Kerajaan Tambusai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Tambusai

کراجأن تمبوسي
abad ke-16–1945
Wilayah zelfbestuur di Sumatra Tengah, termasuk Tambusai, 1941.
Wilayah zelfbestuur di Sumatra Tengah, termasuk Tambusai, 1941.
Statusvasal Pagaruyung (sampai 1833), Hindia Belanda (1905-1942), dan Jepang (1942-1945)
Ibu kotaDalu-Dalu
Bahasa resmiMelayu Tinggi, Minangkabau, Mandailing
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
• Didirikan
abad ke-16
• Bergabung ke Indonesia
1945
Didahului oleh
Digantikan oleh
Pagaruyung
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Tambusai adalah kerajaan Islam yang berada di sekitar Batang Rokan Kanan, sekarang menjadi Kecamatan Tambusai dan Tambusai Utara, Rokan Hulu, Riau. Kerajaan ini didirikan pada abad ke-16 oleh Sultan Mahyuddin, putra Yang Dipertuan Pagaruyung.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Masa awal[sunting | sunting sumber]

Menurut Sejarah Tambusai, Kerajaan Tambusai didirikan oleh Kahar gelar Sutan Mahyudin, putra Yang Dipertuan Pagaruyung. Ibu kota kerajaan ini awalnya berada di Karang Besar sebelum dipindahkan ke Dalu-Dalu.[1] Sultan Mahyuddin diperkirakan memimpin Tambusai pada abad ke-16.[2]

Kepenuhan dan Rambah awalnya adalah bagian dari Tambusai dan raja-rajanya masih berkerabat dengan raja-raja Tambusai. Silsilah raja-raja Kepenuhan tersambung kepada Tok Permaisuri, adik Yang Dipertuan Tua, yang menggantikan Raja Purba, pengelana dari Johor yang membuka negeri Kepenuhan,[3] sebagai penguasa setelah Raja Purba terbunuh dalam perang melawan raja Kunto.[4] Nasab raja-raja Rambah tersambung kepada Tengku Raja Muda, putra Yang Dipertuan Tua.[5]

Perang Padri dan pendudukan oleh Belanda[sunting | sunting sumber]

Selama Perang Padri di Minangkabau, Tambusai termasuk daerah yang terdampak perang. Salah satu tokoh Padri masyhur dari daerah ini adalah Tuanku Tambusai yang tetap memimpin perlawanan setelah Bonjol takluk kepada Belanda pada 1837. Tambusai menjadi saksi berakhirnya Perang Padri, ditandai dengan jatuhnya Dalu-Dalu pada 1838.[6]

Meski sempat diduduki Belanda pada 1838, Tambusai belum menjadi bagian dari Hindia Belanda. Pada paruh akhir abad ke-19, Sultan Zainal Abidin dari Tambusai berselisih dengan Sultan Siak dan pemerintah Hindia Belanda perihal kekuasaan Tambusai di Tanah Putih.[7] Sultan Zainal Abidin kemudian ditangkap pada 1904 dan dibuang ke Madiun.[8] Tambusai kemudian menjadi zelfbestuur Hindia Belanda di bawah Keresidenan Sumatra Timur.[9]

Adat[sunting | sunting sumber]

Sebagai salah satu rantau Minangkabau, sebagian besar penduduk Tambusai menganut adat garis ibu. Kelompok ini dikenal sebagai Sibah Lua dan terdiri dari sembilan suku (klan), yakni Melayu, Ampu, Kuti, Kandang Kopuh, Soborang, Pungkuik, Maih, Bonuo, dan Moniliang.[10]

Kelompok lainnya yang berjumlah lebih sedikit adalah Sibah Dalam yang terdiri dari keluarga raja dan pembesar. Sibah Dalam terdiri dari enam suku, yakni Induk Dalam, Majo Rokan, Simajo Lelo, Seri Marajo, Majo Rajo, dan Bansowan.[10] Berbeda dengan Sibah Lua, Sibah Dalam menganut adat garis ayah.[11]

Tambusai juga dihuni oleh orang Mandailing. Sebagian besar orang Mandailing di Tambusai bermukim di Sungai Kumango.[8]

Daftar raja[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah daftar penguasa Tambusai menurut Sejarah Tambusai[12] dan catatan Belanda tentang penguasa Tambusai masa akhir.[9][13][14]

  1. Kahar gelar Sultan Mahyuddin
  2. Sultan Zainal
  3. Sultan Ahmad
  4. Sultan Abdullah
  5. Sultan Saifuddin
  6. Sultan Abdur Rahman
  7. Yang Dipertuan Tua
  8. Yang Dipertuan Akhir Zaman I
  9. Yang Dipertuan Sayidina Mukammil
  10. Yang Dipertuan Sakti
  11. Yang Dipertuan Besar
  12. Yang Dipertuan Akhir Zaman II
  13. Yang Dipertuan Jumadil Alam
  14. Yang Dipertuan Abdul Wahid
  15. Yang Dipertuan Zainal Abidin (1887-1904)
  16. Yang Dipertuan Ahmad (1906-1929)
  17. Yang Dipertuan Udo (1929-1940)
  18. Tengku Ilyas gelar Tengku Sulung (1940-1945)

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

Rujukan

  1. ^ Mutiara 1979, hlm. 83.
  2. ^ Mutiara 1979, hlm. 1.
  3. ^ Mutiara 1979, hlm. 40-41.
  4. ^ Mutiara 1979, hlm. 55-59.
  5. ^ Mutiara 1979, hlm. 22.
  6. ^ Jahja 2015, hlm. 20.
  7. ^ Stibbe 1921, hlm. 253-254.
  8. ^ a b Kemdikbud RI 1978, hlm. 143.
  9. ^ a b Regeeringsalmanak 1907, hlm. 288.
  10. ^ a b BPSNT Tanjung Pinang 2009, hlm. 18.
  11. ^ BPSNT Tanjung Pinang 2009, hlm. 16.
  12. ^ Mutiara 1979, hlm. 124.
  13. ^ Regeeringsalmanak 1931, hlm. 447.
  14. ^ Regeeringsalmanak 1941, hlm. 418.

Daftar pustaka

  • Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang (2009). Perkawinan Luhak Tambusai. Tanjung Pinang. 
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1978). Sejarah Daerah Riau. Jakarta. 
  • Mutiara, Putri Minerva (1979). Sejarah Tambusai: Suatu Suntingan Naskah Tradisi Lokal. Jakarta: Universitas Indonesia. 
  • Jahja, Juni Sjafrien (2015). Perang Tuanku Tambusai Sang Harimau Rokan Melawan Penjajahan Belanda. Jakarta: Visimedia. 
  • Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1907 (dalam bahasa Belanda). Batavia: Landsdrukkerij. 1907. 
  • Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1931 (dalam bahasa Belanda). Batavia: Landsdrukkerij. 1931. 
  • Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1941 (dalam bahasa Belanda). Batavia: Landsdrukkerij. 1941. 
  • Stibbe, D.G. (1921). Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (Soemb-Z) (dalam bahasa Belanda). Leiden: E.J. Brill.