Masjid Syuhada

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Syuhada
Masjid Syuhada
Agama
AfiliasiIslamSunni
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
KepemilikanYayasan Masjid Syuhada
Lokasi
LokasiYogyakarta
Negara Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Peletakan batu pertama1851
Rampung1952

Masjid Syuhada atau Masjid Agung Kota Yogyakarta[1] adalah sebuah bangunan masjid bersejarah di daerah Kotabaru, Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Bangunan masjid tersebut bernama "syuhada" yang bermakna penghargaan kepada para pejuang yang gugur semasa Revolusi Nasional Indonesia. Masjid tersebut merupakan salah satu masjid yang menyimpan nilai sejarah, terutama berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Masjid Syuhada selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 20 September 1952. Panitia pembangunannya dipimpin oleh Mr. Assaat gelar Datuk Mudo. Masjid ini tepatnya berlokasi di Jalan I Dewa Nyoman Oka 13, Kotabaru. Lokasi itu dulunya merupakan markas serta tempat tinggal orang-orang Belanda semasa menjajah Indonesia, berikut orang Tionghoa serta orang Indonesia kelas atas atau mereka yang menerima pendidikan ala Barat.[2]

Pembangunan Masjid Syuhada berangkat dari tidak adanya tempat ibadah bagi umat Islam di Kotabaru mengingat di sampingnya berdiri megah bangunan gereja HKBP di Kotabaru. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bermaksud memberikan hadiah kepada rakyat Yogyakarta atas perjuangan mereka dalam melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perlu diketahui, Yogyakarta pada waktu itu dijadikan sebagai Ibu kota Revolusi Indonesia atau pemerintahan sementara akibat tentara Belanda berhasil menguasai Jakarta. Untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menawarkan untuk memindahkan pemerintahan Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta untuk sementara waktu.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Masjid Syuhada sekitar tahun 1956

Pembangunan Masjid Syuhada di Yogyakarta berawal dari kegiatan pegajian yang diadakan di rumah keluarga Moch. Joeber Prawiroyuwono yang berada di Jalan Ngasem, Yogyakarta. Pengajian itu digelar setelah mundurnya Belanda dari Yogyakarta dan menjelang pemindahan ibu kota negara dari Yogyakarta ke Jakarta. Pada saat itu, beberapa tokoh yang hadir dengan dipantik oleh Mr. Assaat gelar Datuk Mudo berpikir tentang kenang-kenangan apa yang pantas dihadiahkan kepada rakyat Yogyakarta. Mereka berpikir bahwa kemerdekaan yang dinikmati Indonesia saat ini tidak terlepas dari perjuangan rakyat Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang telah menjadikan Yogyakarta sebagai Ibu Kota Revolusi Indonesia.[3]

Berkenaan dengan itu, jauh ketika penjajahan Belanda masih berlangsung, Lapangan Kridosono di Kotabaru dimonopoli oleh Belanda. Lapangan sepak bola tersebut sejatinya adalah lapangan sepak bola terbesar di Yogyakarta. Belanda mempergunakan lapangan tersebut untuk kepentingan klub sepak bola mereka yang bernama Voetbalbond Djokja (VDB). Pribumi yang tinggal di sekitar lapangan bahkan dilarang untuk memasuki area tersebut. Hanya golongan berkebangsaan Belanda yang diperbolehkan untuk memasuki dan memanfaatkan fasilitas tersebut. Keadaan berubah sekejab ketika Jepang menjajah Indonesia dan mengusir Belanda dari Yogyakarta. Jepang dengan politik dan tipu muslihatnya berupaya untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Mereka memberikan kesempatan kepada rakyat Yogyakarta untuk dapat memanfaatkan fasilitas lapangan sepak bola tersebut. Hal itu menjadi dalih Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia. Rakyat Yogyakarta diperkenankan untuk menggunakan lapangan yang ada sebagai sarana hiburan menonton pertandingan sepak bola. Di tengah-tengah pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung, terjadi percakapan antara dua tokoh masyarakat bernama Muhammad Muammal dan H.M Syuja’. Ketika waktu Shalat Ashar tiba di antara berlangsungnya pertandingan sepak bola, mereka kesulitan untuk mencari tempat ibadah. Mereka lupa bahwa di daerah Kotabaru belum ada masjid. Bahkan, Gereja Kristen Batak Protestan yang ada di sana dahulu juga sempat dijadikan masjid jami’ untuk Shalat Jumat.

Berkenaan dengan dua peristiwa di atas, maka beberapa tokoh agama dan masyarakat sepakat untuk membangun masjid di Kotabaru sekaligus sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia kepada rakyat Yogyakarta.[4]

Proses Pembangunan Masjid[sunting | sunting sumber]

Mr. Assaat disalami oleh warga di Masjid Sumedang. Mr. Asaat merupakan ketua panitia pembangunan Masjid Syuhada,

Proses pembangunan Masjid Syuhada mengalami dinamika dan pasang surut di awal prosesnya. Semula, kepanitiaan di periode pertama yang diketahui oleh Mohammad Muammal dan periode kedua diketua oleh H. M. Syuja’ mengalami kegagalan. Sampai saat ini, masih belum dipastikan apa penyebab kegagalan tersebut. Baru pada pembentukan panitia periode ketiga yang diketua oleh Mr. Asaat, pembangunan Masjid Syuhada berlangsung dengan lancar. Pada kepanitiaan tersebut, Mr. Asaat membentuk tujuh belas orang anggota panitia yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia 17. Kepanitiaan tersebut dibentuk pada hari Jumat, 14 Oktober 1949 di rumah keluarga M. Prawirojuwono dan kemudian diresmikan oleh Menteri Agama RI Kabinet Hatta, K.H. Masjkur.[4]

Berkantor di Jalan Ngabean Nomor 29, Yogyakarta, proses pembangunan Masjid Syuhada dimulai dari pemilihan nama terlebih dahulu. Atas dasar masjid tersebut dibangun dalam momentum perjuangan prajurit dan rakyat Yogyakarta yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Haji Benjamin yang merupakan salah satu pemuda muslim dari Yogyakarta mengusulkan nama “Masjid Peringatan Syuhada”. Nama tersebut kemudian disingkat menjadi “Masjid Syuhada”. Nama tersebut kemudian disetujui oleh seluruh panitia yang hadir. Namun demikian, sang pengusul nama tersebut wafat pada tanggal 4 Juli 1950 dan tidak dapat menyaksikan proses pembangunan serta menikmati Masjid Syuhada.

Setelah nama masjid disepakati, Pantia 17 kemudian membentuk susunan organisasi yang bertugas untuk mempersiapkan pembangunan masjid. Susunan organisasi itu antara lain terbagi menjadi empat, yaitu badan tertinggi, direksi, opzichter, dan penasihat teknik. Badan tertinggi berwenang dan bertanggung jawab atas segala proses pembangunan masjid; direksi bertugas untuk melakukan kegiatan pembelian barang dan diupayakan untuk memperoleh barang dengan harga murah namun dengan kualitas baik; opzichter terdiri dari para ahli teknik yang bertugas untuk menilai pembangunan; penasihat teknik bertugas untuk memberikan saran terkait kelancaran dan hasil pekerjaan dari para ahli teknik. Para anggota panitia membentuk susunan atau struktur kepanitiaan semacam itu dimaksudkan untuk membuat proses pembangunan menjadi lebih efektif dan rapi.[5]

Setelah terbentuk susunan panitia yang rapi, anggota panitia kemudian berunding untuk memutuskan lokasi yang cocok didirikan Masjid Syuhada. Pada waktu itu, ada tiga pilihan yang ditawarkan, yaitu lapangan Widoro yang saat ini berdiri kantor Telkom Indonesia di Yogyakarta; lapangan sebelah barat SMA Negeri 3 Yogyakarta; dan tanah yang di atasnya telah berdiri bangunan gedung dinas purbakala. Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka akhirnya memutuskan untuk membangunnya di pilihan ke-3.

Lokasi pembangunan Masjid Syuhada dipilih di antara Jalan Batanawarsa, Kali Code dan Tidar. Lebih jelasnya, di sebelah barat bersebelahan dengan Kali Code, di bagian timur bersebelahan dengan Jalan Batanawarsa, dan Tidar. Dalam perkembangannya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga membebaskan tanah seluas 2000 m2 di depan masjid untuk dibangun asrama. Bangunan asrama tersebut juga disusul dengan berdirinya bangunan-bangunan lembaga lain di sekitar masjid yang kemudian membuat Masjid Syuhada berintegrasi dengan lembaga-lembaga yang ada.

Dalam perkembangan pembangunan masjid, Mr. Asaat sebagai ketua panitia juga menghadap Presiden Soekarno yang pada waktu itu masih berada di Yogyakarta. Mr. Asaat menyampaikan rencana pembangunan Masjid Syuhada di Kotabaru dan disambut dengan sangat positif oleh Presiden Soekarno. Seperti yang diketahui, Presiden Soekarno selalu menginginkan kemewahan dan kemegahan. Maka, Beliau juga menginginkan agar Masjid Syuhada dibangun dengan megah. Namun demikian, Beliau menyindir Mr. Asaat terkait konsep pembangunan masjid yang menurutnya masih serupa dengan langgar kecil, bukan masjid jami’ sebagaimana yang dikatakan. Hal itu membuat Mr. Asaat beserta anggota panitia 17 lainnya bekerja lebih keras untuk mencari sumber dana serta memperbaiki konsep pembangunan masjid agar menjadi megah sebagaimana yang dikatakan oleh Presiden Soekarno. Hal itu juga diamini oleh tokoh-tokoh bangsa lainnya yang kemudian juga memberikan berbagai macam dukungan untuk kelancaran pembanguan Masjid Syuhada.[5]

Membangun sebuah masjid yang megah sebagaimana yang dikatakan oleh Presiden Soekarno bukanlah hal yang mudah, terutama di tengah kondisi bangsa yang masih belum stabil paska-kemerdekaan. Terlebih lagi menyoal keuangan negara, Indonesia tentu belum cukup mampu untuk mendirikan bangunan masjid semacam itu. Namun demikian, para panitia bekerja keras untuk mengimpun dana dari para dermawan dan hartawan di Yogyakarta. Para tokoh-tokoh bangsa pun tidak sedikit yang memberikan harta bendanya demi lancarnya pembangunan Masjid Syuhada, termasuk Presiden Soekarno sendiri. Pada saat itu, panitia memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan Masjid Syuhada adalah sekitar 1 juta rupiah. Namun demikian, total pengeluaran yang ada ternyata lebih dari 1,2 juta rupiah. Pengeluaran itu hanya mampu mencakup bangunan masjid (material), belum termasuk perlengkapan di dalam masjid seperti sajadah, mimbar, kipas angin, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, panitia pembangunan masjid juga tidak dibayar sedikit pun. Mereka yang kebanyakan adalah pra tokoh bangsa dan masyarakat bahkan mengeluarkan pengeluaran pribadinya untuk pembangunan Masjid Syuhada. Dalam prosesnya, pembangunan Masjid Syuhada juga tidak membayar kontraktor khusus. Seluruh proses pembangunan murni dikerjakan oleh rakyat Yogyakarta sendiri. Mereka menyadari betul, keuangan dan ekonomi negara sedang tidak kondusif. Pada saat itu, Kepala Pembangunan Nasional, Supomo, didampingi oleh penasihat teknik dari N.V. Associatie Jakarta bernama Ir. R. Feenstra bertanggung jawab untuk mengawasi pembangunan masjid. Sementara itu, H.M. Zaini W.S. dan kawan-kawan diberikan tanggung jawab untuk mencari alat, bahan, dan pekerja (tukang) yang akan mengerjakan pembangunan masjid.[4]

Kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1950, dilakukan peletakan kiblat pertama yang dipimpin oleh K.H. Badawi. Peletakan kiblat menjadi sangat penting sebelum pembangunan masjid dilakukan, karena berkaitan dengan arah shalat. Pada tanggal 23 September 1950, peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia, dilaksanakan. Peletakan batu pertama juga dihadiri oleh Sjafruddin Prawiranegara dan Paku Alam VIII yang membacakan amanat dari Presiden Soekarno yang berhalangan hadir dalam kesempatan itu. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 20 September 1952, Masjid Syuhada selesai dibangun dan diresmikan. Kegiatan peresmian Masjid Syuhada dihadiri oleh Presiden Soekarno, para menteri, dan para duta besar negara Islam. Setelah kegiatan peresmian berupa pengguntingan pita berlangsung, mereka melakukan Shalat Dhuhur berjamaah di dalam masjid yang dilanjutkan dengan kegiatan berjalan-jalan di sekitar Masjid Syuhada untuk menikmati kemegahan yang ada.[6]

Falsafah Bangunan Masjid[sunting | sunting sumber]

Beberapa bangunan detail yang ada di dalam Masjid Syuhada bukan dibuat tanpa makna. Setiap bagian yang ada memiliki maksud dan perencenaan tertentu yang bermakna filosofis tertentu.

Di lantai utama masjid, terdapat lubang ventilasi pada mihrab yang berjumlah lima. Jumlah tersebut sesuai dengan rukun Islam yang juga berjumlah lima, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu mengerjakan. Lubang ventilasi tersebut juga menjadi jalur sirkulasi udara yang memberikan kesejukan pada bagian dalam masjid. Secara langsung, hal itu memiliki makna bahwa mengerjakan lima rukun Islam dengan sungguh-sungguh akan memberikan kesejukan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan.[7]

Di samping itu, di lantai utama juga terdapat ventilasi udara yang berjumlah dua puluh. Ventilasi udara tersebut langsung masuk ke dalam ruangan yang dipergunakan sebagai ruang kuliah. Angka dua puluh menyimbolkan dua puluh sifat Allah SWT. Jumlah tersebut dimaksudkan agar para peserta didik selalu mengingat dua puluh sifat Allah selama menuntut ilmu dan mengamalkan ilmunya. Selain itu, peserta didik juga diharapkan tetap rendah hati dan tidak sombong dengan berbagai kepandaian dan kelebihannya. Pembuatan dua puluh ventilasi udara tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan kesejukan udara kepada peserta didik mengingat pada masa itu keberadaan air conditioner (AC) belum terlalu populer.

Di lantai kedua Masjid Syuhada terdapat dua buah pilar besar yang dimaksudkan sebagai agama Islam yang menjadi pengingat manusia agar senantiasa ingat pada dunia dan akhirat. Manusia, terutama umat Islam diharapkan untuk tidak hanya mengedepankan kepentingan duniawi, melainkan juga harus mengedepankan urusan akhirat yang jauh lebih utama. Namun demikian, manusia juga tidak hanya harus memikirkan urusan akhirat, kepentingan duniawi juga harus dipikirkan. Keduanya harus berimbang satu sama lain.

Di samping itu, dua pilar penyangga di lantai ke-2 Masjid Syuhada juga menyimpan makna filosofis bagi kehidupan manusia. Manusia harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesama makhluk ciptaan Allah (Habluminannas) dan menjaga hubungan baik dengan Allah SWT (Habluminallah). Masjid Syuhada tidak hanya mengajarkan kepada manusia mengenai bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, melainkan juga bagaimana menjaga hubungan dengan sesama manusia. Keduanya harus berjalan dengan seimbang. Masjid Syuhada juga mengajarkan keseimbangan untuk membagi waktu, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya dengan cara seimbang. Masjid Syuhada bukan hanya menjadi tempat ibadah shalat berjamaah, melainkan juga tempat untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan semangat perjuangan para syuhada yang mempertahankan Indonesia.[7]

Simbol akan nasionalisme itu masih melekat pada bangunan Masjid Syuhada dan terawat dengan baik meskipun umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Simbol yang dipergunakan oleh Masjid Syuhada adalah tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu 17 Agustus 1945. Simbol tersebut dipilih untuk mengenang jasa para pahlwan (syuhada) yang telah berjuang mati-matian untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, simbol tersebut juga dipilih untuk menunjukan kepada generasi penerus tentang semangat nasionalisme para pejuang yang patut untuk diteladani. Secara lebih rinci, angka 17 dalam simbol tersebut digambarkan melalui jumlah anak tangga utama yang berjumlah 17. Anak tangga tersebut dibuat karena pada masa awal pembangunan kondisi tanah di sekitarnya lebih rendah daripada pintu masuk utama masjid. Keberadaan anak tangga sangat diperlukan oleh para jamaah. Sementara itu, angka delapan disimbolkan dengan adanya pilar gapura di depan anak tangga utama yang berbentuk segi delapan. Pilar-pilar gapura tersebut menjadi satu kesatuan dengan bangunan masjid dan tidak terpisah seperti berada menjorok ke depan dari bangunan. Keberadaan pilar tersebut menjadi “penyambut” bagi para jamaah yang datang ke Masjid Syuhada. Lebih jauh lagi, angka ‘45’ dalam Masjid Syuhada disimbolkan dengan jumlah kupel pada bagian atap masjid. Empat kupel berada pada atap bagian bawah, sedangkan lima kupel berada pada atap bagian atas yang salah satunya merupakan kubah utama Masjid Syuhada. Atap Masjid Syuhada sendiri masih meneraplan hiasan-hiasan khas Jawa yang disebut dengan Mustaka. Atap tersebut juga memegang konsep meru yang merupakan sisa peninggalan masa Hindu dan budha atau sebelum Islam berkembang di Nusantara. Hal itu menunjukkan bahwa meskipun Masjid Syuhada dianggap sebagai masjid modern, bangunan masjid sama sekali tidak meninggalkan karakter atau falsafah setempat yang berbudaya Jawa. Hal itu sebagaimana terjadi di masjid-masjid kuno khas Jawa seperti masjid di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[4]

Lembaga Pendidikan di Masjid Syuhada[sunting | sunting sumber]

Masjid Syuhada tidak hanya bertekad menjadi tempat shalat atau kegiatan keagamaan lainnya, melainkan juga menjadi pusat peradaban umat Islam. Untuk merealisasikan tekad tersebut, dibangunlah beberapa lembaga pendidikan di Masjid Syuhada. Beberapa di antaranya adalah:[7]

Taman Kanak-Kanak Masjid Syuhada[sunting | sunting sumber]

TK Masjid Syuhada[8] didirikan oleh Sudarpo, Badjoeri Ali, Hj. Siti Safiah, Bapak dan Ibu Kadarsiman, serta didukung oleh lembaga-lembaga keagamaan lain di daerah Kotabaru. TK tersebut resmi didirikan pada tanggal 16 Agustus 1960 dengan tujuan khusus untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada anak-anak sejak dini. Dalam praktiknya, TK Masjid Syuhada menekankan dua aspek penting kepada peserta didik, yaitu pendidikan agama Islam dan sikap nasionalisme.

Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada[sunting | sunting sumber]

Pendirian lembaga pendidikan tersebut tidak terlepas dari munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. PKI membangun sebuah perguruan tinggi bernama Universitas Rakyat Mataram sekitar tahun 1961. Tujuannya tentu untuk menyebarkan ideologi komunis lebih cepat lewat bangku pendidikan. Untuk membendung ideologi komunis berkembang di Yogyakarta, YASMA yang merupakan salah satu lembaga di bawah naungan Masjid Syuhada membangun universitas bernama Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah Masjid Syuhada pada 10 November 1961. Pendirinya antara lain Drs. Widjisaksono, Drs. Shalahudin Sanusi dan Drs. Rusdi Ahmad Syuhada. Lambat laun, lembaga pendidikan tersebut berganti nama menjadi UNRA PTMS yang mewajibkan mahasiswanya untuk memperdalam ilmu agama Islam guna memperdalam keyakinan dan keimnan. UNRA PTMS lambat laun juga berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada[9] atau STAIMS.

Sekolah Dasar Masjid Syuhada[sunting | sunting sumber]

Masih dibawah naungan YASMA, Sekolah Dasar Masjid Syuhada[10] didirikan pada 25 Juli 1995 dengan adanya surat izin operasional yang ditandatangani oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendirian SD Masjid Syuhada juga tidak luput dari peran para orang tua yang menyekolahkan anaknya di TK Masjid Syuhada. Mereka ingin anak-anaknya terus mempelajari ilmu agama Islam lewat sekolah formal. Di dalam SD Masjid Syuhada, para siswa juga diajarkan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sejak duduk di bangku kelas satu.

SMP IT Masjid Syuhada[sunting | sunting sumber]

Berdirinya SMP IT Masjid Syuhada[11] ditandai dengan disahkannya SK Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Yogyakarta No. 1888/853 tahun 2004. SMP IT Masjid Syuhada pertama kali beroperasi pada tanggal 25 Maret 2004 dibawah kepemimpinan Dra. Hj. Kadarini (periode tahun 2004-2010) yang juga merupakan anggota dari YASMA. Meskipun terhitung sebagai sekolah baru, beberapa penelitian menyebutkan bahwa SMP IT Masjid Syuhada memiliki kompetensi yang tidak kalah dibandingkan sekolah di tingkat kota, kabupaten, bahkan nasional lainnya. Saat ini, SMP IT Masjid Syuhada berada dibawah pimpinan Meilani Noor Khasanah.

Referensi[sunting | sunting sumber]