Kebijakan Serba Tiga
Kebijakan Serba Tiga (Hanzi: 三光政策; Pinyin: Sānguāng Zhèngcè) adalah kebijakan bumi hangus yang diterapkan oleh Jepang di Tiongkok selama Perang Dunia II. "Serba Tiga" memiliki arti "membunuh semua", "membakar semua" dan "menjarah semua".[1] Kebijakan ini dirancang sebagai pembalasan terhadap kaum komunis yang memimpin Serangan Seratus Resimen pada Desember 1940.[2]
Istilah “Serba Tiga” pertama kali dipopulerkan di Jepang pada 1957, ketika seorang mantan tentara Jepang yang dilepaskan dari Pusat Penahanan Kejahatan perang Fushun menulis sebuah buku yang berjudul “The Three Alls: Japanese Confessions of War Crimes in China” (Serba tiga: Pengakuan Kejahatan Perang Jepang di Tiongkok) (Jepang: 三光、日本人の中国における戦争犯罪の告白, Sankō, Nihonjin no Chūgoku ni okeru sensō hanzai no kokuhaku). Buku tersebut menceritakan pengakuan kejahatan perang yang dilakukan oleh veteran tentara Jepang di bawah pimpinan Jenderal Yasuji Okamura. Buku ini cukup kontroversial sehingga penerbitannya terpaksa dihentikan karena menerima ancaman dari militer Jepang dan kaum ultranasionalis.[3]
Kebijakan
[sunting | sunting sumber]Kebijakan ini dimulai pada 1940 oleh Mayor Jenderal Ryūkichi Tanaka, dan diterapkan secara penuh pada 1942 di Tiongkok Utara oleh Jenderal Yasuji Okamura. Jenderal Yasuji Okamura membagi wilayah tersebut menjadi lima provinsi (Hebei, Shandong, Shensi, Shanhsi, Chahaer) dengan label “ditenangkan”, “semi-ditenangkan” dan “belum ditenangkan”. Markas Besar Kekaisaran menyetujui kebijakan ini pada 3 Desember 1941 dengan nomor 575. Okamura terlibat dalam pembakaran desa-desa, penyitaan hasil panen gandum dan mobilisasi para petani untuk membangun dusun-dusun kolektif. Pembangunan ini juga termasuk penggalian parit-parit dan pembangunan ribuan mil dinding-dinding penahan parit, menara pengawas dan jalan. Operasi ini ditujukan untuk menghancurkan “musuh yang berpura-pura menjadi warga lokal” dan “semua laki-laki yang berusia antar 15 - 60 yang dicurigai sebagai musuh.[4]
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1996, sejarawan Mitsuyoshi Himeta mengklaim bahwa Kebijakan Serba Tiga telah disetujui oleh Kaisar Hirohito sendiri dan bertanggung jawab (baik langsung maupun tidak langsung) atas kematian 2,7 juta warga sipil Tiongkok. Hasil penelitian ini dan karya Akira Fujiwara tentang detail operasi tersebut dikomentari oleh Herbert P. Bix dalam bukunya Hirohito and the Making of Modern Japan yang memenangkan penghargaan Pulitzer Prize. Dalam buku tersebut ia mengklaim bahwa jumlah korban kebijakan ini melebihi jumlah korban peristiwa Pemerkosaan Nanking, baik dari jumlah maupun dalam kebrutalannya. Efek dari strategi Jepang ini lebih buruk daripada taktik militer Tiongkok yang menggunakan warga sipil untuk melawan Jepang. Diduga di beberapa tempat, Jepang juga menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil, dan hal ini bertentangan dengan perjanjian internasional.
Kontroversi
[sunting | sunting sumber]Seperti beberapa isu sejarah dalam Perang Dunia II, kebijakan Serba Tiga ini masih menjadi isu yang kontroversial. Karena kebijakan ini lebih dikenal dengan nama Tionghoanya, beberapa kelompok nasionalis di Jepang meragukan bahwa kebijakan semacam ini pernah diterapkan oleh Jepang. Isu ini menjadi simpang siur dengan taktik bumi hangus yang juga dilakukan pemerintahan Kuomintang yang terjadi di beberapa tempat di Tiongkok bagian tengah dan utara terhadap pendudukan Jepang dan warga negara Tiongkok di daerah yang didukung oleh Partai Komunis Tiongkok. Di Jepang peristiwa ini dikenal dengan "The Clean Field Strategy" (清野作戦 , Seiya Sakusen). Pasukan Tiongkok akan menghancurkan rumah-rumah dan ladang warga sipil sendiri untuk menghancurkan setiap persediaan dan perlindungan yang ada dan bisa dimanfaatkan oleh pasukan Jepang.[5] Berdasarkan bukti dan dokumentasi yang ada, beberapa sejarawan setuju bahwa pasukan kekaisaran Jepang melakukan kejahatan perang terhadap orang-orang Tiongkok tanpa pandang bulu.
Adaptasi Film
[sunting | sunting sumber]Kebijakan ini menjadi latar belakang Film The Children of Huang Shi, bercerita tentang invasi Jepang antara tahun 1938 hingga 1945.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ (Inggris) Fairbank, J. K.; Goldman, M. (2006). China: A New History (edisi ke-2nd). Harvard University Press. hlm. 320. ISBN 9780674018280.
- ^ Grasso, June; Corrin, Jay; Kort, Michael. Modernization And Revolution In China: From the Opium Wars to World Power, pg. 129
- ^ (Inggris) Herbert P. Bix, Hirohito and the Making of Modern Japan, HarperCollins, 2001, p. 657.
- ^ (Inggris) Herbert Bix, Hirohito and the Making of Modern Japan, 2001, p. 365, citing an order drafted by Ryūkichi Tanaka.
- ^ (Inggris) Harries. Soldiers of the Sun. page 235.
- ^ (Inggris) "The Long March of a forgotten English Hero". The Times (London).
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Some of the content of this article comes from the equivalent Japanese-language article (accessed on April 7, 2006).
- (Inggris) Bix, Herbert P. Hirohito and the Making of Modern Japan. HarperCollins, 2000. ISBN 0-06-019314-X.
- (Inggris) Fujiwara, Akira (藤原彰). The Three Alls Policy and the Northern Chinese Regional Army (「三光作戦」と北支那方面軍), Kikan sensô sekinin kenkyû 20, 1998.
- (Inggris) Harries, Meirion (1994). Soldiers of the Sun: The Rise and Fall of the Imperial Japanese Army (edisi ke-Reprint). New York: Random House. ISBN 0-679-75303-6.