Dalihan Na Tolu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot melakukan perubahan kosmetika
J Subhi (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Dalihan.jpg||right|150px]]
[[Berkas:Dalihan.jpg||right|150px]]


Dalihan Natolu berarti “tungku yang tiga/tiga tungku”, secara harfiah dapat diterjemahkan “tungku masak yang berkaki tiga ”ketiga tungku tersebut adalah:<ref name="Sitanggang">.J. P. Sitanggang, ''Raja Napogos'', (Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.</ref> pertama, Somba Marhula-hula/semba/hormat kepada keluarga pihak [[Istri]].{{fact}} Kedua, Elek Marboru/sikap membujuk atau mengayomi wanita.{{fact}} Ketiga, Manat Mardongan Tubu/bersikap hati-hati kepada teman semarga. {{fact}}
'''Dalihan Natolu''' berarti “tungku yang tiga/tiga tungku”, secara harfiah dapat diterjemahkan “tungku masak yang berkaki tiga ”ketiga tungku tersebut adalah:<ref name="Sitanggang">.J. P. Sitanggang, ''Raja Napogos'', (Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.</ref> pertama, Somba Marhula-hula/semba/hormat kepada keluarga pihak [[Istri]].{{fact}} Kedua, Elek Marboru/sikap membujuk atau mengayomi wanita.{{fact}} Ketiga, Manat Mardongan Tubu/bersikap hati-hati kepada teman semarga. {{fact}}


== Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Natolu” ==
== Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Natolu” ==
Baris 26: Baris 26:
Di [[Tapanuli]] telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).<ref name="Aritonang"/>
Di [[Tapanuli]] telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).<ref name="Aritonang"/>


Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990).<ref name="Panggabean">.H.P. Panggabean,''Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu'',(Jakarta: Dian Utama, 2007).</ref> Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, [[kebudayaan]], [[kesenian]] daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat [[Desa]]/[[Kelurahan]]/[[Kecamatan]]dan tingkat [[Kabupaten]](Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).<ref name="Panggabean"/>
[[Lembaga]] ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya [[adat-istiadat]] dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990).<ref name="Panggabean">.H.P. Panggabean,''Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu'',(Jakarta: Dian Utama, 2007).</ref> Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, [[kebudayaan]], [[kesenian]] daerah, [[gotong royong]] dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat [[Desa]]/[[Kelurahan]]/[[Kecamatan]]dan tingkat [[Kabupaten]](Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).<ref name="Panggabean"/>


Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat.{{fact}} Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada [[Pancasila]] dan [[Undang-undang Dasar 1945]] dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.<ref name="Panggabean"/>
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat.{{fact}} Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada [[Pancasila]] dan [[Undang-undang Dasar 1945]] dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.<ref name="Panggabean"/>

Revisi per 1 Agustus 2010 08.16

Berkas:Dalihan.jpg

Dalihan Natolu berarti “tungku yang tiga/tiga tungku”, secara harfiah dapat diterjemahkan “tungku masak yang berkaki tiga ”ketiga tungku tersebut adalah:[1] pertama, Somba Marhula-hula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.[butuh rujukan] Kedua, Elek Marboru/sikap membujuk atau mengayomi wanita.[butuh rujukan] Ketiga, Manat Mardongan Tubu/bersikap hati-hati kepada teman semarga. [butuh rujukan]

Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Natolu”

“Dalihan Natolu” artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima.[1] Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak.[butuh rujukan] Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan.[butuh rujukan] Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat.[1] Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.[butuh rujukan] Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru.[butuh rujukan] Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur.[butuh rujukan] Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.[1]

Dalihan Natolu

Dalihan Natolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak.[2] Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. [3] Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut[butuh rujukan]:

1. Somba Marhula-hula:ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.[2] Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.[1] Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri dan istri tersebut berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.[1]

2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. [4]

Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita).[butuh rujukan] Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang.[1] tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.[butuh rujukan]

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat.[butuh rujukan] Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan.[butuh rujukan] Ini menggambarkan bahwa begitu dakat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll.[1] Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati(masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong.[2], dkk> Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif. [butuh rujukan]

Lembaga Adat Dalihan Natolu

Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).[2]

Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990).[5] Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).[5]

Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat.[butuh rujukan] Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.[5]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h .J. P. Sitanggang, Raja Napogos, (Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.
  2. ^ a b c d .Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta:Dian Utama, 2006).
  3. ^ .J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis, 2004).
  4. ^ .Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977).
  5. ^ a b c .H.P. Panggabean,Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu,(Jakarta: Dian Utama, 2007).

`