Lompat ke isi

Etika Kant

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etika Kant merupakan sebuah teori etika deontologis yang dikembangkan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant yang didasarkan pada gagasan bahwa: "Satu-satunya hal yang baik tanpa syarat adalah kehendak untuk berbuat baik (good will)." Teori ini dikembangkan dalam konteks rasionalisme Pencerahan. Teori etika ini menyatakan bahwa suatu tindakan hanya dapat bermoral jika (i) itu dimotivasi oleh rasa kewajiban dan (ii) didasarkan pada prinsip yang secara rasional dikehendaki menjadi hukum yang universal dan objektif.

Inti dari teori Kant tentang hukum moral adalah imperatif kategoris. Kant merumuskan imperatif kategoris dengan menggunakan beberapa prinsip. Prinsip universalisasi-nya mensyaratkan bahwa agar suatu tindakan diperbolehkan, tindakan itu harus mungkin untuk dapat diterapkan oleh semua orang tanpa kontradiksi yang terjadi. Prinsip Kant tentang kemanusiaan, bagian kedua dari imperatif kategoris, menyatakan bahwa sebagai tujuan itu sendiri, manusia dituntut untuk tidak pernah memperlakukan orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi selalu sebagai tujuan pada diri mereka sendiri. Prinsip otonomi menyatakan bahwa agen rasional terikat pada hukum moral atas kehendak mereka sendiri, sedangkan prinsip Kant tentang Kerajaan Tujuan mengharuskan orang bertindak dalam kapasitas seolah-olah prinsip-prinsip tindakan mereka menetapkan hukum dalam suatu komunitas kerajaan hipotetis yang ideal.

Garis besar

[sunting | sunting sumber]

Teori etika Kant paling jelas didefinisikan dalam karyanya, Groundwork of the Metaphysics of Morals, Critique of Practical Reason, dan Metaphysics of Morals. Sebagai bagian dari tradisi Pencerahan, Kant mendasarkan teori etikanya pada pandangan bahwa akal harus digunakan untuk menentukan bagaimana orang harus bertindak.[1] Dia tidak mencoba untuk menginstruksikan tindakan tertentu yang secara moral harus dilakukan, tetapi dia menekankan bahwa akal perlu digunakan untuk menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku.[2]

Kehendak untuk berbuat baik dan kewajiban

[sunting | sunting sumber]

Dalam karya-karyanya, Kant membangun dasar hukum etika dengan konsep kewajiban.[3] Kant memulai teori etikanya dengan menyatakan bahwa satu-satunya hal yang baik tanpa syarat adalah kehendak untuk berbuat baik (good will). Tidak ada hal baik lain yang memiliki status ini karena setiap hal baik lainnya dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang tidak bermoral (misalnya, kesetiaan dapat menjadi tidak baik jika seseorang setia kepada orang jahat). Kehendak untuk berbuat baik itu unik karena itu adalah selalu baik dan tetap mempunyai nilai moral meskipun ketika tindakan yang dilakukan tidak berhasil memenuhi niat moralnya.[4] Kant menganggap kehendak untuk berbuat baik sebagai prinsip moral tunggal yang secara bebas memilih untuk menggunakan kebajikan lain untuk tujuan moral.[5]

Bagi Kant, kehendak untuk berbuat baik adalah konsep yang lebih luas daripada keinginan yang bertindak atas dasar kewajiban. Kant berpendapat bahwa hanya tindakan yang dilakukan sehubungan dengan kewajiban yang memiliki nilai moral. Ini bukan untuk mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan hanya sesuai dengan kewajiban tidak berharga (ini masih layak mendapat persetujuan dan dorongan), tetapi penghargaan perlu diberikan kepada tindakan yang dilakukan karena kewajiban moral.[6]

Konsepsi Kant tentang kewajiban tidak mengharuskan orang melakukan kewajiban mereka dengan enggan. Meskipun kewajiban sering membatasi orang dan mendorong mereka untuk bertindak melawan keinginan mereka, kewajiban itu masih bisa berasal dari kemauan agen: mereka ingin mengikuti hukum moral. Jadi, ketika seseorang melakukan tindakan karena kewajiban, hal itu karena insentif rasional lebih penting bagi mereka daripada keinginan mereka yang berlawanan. Kant ingin melampaui konsepsi moralitas sebagai kewajiban yang dipaksakan secara eksternal, dan menghadirkan etika otonomi, ketika seorang yang rasional dengan bebas mengakui klaim yang dibuat atas dasar alasan mereka sendiri [7]

Imperatif kategoris

[sunting | sunting sumber]

Landasan etika Kant adalah imperatif kategoris yang terdiri dari empat prinsip.[8][9] Kant membuat perbedaan antara imperatif kategoris dan hipotetis. Sebuah imperatif hipotetis adalah imperatif yang harus kita patuhi jika kita ingin memuaskan keinginan kita: 'pergi ke dokter' adalah imperatif hipotetis karena kita hanya wajib mematuhinya jika kita ingin sembuh. Sebuah imperatif kategoris mengikat kita terlepas dari keinginan kita: setiap orang memiliki kewajiban untuk tidak berbohong, terlepas dari keadaan dan bahkan jika itu adalah kepentingan kita untuk melakukannya. Imperatif ini secara moral mengikat karena didasarkan pada akal, bukan fakta yang tergantung pada kepentingan seseorang tertentu.[10] Kita mempunyai kewajiban moral karena kita adalah manusia yang rasional; oleh karena itu, prinsip moral rasional berlaku untuk semua agen rasional setiap saat.[11]

Prinsip universalisasi

[sunting | sunting sumber]

Prinsip pertama Kant tentang Imperatif Kategoris adalah universalisasi:[12]

Bertindaklah sesuai dengan prinsip yang dengannya Anda dapat menghendakinya menjadi hukum yang universal.

Kant percaya bahwa moralitas adalah hukum nalar objektif: sama seperti hukum fisika objektif yang memerlukan suatu tindakan fisik (misalnya, apel jatuh karena gravitasi), hukum rasional objektif mengharuskan tindakan yang rasional. Dia menyatakan bahwa makhluk yang rasional sempurna juga harus bermoral sempurna, karena makhluk yang rasional sempurna secara subyektif merasa perlu untuk melakukan apa yang diperlukan secara rasional. Karena manusia tidak sepenuhnya rasional (sebagian tindakan kita didasarkan atas naluri), Kant percaya bahwa manusia harus menyesuaikan kehendak subjektifnya dengan hukum rasional objektif, yang disebutnya kewajiban kesesuaian.[14] Kant berpendapat bahwa hukum objektif akal adalah apriori, yang ada secara eksternal sebelum makhluk rasional. Sama seperti hukum fisika ada sebelum makhluk fisik, hukum rasional (moralitas) ada sebelum makhluk rasional. Oleh karena itu, menurut Kant, moralitas rasional bersifat universal dan tidak dapat berubah tergantung pada keadaan.[15]

Beberapa sarjana memperbandingkan antara perumusan pertama Imperatif Kategoris dan Aturan Emas.[16][17] Kant sendiri mengkritik Aturan Emas sebagai tidak murni formal dan tidak mengikat secara universal.[18]

Prinisip kemanusiaan sebagai tujuan itu sendiri

[sunting | sunting sumber]

Prinsip kedua Kant tentang Imperatif Kategoris adalah memperlakukan kemanusiaan sebagai tujuan itu sendiri:

Bertindaklah Anda terhadap manusia, baik terhadap diri Anda sendiri maupun terhadap pribadi orang lain, selalu pada saat yang sama sebagai tujuan, tidak pernah hanya sebagai alat.

Kant berpendapat bahwa manusia sebagai makhluk rasional tidak pernah dapat diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan; mereka harus selalu diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri. Memperlakukan manusia sebagai tujuan berarti memahami bahwa setiap manusia itu memiliki kehidupannya masing-masing dan mereka mengejar kebahagiaan dan kehidupan yang baik menurut pandangan mereka, sehingga mereka layak mendapatkan perlakuan yang adil dan rasa hormat (respect). Prinsip ini berasal dari klaim Kant bahwa rasa kewajiban dan penghormatan rasional terhadap hukum memotivasi moralitas: menuntut agar kita menghormati semua makhluk rasional. Makhluk rasional tidak dapat secara rasional menyetujui hanya untuk dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, sehingga mereka harus selalu diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri.[20]

Prinsip otonomi

[sunting | sunting sumber]

Prinsip otonomi Kant berisi gagasan bahwa seorang agen wajib mengikuti Imperatif Kategoris bukan karena adanya pengaruh eksternal, melainkan karena kehendak rasional mereka sendiri. Kant menyatakan bahwa hukum moral yang dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepentingan tertentu akan menyangkal Imperatif Kategoris. Sehingga dia berargumen bahwa hukum moral hanya dapat muncul dari kehendak yang rasional.[21] Prinsip ini mengharuskan orang untuk mengakui hak orang lain untuk bertindak secara mandiri. Ini berarti bahwa karena hukum moral harus dapat diuniversalkan, apa yang dikehendaki oleh satu orang juga dikehendaki oleh semua orang secara rasional.[22][23][24]

Prinsip kerajaan tujuan

[sunting | sunting sumber]

Prinsip terakhir dari Imperatif Kategoris Kant adalah kerajaan tujuan (kingdom of ends). Prinisip ini pada pokoknya menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan didasarkan pada prinsip-prinsip yang seolah-olah membentuk hukum dalam kerajaan tujuan yang hipotetis. Dalam hal ini, orang memiliki kewajiban untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang akan diterima oleh komunitas agen rasional sebagai hukum.[11] Dalam komunitas seperti itu, setiap individu hanya akan menerima prinsip yang dapat mengatur setiap anggota komunitas tanpa memperlakukan anggota lainnya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.[25] Kerajaan tujuan adalah sebuah cita-cita; di dalam dunia yang terkadang niat baik berakhir dengan kemalangan atau manusia tidak diperlakukan adil—kita tetap dituntut untuk melakukan hal yang benar seolah-olah kita berlaku sebagai pembuat undang-undang dalam kerajaan ideal ini melalui tindakan kita.[26]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Brinton 1967, p. 519.
  2. ^ Singer 1983, pp. 42.
  3. ^ Blackburn 2008, p. 240.
  4. ^ Benn 1998, pp. 101–102.
  5. ^ Guyer 2011, p. 194.
  6. ^ Wood 1999, p. 26-27.
  7. ^ Wood 1999, p. 37.
  8. ^ Wood 2008, p. 67.
  9. ^ Hill 2009, p. 3.
  10. ^ Driver 2007, p. 83.
  11. ^ a b Johnson 2008.
  12. ^ Driver 2007, p. 87.
  13. ^ Cambridge Edition, trans. Mary J. Gregor, AA 4:421.
  14. ^ Kant, Immanuel (1785). Thomas Kingsmill Abbott, ed. Fundamental Principles of the Metaphysic of Morals (edisi ke-10). Project Gutenberg. hlm. 39. 
  15. ^ Kant, Immanuel (1785). Thomas Kingsmill Abbott, ed. Fundamental Principles of the Metaphysic of Morals (edisi ke-10). Project Gutenberg. hlm. 35. 
  16. ^ Palmer 2005, pp. 221–2.
  17. ^ Hirst 1934, pp. 328–335.
  18. ^ Walker & Walker 2018.
  19. ^ Cambridge Edition, trans. Mary J. Gregor, AA 4:429.
  20. ^ Benn 1998, p. 95.
  21. ^ Kant & Paton 1991, p. 34.
  22. ^ Kant 1788, Book 1, Ch. 1, §1.
  23. ^ Kant 1785, Section 1, §17.
  24. ^ Sullivan 1989, p. 165.
  25. ^ Atwell 1986, p. 152.
  26. ^ Korsgaard 1996, p. 24.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Globethics.net (2013). Filsafat, Etika, dan Kearifan Lokal untuk Konstruksi Moral Kebangsaan. Globethics.net. 
  • Herho, Sandy H. S. (2016). Critique of Pure Reason: Sebuah Pengantar. Penerbit Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB. 

Jurnal Ilmiah

[sunting | sunting sumber]
  • Dahlan, Moh. (Januari 2009). "Pemikiran Filsafat Moral Immanuel Kant (Deontologi, Imperatif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis)". Ilmu Ushuluddin. 8 (1): 37–48. 
  • Kuntjoro, A. Puspo (Desember 2016). "Pendidikan Moral Sebagai Metode dalam Proyek Etika Immanuel Kant". Respons. 21 (02): 225–250. ISSN 0853-8689. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]