Wayang Kulit Cirebon: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
memulai menulis wayang kulit cirebon --- semoga bisa lanjut lain waktu.
Tag: tanpa kategori [ * ]
 
Bona Kartono (bicara | kontrib)
Baris 166: Baris 166:


=== Wilayah Inti Penyebaran Wayang Kulit Cirebon ===
=== Wilayah Inti Penyebaran Wayang Kulit Cirebon ===
Wilayah inti penyebaran wayang kulit cirebon tidak terlalu luas, yakni berada disekitar wilayah kekuasaan kesultanan cirebon diantara di [[Kabupaten Cirebon]], [[Kota Cirebon]], [[Kabupaten Indramayu]], [[Kabupaten Kuningan]], [[Kabupaten Majalengka]], [[Kabupaten Sumedang]] dan [[Kabupaten Subang]].


==Referensi==
Wilayah inti penyebaran wayang kulit cirebon tidak terlalu luas, yakni berada disekitar wilayah kekuasaan kesultanan cirebon diantara di [[Kabupaten Cirebon]], [[Kota Cirebon]], [[Kabupaten indramayu]], [[Kabupaten Kuningan]], [[Kabupaten Majalengka]], [[Kabupaten Sumedang]] dan [[Kabupaten Subang]].
{{reflist}}

[[Kategori:Wayang]]

Revisi per 4 November 2014 09.04

Wayang kulit cirebon merupakan sebuah ragam wayang kulit yang ada di nusantara dengan wilayah inti penyebarannya yang sangat terbatas, wilayah inti penyebaran wayang kulit cirebon hampir sama dengan wilayah kekuasaan kesultanan cirebon dan wilayah budaya orang Cirebon yakni dibatasi wilayah suku Betawi di barat, suku Sunda atau dalam bahasa cirebon disebut Wang Gunung di selatan dan suku Jawa atau dalam bahasa Cirebon disebut Wang Wetan di timur.

Menurut para budayawan cirebon, salah satunya adalah Ki Dalang Matthew atau lengkapnya Matthew Isaac Cohen, suluk atau syair cirebonan tertua yang menyertai pagelaran wayang kulit cirebon adalah Suluk Wujil dengan cerita Kresna Duta..

Asal-usul

Para budayawan cirebon sepakat bahwa eksistensi wayang kulit cirebon bermula dari kedatangan Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari sembilan wali atau biasa disebut Wali Sanga dalam bahasa Cirebon dimana Sunan Gunung Jati atau Sunan Jati sebagai ketuanya. Datangnya Sunan Kalijaga ke wilayah Cirebon bertujuan untuk menyebarkan dakwah islam dan media yang digunakan oleh Sunan Kalijaga pada waktu itu diantaranya adalah Wayang Kulit. Dalam budaya Cirebon terutama dalam budaya pedalangannya, Sunan Kalijaga dipercaya pada waktu itu disebut sebagai Ki Sunan Dalang Panggung, namun dalam versi yang lain Ki Dalang Sunan Panggung ini dipercaya sebagai Syekh Siti Jenar. Sunan Kalijaga ini pula yang memperkenalkan Suluk atau Syair 'Malang Sumirang yang merupakan suluk khas Cirebon.

Suluk Malang Sumirang

Terjemahan dalam bahasa Indonesia


dosa besar kecil tak diketahui
bilang dengan topik kufur dan kafir
sudah kacau pandangannya
tak melihat-lihat
tak merasa dibicarakan
sudah tak jelas arah
memang sungguh kosong
dalam kekosongan itu ada
dalam adanya itu rasa sejati
sudah tak dibicarakan
memang bukan rasa yang dirasakan
bukan rasa apa-apa
bukan rasa yang dibuat
bukan rasa ketawa
bukan rasa yang merasakan
rasa bukan pembicaraan
rasa itu meliputi
segala rasa yang terasa
rasa jati tak terasa badan raga
rasa mulia terkuasai
yang sudah sampai rasa jati
sembahyangnya tak melihat itu
seperti air mengalir sejati
tiada sejatinya
bicara tidur bangun
segala geraknya
berdoa selalu
siang malam tak henti
memuji itu siang malam
banyak jadi berhala
pendengaranku saat masih kecil
bukan Islam tanpa tertib
bukan Islam tanpa tertib
bukan Islam tanpa bertapa


bukan tanpa laku
bukan Islam tanpa aksara
bukan Islam tanpa aksara ini
ditinggal tidak sah
Islamnya itu seperti apa
yang disebut Islam itu
karena apa Islamnya
memang orang kafir itu
bukan karena makan babi
meski sembahyang
kalau belum tahu
pada kesejatian Islam
keliling kesana kemari
sebenarnya kafir kawakan

Seni Kriya

Wayang kulit cirebon sebenarnya masih serupa dengan wayang kulit purwa namun memiliki ciri khas tersendiri jika ditinjau dari sudut seni kriya, beberapa tokoh pewayangan cirebon dibuat cukup jauh berbeda dengan tatahan dan sunggingan wayang kulit purwa sebagai contoh karakter Rahwana atau Prabu Dasamuka pada Pewayangan Cirebon direfleksikan dengan kepala yang benar-benar berjumlah sepuluh dilihat dari sisi muka dan belakang karakter wayang.

Untuk karakter pewayangan yang menggunakan gelung, gelung pada wayang kulit cirebon tidak dibuat sampai menyentuh ubun-ubun karakter wayang sehingga membuat postur wayang kulit cirebon terlihat lebih langsing dan membuatnya mirip dengan Wayang kulit Bali

Wayang kulit cirebon jika dilihat dengan teliti memiliki ciri khas pada tatahan dan ukiran karakter wayangnya, motif khas cirebonan yang biasa digunakan pada tatahan dan ukiran pada wayang kulit cirebon biasanya adalah :

  • Tumpengan
  • Kepuh
  • Wringin
  • Prabon
  • Ron Jubahan
  • Ron Gajah Ngulis
  • Sumping Jubahan
  • Sumping Gajah Ngulih
  • Sumping Sekar Meloki
  • Wadasan

Sunggingan pada wayang kulit cirebon juga mengenal beberapa motif pewarnaan, diantaranya :

  • Sekabra
  • Rujak Wuni
  • Kembang Pari
  • Walang Kerik
  • Menyan Kobar
  • Mega mendung

selain tatahan, ukiran dan sunggingan yang khas pada karakter wayangnya, wayang kulit cirebon juga menyematkan beragam motif batik khas cirebon pada karakter wayang kulitnya.

Bahasa Pedalangan

Bahasa pengantar yang digunakan pada pagelaran wayang kulit cirebon bisa dibagi kedalam dua periode waktu, yakni sebelum era tahun 1980-an dan setelahnya. Pada periode sebelum era tahun 1980-an bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar pagelaran wayang kulit cirebon adalah bahasa Cirebon dengan beragam dialeknya, termasuk diantaranya bahasa Cirebon dialek Indramayu atau yang biasa disebut sebagai basa dermayon yang digunakan di wilayah budaya Indramayu. Namun setelah era tahun 1980-an bahasa yang digunakan pada pagelaran wayang kulit cirebon mulai mengalami pergeseran dari hanya menggunakan bahasa Cirebon menjadi dicampur dengan bahasa Indonesia namun dengan logat khas bahasa Cirebon.[1]

Babad dan Karakter

Pada wayang kulit cirebon penyebutan nama babad atau cerita dan karakter-karakter pewayangannya memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan penyebutan babad pewayangan dalam pagelaran wayang kulit purwa gaya yogyakarta atau surakarta, sebagai contohnya Babad alas amer disebut sebagai Babad Wanamerta dalam pagelaran wayang kulit cirebon.

Penyebutan nama karakter pewayangannya juga memiliki perbedaan, diantaranya Kala Pracona dalam wayang kulit cirebon disebut sebagai Naga Pracana dan Kala Srenggi disebut sebagai Kala Jenggi.

Jika dibandingkan antara pembawaan bahasa babad yang digunakan pada wayang kulit purwa dengan wayang kulit cirebon, dialog yang dibawakan pada pagelaran wayang kulit cirebon lebih bernafaskan Islam.

Pengembangan dan Konservasi

Popularitas wayang kulit cirebon tidak seperti wayang kulit jawa semisal gaya Yogyakarta atau gaya Surakarta yang sering ditampilkan di Televisi dan diajarkan di pusat-pusat kebudayaan wayang kulit jawa. Wayang kulit cirebon bisa dibilang tidak terlalu terkenal bahkan bagi para penggenar wayang sekalipun yang bermukim di luar pulau Jawa.[2]

Wayang kulit cirebon tidak memiliki waktu pertunjukan yang tetap yang memudahkan para turis untuk dapat menikmatinya, kesenian wayang kulit cirebon pun tidak diajarkan disebuah pusat-pusat kebudayaan seperti yang terjadi pada wayang kulit jawa dan wayang kulit cirebon juga hampir tidak pernah ditayangkan di Televisi Nasional.

Manuskrip-manuskrip pewayangan cirebon pada zaman dahulu banyak beredar dikalangan bangsawan keraton cirebon dan para peminat sastra. pagelaran wayang kulit cirebon di kalangan keraton cirebon mengalami penurunan pada akhir abad ke 19 dikarenakan masalah terbatasnya dana untuk pagelaran wayang kulit cirebon, namun penyebabnya bukan hanya soal dana saja, mulai redupnya unsur-unsur tradisional cirebon dan bangkitnya pola-pola pengajaran barat model eropa termasuk didalamnya mulai maraknya pertunjukan-pertunjukan budaya barat dan semakin disukainya sepak bola dikalangan para bangsawan cirebon terutama yang hidup di wilayah Kuta Raja atau yang sekarang sebut sebagai Kota Cirebon juga menjadi penyebab menurunnya ketertarikan akan wayang kulit cirebon pada masa itu.

Kesenian wayang kulit cirebon mulai banyak dikenal masyarakat internasional ketika penampilan Ki Dalam Taham atau dalam budaya cirebon dikenal dengan nama Mama Ta'am (red : Mama berarti Bapak dalam bahasa Cirebon) yang merupakan ayah dari seorang maestro tari topeng Cirebon gaya Tambi, Indramayu.

Wilayah Inti Penyebaran Wayang Kulit Cirebon

Wilayah inti penyebaran wayang kulit cirebon tidak terlalu luas, yakni berada disekitar wilayah kekuasaan kesultanan cirebon diantara di Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang.

Referensi