari segi batuan penyusunnya. Daerah Pegunungan Salapati hingga ke Pegunungan Molegraf merupakan bagian dari formasi volkan tersier. Begitu pula dengan Pegunungan Perombengan sampai Kota Palopo, dari Makale sampai Kabupaten Enrekang bagian utara, di sekitar Sungai Mamasa dan di Kabupaten Sinjai sampai Tanjung Pattiro. Formasi volkan tersier juga ditemukan di deretan pegunungan yang terletak di bagian sebelah barat dan timur Ujung Lamuru sampai Bukit Matinggi. Selain itu, ada juga formasi batuan volkan kwarter di sekitar Limbong, Luwu Utara. Formasi ini juga ditemukan di sekitar Gunung Karua yang terletak di Kabupaten Tana Toraja, dan di Gunung Lompobattang yang terletak di Kabupaten Gowa.[14]

Rupa Bumi[sunting | sunting sumber]

Dataran tinggi[sunting | sunting sumber]

Dataran tinggi yang berdekatan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Maros dibentuk oleh dua pegunungan, yaitu Pegunungan Latimojong dan Pegunungan Verbeek. Rata-rata ketinggian pegunungan di dataran tinggi ini antara 2000-3000 meter.[2]

Delta-delta sungai[sunting | sunting sumber]

Delta-delta sungai di Sulawesi Selatan dibentuk oleh dua pegunungan yaitu pegunungan Latimojong dan pegunungan Lompobattang. Lereng-lereng yang memanjang di kedua pegunungan ini terhubung hingga ke dasar laut dan membentuk delta-delta sungai. Delta-delta ini terbentuk khususnya di pantai Mandar dan pantai Teluk Bone.[11]  

Kawasan hutan[sunting | sunting sumber]

Kawasan hutan tropis yang sangat luas terletak di dua pegunungan di Sulawesi Selatan, yaitu  Pegunungan Querles dan Pegunungan Verbeek. Hutan tropis ini telah menjadi area pertambangan yang legal oleh perusahaan-perusahaan pertambangan.[8] Pada tahun 2004, sebagian wilayah pegunungan Sulawesi selatan tidak lagi memiliki vegetasi hutan.[15]

Di pegunungan Bulusaraung juga terdapat kawasan hutan kemiri yang luas. Pada tahun 2002, luasnya adalah 9.299 ha. Hutan ini menjadi penghasil kemiri terbanyak di Sulawesi Selatan. Cakupan wilayahnya adalah Kecamatan Mallawa, Kecamatan Camba, Kecamatan Cenrana, Kecamatan Simbang, Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Tompobulu. Luas hutan kemiri di Kecamatan Mallawa adalah 4.956 ha. Luas hutan kemiri di Kecamatan Camba adalah 2.086 ha. Luas hutan kemiri di Kecamatan Cenrana adalah 2.064 ha. Sementara itu, luas gabungan hutan kemiri di Kecamatan Simbang, Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Tompobulu adalah 193 ha.[16]

Penghuni[sunting | sunting sumber]

Manusia[sunting | sunting sumber]

Manusia prasejarah[sunting | sunting sumber]

Pada masa prasejarah, diketahui bahwa di wilayah Kabupaten Enrekang telah ada pengunungan yang memiliki karst. Pegunungan ini menyediakan bahan-bahan litik. Informasi ini diperoleh dari hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kabupaten Enrekang pada periode 1990-an hingga 2010-an.[17]  Di pegunungan Sulawesi Selatan yang terdapat karst ditemukan jejak aktivitas berburu di antara satu gua dan gua lainnya. Bukti arkeologinya berupa mata panah yang digunakan untuk berburu. Penemuan ini dimulai sejak penelitian Paul Sarasin dan Fritz Sarasin pada tahun 1902 dan 1903 untuk menemukan dan mencatat situs-situs prasejarah. Penelitian ini dilakukan di barisan pegunungan yang bersanding dengan Sungai Moncong sebelah timur dan wilayah Camba di sebelah selatan Pulau Sulawesi. Penemuan berupa lancipan-lancipan panah dengan tepian bergerigi dan beralas cekung juga ditemukan di Gua Balisao dan Gua Payung Cakondo Ululeba pada daerah yang sama. Penemuan yang sama kemudian ditemukan di tempat lain oleh Van Stein Callenfels pada tahun 1933. Salah satunya di Gua Ara (Tomatoa Kacicang).[18]

Suku-suku[sunting | sunting sumber]

Pegunungan di bagian utara Sulawesi Selatan dihuni oleh penduduk dari suku Toraja.[19] Suku ini hidup secara menetap dengan mempertahankan keaslian gaya hidup Austronesia yang mirip dengan budaya suku Nias.[20] Wilayah pegunungan yang dihuni oleh  suku Toraja termasuk bagian dari Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.[21]

Beberapa wilayah pegunungan lainnya dihuni oleh Suku Konjo Pegunungan. Wilayah yang dihuni antara lain  Manipi di Sinjai Barat, Mappatuo Tabo-Tabo di Kabupaten Pangkajene Kepulauan dan Kecamatan Balocci. Selain itu, suku ini menghuni pegunungan di wilayah Kabupaten Maros bagian timur, Kecamatan Bontoncani di wilayah Kabupaten Bone bagian selatan, serta Kecamatan Tinggimoncing dan Kecamatan Tompobulu di bagian timur Kabupaten Gowa.[22]

Hewan[sunting | sunting sumber]

Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penyebaran anoa di Sulawesi. Dua pegunungan yang ditemukan habitat anoa di dalamnya adalah Pegunungan Verbeek dan Pegunungan Bowonglangi.[23] Di pegunungan Lompobattang juga terdapat sikatan lompobattang yang merupakan satwa langka.[24] Di wilayah pegunungan Kabupaten Enrekang hingga ke utara Sulawesi Selatan juga terdapa spesies primata yang disebut monyet tonkean.[25]

Eksplorasi[sunting | sunting sumber]

Eksplorasi dilakukan oleh para ahli geologi dan geofisika dari Departemen Pertambangan pada tahun 1964-1965 di daerah pegunungan Sulawesi Selatan. Hasil eksplorasi ini berupa penemuan-penemuan yang dilaprokan secara tertulis. Laporan ini menjelaskan keadaan permukaan Bumi dan sumber-sumber mineral di Sulawesi Selatan khususnya di Desa Sangkaropi, Kabupaten Tana Toraja. Mineral yang dieksplorasi di daerah ini adalah tembaga.[26]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Pegunungan Latimojong dan Pegunungan Lompobattang penting bagi kesuburan tanah di Sulawesi Selatan. Kedua pegunungan ini membentuk delta-delta sungai di setiap lerengnya yang memanjang hingga ke pesisir laut di Teluk Bone dan pantai Mandar. Keberadaan delta sungai ini membentuk lingkaran sawah dengan pematang yang ditumbuhi pohon kelapa. Sementara di lereng pegunungan terbentuk dataran rendah dengan lempeng pasir yang halus yang menyuburkan tanah karena mengandung lumpur dan batuan kapur.[11]  

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Presiden Republik Indonesia (16 Maret 2022). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 tentang Provinsi Sulawesi Selatan" (PDF). Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 4. 
  2. ^ a b Suwondo 1977, hlm. 7.
  3. ^ Maulana, A., dkk. (Oktober 2021). Rencana Penanggulangan Bencana Periode 2021-2025 (PDF). Makassar: Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. hlm. 1. 
  4. ^ Suwondo, dkk. 1977, hlm. 14.
  5. ^ Supriatna, Jatna (September 2021). Otobiografi Jatna Supriatna: Jejak Selusur Seorang Petualang, Pendidik dan Wiraswasta Perikehidupan Alam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 145. ISBN 978-623-321-099-7. 
  6. ^ a b Suwondo, dkk. 1977, hlm. 11.
  7. ^ Suwondo, dkk. 1977, hlm. 12.
  8. ^ a b WALHI Sulawesi selatan (2018). Sulawesi Selatan 2018: Degradasi Lingkungan dan Pengaplingan Ruang Hidup  Rakyat Terus Meningkat, Keselamatan Rakyat Terancam (PDF). WALHI Sulawesi selatan. Lembaran ke-13. 
  9. ^ Rachmat. Ringkasan Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Grasindo. hlm. 8. 
  10. ^ Namiyanto, Eko. Urban Hikers Zine Volume 1. hlm. 22. 
  11. ^ a b c d Asba, Rasyid (2007). Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 58. ISBN 979-461-634-6. 
  12. ^ Agustin, Hendri (2015). The Seven Summitt of Indonesia: Tujuh Puncak tertinggi di Tujuh Pulau/Kepulauan Besar di Indonesia. Yogyakarta: CV ANDI Offset. hlm. 78. ISBN 978-979-29-5293-3. 
  13. ^ Memperkenalkan Sulawesi. Djawatan Penerangan Propinsi Sulawesi. hlm. 29. 
  14. ^ Muis, A., dkk. (April 2016). Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2015 (PDF). Makassar: Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. hlm. I–2. 
  15. ^ Alikodra, Hadi S. (November 2020). Sugandhy, Aca, ed. Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Membumikan EKosofi bagi Keberlanjutan Umat. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 172. ISBN 978-623-256-414-5. 
  16. ^ Yusran (2019). Hutan dan Masyarakat: Tinjauan dalam Perspektif Kebijakan dan Sosial Ekonomi. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 103. ISBN 978-979-493-509-5. 
  17. ^ Wardaninggar, Bernadeta AK (November 2016). "Sebaran Potensi Budaya Prasejarah di Enrekang, Suawesi Selatan" (PDF). Kapata Arkeologi. 12 (2): 113–114. ISSN 1858-4101. 
  18. ^ Sardi M., Ratno (November 2016). "Eksistensi Budaya Pra-Neolitik di Situs Prasejarah Bontocani Sulawesi Selatan" (PDF). Jurnal Walennae. 14 (2): 70. 
  19. ^ Tim Infografik Kompas (2014). Indonesia dalam Infografik. Penerbit Buku Kompas. hlm. 12. ISBN 978-979-709-841-4. 
  20. ^ Poespasari, Ellyne Dwi (2019). Wandana, Dhiky, ed. Hukum Adat Suku Toraja. Surabaya: CV. Jakad Publishing. hlm. 11. ISBN 978-623-7033-40-0. 
  21. ^ Poespasari, E. D., dan Usanti, T. P. (2020). Lestari, Tika, ed. Tradisi Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Suku Toraja. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing. hlm. 7. ISBN 978-623-6551-30-1. 
  22. ^ Imran, A. M., dan Sabarrang, A. M. (Februari 2022). Konjo dalam Perspektif Kerajaan Pesisir dan Islamisasi di Sulawesi Selatan. Bantul: Penerbit K-Media. hlm. 28. ISBN 978-623-316-731-4. 
  23. ^ Mustari, Abdul Haris (Desember 2019). Ekologi, Perilaku, dan Konservasi Anoa. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 55. ISBN 978-602-440-808-4. 
  24. ^ Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (2001). Atlas Flora dan Fauna Indonesia. Grasindo. hlm. 103. 
  25. ^ Supriatna, Jatna (2008). Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 30. ISBN 978-979-461-696-3. 
  26. ^ Suwondo, dkk. 1977, hlm. 13.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]