Pangeran Jayakarta
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (6 Januari 2011) |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Pangeran Jayakarta adalah nama seorang penguasa kota pelabuhan Jayakarta, yang menjabat sebagai wakil dari Kesultanan Banten. Kekuasaan Banten atas wilayah ini berhasil direbut oleh Belanda, setelah Pangeran Jayakarta dikalahkan oleh pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619.
Asal usul
[sunting | sunting sumber]Asal usul Pangeran Jayakarta masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta. Menurut Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17 (yaitu sesudah Sajarah Banten, 1662/3), Pangeran Jayakarta atau Jayawikarta adalah putra Tubagus Angke dan Ratu Pembayun Fatimah. Adapun ratu Pembayun Fatimah adalah kakak perempuan dari Sultan Hasanuddin Banten, anak Sunan Gunung Jati.
Menurut Adolf Heukeun SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II, silsilah ini tidak sesuai dengan sumber-sumber sekunder lain karena sumber-sumber yang digunakan oleh hikayat mengandung banyak cerita dongeng.[1]
Peran politik di Banten
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1596 Maulana Muhammad, penguasa Banten ketiga, gugur waktu menyerang Palembang. Putera satu-satunya ialah Abul Mafakhir, yang baru berusia lima bulan. Maka dipilihlah seorang mangkubumi bernama Jayanegara yang sekaligus menjadi wali raja untuk Abul Mafakhir. Tetapi mangkubumi ini wafat pada tahun 1602. Maka ibu putra mahkota yaitu Nyimas Ratu Ayu Wanagiri menjadi wali dan menikah dengan mangkubumi yang ketiga. Karena ayah tiri disayang putera mahkota Banten dan dihormati rakyat, maka para pangeran menjadi iri dan memberontak. Pangeran dari Jayakarta datang dengan banyak bawahannya sehingga pemberontak mengalah dan berdamai, sedangkan peran wali Abul Mafakhir diserahkan kepada Ranamanggala sampai tahun 1624.
Baca juga
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Heukeun, Adolf, SJ. Sumber-sumber asli sejarah Jakarta Jilid II: Dokumen-dokumen Sejarah Jakarta dari kedatangan kapal pertama Belanda (1596) sampai dengan tahun 1619, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000.