Novi Basuki

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Novi Basuki
Lahir11 September 1993 11 September 1993 (umur 30)
Desa Tamansari, Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo
KebangsaanIndonesia
Nama lainWang Xiaoming
PekerjaanSinolog[1], peneliti, penulis, pengamat politik
Karya terkenalIslam di China: Dulu dan Kini

Novi Basuki adalah seorang penulis, peneliti, dan pakar Islam di Tiongkok, juga dikenal dengan nama Wang Xiaoming (王小明).[2] Ia memfokuskan perhatiannya pada politik, agama, sejarah, dan hubungan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia.

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Novi lahir di Desa Tamansari, Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo. Desa tersebut berada di kurang lebih 1.200 di atas permukaan laut, tepatnya di lereng Gunung Argopuro. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai pedagang sembako dan bahan bangunan.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Sesudah menyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Novi sejak 2010 melanjutkan pendidikannya di beberapa perguruan tinggi di Tiongkok dengan Beasiswa Pemerintah Tiongkok (Chinese Government Scholarship). Studi doktoralnya ditempuh di Universitas Sun Yat-sen setelah sebelumnya menyelesaikan pendidikan sarjana dan masternya di Universitas Huaqiao dan Universitas Xiamen.

Karier[sunting | sunting sumber]

Novi menjadi Visiting Scholar di China-ASEAN Research Institute, Universitas Guangxi; Associate Researcher di School of Foreign Studies, Universitas Teknologi Hefei dan peneliti di Belt and Road Institute, Universitas Normal Jiangsu.

Publikasi[sunting | sunting sumber]

Tulisan-tulisannya tentang Tiongkok sering dimuat di berbagai media seperti harian Kompas, Jawa Pos, Harian DI’s Way, Media Indonesia dan sebagainya. Ia Kerap menerima wawancara dari media di Indonesia maupun di Tiongkok untuk mengomentari isu terkini mengenai Tiongkok dan Indonesia.

Pandangan-pandangan Novi tentang China mendapat beragam respons dari pelbagai kalangan. Leo Suryadinata, sinolog ternama dunia, menyebut pandangan Novi ”kontras sekali dengan generasi tua akademisi Indonesia didikan Barat”.

Menurut Novi, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang ”masih terbiasa menggunakan kacamata buatan Perang Dingin untuk melihat Tiongkok yang sudah banyak berubah sejak era Deng Xiaoping. Akibatnya, apa pun yang berbau Tiongkok selalu dipandang dengan tatapan mata curiga dan waspada.” Novi berpendapat, ”melulu melihat Tiongkok sebagai ancaman, bisa jadi malah akan membuat Indonesia ketinggalan peluang yang dihamparkan Tiongkok yang sedang maju pesat.”

Pranala luar[sunting | sunting sumber]