Filsafat berkesudahan
Filsafat berkesudahan adalah kritik atas filsafat tak berkesudahan atau philosophia perennis (filsafat perenial) dari Abad Pertengahan dan filsafat yang mengelak kepada zaman modern. Filsafat ini menggunakan bahasa sebagai basisnya dan pragmatisme sebagai prinsipnya. Fungsi dari filsafat tersebut berbeda dengan filsafat-filsafat lain yang pernah dijalankan dalam sejarah, seperti mencari kebijaksanaan, kepastian pengetahuan, atau menyediakan ajaran paling “sehat” bagi suatu negara. Sebagai gantinya, tugas filsafat tidak lebih dari menjalankan fungsi “penaksir, pendamai, dan penemu cara yang dapat diterima oleh manusia”. Istilah "filsafat berkesudahan" sendiri diambil dari buku karangan John W.M. Verhaar berjudul Filsafat yang Berkesudahan (1999). Dia menunjukkan dirinya sebagai seorang postmodernis tulen. Tema-tema yang diperdebatkan dan cara memperdebatkannya mengingatkan kepada para pemikir postmodern yang selama ini sudah menjadi bahan perbincangan di Indonesia.
Filsafat sebagai sastra
[sunting | sunting sumber]Verhaar mengakui bahwa filsafat berkesudahan berbeda dengan bukunya terdahulu, yaitu Filsafat yang Mengelak (1980). Verhaar mengomentari bukunya terdahulu dengan mengatakan: "Pada 1980, saya belum berurusan dengan purnamodernisme, tetapi intuisi saya sudah beralih ke situ”.[1] Buku Filsafat yang Berkesudahan memang sedikit banyak merupakan revisi dari Filsafat yang Mengelak, yang masih ditulis dalam semangat modern.[2] Selain itu, Verhaar juga mengharapkan untuk memberikan "sumbangan perdebatan mengenai tugas sosial filsafat dalam masyarakat pluralistik, khususnya perdebatan tentang purnamodernisme". Dengan kata lain, dia lebih bersikap pragmatis dalam mendekati filsafat. Filsafat diukur dari fungsinya bagi masyarakat, bukan dari banyaknya sofia (kebijaksanaan) yang dikumpulkan. Fungsi ini dilihat dari zaman yang disebut sebagai postmodern, dengan salah satu coraknya yang mencolok, yaitu pluralistik.[3] Berdasarkan latar belakang inilah, Verhaar memperdebatkan persoalan-persoalan yang sudah tidak asing lagi secara postmodern, seperti liberalisme, demokrasi, identitas, subjektivitas, pluralitas, dan peran intelektual dalam masyarakat.[4]
Secara lebih khusus, kumpulan karangan Filsafat yang Berkesudahan terdiri atas lima artikel, yaitu Impian dan Trans, Apa Itu Purnamodernisme? Supremasi Negara Atas Pendidikan, Filsafat yang Berkesudahan, dan Antihumanisme, Dekonstruksi, dan Fragmentasi Identitas.[2] Filsafat ini membawa dampak cukup signifikan karena harus masuk di berbagai ruang. Inilah yang disebut “deprofesional” filsafat. Menurut Verhaar, proses itu sudah dimulai di berbagai pusat akademik yang ada di seluruh dunia, dan tentu saja membawa permalasahan yang sulit diatasi. Dia mengatakannya dengan lebih tegas sebagai berikut.[4]
Analisis teks (dekonstruksi Derridean) yang demikian dapat menjadi filsafat yang tujuannya meniadakan filsafat. Analisis teks secara filosofis tidak berbeda dari analisis teks secara sastra. Filsafat mengalami suatu proses "deprofesionalisasi". Dewasa ini, dalam lingkungan sastra di banyak universitas, fakultas filsafat seakan-akan dalam proses diganti oleh fakultas sastra. Fakultas yang masih "modern" (artinya "ketinggalan zaman") itu fakultas filsafat, sedangkan yang "purnamodern" adalah fakultas sastra.[4]
Verhaar memang tidak berkompeten untuk mengambil contoh lembaga-lembaga akademik yang sudah melakukan proses tersebut. Namun, dia menyebutkan sejumlah filsuf akademik yang berhasil melakukan deprofesionalisasi filsafat, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, Richard Rorty, dan Zaki Naguib Mahmoud. Pendidikan filsafat di Indonesia sendiri memang terkesan dijauhkan dari dunia sastra, bahkan estetika juga dimarginalisasikan–yang lebih dominan adalah filsafat sosial. Kini, ketika teori-teori sosial banyak dipengaruhi oleh kritik sastra, para filsuf akademik (untuk tidak mengatakan pengajar filsafat) di Indonesia terkesan terisolasi.[5] Kekosongan ini lantas diisi oleh sastrawan yang mempunyai minat kepada filsafat. Salah satu sastrawan maupun kritikus sastra dan seni generasi muda itu adalah Goenawan Mohammad dan Sitor Situmorang.[2] Ironisnya, kelompok muda ini kurang mendapatkan perhatian dari para filsuf profesional (guru filsafat) yang habis waktunya untuk menyusun silabus dan mengajar, serta tidak mempunyai waktu jagongan lagi dengan para gelandangan urakan yang tergila-gila dengan sastra dan filsafat. Jadi, gejala yang diamati oleh Verhaar sama sekali tidak meliputi fakultas filsafat di Indonesia. Tradisi pengajaran filsafat di Indonesia belum menghasilkan filsuf akademik atau profesional, melainkan hanya "dosen" filsafat. Harapan dan prediksi Verhaar itu (dalam kasus filsafat di Indonesia) akan dipenuhi oleh orang-orang di luar lembaga-lembaga pendidikan filsafat dalam jangka waktu dekat.[6]
Kembali kepada persoalan deprofesionalisasi filsafat. Verhaar yakin bahwa filsafat sudah usai, kecuali fungsinya (yang masih akan dapat dilihat kembali). Rumusan Foucault berikut ini kiranya bisa lebih menyakinkan mengenai pengamatan Verhaar tersebut.[4]
It seems to me that philosophy no longer exists; not that it has disappeared, but it has been disseminated into a great number of diverse activities. Thus the activities of the axiomatician, the linguist, the anthropologist, the historian, the revolutionary, the man of politics can be forms of philosophical activities. In the 19th century the reflection that investigated the condition of possibility of objects was philosophical; today philosophy is every activity that makes a new object appear for knowledge or practice–whether this activity stems from mathematics, linguistics, anthropology or history.[7]
Jadi, filsafat sudah berakhir – bukan dalam arti sudah lenyap, melainkan sudah mengalir ke semua kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Tidaklah mengherankan apabila terdengar seorang aktivis gerakan hak-hak asasi manusia tiba-tiba mengundurkan diri selama dua tahun hanya untuk mendalami filsafat. Orang semacam ini tidak sedang mempelajari filsafat itu sendiri, tetapi agar tidak masuk ke dalam rutinitas kegiatannya – dalam bahasa Verhaar – a new object appear for knowledge or practice. Gejala semacam ini paling jelas tampak dalam perkembangan ilmu sosial-kemanusiaan. Lihat saja misalnya, Anthony Giddens – dia sosilog atau filsuf? atau teori yang dikemukakan oleh Raymond Williams – teori sastra atau filsafat? Kedua-duanya. Itulah gejala yang dikatakan oleh Foucault bahwa filsafat has been disseminated into a great number of diverse activities atau menurut Verhaar dan Rorty, filsafat sudah dideprofesionalisasi.[4]
Oleh karena itu, seharusnya ada dua sisi yang harus diperiksa dalam gejala deprofesioalisasi ini: dari sisi filsafat dan dari sisi kegiatan yang melakukan deprofesionalisasi filsafat. Verhaar dalam bukunya lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada sisi filsafat yang sedang mencair. Tentu saja, hal tersebut membutuhkan pengamatan lebih jauh dari sisi lain. Seperti sudah diketahui, Verhaar menyatakan bahwa filsafat dideprofesionalisasi oleh dan lewat sastra. Namun, penjelasan Verhaar tentang hal ini memang masih kurang memadai. Dia memang membuka tulisan dalam buku Filsafat yang Berkesudahan dengan kalimat Impian dan Trans, yang dimaksudkan sebagai “suatu latihan" untuk mendekatkan dua bidang yang umum dianggap berbeda dalam kerangka pikiran "modern", yaitu filsafat dan kesusastraan karena dalam perspektif purnamodern kedua bidang itu seharusnya dijadikan satu.[2]
Meskipun demikian, tulisan Verhaar memang belum mampu “membujuk” para fisuf profesional untuk melirik sastra. Untuk melengkapi kekurangan tersebut, para pembaca juga dapat memeriksa tulisan Rorty (juga Derrida) yang menjadi inspirasi utama bagi gagasan Verhaar tentang hubungan sastra dan filsafat. Kalau selama ini filsafat mengambil bahasa sebagai modelnya (terutama tatanannya yang logis dan sistematis), kini sudah saatnya filsafat mengambil sastra sebagai modelnya (terutama kekuatan imajinasi dan utopianya). Sastra adalah cara bahasa untuk membebaskan dirinya dari kekuatan fasis bahasa (tentang perlunya filsafat kembali ke bahasa sudah dibahas dalam Filsafat yang Mangelak). Hanya dengan sastra, seseorang dapat mengembangkan bahasa, sedangkan di sisi lain hanya filsafat yang mengambil sastra sebagai modelnya yang mampu mengembangkan bahasa. Kalau bahasa adalah rumah kemanusiaan (menurut Martin Heidegger), filsafat yang mengambil bahasa-sastra untuk dapat mengembangkan kemanusiaan seseorang.[6]
Berdasarkan penjelasan inilah, dapat dikatakan bahwa linguistic turn harus diartikan secara lebih tepat, yaitu literary turn. Kalau linguistic turn telah berhasil mengatasi esensialisme dan positivisme, literary turn sedang berusaha mengatasi strukturalisme. Kalau dulu filsafat bisa bertahan jika menjadi filsafat bahasa, kini filsafat sudah tidak lagi bisa diselamatkan, kecuali menjadi “sastra” atau mengambil fungsi sebagai yang dimiliki oleh sastra.[4]
Untuk melihat gejala perkembangan filsafat seperti ini, Verhaar banyak mengamati perkembangan filsafat di Prancis, yaitu dengan menggunakan hasil penelitan Tony Judt. Dia melihat perjuangan para ilmuwan Prancis yang berusaha membebaskan diri dari cengkeraman modernisme dan liberalisme. Perjalanan ini secara umum menempuh fase fenomenologi, eksistensialisme, dan strukturalisme (Claude Lévi-Strauss), kemudian post-strukturalis dan post-Marxis. Selain itu, Verhaar juga mengambil banyak inspirasi dari para pragmatis Amerika, terutama Rorty.[4]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Verhaar, John W.M. (1980). Filsafat yang Mengelak. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 20.
- ^ a b c d Verhaar, John W.M. (1999). Filsafat yang Berkesudahan. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 5–17.
- ^ Cakrawala Ide (8 Mei 2016). "Vodka dan Birahi Seorang Nabi". Cakrawala Ide. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-01. Diakses tanggal 1 Juli 2021.
- ^ a b c d e f g Sunardi, St. (2012). Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 355–369.
- ^ Sujarwa (2019). Model dan Paradigma Teori Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan. hlm. 2–3.
- ^ a b Poepowardojo, Soerjanto; Bertens, K. (1983). Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: Gramedia. hlm. 13–38.
- ^ Foucault, Michel (1989). Foucault Live (Interviews, 1961–1984). New York: Semiotext. hlm. 28.