Hubungan Iran dengan Irak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hubungan Iran dengan Irak dimulai pada awal abad ke-16 sebagai saingan politik dengan status sebagai wilayah kesultanan. Wilayah Iran menjadi bagian dari Kesultanan Safawi, sementara wilayah Irak menjadi provinsi di Kesultanan Utsmaniyah. Pada tahun 1979, berlangsung Revolusi Iran dengan hubungan antara Iran dan Irak terjalin dengan baik. Setelah Saddam Hussein menjadi Presiden Irak, hubungan kedua negara ini memburuk dan ditandai dengan dimulainya Perang Iran-Irak pada tahun 1980. Setelah rezim Saddam Hussein berakhir, hubungan antara Iran dan Irak membaik akibat perubahan kondisi politik keagamaan di Irak.

Hubungan Iran–Irak
Peta memperlihatkan lokasiIran and Iraq

Iran

Irak

Masa Kesultanan Utsmaniyah dan Kesultanan Safawi[sunting | sunting sumber]

Iran dan Irak telah memulai persaingan politik pada awal abad ke-16 M. Pada masa ini, baik Iran dan Irak merupakan bagian dari sebuah kesultanan. Keduanya terletak di wilayah bekas Kekaisaran Persia. Irak merupakan provinsi dari Kesultanan Utsmaniyah (1517–1918 M) yang terletak di bagian paling timur. Sedangkan Iran pada saat itu merupakan pusat pemerintahan dari Kesultanan Safawi (1517–1722 M). Kedua kesultanan ini mempermasalahkan urusan perbatasan dan turut campur dalam urusan dalam negeri masing-masing. Kesultanan Safawi menuntut akses menuju kota-kota suci Syiah yang berada di Irak. Kota-kota ini antara lain Karbala, Kufah, Samarra, dan Najaf.[1]

Masa awal Revolusi Iran[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1979, Ruhollah Khomeini menjabat sebagai Pemimpin Agung Iran. Masa kepemimpinannya merupakan masa konsolidasi Revolusi Iran menjadi negara republik dengan bentuk pemerintahan teokrasi.[2] Hubungan antara Iran dan Irak berlangsung dengan baik pada awal Revolusi Iran. Presiden Irak saat itu yaitu Ahmed Hassan al-Bakr menyampaikan ucapan selamat melalui pesan pribadi kepada Ruhollah Khomeini sebagai pemimpin Republik Islam Iran. Hubungan bilateral antara Iran dan Irak kemudian dinyatakan melalui kunjungan Mehdi Bazargan ke Irak.[3]

Masa Perang Iran-Irak[sunting | sunting sumber]

Hubungan antara Iran dengan Irak memburuk ketika Ahmed Hassan al-Bakr mengundurkan diri sebagai Presiden Irak. Ia digantikan oleh Saddam Hussein yang kemudian mendeportasi ribuan orang Iran yang berada di Irak. Alasan yang diberikan oleh Sadsam Hussein atas keputusannya ini adalah adanya dugaan percobaan pembunuhan terhadap Menteri Luar Negeri Irak, yaitu Tariq Aziz. Ia juga mengeksekusi seorang ulama syiah bernama Sayyid Muhammad Baqir as-Sadr yang berasal dari organisasi Syi’ah ad-Dawlah di Irak terkait percobaan pembunuhan tersebut.[3]

Segerea setelah Revolusi Iran tercapai, Saddam Hussein kemudian bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk melakukan invasi ke Iran pada tahun 1980.[4] Akhirnya, Perang Iran-Irak dimulai pada tanggal 22 September 1980 akibat pasukan Irak yang menerobos perbatasan Iran. Pemerintahan di Irak pada masa ini dipimpin oleh Saddam Hussein. Latar belakang perang ini adalah terjadinya hegemoni antara Irak dan Iran atas wilayah Teluk Persia yang menjadi jalur ekspor minyak bagi kedua negara ini.[5]

Peperangan antara Irak dan Iran berlangsung lama dan baru berakhir pada tahun 1988.[3] Perang Iran-Irak menjadi konfigurasi konflik yang utama di Timur Tengah pada dekade 1980-an.[6] Peperangan ini mengakibatkan produksi minyak di Iran maupun Irak hampir berhenti sama sekali.[2] Kerugian berupa biaya perang dan korban jiwa yang ditimbulkan akibat Perang Iran-Irak juga sangat banyak.[2]

Pada tahun 2003, rezim Saddam Hussein di Irak berakhir. Kondisi perpolitikan di Irak berubah terhadap Iran. Perubahan perpolitikan kedua negara ini juga disertai dengan konflik antara Iran dan Arab Saudi akibat sistem politik sektarian yang menyebabkan terjadinya perang proksi di Irak. Iran menjadi pendukung milisi dan politik syiah di Irak, sementara Arab Saudi menjadi pendukung milisi dan politik Sunni di Irak.[6]

Pada tahun 2015, jumlah penganut Syiah Imamiyah di Irak dan Iran mencakup hampir setengah dari jumlah penganutnya di seluruh dunia.[7] Setelah invasi Amerika Serikat di Irak berakhir, Iran membentuk koalisi dengan Irak. Dukungan koalisi ini terjadi setelah para penganut syiah di Irak memperoleh posisi politik dalam pemerintahan di Irak. Pada masa pemerintahan Saddam Hussein, mereka tidak mampu memberikan pengaruh di bidang politik akibat adanya tekanan politik dari Saddam Hussein.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Arpah 2017, hlm. 61.
  2. ^ a b c Printina 2019, hlm. 123.
  3. ^ a b c Arpah 2017, hlm. 60.
  4. ^ Taufiqurakhman (2014). Kebijakan Publik: Pendelegasian Tanggungjawab Negara kepada Presiden Selaku Penyelenggara Pemerintahan (PDF). Jakarta Pusat: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Moestopo Beragama (Pers). hlm. 146. ISBN 978-602-9006-07-0. 
  5. ^ Printina 2019, hlm. 124.
  6. ^ a b c Muhamad, Simela Victor (2016). "Krisis Hubungan Arab Saudi-Iran" (PDF). Info Singkat. Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. VIIII (01): 7. ISSN 2088-2351. 
  7. ^ Atabik, Ahmad (2015). "Melacak Historitas Syi'ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-Alirannya)" (PDF). Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. 3 (2): 336. ISSN 2354-6174. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]