Kaghati

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kaghati adalah layangan khas dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, Indonesia.[1] Bagi masyarakat Muna, layang-layang merupakan bagian dari tradisi.

Asal Usul[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Muna sudah mengenal dan memiliki bentuk layangan tradisional yang bernama Kaghati. 'Kaghati' atau 'Kaghti' berarti layang-layang dalam bahasa setempat.[2]

Layangan khas Pulau Muna ini memiliki perbedaan jika dibandingkan layangan biasa. Bahan dasar untuk membuat layangan ini adalah daun kolope. Kaghati dibuat secara tradisional dengan bahan-bahan yang berasal dari alam. Daun kolope atau umbi hutan sebagai bahan utama layarnya, kulit bambu untuk rangka, dan serat nanas hutan yang sudah dipintal menjadi tali.

Seluruh bahan diolah secara alami hingga menjadi layangan yang tahan air. Lembaran daun kolope yang telah dikeringkan lalu dipotong ujungnya. Satu per satu daun itu dijahit dengan menggunakan lidi dari bambu sebagai rangka layangan dan talinya dijalin dari serat nanas.

Kaghati diyakini sebagai peninggalan bersejarah yang telah berusia ribuan tahun. Layangan ini pun menjadi legenda di masyarakatnya.

Mereka memiliki kepercayaan bahwa Kaghati akan menjelma sebagai payung yang meneduhkan pemiliknya dari sinar matahari setelah meninggal dunia.[2] Ketika si pemilik layangan ini meninggal dunia, dia pergi sambil berpegangan pada tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang tersebut.

Selain itu, Kaghati menjadi media hiburan bagi petani Muna pada masa lalu. Mereka biasanya menerbangkan layang-layang saat menjaga kebun.

Masyarakat Pulau Muna biasanya menerbangkan Kaghati setelah panen raya. Layangan ini dapat disaksikan mengudara pada bulan Juni hingga September. Sebab, pada bulan-bulan itu angin timur sedang bertiup kencang.

Kaghati ini kedap air sehingga tahan berada di udara selama berhari-hari atau sekehendak pemiliknya kapan pun ingin diturunkan. Bila selama tujuh hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh, pemilik layang-layang akan menggelar syukuran. Hobi ini telah ada sekitar 400 tahun di Muna. Bahkan, Pulau Muna telah beberapa kali menjadi tuan rumah festival layang-layang.[2]

Selain Kaghati, masyarakat Pulau Muna juga mengenal layangan bernama kamanu-manu. Layang-layang ini terbuat dari tiga helai daun kolope yang dirangkai dengan lidi (lio) dari bambu, dan dipasangi bulu ayam di sisi kiri dan kanannya.

Setiap layangan memiliki ukuran kamumu masing-masing sesuai seleranya. Suara yang dihasilkannya juga menjadi spesifik dan dapat mudah dikenali. Kamumu adalah semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang apabila ditiup angin akan bergetar dan menghasilkan bunyi khas, terutama saat layangan dibiarkan terbang pada malam hari.[2]

Bagi yang sering mendengar bunyi kamumu, dia akan segera dapat menebak pemilik layang-layang yang sedang terbang di langit.

Pembuatan Kaghati[sunting | sunting sumber]

Membuat daun kolope menjadi kertas layang-layang tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang di Pulau Muna yang bisa membuat kaghati kolope. Kolope adalah tanaman yang familiar disebut gadung atau umbi hutan.

Kolope hanya merekahkan daunnya sekitar bulan Mei, saat musim penghujan tiba. Namun saat itu daun masih terlalu muda. Dan baru sekitar bulan Juli daun kolope sudah cukup matang untuk dipetik sebagai bahan layangan.[2]

Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu dipanaskan di atas bara api. Baru setelah itu daun dijemur selama dua hari. Hasilnya bahan layangan yang elastis dan kedap air.

Untuk satu layang-layang, dibutuhkan sekitar 100 lembar daun Kolope. Daun-daun itu direkatkan satu sama lain dengan menggunakan lio dari bambu. Lembaran kolope tersebut dikepik dengan kerangka kayu dan disimpan selama lima hari. Berikutnya, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang. Sambil menunggu, dibuat kerangka layang-layang dari bambu (patu-patu) dan talinya dari daun nenas hutan.

Daun nenas yang dipetik juga harus cukup tua, dan harus disimpan selama dua hari sebelum diolah. Setelah kering, daun diambil seratnya dan dipilin menjadi seutas tali yang siap dipakai. Satu helai daun nenas hutan dapat menghasilkan 10 meter tali.

Saat ini, kaghati kolope masih dimainkan petani di Pulau Muna terutama setelah masa panen. Saat terbaik untuk menerbangkan kaghati adalah di bulan Juni hingga September, ketika bertiup angin timur yang cukup kencang sehingga mampu menerbangkan layang-layang selama tujuh hari tanpa pernah diturunkan.

Ukuran Kaghati dengan skala tertentu mampu membuat layang-layang ini terbang tinggi dan sanggup mengudara selama beberapa hari. Ketangguhan layang-layang kaghati membuat masyarakat asing menjadi kagum.

Layangan Pertama di Dunia[sunting | sunting sumber]

Selama ini layang-layang asal negara Cina atau Tiongkok diklaim sebagai yang tertua di dunia.[3] Namun, Seorang ahli layang-layang internasional sekaligus antropolog bernama Wolfgang Bieck menyanggah fakta itu.[4] Dia mengklaim bahwa layangan dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, merupakan layang-layang pertama di dunia. Pernyataan Wolfgang itu berdasarkan temuannya di Gua Sugipatini, Desa Liang Kobori sekitar delapan kilometer dari Raha, ibu kota Pulau Muna.[2]

Ketertarikan Wolfgang yang juga salah seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography untuk meneliti keunikan Kaghati berawal dari sebuah festival layang-layang internasional, Berck sur Mer. Festival ini diselenggarakan di Prancis tahun 1997.[5]

Kaghati keluar sebagai juara pertama pada lomba layang-layang itu dan berhasil mengalahkan Jerman. Keberadaan layangan tradisional ini mulai mencuri perhatian berbagai kalangan karena keunikan dan ketangguhannya. Layangan ini berbahan lembaran daun, tapi sanggup mengudara tinggi dengan durasi yang lama.

Di dinding batu Gua Sugipatini, Wolfgang menemukan lukisan tangan manusia yang menggambarkan seseorang sedang menerbangkan layangan. Lukisan itu dibuat menggunakan tinta warna merah dari oker atau campuran tanah liat dengan getah pohon. Dia memperkirakan Kaghati telah berumur 4.000 tahun.[2]

Keberadaan lukisan di gua itu diperkirakan berasal dari masa 9.000 hingga 5.000 sebelum masehi (SM). Artinya, layangan itu lebih tua usianya dibandingkan permainan layang-layang di Tiongkok yang ditemukan pada 2.800 SM.[5]

Hasil penelitian Wolfgang ini telah dipublikasikan pada sebuah majalah di Jerman bertajuk The First Kitman pada 2003.

Kaghati kolope beberapa kali menjuarai festival layang-layang internasional.[6] Kemenangan ini membuat Pulau Muna terkenal di dunia.

Layangan ini sering kali diikutkan dalam berbagai festival layang-layang, baik dalam skala nasional maupun internasional.Kaghati pernah diterbangkan dalam Festival Layang-layang Nasional 2016 di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, pada 27 dan 28 Agustus 2016. Festival yang diselenggarakan Perkalin (Perkumpulan Pekarya Layang-Layang Indonesia) dan Dinas Pariwisata ini diikuti 45 peserta. Para peserta datang dari berbagai daerah, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.[7]

Pada tahun 2014, Pemerintah Kabupaten Muna diminta untuk mengusulkan Kaghati, menjadi warisan dunia kepada UNESCO. Permintaan tersebut disampaikan Ketua Asosiasi Leggong Indonesia, Sari Majid saat menghadiri pembukaan Festival Layang-layang Internasional di Raha.[8]

Rekor Dunia[sunting | sunting sumber]

Pertunjukan layang-layang menjadi salah satu suguhan di TAFISA Games 2016. Layang-layang daun kolope asal Sulawesi Tenggara berpeluang meraih rekor dunia.[9]

Layang-layang yang terbuat dari daun kolope itu berhasil diterbangkan di Arena Jakarta Garden City pada 8 Oktober 2016. Ukuran layang-layang itu 5 meter x 4,3 meter. Para pembuat layangan itu adalah La Masila, La Masili, Laode Pemusu, dan La Negara. La Masila bersaudara yang merupakan generasi ketiga pecinta layang-layang daun ini mengumpulkan sekitar1.300 daun kolope untuk dirajut.[4]

Layang-layang itu pun mampu mengudara lebih dari 20 menit, sebagai syarat untuk dicatat di Guinness World Records.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]