Manusia dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Manusia dalam Islam dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia. Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepadanya dan menjadi khalifah di Bumi. Dalam Al-Qur'an, manusia disebut dengan beberapa istilah yaitu kata basyar, naas, insaan, bani Adam dan khalifah serta kata unasiy, insy, dan ins.

Dalam pandangan Al-Qur'an, manusia adalah makhluk jasmani karena memiliki raga, dan makhluk rohani karena memiliki jiwa. Penciptaan manusia pertama dan manusia kedua langsung berbentuk jasad, sedangkan keturunannya diciptakan dari air mani laki-laki yang memancar dan bercampur.

Manusia diberikan fitrah yang membedakannya dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Fitrah ini diberikan untuk melaksanakan perannya dalam membentuk hubungan baik kepada Allah dan hubungan baik dengan sesama manusia. Selain itu, manusia memiliki potensi berupa akal, jasad dan hati yang membuat penafsirannya menjadi beragam oleh para ahli tafsir.

Terminologi[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa terminologi manusia di dalam Al-Qur'an. Kata yang berarti manusia di dalam Al-Qur'an meliputi kata ins, basyar, naas, insaan dan bani Adam.[1] Kata ins disebutkan sebanyak 16 kali. Kata naas disebutkan sebanyak 240 kali. Kata insan disebutkan sebanyak 64 kali. Kata Bani Adam disebutkan 7 kali. Selain itu, manusia dirujuk pula dengan kata khalifah atau khalaif sebanyak 6 kali. Ayat-ayat yang menyebutkan tentang manusia ini memberitahu tentang kejadian dan tugas manusia. Selain itu, ayat-ayat ini juga menjelaskan sifat manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir, merasa dan beragama.[2]

Basyar[sunting | sunting sumber]

Manusia dalam pengertian basyar adalah anak keturunan Adam yang memiiliki fisik dengan sifat suka makan dan berjalan ke pasar. Keberadaan fisik dalam pengertian basyar menjadikan manusia secara keseluruhan adalah anak keturunan Adam. Penyebutan kata basyar di dalam Al-Qur'an sebanyak 36 kali. Sebanyak 35 kata disebutkan dalam bentuk tunggal. Sedangkan satu kata lainnya dalam bentuk mutsanna.[3] Kata basyar disebutkan dalam 26 surah di dalam Al-Qur'an.[4]

Bani Adam[sunting | sunting sumber]

Penggunaan istilah Bani Adam di dalam Al-Qur'an memperlihatkan bahwa Adam adalah leluhur dari semua individu manusia. Di sisi lain, istilah Bani Adam memperlihatkan bahwa semua manusia merupakan keturunan dari Adam. Istilah Bani Adam berkaitan dengan sejarah penciptaan manusia.[5]

Unasiy, insy, dan ins[sunting | sunting sumber]

Selain kata basyar, insan dan bani Adam, kata-kata lain yang dipergunakan Al-Quran untuk merujuk kepada manusia adalah kata unasiy, insy dan ins. Ketiga kata ini hanya disebutkan dalam jumlah yang sedikit. Kata unasiy disebut dalam Al-Qur'an sebanyak 5 kali. Makna dari kata ini adalah kelompok atau golongan manusia. Kata insy merupakan bentuk jamak dari kata insan dan hanya disebutkan sekali saja di dalam Al-Qur'an. Arti dari kata insy adalah sekumpulan manusia dalam jumlah yang banyak. Sedangkan kata ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur'an. Pemakaian kata ins selalu disertai dengan pemakaian kata jin. Pemakaian kedua kata ini selalu bermakna sebagai pasangan makhluk Tuhan yang mukalaf.[6]

Penciptaan[sunting | sunting sumber]

Dalam hal penciptaan makhluk oleh Allah, manusia merupakan makhluk yang paling mulia penciptaannya dan paling terbaik atas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Ketentuan ini diwahyukan oleh Allah dan disabdakan oleh Nabi Muhammad melalui Surah Al-Baqarah ayat 30 dan Surah Al-Isra' ayat 70.[7]

Dalam perspektif Al-Qur'an, manusia merupakan makhluk jasmani dan makhluk rohani. Karena manusia memiliki raga dan jiwa.[8] Dalam pandangan Islam, manusia memiliki substansi berupa materi dan roh. Subtansi materi pada manusia berasal dari Bumi, sedangkan substansi roh berasal dari Tuhan. Manusia tidak dapat dikatakan sebagai manusia jika salah satu dari kedua substansi ini tidak ada pada diri suatu individu. Roh dipandang sebagai hakikat dari manusia, sedangkan jasad hanyalah alat bagi roh.[9]  

Penciptaan manusia dibagi menjadi dua tahap menurut Al-Qur'an. Tahap pertama adalah manusia pertama. Sedangkan tahap kedua adalah penciptaan manusia dari manusia pertama. Manusia pertama yang diciptakan oleh Allah adalah Adam. Kemudian Allah menciptakan Hawa sebagai istri Adam dari bahan yang sama dengannya. Melalui Adam dan Hawa lahirlah keturunan mereka yang sangat banyak. Manusia kedua (Hawa) diciptakan dari tanah tanpa roh. Setelah jasadnya berbentuk utuh barulah Allah meniupkan roh ke dalam jasad tersebut. Sedangkan keturunan Adam dan Hawa diciptakan dari pancaran dan campuran air mani laki-laki.[10]

Keistimewaan[sunting | sunting sumber]

Manusia merupakan diciptakan oleh Allah sebagai mahluk dengan sebuah keistimewaan. Keberadaan keistimewaan ini menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya di Bumi. Keistimewaan ini berupa kemampuan untuk berpikir. Kemampuan ini diberikan agar manusia mampu memahami hakikat tentang dirinya dan tentang segala sesuatu di selain dirinya.[11]

Hakikat[sunting | sunting sumber]

Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa hakikat manusia adalah sebagai mahkluk ciptaan Allah yang diberi tugas-tugas yang mulia dari-Nya.[12] Manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah di Bumi. Pelaksanaan tugas ini diberikan kemampuan oleh Allah dengan pemberian fitrah.[13]

Peran[sunting | sunting sumber]

Hubungan baik sebagai muslim[sunting | sunting sumber]

Manusia yang berstatus sebagai muslim memiliki dua macam hubungan baik yang merupakan suatu kewajiban baginya. Pertama, hubungan baik dengan Allah. Kedua, hubungan baik dengan sesama manusia. Kedua jenis hubungan baik ini diperintahkan oleh Allah dalam Surah An-Nisa ayat 36. Ayat ini memberitahukan bahwa hubungan baik antara manusia dengan Allah dilaksanakan dengan cara tidak berbuat syirik, tidak menyombongkan diri dan tidak membanggakan diri di hadapan Allah. Sedangkan hubungan baik dengan sesama manusia dilaksanakan dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Hubungan baik dengan sesama manusia juga dilaksanakan kepada tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan budak yang dimiliki.[14]

Hubungan baik kepada Allah[sunting | sunting sumber]

Hubungan baik kepada Allah merupakan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah. Sifat dari hubungan ini adalah pengabdian.[15] Hubungan baik kepada Allah dilakukan dengan tidak berbuat syirik dan hanya menyembah dan beribadah kepada-Nya. Larangan perbuatan syirik berlaku untuk syirik kecil maupun syirik besar. Nabi Muhammad dalam hadis periwayatan Imam Ahmad menyatakan bahwa ia takut umatnya melakukan syirik kecil, yaitu riya'.[14]

Hubungan baik dengan sesama manusia[sunting | sunting sumber]

Hubungan baik dengan sesama manusia merupakan suatu keharusan bagi individu manusia. Karena manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain. Surah An-Nisa' ayat 36 menyebutkan nama-nama dari kelompok manusia yang harus menerima hubungan baik dari sesama manusia. Kelompok ini yaitu kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Hubungan baik dengan sesama manusia juga harus dilaksanakan kepada tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan budak yang berada dalam kepemilikan pribadi.[16]

Penafsiran[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an menyediakan banyak sekali gambaran mengenai manusia dan hikmah penciptaannya.[17] Pemahaman mengenai manusia dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara. Pertama, menemukan arti dari kata-kata yang mewakili makna manusia di dalam Al-Qur'an. Kedua, menelusuri kedudukan dan potensi manusia melalui pernyataan di dalam Al-Qur'an.[18]

Dalam mengkaji tentang manusia sesuai dengan pandangan Al-Qur'an, para ahli tafsir memberikan pendapat yang berbeda-beda. Manusia dapat ditafsirkan antara lain dengan metode tafsir ijmali, tafsir ilmi, tafsir bayani, tafsir maudhu’i. Beragamnya metode penafsiran tentang manusia disebabkan oleh keberadaan potensi berupa akal, jasad dan hati pada manusia. Ketiga potensi tersebut membuat manusia mampu terus mengalami perkembangan dalam memenuhi peran dan tanggung jawabnya.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Zahro, Aminatuz (2017). "Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an". Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam. 10 (1): 80. ISSN 2085-6539. 
  2. ^ Anis, Muh. (2008). "Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an: Kajian Kependidikan" (PDF). Kependidikan Islam. 3 (2): 69. 
  3. ^ Nurmadiah (2019). "Manusia dan Agama: Konsep Manusia dan Agama dalam Al-Quran". Pendais. 1 (1): 30. 
  4. ^ Syarif, Miftah (2017). "Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam" (PDF). Jurnal Al-Thariqah. 2 (2): 136. ISSN 2527-9610. 
  5. ^ Junus, Ismet (2013). Manusia Menurut Hidayah Al-Qur'an (PDF). Medan: Pusat Islam Universitas Medan Area. hlm. 13–14. ISBN 978-602-17953-2-3. 
  6. ^ Nurdin, Roswati (2013). "Manusia dalam Sorotan Al-Qur'an: Suatu Tinjauan Tafsir Maudhui" (PDF). Tahkim. IX (1): 157. 
  7. ^ Samsuri, Suriadi (2020). "Hakikat Fitrah Manusia dalam Islam". Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan Islam. 18 (1): 87–88. ISSN 2685-6581. 
  8. ^ "Manusia dalam Al-Qur'an dan Kaitannya dengan Pendidikan". Jurnal Kajian dan Pengembangan Umat. 1 (1): 104. 2018. 
  9. ^ Amin, M. (2021). "Manusia dalam Pandangan Islam". Al Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan Islam. 1 (2): 70. 
  10. ^ Muhajir (2016). "Jasmani Manusia dalam Perspektif Islam". Jurnal Qathrunâ. 3 (1): 2–3. 
  11. ^ Abdullah, Budi (2018). "Konsep Manusia dalam Islam: Studi terhadap Eksistensi Manusia" (PDF). Wahana Inovasi. 7 (2): 73. ISSN 2089-8592. 
  12. ^ Sada, Heru Juabdin (2016). "Manusia dalam Perspektif Agama Islam" (PDF). Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam. 7: 130. ISSN 2086-9118. 
  13. ^ Kurniawati, E., dan Bakhtiar, N. (2018). "Manusia Menurut Konsep Al-Qur`an dan Sains". JNSI: Journal of Natural Science and Integration. 1 (1): 79. ISSN 2620-4967. 
  14. ^ a b Yani 2014, hlm. 17.
  15. ^ Hidayat, Rahmat (2017). "Konsep Manusia dalam Alquran" (PDF). Almufida. II (2): 118. ISSN 2549-1954. 
  16. ^ Yani 2014, hlm. 17-18.
  17. ^ Mulyadi (2017). "Hakikat Manusia dalam Pandangan Islam". Jurnal At-Taujih. 3 (1): 29. ISSN 2502-0625. 
  18. ^ Syafe'i, Isop (2012). "Hakikat Manusia Menurut Islam" (PDF). Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi. 5 (1): 743. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]