Tulakan, Donorojo, Jepara: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 394: Baris 394:


==Tradisi Budaya==
==Tradisi Budaya==
'''Jembul Tulakan'''<ref>http://www.ticjepara.com/2008/11/jembul-tulakan.html</ref> adalah tradisi budaya di Desa [[Tulakan, Donorojo, Jepara|Tulakan]] Kecamatan [[Donorojo, Jepara|Donorojo]] Kabupaten [[Jepara]]
* [[Jembul Tulakan]]

== Tujuan Penyelenggaraan ==
Setahun sekali, setiap bulan Apit hari Senin Pahing, sebagai tanda rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang dilimpahkan pada penduduk Kademangan Tulakan, Ki Demang Barata mengadakan upacara syukuran yang kemudian dikenal dengan sedekah bumi. Arti kata sedekah bumi adalah sedekah (amal) dari hasil bumi yang diwujudkan dengan berbagai macam makanan kecil. Sebagai langkah untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai [[Ratu Kalinyamat]] dalam menuntut keadilan atas kematian suaminya, Sunan Hadiri, yang dibunuh oleh Arya Panangsang. Sebelum sedekah bumi pada hari Senin Pahing, didahului manganan dipunden Nyai Ratu Kalinyamat, yaitu bekas pertapaan. Pada hari Jumat Wage sesuai dengan riwayat yang menyebutkan bahwa kedatangan Ratu Kalinyamat untuk bertapa adalah Jumat Wage. Sebagai tanda bukti dan setia murid-murid Ki Demang Barata yang sudah memimpin pedukuhan, masing-masing mengantarkan makanan kecil ke rumah Ki Demang. Makanan kecil tersebut diletakkan dalam dua buah ancak dan di atas makanan kecil ditanamkan belahan bambu yang diirat tipis-tipis. Iratan tipis bambu tersebut melambangkan rambut jembul dengan diatur sedemikian rupa. Ancak dari rambut jembul dari iratan bambu tipis tersebut dinamakan Jembul Tulakan. Jembul merupakan perlambangan dari ungkapan yang diucapkan oleh Ratu Kalinyamat waktu menjalani pertapaan yaitu ''Ora pati-pati wudhar tapaningsun, yen durung keramas getehe lan karmas keset jembule Aryo Panangsang'' yang dapat berarti tidak akan menyudahi tapa kalau belum keramas dengan darah dan keset rambut [[Aryo Panangsang]].

== Manfaat ==
Dari sisi atraksi budaya, upacara tradisional Jembul Tulakan cukup menarik karena melibatkan seluruh masyarakat yang merasa memiliki tradisi tersebut. Dengan terlibatnya masyarakat secara merata membuat tradisi ini mampu terpelihara dari waktu ke waktu dengan berbagai nuansa baru yang tetap mempertahankan persyaratan upacara yang dianggap harus ada, baik dari segi peralatan maupun langkah-langkah yang harus dilalui. Atraksi Jembul Tulakan ini, di samping menarik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut juga sebagai bagian dari aktivitas budaya penyelarasan dengan alam lingkungan, juga menjadi tontonan budaya bagi masyarakat lain yang tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan ini. Dengan berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat pendukung maupun yang datang sebagai penonton, maka tradisi ini sekaligus dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata, minimal wisata lokal. Munculnya aktivitas budaya ini juga dibarengi dengan aktivitas ekonomi. Setiap kali perayaan pasti mendatangkan penjual makanan kecil maupun warung-warung suvenir dan oleh-oleh yang menjadi makanan khas di sana. Atraksi ini mampu mendatangkan bentuk kegiatan ekonomi baru sebagai unit usaha yang mendukung kegiatan pariwisata meskipun masih dalam lingkup kecil atau lokal. Namun, lama-kelamaan dengan tersebarnya informasi mengenai lokasi-lokasi wisata yang ada di Kabupaten Jepara, diharapkan atraksi budaya Jembul Tulakan ini dapat menjadi daya tarik wisata yang bersifat nasional. Apalagi melihat perkembangan yang ada di Jepara sekarang ini, berkaitan dengan hadirnya para pengusaha asing untuk melakukan kegiatan ekonomi pada industri kerajinan ukir. Biasanya para pendatang asing tersebut juga tertarik dengan tradisi budaya yang masih terpelihara untuk lebih mudah menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Langkah strategis yang ditempuh oleh Dinas Pariwisata Jepara juga dapat dijadikan indikator bahwa Upacara Jembul Tulakan memberi kontribusi pada daya tarik wisatawan, dengan cara memasukkannya sebagai salah satu jadwal paket wisata yang dapat dikunjungi. Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatan Pemerintah Kabupaten, baik berupa pajak penjualan pada warung-warung dan pemasukan bagi masyarakat sendiri sebagai penjual. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah kabupaten sendiri mempunyai kepedulian untuk melestarikan tradisi ini. Di satu sisi sebagai salah satu sumber pemasukan daerah, sisi lainnya memang sudah menjadi bagian sumber mata pencaharian tambahan masyarakat sekitar objek wisata tersebut dengan menjual makanan, jasa penitipan sepeda dan transportasi. Masyarakat secara umum merasa bahwa pelaksanaan tradisi sedekah bumi memberikan manfaat. Pertama, sebagai sarana bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat telah diberi rezeki hasil panen. Ke dua, sebagai media pembelajaran bagi setiap pemimpin desa bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik. Mampu mengayomi dan menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Hal ini disampaikan melalui proses mengitari jambul. Seorang pemimpin harus selalu memerhatikan kehidupan masyarakat secara umum. Ke tiga, tadisi sedekah bumi ini merupakan sarana hiburan bagi masyarakat, berupa wayang maupun tayub. Ke empat, pada saat dilakukan sedekah tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik dalam bentuk jasa maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk. Ke lima, sebagai sarana untuk mengingat perjalanan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang sudah dapat dibuktikan kebenarannya. Terutama dalam tradisi sedekah Bumi Tulakan ini adalah sejarah mengenai perjuangan Ratu Kalinyamat. Menurut cerita masyarakat setempat yang selalu dituturkan melalui prosesi sedekah bumi, pada waktu ratu bertapa yang memakan waktu cukup lama, banyak sekali rambut panjangnya rontok. Rambut-rambut tersebut kemudian dikumpulkan dan ditanam oleh Kasturi (sesepuh dukuh), bapaknya rukan, sehingga seolah-olah seperti makam. Ada dua bumbung yang berhasil ditemukan, yang satu berisi rontokan rambut sedangkan yang satunya cacatan, namun sulit dilacak keberadaannya dan hilang. Akan tetapi masyarakat meyakini bahwa meskipun buktinya belum ditemukan, keberadaan Ratu Kalinyamat diyakini adanya.

== Peralatan dan Simbol-simbol ==
Dalam pelaksanaan Sedekah Bumi Tulakan atau dikenal juga dengan Upacara Jembul Tulakan ini, disuguhkan dua macam Jembul.

Jembul yang besar di depan atau sering disebut '''Jembul Lanang''', sedangkan jembul kecil berada di belakang disebut dengan '''Jembul Wadon'''. Khusus Jembul Lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis sedangkan Jembul Wadon tidak. ''Jembul Lanang'' di dalamnya terdapat bermacam-macam makanan kecil, seperti jadah (gemblong), tape ketan, apem, dan sebagainya. Sedangkan ''Jembul Wadon'' berisi lauk-pauknya. Jumlah jembul disesuaikan dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepala dukuh atau dalam istilah sekarang adalah Kamituwo. Antara lain:
# '''Jembul Krajan''' yaitu jembul dari penduduk Dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayid Usman, seorang Nayoko Projo Ratu Kalinyamat.
# '''Jembul Ngemplak''' merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas perjuangannya membuka pedukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah kepala dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai identitas Ki Leboh dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo, seorang Nayoko Ratu Kalinyamat.
# '''Jembul Winong''' adalah penghargaan terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai kepala dukuh dan membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh tersebut dibuat golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang mengawal dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari Kabupaten Jepara sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder.
# '''Jembul Drojo''' merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaannya maka dibuatlah golek yang menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh Kalinyamat.
Prosesi dari penampilan jembul ini adalah satu per satu dengan pertunjukan tarian tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali peristiwa pada waktu para nayoko menghadap Ratu Kalinyamat dan dipertunjukkan tarian penghormatan dengan tayub.

== Prosesi Upacara ==
Upacara Jembul Tulakan ini dimulai dengan mencuci kaki petinggi atau sekaaran dikenal dengan kepala desa dengan kembang setaman. Aktivitas ini dilakukan oleh perangkat desa, sebagai perlambang kepada Ratu Kalinyamat. Pada masa sekarang masyarakat lebih memaknai sebagai bentuk permohonan agar tercipta kehidupan yang tenteram, bersih dari malapetaka dan segala kesulitan yang menimpa penduduk. Di samping itu sekaligus untuk mengingatkan kepada petinggi agar selalu bersih dalam segala tindakan dan langkahnya, tidak melanggar larangan-larangan agama, larangan pemerintah, serta menerapkan asas kejujuran dan keadilan dalam memimpin masyarakat desa Tulakan. Setelah pencucian kaki petinggi, maka dilakukan selamatan sebagai lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Desa Tulakan tetap selamat sentosa dan hasil bumi pada tahun mendatang melimpah ruah sehingga kehidupan penduduk Tulakan menjadi sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan. Acara mengitari Jembul sebanyak tiga kali merupakan inti dari proses Jembul Tulakan. Kegiatan mengitari Jembul dilakukan oleh petinggi diikuti oleh ledek atau penari tayub dan para perangkat desa. Prosesi ini dilakukan untuk menggambarkan kembali suasana pada waktu Ratu Kalinyamat melakukan pemeriksaan terhadap para nayoko projo yang datang menghadap dia sekaligus untuk menyerahkan hulu bekti yang dibawanya. Kesetiaan para nayoko projo ini ditunjukkan sewaktu ratu melakukan pertapaannya. Suasana ini pada masa sekarang lebih diartikan sebagai pengingat-ingat agar para pemimpin desa Tulakan selalu menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada staf perangkat desanya dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dengan pemantauan tersebut akan tercipta keadaan desa yang aman sentosa. Di samping memantau para pembantunya, pemimpin desa juga perlu memerhatihan rakyat yang dipimpinnya, dengan turun langsung mengenal masyarakat secara dekat dari pedudukuhan–pedukuhan yang ada, sehingga terciptalah kondisi desa yang tertib. Pemimpin benar-benar dapat bertindak mengayomi dan ''nganyemi'' dalam arti melindungi dan menciptakan ketenteraman desa yang dipimpinnya. Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan Resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat Desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan dari Desa Tulakan. Seminggu setelah dilakukan sedekah bumi Tulakan, di dukuh Pejing juga melakukan sedekah bumi yang disebut sedekah bumi Pejing. Hal ini berkaitan dengan cerita, bahwa pada waktu dilakukan sedekah bumi Tulakan, Mbah Cabuk selaku ketua pedukuhan sakit sehingga tidak bisa datang. Melihat sakitnya Mbah Cabuk, anak-anaknya serta masyarakat dukuh mengharapkan agar dukuh tersebut diizinkan melakukan upacara jembul sendiri setelah mbah Cabuk sembuh. Harapan ini terkabul, masyarakat di dukuh tersebut diizinkan melakukan sedekah bumi sendiri oleh Kademangan dengan syarat dalam prosesi tersebut tidak ada jembul. Setelah seminggu kemudian Mbah cabuk sembuh, diadakanlah upacara sedekah bumi Pejing. Diizinkannya Pajing melakukan sedekah bumi sendiri ini, dikarenakan Ki Barata selaku Demang dikenal seorang pemimpin yang arif bijaksana. Sehingga untuk tetap menjaga kerukunan masyarakat di Kademangan, meskipun Pejing melakukan sedekah bumi sendiri harus tetap mematuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh Ki Barata. Syaratnya adalah sedekah bumi di Kademangan Tulakan harus tetap didatangi oleh masyarakat Dukuh Pejing. Waktu pelaksanaan sedekah bumi Pejing tidak boleh bersamaan dengan sedekah bumi Tulakan. Hal ini dimaksudkan agar pada waktu dilaksanakannya sedekah bumi Tulakan, masyarakat Pejing masih bisa mendatangi. Adapun pembagian waktunya, sedekah bumi Tulakan dilakukan pada hari Senin Pahing maka sedekah bumi Pejing dilakukan seminggu kemudian yaitu Senin Wage. Syarat utama lainnya adalah tidak adanya jembul dalam rangkaian upacara, adapun keramaian yang diperbolehkannya Tayub. Berbagai persyaratan telah disetujui oleh Mbah Cabuk dan kembalilah dia ke Pejing untuk melakukan sedekah bumi sendiri. Tradisi Jembul Tulakan dilaksanakan setiap bulan Apit (Dzulqo'dah) tepatnya pada hari Senin sesudah upacara pada malam Jumat Wage di Desa Sonder, hal ini disesuaikan dengan cerita Ratu Kalinyamat di Desa Sonder pada waktu malam Jumat Wage. Kemudian pada hari Senin Pahing para Nayoko Projo (para pembesar negeri) menghadap Ratu dengan membawa Hulu Bekti glondong pangareng-areng (penghormatan dengan membawa kebutuhan dan perlengkapan sang Ratu). Perlambangan jembul-jembul yang jumlahnya empat dimaksudkan sebagai perwakilan dukuh-dukuh yang ada pada waktu itu dan menghadapnya para Nayoko Projo untuk mengantarkan hulu bekti. Prosesi upacara yang menggambarkan penyembahan jembul-jembul oleh tledek (penari Tayub wanita) mempunyai arti bahwa menurut cerita masa lalu pada waktu sang nayoko menghadap sang ratu mendapat penghormatan dari dayang-dayang atau pendamping. Tarian tayub sendiri sebagai bentuk penghormatan para nayoko yang diwujudkan dengan jembul-jembul.


==Julukan==
==Julukan==

Revisi per 30 Januari 2016 22.13

Tulakan
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenJepara
KecamatanDonorojo
Kode pos
59454
Kode Kemendagri33.20.16.2005
Luas1.532,998 ha
Jumlah penduduk13.998 Jiwa
Kepadatan898 / Km2


Tulakan adalah Desa di Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah, Indonesia.

Geografis

Sebelah utara berbatasan langsung dengan Desa Banyumanis, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kelet dan Desa Jlegong, pada sebelah timur berbatasan dengan Desa Blingoh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Bandungharjo dan Bumiharjo.

Administratif

Dusun

Desa Tulakan terdiri dari 5 Dusun, yaitu :

  • Dusun / Kamituwan : Krajan

Meliputi Dukuh Krajan

  • Dusun / Kamituwan : Winong

Meliputi Dukuh Winong, Dukuh Dungpucung dan Dukuh Dunggayam

  • Dusun / Kamituwan : Ngemplak

Meliputi Dukuh Ngemplak, Dukuh Tanggulasi dan Dukuh Kedondong

  • Dusun / Kamituwan : Drojo

Meliputi Dukuh Janggleng, Drojo, Purworejo dan Slempung

  • Dusun / Kamituwan : Pejing

Meliputi Dukuh Pejing dan Sonder

Dukuh

Desa Tulakan terdiri dari 13 Dukuh, yaitu :

  • Dukuh Krajan
  • Dukuh Winong
  • Dukuh Dungpucung
  • Dukuh Dunggayam
  • Dukuh Ngemplak
  • Dukuh Tanggulasi
  • Dukuh Kedondong
  • Dukuh Janggleng
  • Dukuh Drojo
  • Dukuh Purworejo
  • Dukuh Slempung
  • Dukuh Pejing
  • Dukuh Sonder

Desa Tulakan terdiri dari 10 RW, dan 54 RT, yaitu:

  • RW 01 = RT 1 sampai RT 7 (Dukuh Krajan sebelah timur jalan PUK)
  • RW 02 = RT 1 sampai RT 7 (Dukuh Krajan sebelah barat jalan PUK)
  • RW 03 = RT 1 sampai RT 5 (Dukuh Dunggayam)
  • RW 04 = RT 1 sampai RT 4 (Dukuh Winong dan Dukuh Dungpucung)
  • RW 05 = RT 1 sampai RT 6 (Dukuh Ngemplak dan Dukuh Tanggulasi)
  • RW 06 = RT 1 sampai RT 5 (Dukuh Kedondong)
  • RW 07 = RT 1 sampai RT 7 (Dukuh Janggleng dan Dukuh Drojo)
  • RW 08 = RT 1 sampai RT 5 (Dukuh Purworejo dan Dukuh Slempung)
  • RW 09 = RT 1 sampai RT 4 (Dukuh Pejing)
  • RW 10 = RT 1 sampai RT 4 (Dukuh Sonder dan Dukuh Pejing)

Pemdes Tulakan

Struktur pemerintah desa Tulakan Tahun 2015

  • Kepala Desa (Petinggi) = H. Muhammad Sutrisno, S.H.
  • Sekretaris (Carik) = Ir. H. Ahmad Khafid, S.Pd.
  • Bendahara = Ir. H. Ahmad Khafid, S.Pd., M.Kom.
  • Kaur Keuangan = Rohmad Azis, S.H.
  • Kaur Umum = Maftukin, S.Ag.
  • Tata Usaha = -
  • Kamituwo Krajan = -
  • Kamituwo Winong = H. Noor Syafiq
  • Kamituwo Ngemplak = Suwardi Madjid
  • Kamituwo Drojo = Muryadi
  • Kebayan Krajan = Kasriyoino AS
  • Kebayan Winong = Shodiq
  • Kebayan Ngemplak = Ridwan
  • Kebayan Drojo = Rapan
  • Kebayan Pejing = Dasim, S.Pd.
  • Petengan Krajan = Juwari
  • Petengan Winong = Jumari
  • Petengan Ngemplak = Sutriyo
  • Petengan Drojo = Suroso
  • Petengan Pejing = Munawar
  • Modin I Krajan = Abdul Mu'thi, S.Pd.I
  • Modin II Krajan = Sulhadi, S.Pd.I
  • Modin Winong = H. Syukri
  • Modin Ngemplak = Rohman
  • Modin Drojo = Suwandi Aries
  • Modin Pejing = Ali Asyegaf
  • Ladu I Krajan = Parwi
  • Ladu II Krajan = Jono
  • Ladu III Krajan = Suwardi
  • Ladu IV Krajan = H. Nur Hasan, S.Pd.I
  • Ladu I Winong = Amar Ma'ruf
  • Ladu II Winong = Ahmad Muji
  • Ladu I Ngemplak = Su'udi
  • Ladu II Ngemplak = Sridono
  • Ladu I Drojo = Marlan
  • Ladu II Drojo = HM. Suwoto
  • Staf Kaur Umum = Abdul Rochim

Anggota BPD Masa Bhakti 2013 - 2019

  • Ketua BPD = Murdiyanto, SH.
  • Wakil Ketua = Hery Prasetyo, SH
  • Sekretaris = Budi Santoso, S.Pd.SD
  • Anggota = Nur Taufiq, S.Pd.I
  • Anggota = Mad Syahri
  • Anggota = Abdul Hafidl
  • Anggota = Mat Ali
  • Anggota = Agus Muryanto
  • Anggota = Supriyadi
  • Anggota = Irsyat Makmun, S.Pd.I
  • Anggota = Ahmad Muryadi

Pengurus Lembaga Desa

  • Ketua BUMDes = Drs. Tafrikhan
  • Komandan Hansip = Suwarto (Subadak)
  • Ketua LKMD = H. Siswanto, S.Pd.
  • Ketua TP PKK Desa = Ny. Hj. Sri Sulistiyani, S.H.
  • Ketua LMDH = Markus Zarkasi
  • Ketua Gapoktan = H. Tasono
  • Bidan Desa I = Zumrotin, A.Ma.Keb
  • Bidan Desa II = Peny Wijayanti, A.Ma.Keb.
  • Ketua RW I = H. Zaenal Arisin, MM
  • Ketua RW II = H.Tasono
  • Ketua RW III = Zaenal Abidin, S.Pd.I
  • Ketua RW IV = Sujianto
  • Ketua RW V = Agus Supeno
  • Ketua RW VI = Sukir
  • Ketua RW VII = Rohmad, S.Pd.
  • Ketua RW VIII = Sunardi
  • Ketua RW IX = Sumadi
  • Ketua RW X = Daryanto
  • Ketua RT 01 RW I = Parwi
  • Ketua RT 02 RW I = Kasnawi
  • Ketua RT 03 RW I = Suwarto
  • Ketua RT 04 RW I = Yakodal
  • Ketua RT 05 RW I = Sunoto
  • Ketua RT 06 RW I = Ma'ruf
  • Ketua RT 07 RW I = Tumijan
  • Ketua RT 01 RW II = Budi Sutrisno, S.Pd.
  • Ketua RT 02 RW II = Darto
  • Ketua RT 03 RW II = Kastawi
  • Ketua RT 04 RW II = Ahmad Yani
  • Ketua RT 05 RW II = Sulhan
  • Ketua RT 06 RW II = Moh. Noor
  • Ketua RT 07 RW II = Ari Kusmijan
  • Ketua RT 01 RW III = Ngadini
  • Ketua RT 02 RW III = Moh. Ronji, S.Pd.I
  • Ketua RT 03 RW III = Ashadi
  • Ketua RT 04 RW III = Sali
  • Ketua RT 05 RW III = Jaseri
  • Ketua RT 01 RW IV = Ahmadi
  • Ketua RT 02 RW IV = H. Legiran.
  • Ketua RT 03 RW IV = Abdul Wachid
  • Ketua RT 04 RW IV = Ahmad Juri
  • Ketua RT 01 RW V = Qomari
  • Ketua RT 02 RW V = Suharto
  • Ketua RT 03 RW V = Kaswadi
  • Ketua RT 04 RW V = Aris Wiyanto
  • Ketua RT 05 RW V = Wagimin
  • Ketua RT 06 RW V = Sujak
  • Ketua RT 01 RW VI = Kardi
  • Ketua RT 02 RW VI = H. Istihar
  • Ketua RT 03 RW VI = Sariyadi
  • Ketua RT 04 RW VI = Suliyono
  • Ketua RT 05 RW VI = Mulyadi
  • Ketua RT 01 RW VII = Paijan
  • Ketua RT 02 RW VII = Dariyanto, S.Pd.
  • Ketua RT 03 RW VII = Sungari
  • Ketua RT 04 RW VII = H. Ali Ikhwan
  • Ketua RT 05 RW VII = Ahmad Suyadi
  • Ketua RT 06 RW VII = Raban
  • Ketua RT 07 RW VII = Sudarmaji
  • Ketua RT 01 RW VIII = Zaenun
  • Ketua RT 02 RW VIII = Supriyadi
  • Ketua RT 03 RW VIII = Kusairi
  • Ketua RT 04 RW VIII = Ngasimin
  • Ketua RT 05 RW VIII = Ahmad Sholeh
  • Ketua RT 01 RW IX = Wagisri
  • Ketua RT 02 RW IX = Karnawi
  • Ketua RT 03 RW IX = Marsono
  • Ketua RT 04 RW IX = Kaslan
  • Ketua RT 01 RW X = Tarkan
  • Ketua RT 02 RW X = Ahmad Jufrianto
  • Ketua RT 03 RW X = Sukahar
  • Ketua RT 04 RW X = Sanusi

Sejarah Desa

Desa, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif dibawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah Nagari, dan di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur  disebut dengan istilah Kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat.

Demikian halnya Desa Tulakan, pada mulanya merupakan perdukuhan yang bernama Alas Tuwo yang dipimpin oleh kepala perdukuhan mulai dari Pangeran Kuning diteruskan oleh Ki Raban kemudian Ki Moro Suto dan Ki Moro Taruno.

Sampai dengan kepemimpinan 4 (empat) orang tersebut di atas, kondisi perdukuhan Alas Tuwo masih angker, wingit dan gawat kaliwat liwat, sampai akhirnya datanglah bangsawan dari Mataram Kyai Agung Barata bersama keempat muridnya yaitu : Ki Buntari, Ki Leboh, Ki Cabuk dan Ki Purwo, melakukan “lelana” dan “laku tapa brata” di perdukuhan Alas Tuwo ini.

Bersama-sama dengan keempat muridnya, Kyai Agung Barata memasang “rajah” yang terkenal dengan nama “Tulak Balak Pasopati” dengan harapan Dukuh Alas Tuwo menjadi dukuh yang lestari, nyaman, aman dan  maju. 

Berasal dari peristiwa itulah perdukuhan Alas Tuwo dirubah menjadi Kademangan Tulakan dan Kepemimpinan Kademangan diserahkan dari Ki Moro Taruno kepada Kyai Agung Barata dengan sebutan Ki Demang Barata.

Dibawah kepemimpinan Ki Demang Barata dibantu para muridnya, Kademangan Tulakan berkembang pesat, mencakup dukuh Winong (Ki Buntari), dukuh Kedondong/Ngemplak (Ki Leboh), dukuh Drojo (Ki Purwo), Dukuh Pejing (Ki Cabuk) dan dukuh Bandungpadang (Ki Trunojoyo Wongso atau Mbah Klipo). Seiring perkembangan zaman dukuh Bandungpadang menjadi Desa mandiri dengan nama Bandung Mrican dan sekarang bernama  Desa Bandungharjo.

Adapun Pemimpin Desa Tulakan dari masa ke masa  dapat dilihatpada tabel di bawah ini :

No

NAMA

JABATAN

MASA JABATAN

1.

PANGERAN KUNING

Kepala Dukuh Alas Tuwo

2.

RABAN

Kepala Dukuh Alas Tuwo

3.

MORO SUTO

Kepala Dukuh Alas Tuwo

4.

MORO TARUNO

Kepala Dukuh Alas Tuwo

5.

KYAI AGUNG BARATA

Demang Tulakan

- 1882

6.

WASIDIN

Petinggi Tulakan

1882 - 1900

7.

RABIDIN

Petinggi Tulakan

1900 - 1918

8.

LAYU

Petinggi Tulakan

1918 - 1926

9.

WONGSO DIKROMO KARSONO

Petinggi Tulakan

1926 - 1942

10.

NGAPI

Petinggi Tulakan

1942 - 1945

11.

SABAR

Petinggi Tulakan

1945 - 1962

12.

SALIM

Petinggi Tulakan

1962 - 1975

13.

H. SUYUTHI AL FAROQ, BA

Kepala Desa Tulakan

1975 - 1990

14.

H. MUHAMMAD SOEHOED

Kepala Desa Tulakan

1990 - 2007

15.

H. MUHAMMAD SUTRISNO, S.H.

Petinggi Tulakan

2007 - 20--

Pariwisata

Tradisi Budaya

Jembul Tulakan[1] adalah tradisi budaya di Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara

Tujuan Penyelenggaraan

Setahun sekali, setiap bulan Apit hari Senin Pahing, sebagai tanda rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang dilimpahkan pada penduduk Kademangan Tulakan, Ki Demang Barata mengadakan upacara syukuran yang kemudian dikenal dengan sedekah bumi. Arti kata sedekah bumi adalah sedekah (amal) dari hasil bumi yang diwujudkan dengan berbagai macam makanan kecil. Sebagai langkah untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat dalam menuntut keadilan atas kematian suaminya, Sunan Hadiri, yang dibunuh oleh Arya Panangsang. Sebelum sedekah bumi pada hari Senin Pahing, didahului manganan dipunden Nyai Ratu Kalinyamat, yaitu bekas pertapaan. Pada hari Jumat Wage sesuai dengan riwayat yang menyebutkan bahwa kedatangan Ratu Kalinyamat untuk bertapa adalah Jumat Wage. Sebagai tanda bukti dan setia murid-murid Ki Demang Barata yang sudah memimpin pedukuhan, masing-masing mengantarkan makanan kecil ke rumah Ki Demang. Makanan kecil tersebut diletakkan dalam dua buah ancak dan di atas makanan kecil ditanamkan belahan bambu yang diirat tipis-tipis. Iratan tipis bambu tersebut melambangkan rambut jembul dengan diatur sedemikian rupa. Ancak dari rambut jembul dari iratan bambu tipis tersebut dinamakan Jembul Tulakan. Jembul merupakan perlambangan dari ungkapan yang diucapkan oleh Ratu Kalinyamat waktu menjalani pertapaan yaitu Ora pati-pati wudhar tapaningsun, yen durung keramas getehe lan karmas keset jembule Aryo Panangsang yang dapat berarti tidak akan menyudahi tapa kalau belum keramas dengan darah dan keset rambut Aryo Panangsang.

Manfaat

Dari sisi atraksi budaya, upacara tradisional Jembul Tulakan cukup menarik karena melibatkan seluruh masyarakat yang merasa memiliki tradisi tersebut. Dengan terlibatnya masyarakat secara merata membuat tradisi ini mampu terpelihara dari waktu ke waktu dengan berbagai nuansa baru yang tetap mempertahankan persyaratan upacara yang dianggap harus ada, baik dari segi peralatan maupun langkah-langkah yang harus dilalui. Atraksi Jembul Tulakan ini, di samping menarik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut juga sebagai bagian dari aktivitas budaya penyelarasan dengan alam lingkungan, juga menjadi tontonan budaya bagi masyarakat lain yang tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan ini. Dengan berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat pendukung maupun yang datang sebagai penonton, maka tradisi ini sekaligus dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata, minimal wisata lokal. Munculnya aktivitas budaya ini juga dibarengi dengan aktivitas ekonomi. Setiap kali perayaan pasti mendatangkan penjual makanan kecil maupun warung-warung suvenir dan oleh-oleh yang menjadi makanan khas di sana. Atraksi ini mampu mendatangkan bentuk kegiatan ekonomi baru sebagai unit usaha yang mendukung kegiatan pariwisata meskipun masih dalam lingkup kecil atau lokal. Namun, lama-kelamaan dengan tersebarnya informasi mengenai lokasi-lokasi wisata yang ada di Kabupaten Jepara, diharapkan atraksi budaya Jembul Tulakan ini dapat menjadi daya tarik wisata yang bersifat nasional. Apalagi melihat perkembangan yang ada di Jepara sekarang ini, berkaitan dengan hadirnya para pengusaha asing untuk melakukan kegiatan ekonomi pada industri kerajinan ukir. Biasanya para pendatang asing tersebut juga tertarik dengan tradisi budaya yang masih terpelihara untuk lebih mudah menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Langkah strategis yang ditempuh oleh Dinas Pariwisata Jepara juga dapat dijadikan indikator bahwa Upacara Jembul Tulakan memberi kontribusi pada daya tarik wisatawan, dengan cara memasukkannya sebagai salah satu jadwal paket wisata yang dapat dikunjungi. Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatan Pemerintah Kabupaten, baik berupa pajak penjualan pada warung-warung dan pemasukan bagi masyarakat sendiri sebagai penjual. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah kabupaten sendiri mempunyai kepedulian untuk melestarikan tradisi ini. Di satu sisi sebagai salah satu sumber pemasukan daerah, sisi lainnya memang sudah menjadi bagian sumber mata pencaharian tambahan masyarakat sekitar objek wisata tersebut dengan menjual makanan, jasa penitipan sepeda dan transportasi. Masyarakat secara umum merasa bahwa pelaksanaan tradisi sedekah bumi memberikan manfaat. Pertama, sebagai sarana bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat telah diberi rezeki hasil panen. Ke dua, sebagai media pembelajaran bagi setiap pemimpin desa bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik. Mampu mengayomi dan menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Hal ini disampaikan melalui proses mengitari jambul. Seorang pemimpin harus selalu memerhatikan kehidupan masyarakat secara umum. Ke tiga, tadisi sedekah bumi ini merupakan sarana hiburan bagi masyarakat, berupa wayang maupun tayub. Ke empat, pada saat dilakukan sedekah tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik dalam bentuk jasa maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk. Ke lima, sebagai sarana untuk mengingat perjalanan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun yang sudah dapat dibuktikan kebenarannya. Terutama dalam tradisi sedekah Bumi Tulakan ini adalah sejarah mengenai perjuangan Ratu Kalinyamat. Menurut cerita masyarakat setempat yang selalu dituturkan melalui prosesi sedekah bumi, pada waktu ratu bertapa yang memakan waktu cukup lama, banyak sekali rambut panjangnya rontok. Rambut-rambut tersebut kemudian dikumpulkan dan ditanam oleh Kasturi (sesepuh dukuh), bapaknya rukan, sehingga seolah-olah seperti makam. Ada dua bumbung yang berhasil ditemukan, yang satu berisi rontokan rambut sedangkan yang satunya cacatan, namun sulit dilacak keberadaannya dan hilang. Akan tetapi masyarakat meyakini bahwa meskipun buktinya belum ditemukan, keberadaan Ratu Kalinyamat diyakini adanya.

Peralatan dan Simbol-simbol

Dalam pelaksanaan Sedekah Bumi Tulakan atau dikenal juga dengan Upacara Jembul Tulakan ini, disuguhkan dua macam Jembul.

Jembul yang besar di depan atau sering disebut Jembul Lanang, sedangkan jembul kecil berada di belakang disebut dengan Jembul Wadon. Khusus Jembul Lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis sedangkan Jembul Wadon tidak. Jembul Lanang di dalamnya terdapat bermacam-macam makanan kecil, seperti jadah (gemblong), tape ketan, apem, dan sebagainya. Sedangkan Jembul Wadon berisi lauk-pauknya. Jumlah jembul disesuaikan dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepala dukuh atau dalam istilah sekarang adalah Kamituwo. Antara lain:

  1. Jembul Krajan yaitu jembul dari penduduk Dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayid Usman, seorang Nayoko Projo Ratu Kalinyamat.
  2. Jembul Ngemplak merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas perjuangannya membuka pedukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah kepala dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai identitas Ki Leboh dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo, seorang Nayoko Ratu Kalinyamat.
  3. Jembul Winong adalah penghargaan terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai kepala dukuh dan membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh tersebut dibuat golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang mengawal dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari Kabupaten Jepara sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder.
  4. Jembul Drojo merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaannya maka dibuatlah golek yang menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh Kalinyamat.

Prosesi dari penampilan jembul ini adalah satu per satu dengan pertunjukan tarian tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali peristiwa pada waktu para nayoko menghadap Ratu Kalinyamat dan dipertunjukkan tarian penghormatan dengan tayub.

Prosesi Upacara

Upacara Jembul Tulakan ini dimulai dengan mencuci kaki petinggi atau sekaaran dikenal dengan kepala desa dengan kembang setaman. Aktivitas ini dilakukan oleh perangkat desa, sebagai perlambang kepada Ratu Kalinyamat. Pada masa sekarang masyarakat lebih memaknai sebagai bentuk permohonan agar tercipta kehidupan yang tenteram, bersih dari malapetaka dan segala kesulitan yang menimpa penduduk. Di samping itu sekaligus untuk mengingatkan kepada petinggi agar selalu bersih dalam segala tindakan dan langkahnya, tidak melanggar larangan-larangan agama, larangan pemerintah, serta menerapkan asas kejujuran dan keadilan dalam memimpin masyarakat desa Tulakan. Setelah pencucian kaki petinggi, maka dilakukan selamatan sebagai lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Desa Tulakan tetap selamat sentosa dan hasil bumi pada tahun mendatang melimpah ruah sehingga kehidupan penduduk Tulakan menjadi sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan. Acara mengitari Jembul sebanyak tiga kali merupakan inti dari proses Jembul Tulakan. Kegiatan mengitari Jembul dilakukan oleh petinggi diikuti oleh ledek atau penari tayub dan para perangkat desa. Prosesi ini dilakukan untuk menggambarkan kembali suasana pada waktu Ratu Kalinyamat melakukan pemeriksaan terhadap para nayoko projo yang datang menghadap dia sekaligus untuk menyerahkan hulu bekti yang dibawanya. Kesetiaan para nayoko projo ini ditunjukkan sewaktu ratu melakukan pertapaannya. Suasana ini pada masa sekarang lebih diartikan sebagai pengingat-ingat agar para pemimpin desa Tulakan selalu menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada staf perangkat desanya dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dengan pemantauan tersebut akan tercipta keadaan desa yang aman sentosa. Di samping memantau para pembantunya, pemimpin desa juga perlu memerhatihan rakyat yang dipimpinnya, dengan turun langsung mengenal masyarakat secara dekat dari pedudukuhan–pedukuhan yang ada, sehingga terciptalah kondisi desa yang tertib. Pemimpin benar-benar dapat bertindak mengayomi dan nganyemi dalam arti melindungi dan menciptakan ketenteraman desa yang dipimpinnya. Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan Resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat Desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan dari Desa Tulakan. Seminggu setelah dilakukan sedekah bumi Tulakan, di dukuh Pejing juga melakukan sedekah bumi yang disebut sedekah bumi Pejing. Hal ini berkaitan dengan cerita, bahwa pada waktu dilakukan sedekah bumi Tulakan, Mbah Cabuk selaku ketua pedukuhan sakit sehingga tidak bisa datang. Melihat sakitnya Mbah Cabuk, anak-anaknya serta masyarakat dukuh mengharapkan agar dukuh tersebut diizinkan melakukan upacara jembul sendiri setelah mbah Cabuk sembuh. Harapan ini terkabul, masyarakat di dukuh tersebut diizinkan melakukan sedekah bumi sendiri oleh Kademangan dengan syarat dalam prosesi tersebut tidak ada jembul. Setelah seminggu kemudian Mbah cabuk sembuh, diadakanlah upacara sedekah bumi Pejing. Diizinkannya Pajing melakukan sedekah bumi sendiri ini, dikarenakan Ki Barata selaku Demang dikenal seorang pemimpin yang arif bijaksana. Sehingga untuk tetap menjaga kerukunan masyarakat di Kademangan, meskipun Pejing melakukan sedekah bumi sendiri harus tetap mematuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh Ki Barata. Syaratnya adalah sedekah bumi di Kademangan Tulakan harus tetap didatangi oleh masyarakat Dukuh Pejing. Waktu pelaksanaan sedekah bumi Pejing tidak boleh bersamaan dengan sedekah bumi Tulakan. Hal ini dimaksudkan agar pada waktu dilaksanakannya sedekah bumi Tulakan, masyarakat Pejing masih bisa mendatangi. Adapun pembagian waktunya, sedekah bumi Tulakan dilakukan pada hari Senin Pahing maka sedekah bumi Pejing dilakukan seminggu kemudian yaitu Senin Wage. Syarat utama lainnya adalah tidak adanya jembul dalam rangkaian upacara, adapun keramaian yang diperbolehkannya Tayub. Berbagai persyaratan telah disetujui oleh Mbah Cabuk dan kembalilah dia ke Pejing untuk melakukan sedekah bumi sendiri. Tradisi Jembul Tulakan dilaksanakan setiap bulan Apit (Dzulqo'dah) tepatnya pada hari Senin sesudah upacara pada malam Jumat Wage di Desa Sonder, hal ini disesuaikan dengan cerita Ratu Kalinyamat di Desa Sonder pada waktu malam Jumat Wage. Kemudian pada hari Senin Pahing para Nayoko Projo (para pembesar negeri) menghadap Ratu dengan membawa Hulu Bekti glondong pangareng-areng (penghormatan dengan membawa kebutuhan dan perlengkapan sang Ratu). Perlambangan jembul-jembul yang jumlahnya empat dimaksudkan sebagai perwakilan dukuh-dukuh yang ada pada waktu itu dan menghadapnya para Nayoko Projo untuk mengantarkan hulu bekti. Prosesi upacara yang menggambarkan penyembahan jembul-jembul oleh tledek (penari Tayub wanita) mempunyai arti bahwa menurut cerita masa lalu pada waktu sang nayoko menghadap sang ratu mendapat penghormatan dari dayang-dayang atau pendamping. Tarian tayub sendiri sebagai bentuk penghormatan para nayoko yang diwujudkan dengan jembul-jembul.

Julukan

  • Desa Jeruk

Desa Tulakan dijuluki Desa Jeruk karena di desa ini terdapat potensi Pertanian Jeruk Keprok

Perencanaan

Pemerintah Desa Tulakan bersama "H.Muhammad Sutrisno, SH ingin menghilangkan unsur mistis supaya banyak wisatawan berkunjung sehingga menambah pemasukan Desa, yaitu:

  • Menjadikan Pertapaan Sonder menjadi Taman Pertapaan Sonder atau dengan nama "Sonder Hermitage Park" yang sehingga tidak semistis atau seklenik nama Pertapaan Sonder.
  • Membuat kawasan pertapaan sonder menjadi taman bunga warna-warni dan menanam pohon dengan warna daun warna warni seperti yang berada di taman yang bertema japanese park. Tetapi tetap menjaga tempat dimana letak Ratu Kalinyamat bertapa.
  • Memasang bangku taman, lampu taman, gazebo dengan atap wuwuhan khas Rumah adat Jepara, membangun rumah adat khas Jepara (untuk pengunjung yang ingin menginap).
  • Membuat kolam-kolam kecil dengan air bergemricik dengan membuat air mancur kecil atau air terjun buatan kecil atau air mancur sehingga suara gemricik air memberi suasana yang tenang kepada para pengunjung.
  • Memasang rumah burung dara dengan burung dara-nya, supaya pengunjung bisa memberi makan kepada burung dara seperti di taman-taman luar negeri.


  1. ^ http://www.ticjepara.com/2008/11/jembul-tulakan.html