Efek denominasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Efek denominasi adalah bentuk bias kognitif yang berkaitan dengan mata uang. Efek denominasi membuat orang untuk membelanjakan uang dengan nilai mata yang sama tetapi dalam denominasi yang lebih kecil dibanding denominasi yang besar atau dengan kata lain orang cenderung membelanjakan uang dengan pecahan yang lebih kecil.[1] Profesor di Sekolah Bisnis Stern Universitas New York, Priya Raghubir dan profesor di Universitas Maryland, Joydeep Srivastava dalam mengusulkan efek denominasi pada tahun 2009 di makalah berjudul "Denomination Effect".[2][3]

Srivastava dan melakukan Raghubir tiga penelitian mengenai efek denominasi. Mereka menemukan bahwa orang mungkin lebih cenderung membelanjakan uang dengan denominasi yang lebih kecil dan ketika ada kebutuhan untuk mengontrol pengeluaran, orang mungkin lebih suka menerima uang dengan denominasi besar. Efek denominasi terjadi saat denominasi kecil dianggap lebih dapat ditukar daripada denominasi besar.

Efek denominasi berpengaruh terhadap implikasi keputusan pengeluaran di masyarakat seperti kebijakan moneter, ekonomi kesejahteraan, dan jasa keuangan. Contoh dari efek denominasi ini adalah seorang pengusaha mengamati karyawannya yang menggunakan lebih banyak uang koin daripada uang kertas di mesin penjual otomatis kantor dan menganggap pelanggan menggunakan uang koin agar merasa lebih hemat selama krisis ekonomi 2008. Srivastava dan Raghubir juga menyatakan efek denominasi dapat mengubah perilaku masa depan dengan melibatkan intensitas dan denominasi besar dapat mencegah keinginan orang untuk berbelanja.

Eksperimen Raghubir dan Srivastava[sunting | sunting sumber]

Raghubir dan Srivastava melakukan tiga penelitian berbeda untuk eksperimen mereka. Eksperimen pertama mereka melibatkan 89 mahasiswa sarjana dari dua universitas Amerika Serikat. Para mahasiswa secara acak diberikan pecahan besar (satu dolar) atau pecahan kecil (four quarter) dan mereka dapat membelanjakan uangnya untuk membeli permen atau menyimpannya. Sebanyak 43 mahasiswa (48% kelompok belajar) diberikan pecahan kecil dan 46 mahasiswa (52% kelompok pelajar) diberikan pecahan besar. Dalam kedua kondisi tersebut, sebanyak 38 atau 39 (44%) peserta memilih untuk membeli persen. Lalu, 63% peserta dengan pecahan kecil membeli permen dan hanya 26% dari peserta dengan pecahan besar yang membelanjakan uangnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung untuk membelanjakan jika diberi pecahan uang yang lebih kecil.[3]

Studi kedua melibatkan 75 pelanggan SPBU dalam survey singkat mengenai penggunaan gas. Ke-75 pelanggan diberikan lima koin satu dolar, satu dolar sebanyak lima lembar, dan satu lembar lima dolar. Pelanggan dengan uang satu lembar senilai lima dolar lebih mungkin untuk tidak membeli sesuatu dibanding pelanggan dengan uang satu dolar sebanyak lima lembar. Sedangkan, pelanggan dengan lima koin satu dolar memiliki kemungkinan pembelanjaan paling rendah, tetapi uang ini beredar relatif rendah dan beberapa uang ini disimpan sebagai cenderamata.[4]

Studi ketiga dilakukan untuk mengetahui apakah memang efeknya khusus untuk budaya Amerika saja atau tidak. Di Tiongkok, 150 ibu rumah tangga (IRT) diberi uang kertas senilai CNY 100 atau lima uang kertas dengan nilai yang sama (pada 2009, CNY 100 setara dengan kira-kira $14,63 USD atau €10,40 EUR[5]). Uang tunai CNY 100 mewakili pendapat bulanan para IRT dengan 28 dari 150 IRT (18,7%) memiliki pendapatan kurang dari CNY 300, 97 dari 150 IRT (65%) memiliki pendapatan bulanan antara CNY 301 hingga CNY 600, dan 25 IRT dari 150 IRT (16,7%) memiliki pendapatan bulanan lebih dari CNY 600. Anggota keluarga di dalam kedua kondisi tersebut rata-rata berjumlah 3,3 orang. Orang-orang yang membeli peralatan rumah tangga merasa kurang puas saat memiliki uang kertas dengan nilai pecahan yang besar. Sedangkan orang yang menghabiskan uang dengan nilai pecahan yang lebih kecil merasa lebih puas.[6]

Studi awal[sunting | sunting sumber]

Metode pembayaran alternatif

Profesor pemasaran Arul Mishra, Himanshu Mishra, dan Dhananjay Nayakankuppam melakukan satu studi pada tahun 2006 yang mendokumentasikan fenomena konsumen yang memiliki uang dengan nilai pecahan besar mengeluarkan pengeluaran lebih sedikit. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan konsumen yang memiliki nilai pecahan uang yang lebih kecil.[7] Dalam studi tersebut, disimpulkan bahwa kesulitan dalam transaksi membuat orang memberikan nilai yang lebih tinggi ketika uang dalam bentuk pecahan tunggal besar. Selain itu, studi tersebut menyimpulkan orang akan menilainya terlalu tinggi dan membuat orang tidak membelanjakannya jika dibandingkan dengan jumlah yang sama pada pecahan uang yang lebih kecil. Tidak seperti studi Arul Mishra dan rekannya yang mempelajari niat pembelian, Raghubis dan Srivastava meneliti keputusan pembelian yang sebenarnya.[8]

Penelitian yang dilakukan Raghubir dan Srivastava di 2008 menemukan bahwa orang cenderung memakai metode pembayaran alternatif seperti kartu kredit dan gift card untuk berbelanja.[9] Penelitian mereka didasarkan pada penelitian sebelumnya seperti penelitian oleh John Gourville pada 1998[10] yang menunjukkan bahwa orang cenderung untuk menganalisis transaksi secara positif saat jumlah uang yang sama didistribusikan secara merata setiap hari, bukan pembayaran yang dilakukan sekaligus setiap tahun (lump sumo).

Kesimpulan[sunting | sunting sumber]

Raghubir dan Srivastava menyimpulkan studi pertama bahwa orang cenderung berbelanja saat uang dengan nilai yang sama diwakili oleh nilai pecahan uang yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai pecahan uang tunggal yang besar. Dalam studi kedua, mereka menyimpulkan bahwa konsumen lebih suka menerima uang dalam pecahan besar dibandingkan dengan pecahan kecil ketika ada kebutuhan untuk mengontrol pengeluaran. Studi ketiga membuktikan keinginan individu untuk mengatasi rasa tidak nyaman yang terkait dengan pengeluaran uang mempengaruhi efek denominasi. Orang yang menganggap pecahan nilai uang yang besar kurang bisa menggantikan daripada pecahan nilai uang kecil yang bisa dipakai untuk mengontrol dan mengatur pengeluaran dapat menyebabkan efek denominasi.[11]

Bersama dengan majalah Time di tahun 2009, Sean Gregory menjelaskan bahwa konsumen memandang pecahan nilai uang yang besar lebih berharga daripada pecahan nilai uang yang kecil dan cenderung "mengisolasi" uang tunai dalam pikiran mereka. Katanya, setiap pecahan kecil $20 kurang berharga dibandingkan pecahan $100 tunggal yang besar. Selain itu, dia menyatakan lebih mudah membelanjakan lima lembar $20 daripada menghabiskan satu lembar $100. Gregory juga menambahkan bahwa konsumen takut pecahan uang tunggal dengan nilai yang besar karena tidak akan bisa berhenti berbelanja memakai uang receh.[12]

Para peneliti menyatakan bahwa efek denominasi mungkin melibatkan pemaksaan batasan diri atau insentif untuk mengubah perilaku di masa depan. Selain itu, memiliki pecahan uang dengan nilai yang besar dapat berfungsi sebagai pra-komitmen untuk mencegah dorongan untuk berbelanja menggunakan pecahan uang dengan nilai yang kecil.[13]

Penerapan[sunting | sunting sumber]

Raghubir dan Srivastava percaya pengaruh denominasi pada keputusan pengeluaran memiliki implikasi pada kebijakan moneter dan kesejahteraan konsumen.[14] Raghubir menyarankan untuk menawarkan pecahan uang dengan nilai yang lebih kecil untuk mendorong pengeluaran. Dia juga mengusulkan peningkatan sirkulasi koin $1 dan memperkenalkan koin $2 di Amerika Serikat.[2]

Efek denominasi berimplikasi pada jual beli saham.

Pada 2012, Gary Belsky dan Tom Gilovich dari majalah Time menyatakan penelitian Raghubir dan Srivastava konsisten dengan apa yang mereka sebut dengan mental accounting. Disebutkan juga bahwa uang kertas pecahan kecil cenderung dimasukkan ke "mental petty cash account" untuk dibelanjakan hal-hal sepele. Sebaliknya, uang kertas dengan pecahan yang lebih besar dianggap sebagai "uang nyata" dan cenderung dibelanjakan untuk hal-hal yang lebih penting.[15][16]

Pada 2009, National Public Radio melaporkan bahwa ketika resesi memburuk, seorang pengusaha dari Sacramento memperhatikan bahwa orang-orang menggunakan lebih banyak koin daripada uang kertas di mesin penjual otomatis kantornya. Pengusaha itu percaya konsumen merasakan kesulitan ekonomi dan menggunakan koin sebagai ganti uang kertas yang membuat mereka merasa lebih hemat.

Kolumnis di International Banker, John Manning menyatakan efeknya muncul di bidang keuangan ketika unit nilai aset memperlihatkan kecenderungan investor untuk membelanjakan lebih sedikit ketika diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Manning mengambil contoh stock split dan menyarankan jumlah saham dinaikkan dengan rasio tertentu serta dikurangi harganya dengan faktor yang sama sehingga total nilai ekuitas perusahaan tetap sama. Stock split dilakukan sebagian besar akibat efek denominasi karena diyakini bahwa harga saham yang lebih murah dapat meningkatkan permintaan saham.[17]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kane, Libby (September 9, 2016). "15 cognitive biases that could keep you from building wealth". Business Insider. Archived from the original on 2022-03-10. Diakses tanggal 25 Januari 2017. 
  2. ^ a b "Why We Spend Coins Faster Than Bills". NPR. 12 Mei 2009. Diakses tanggal 10 Maret 2022. 
  3. ^ a b Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep; article., John Deighton served as editor and Brian Ratchford served as associate editor for this (2009). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 70. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301. 
  4. ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 706. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301. 
  5. ^ "Dollar Yuan Exchange Rate - 35 Year Historical Chart". www.macrotrends.net. Diakses tanggal 2022-03-10. 
  6. ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 704–706. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301. 
  7. ^ Mishra, Arul; Mishra, Himanshu; Nayakankuppam, Dhananjay. "Money: a Bias For the Whole" (PDF). Advances in Consumer Research. 34: 166. 
  8. ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 701, 702, 704, 706. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301. 
  9. ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 701, 712. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301. 
  10. ^ Gourville, John T. (1998-03-01). "Pennies-a-Day: The Effect of Temporal Reframing on Transaction Evaluation". Journal of Consumer Research. 24 (4): 395–408. doi:10.1086/209517. ISSN 0093-5301. 
  11. ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 701–713. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301. 
  12. ^ Gregory, Sean (27 Maret 2007). "Want to Save Money? Carry Around $100 Bills". Time. Diakses tanggal 11 Maret 2022. 
  13. ^ Gregory, Sean (2009-03-27). "Breaking News, Analysis, Politics, Blogs, News Photos, Video, Tech Reviews". Time (dalam bahasa Inggris). ISSN 0040-781X. Diakses tanggal 2022-03-11. 
  14. ^ Raghubir & Srivastava 2009, hlm. 712.
  15. ^ Gilovich, Tom; Belsky, Gary (26 Januari 2012). "Why (Bill) Size Really Does Matter". Time. Diakses tanggal 11 Maret 2022. 
  16. ^ Riju, Dave (September 19, 2016). "Going shopping? Don't fall for these 14 retailer tricks to make you spend more". Economic Times. Diakses tanggal 25 January 2017. 
  17. ^ Manning, John (24 Juni 2016). "Cognitive Bias Series: 6. The Denomination Effect". International Banker. Diakses tanggal 11 Maret 2022.