Dewi Danu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar
Dewi Danau Batur
Dewi Kesuburan
SimbolDanau Batur
PasanganRatu Sakti Pancering Jagat (Trunyan)
Orang tuaSanghyang Pasupati atau Dewa Surya (Trunyan)
SaudaraRatu Sakti Meduwe Ujung Sari (Trunyan)
Sang Hyang Gnijaya dan Sang Hyang Putrajaya
AnakRatu Gede Dalam Dasar (Trunyan)
Maya Denawa (anak)
KendaraanNaga bersisik dan berjengger emas (Trunyan)

Dewi Danu yang juga bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar atau I Ratu Ayu Mas Membah adalah dewi penguasa Danau Batur bersama-sama dengan putera sulungnya, yaitu Ratu Gede Dalam Dasar. Ia adalah permaisuri Ratu Sakti Pancering Jagat yang dipuja bersama suaminya di Pura Pancering Jagat Terunyan. Dewi Danu merupakan salah satu Batara Kawitan (dewa yang asalnya merupakan leluhur yang telah lama wafat) yang memiliki silsilah kedewaan. Perayaan odalannya jatuh pada Purnama Sadha ("purnama ke-12").[1]

Dewi Danu juga memiliki pura-pura pemujaan sendiri. Salah satunya yang paling terkenal adalah Pura Ulun Danu Batur. Sebagai penguasa Danau Batur yang airnya digunakan untuk mengairi persawahan, Dewi Danu juga dipuja sebagai dewi kesuburan. Bersama dengan Sang Hyang Gnijaya dan Sang Hyang Putrajaya, mereka bertiga disebut Sang Hyang Tri Purusha, yaitu ketiga putra dan putri Hyang Pasupati.[2]

Legenda[sunting | sunting sumber]

Cerita rakyat penduduk Trunyan[sunting | sunting sumber]

Aroma harum yang dikeluarkan taru menyan ("pohon kemenyan") mengundang sesosok dewi turun dari kayangan untuk tinggal di wilayah tersebut, yang selanjutnya diberi nama Terunyan. Dewa Surya merasa gusar karena ada dewi yang turun ke bumi sehingga mencarinya. Dewi tersebut merasa jengkel karena terus-menerus diamati oleh Dewa Surya sehingga ia menungging dan menunjukkan kelaminnya dengan maksud menghina. Tiba-tiba dewi tersebut mengandung anak dari Dewa Surya kemudian melahirkan kembar buncing (kembar tetapi berbeda kelamin), yang pertama Pria dan kedua Wanita. Dewi tersebut kembali ke langit setelah kedua anaknya cukup besar.[1]

Pada suatu hari, seorang pria datang ke tempat tinggal mereka dan bertemu dengan si gadis. Gadis itu hendak melarikan diri karena takut. Namun, pria tersebut berhasil menangkap dan menyetubuhinya. Setelah kejadian tersebut, pria yang ternyata adalah putra sulung Dalem Solo menghadap kakak dari si gadis untuk melamarnya. Kakak si gadis bersedia menerima lamaran itu asalkan si pangeran bersedia menjadi pancer jagat ("pasak dunia") di Desa Trunyan, yang selanjutnya berkembang menjadi kerajaan kecil. Pangeran menerimanya dan memperoleh gelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Gadis tersebut menjadi permaisurinya dengan gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar, sementara kakak si gadis bergelar Ratu Sakti Meduwe Ujung Sari.[1]

Purana Tatwa[sunting | sunting sumber]

Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari, Dewa Pasupati memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Belahan di tangan kanan dijadikan Gunung Agung sebagai tahta Dewa Putranjaya sementara yang di tangan kiri menjadi Gunung Batur untuk tahta Dewi Danu.[3]

Purana Tatwa, salah satu bagian Raja Purana Pura Ulun Danu Batur yang populer di antara umat Pura Ulun Danu Batur, menceritakan kisah mengenai Dewi Danu. Dewi Danu bersama I Ratu Ayu Arak Api mengantar ketiga putra Dewa Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, atas permintaan kakek ketiganya, yaitu Hyang Pasupati di Gunung Semeru. Setelah bertemu, Dewa Indra meminta Mangku Pucangan untuk mengantar I Ratu Ayu Mas Membah ke kediamannya di Pura Ulun Danu. Di tengah perjalanan, Mangku Pucangan merasa kelelahan menjunjung Dewi Danu sehingga ia terengah-engah dan bersuara "ah ... ah ...". Oleh sebab itu, tempat Mangku Pucangan beristirahat selanjutnya disebut Basang Ah.[4]

Setelah melanjutkan perjalanan, mereka tiba di Desa Pengotan yang saat itu penduduknya sedang bermusyawarah. Mangku Pucangan memanggil mereka untuk menghentikan sidang mereka karena junjungan mereka datang. Penduduk Pangotan tertawa melihat Dewi Danu yang dijunjung Mangku Pucangan mirip sampyan ("ukiran lontar") dan tidak percaya ada Dewi Danu di sana. Dewi Danu menunjukkan wajahnya kemudian berkata bahwa jika mereka akan memuja dirinya, persembahan mereka akan diterbangkan angin sesampainya di pintu gerbang. Oleh sebab itu, sesaji warga Pengotan biasanya hancur setiba di Pura Ulun Danu.[4]

Mangku Pucangan melanjutkan perjalanan hingga melihat air payau yang sangat luas. Dewi Danu meminta benang dan bulu ayam untuk dilemparkan ke tengah paya, sementara Mangku Pucangan mengikuti benang hingga ke tengah. Di sana, Bhatari Ayu Mas Membah meminta untuk diturunkan. Tiba-tiba tanah di tengah paya tersebut semakin tinggi sehingga menjadi Gunung Tempur Hyang (artinya "bekas pijakan kaki Ida Bhatari").[4]

Bukit Bangli[sunting | sunting sumber]

Ida Bhatara Indra memberi putra keduanya sebuah tirta (mata air) yang disebut Mas Manik Mampeh di dekat Danau Batur. Ia memberi pesan agar air dari tirta tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh penduduk Batur sehingga Dewi Danu berniat menjualnya. Dewi Danu memasukkan air ke dalam dua buah labu pahit dan berubah menjadi pria tua yang penuh kudis. Setelah sampai di Dusun Bubung Kelambu, ia menuangkan sedikit air dari dalam labu karena khawatir airnya tumpah selama di perjalanan sehingga tempat tersebut selanjutnya diberi nama Tirta Mas Manik Mancur.[4]

Sesampainya di Munti Gunung, Dewi Danu menawarkan airnya kepada penduduk setempat, tetapi mereka merasa jijik dan menghinanya mirip pengemis. Dewi Danu kemudian mengutuk penduduk setempat untuk memperoleh penghidupan sebagai pengemis hingga kini. Para penduduk setempat di desa-desa yang dilewati Dewi Danu juga tidak ada yang bersedia membeli air yang dijualnya karena merasa jijik. Di Desa Les, Dewi Danu berhasil menjual airnya sebanyak dua kepeng, tetapi penduduk saat itu hanya mampu membayar satu kepeng. Selanjutnya, air yang dibeli penduduk diberi nama Toya Mampeh dan mereka diperbolehkan untuk menggantinya setiap tahun ke Batur. Di Desa Tejakula, Dewi Danu menjual airnya dan dibayar dengan kerbau. Sesampai di Pantai Ponjok Batu, ia menuangkan airnya sedikit yang kemudian menjadi mata air dan dapat terlihat jika air laut sedang surut. Akhirnya Dewi Danu sampai di suatu tempat dan menuangkan semua airnya sambil berkata bahwa air tersebut tidak dapat digunakan untuk pertanian karena inih ("irit"). Semenjak saat itu, tempat tersebut diberi nama Yeh Sanih atau air inih/ irit.[4]

Saat kembali, Dewi Danu kembali berwujud putri cantik dan bermaksud menjual kerbau yang dimaksukkan ke dalam bambu. Penduduk Kubu Tambahan tidak percaya ada kerbau di dalam bambu sehingga mereka menuangnya. Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir kerbau-kerbau tersebut sehingga berlarian melintasi berbagai desa. Dewi Danu memanggil kerbau-kerbau tersebut, tetapi seekor yang paling besar ternyata sudah disembelih oleh penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan. Karena marah, Dewi Danu berkata bahwa semua desa yang dilintasi kerbau-kerbaunya diwajibkan membayar pajak ke Batur sementara penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan wajib membayar seekor kerbau hidup ke Batur secara bergantian. Semua desa yang ia serta kerbau-kerbaunya lintasi akhirnya menjadi pemuja di Pura Ulun Danu Batur.[4]

Akhirnya Dewi Danu berubah wujud menjadi gadis desa yang berjualan gantal ("gulungan sirih yang digunakan untuk sesaji) di Kehen. Ida Batara Kehen melihatnya dan jatuh cinta kemudian memperkosa Dewi Danu karena ia menolak untuk dinikahi. Dewi Danu yang murka akhirnya menciptakan Bukit Bangli yang membentang dari timur ke barat di selatan kota untuk menghalangi aliran air danau Batur agar tidak sampai di Kehen. Namun, Bhatara Kehen menciptakan belut dan kepiting besi untuk melubangi Bukit Bangli sehingga irigasi kembali berjalan.[4][5]

Saat kembali ke Batur, Dewi Danu meninggalkan mangkuk perunggunya di Kehen sehingga ia mengutus anaknya untuk mengambil kembali. Bhatara Kehen yang masih kecewa tetap mengembalikan mangkuk tersebut tetapi akan menarik pajak sebesar 1300 kepeng jika sang dewi melewati wilayahnya di selatan saat hendak menjalankan ritual melasti (ritual pembersihan) di pantai. Dewi Danu membalasnya dengan mengatakan bahwa setiap balian yang memiliki genta di Bangli wajib membayar 225 kepeng ke Pura Batur.[5]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali. Penerbit Universitas Indonesia. ISBN 979-456-034-0. 
  2. ^ Mawar Kusuma (30 Agustus 2015). "Air untuk Kemakmuran Bali". Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 31 Oktober 2015. 
  3. ^ Jro Mangku I Ketut Riana. "Sejarah Pura Batur". Pura Ulun Danu Batur. Diakses tanggal 31 Oktober 2015. 
  4. ^ a b c d e f g Jro Mangku I Ketut Riana. "Tinjauan Babad: Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur". Yayasan Bali Galang. Diakses tanggal 31 Oktober 2015. 
  5. ^ a b Thomas Anton Reuter. Custodians of the Sacred Mountains: Culture and Society in the Highlands of Bali. University of Hawai'i Press. ISBN 0-8248-2450-4. Diakses tanggal 31 Oktober 2015.