Kampung Urug

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kampung Urug adalah salah satu kampung adat yang berlokasi di Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.[1]

Geografis[sunting | sunting sumber]

Jarak tempuh Kampung Adat Urug dari Ibukota Provinsi Jawa Barat sekitar 165 kilometer ke arah Barat, sementara dari Ibukota Kabupaten Bogor kurang lebih 48 kilometer. Jika dari kecamatan Sukajaya, hanya berjarak 6 kilometer, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak lebih dekat lagi, hanya 1,2 kilometer.[1] Kampung Adat Urug yang berada di wilayah desa Kiarapandak ini dalam bahasa setempat sering disebut Lembur Urug (Kampung Urug), terletak pada kordinat 6° 34' 42" Lintang Selatan dan 106° 29' 28" Bujur Timur, dengan luas wilayah 10 Hektar dan dialiri oleh tiga sungai, yakni Sungai Ciapus, anak Sungai Ciapus, dan Sungai Cidurian. Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung di sebelah Timur dengan Sungai Cidurian sebagai pembatas langsung. Di sebelah Barat, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Cisarua dan Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya. Sementara di sebelah Selatan, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Kiarasari, Kecamatan Sukajaya dan Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggung. Sedangkan di sebelah Utara, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Sukajaya dan Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya. Jumlah penduduk Kampung Adat Urug tercatat 5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.875 jiwa dan penduduk perempuan 2.250 jiwa. Sama seperti masyarakat Sunda lainnya, warga Kampung Adat Urug juga mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di sini hanya pemimpin adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 4 RW dan 15 RT.[2] Keadaan suhu udara di Kampung Urug kira-kira 24 sampai dengan 28 derajat Celcius. Apabila pada siang hari suhu udara rata-rata mencapai 28 derajat Celcius dan pada malam hari rata-rata sampai 24 derajat Celcius. Wilayah Kampung Urug beriklim tropis terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan yang jatuh pada Oktober sampai dengan Maret dan musim kemarau yang jatuh pada April sampai dengan September. Musim penghujan biasanya berlangsung selama kurang lebih enam bulan dengan angka curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan tanah pertanian di Kampung Urug dan sekitarnya menjadi lebih subur.[3]

Pola Kepemimpinan[sunting | sunting sumber]

Pemimpin informal di Kampung Urug adalah pemimpin lokal yang ditunjuk atas kebutuhan masyarakat setempat. Pemimpin yang ditunjuk bisa disebut Olot (sebutan untuk orang tua) atau Abah (Bapa). Kampung urug sendiri dibagi tiga wilayah yang masing-masing dipimpin oleh Olot. Ketiga wilayah tersebut adalah Urug Tonggoh (atas), Urug Tengah, dan Urug Lebak (bawah). Adapun tugas dari ketiga Olot ini berbeda. Olot Tonggoh bertugas untuk memimpin setiap kegiatan dan mempertahankan adat yang dilakukan di Kampung Urug, baik itu yang berkaitan dengan menanam padi, selamatan, kematian, dll. Apabila ada tamu dari luar yang ingin mendapatkan informasi mengenai Kampung Urug bisa mendatangi Olot Tonggoh. Olot Tengah memiliki tugas mengatur, mengerahkan, dan memberi petunjuk kepada masyarakat dalam berbagai kegiatan terutama kegiatan adat. Sementara itu, Olot Lebak bertugas mengendalikan, mempertahankan, dan memimpin seluruh kegiatan adat istiadat di Kampung Urug. Maka ari itu, olot Lebak dianggap paling dituakan di Kampung Urug atau istilahnya adalah pananggeuhan (tempat bersandar diri).

Selain Olot, ada juga Punduh, Lebe, dan Kuncen. Mereka bertiga sebagai pembantu Olot dalam menjalankan kepemimpinan. Punduh adalah sebutan untuk orang yang menjadi penghubung masyarakat dengan Olot. Punduh dipilih oleh masyarakat sesuai garis keturunan pendahulunya. Ada juga Lebe, seorang yang bertugas menjadi ustadz dalam bidang keagamaan. Sedangkan, Kuncen memiliki peran sebagai pemberi petunjuk bagi masyarakat dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan. Maka dari itu, Kuncen sering memberikan nasihat, saran, dan pendapat dalam rangka mengendalikan perilaku masyarakat.[4]

Permukiman[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya pola permukiman masyarakat di Kampung Urug mengelompok dengan titik pusat gedong gede (gedung besar), gedong luhur (gedung atas), dan gedong alit (gedung kecil). Rumah-rumah penduduk ini cukup variatif, ada yang berbentuk bangunan permanen dan bentuk semi permanen. Rumah permanen dindingnya dibentuk dari tembok, atapnya menggunakan genteng atau asbes, dan lantainya menggunakan tegel, ubin, atau keramik. Sedangkan rumah yang masih semi permanen dindingnya menggunakan setengah tembok dan setengah lagi dibuat dari triplek atau bilik, atapnya dari genteng, seng, ada juga yang menggunakan asbes. Walaupun bentuk bangunan rumah masih tradisional yaitu rumah panggung dengan atap dari daun alang-alang, tapi ada juga beberapa bangunan rumah yang terlihat sudah permanen.

Bahan yang digunakan dalam setiap bagian bangunan adalah sebagai berikut.

  • Tatapakan, untuk tatapakan menggunakan batu alam utuh, agar lebih kuat sebagai penopang bangunan.
  • Golodog, terbuat dari beberapa buah kayu yang disusun berundak.
  • Bilik (dinding), dibuat dari bambu yang dianyam
  • Hateup (atap), dibuat dari anyaman daun kiray.
  • Palupuh (lantai), diuat dari bambu yang dirangkai dari belahan kecil dan panjang.
  • Lalangit (plafon), terbuat dari anyaman bilik bambu.
  • Panto (pintu), bentuknya empat persegi panjang dan terbuat dari kayu.
  • Jandela (jendela), setiap jendela yang terpasang menggunakan kisi-kisi dari bilah kayu atau bambu.[5]

Rumah adat di Kampung Urug memiliki karakter yang hampir sama dengan rumah adat Sunda pada umumnya. Rumah adatnya adalah rumah panggung berkolong yang terdiri dari tiga bagian ruangan, yaitu bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Bagian depan digunakan menerima tamu yang datang. Bagian tengah digunakan sebagai tempat kmupul keluarga. Pada bagian tengah biasanya dibuat ruangan kamar tidur sang penghuni rumah. Sedangkan bagian belakang selain sebagai dapur, digunakan juga sebagai goah yaitu ruangan penyimpan persediaan beras.[3]

Upacara Adat[sunting | sunting sumber]

Seren Taun[sunting | sunting sumber]

Upacara Seren Taun adalah upacara setelah panen dan dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharam. Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur dari para petani di sini yang dipimpin Ketua Adat. Ungkapan rasa syukur ini berkaitan dengan istilah mipit kudu amit ngala kudu mènta (memetik dan mengambil harus minta izin kepada yang punya), rasa syukur ini ditujukan kepada yang pertama kali telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karena pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia adalah milik Yang Maha Kuasa, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada yang punya. Urutan upacara seren taun di Kampung Urug dimulai dengan menyembelih kerbau yang dilakukan oleh ketua adat. Setelah disembelih, kerbau tadi dimasak dan didoakan beramai-ramai sebelum dibagikan kepada semua masyarakat. Keesokan harinya, seluruh warga dan ketua adat berziarah ke makam leluhur yang berada di gedong leutik dan kepada makam keluarga masing-masing. Setelah ziarah, warga menyiapkan berbagai hidangan untuk acara selamatan berikutnya yang akan akan kedatangan tamu dari berbagai daerah dan pelaksanaan hiburan seperti jaipongan, kesenian buhun, wayang golek, dan lain-lain. Pada pagi hari setelah itu, seluruh warga harus menyediakan satu ekor ayam yang akan disembelih oleh beberapa Ki Amil (juru sembelih) di dekat rumah adat. Setelah disembelih, ayam itu harus dimasak dalam bentuk bakakak (ayam panggang utuh). Barulah setelah itu acara seren taun dianggap selesai.

Ngabuli[sunting | sunting sumber]

Salametan Ngabuli atau sering disebut upacara tutup taun, dilaksanakan pada bulan Muharram dan bertempat di Gedong Sanghyang Tunggal. Upacara ini mirip dengan seren taun. Acara yang paling utama dan dinanti-nanti adalah hiburan kesenian tradisional yang datang ingin tampil di kasepuhan Kampung Urug tanpa dibayar, seperti Jaipongan, Wayang Golek, Degung, dan lain-lain.

Rewah[sunting | sunting sumber]

Upacara rewah selalu dilaksanakan pada tanggal 12 Sya’ban. Tujuan upacara ini adalah untuk rewah kepada Nabi Adam dan keturunannya. Pagi hari masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga satu ekor, disembelih di halaman rumah adat, setelah selesai dimasak, dibawa lagi ke rumah adat, selamatannya dilaksanakan ba’da Dzuhur. Acara ini dan do’a yang dikirim sebagai wujud bakti kepada Nabi Adam Alaihisalam karena menjadi induk semua umat manusia.

Muludan[sunting | sunting sumber]

Salametan Maulud selalu dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang bertempat di Ruang Pancaniti Gedong Sanghyang Tunggal. Tujuan selamatan ini adalah untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw. Dalam acara ini Ketua Adat bersama warga khusus mengrim do’a untuk Nabi Muhammad karena Sudah berjasa membawa agama Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah didoakan.

Sedekah Bumi[sunting | sunting sumber]

Upacara sedekah Bumi dilaksanakan lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (Sya’ban), Puasa (Ramadhan), Syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat, tapi sebelum itu dilaksanakan terlebih dahulu do’a bersama agar semua warga selama menanam padi mulus rahayu berkah salamet (selamat dan lancar tanpa kendala).[2][5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Kampung Urug-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". disparbud.jabarprov.go.id. Diakses tanggal 2020-05-08. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b Dewantara, Asep (2013-01-31). "Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat di Kampung Adat Urug Bogor". Buletin Al-Turas (dalam bahasa Inggris). 19 (1): 89–118. doi:10.15408/bat.v19i1.3703. ISSN 2579-5848. 
  3. ^ a b "Kearifan Orang Sunda di Kampung Urug yang Terpencil: Tinjauan Psikologi dan Arsitektur". webcache.googleusercontent.com. Diakses tanggal 2020-05-08. 
  4. ^ Rosmana, Tjetjep (1 Maret 2011). "Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal Masyarakat Kampung Urug di Kabupaten Bogor Jawa Barat". Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research. 3 (1): 136–153. doi:10.30959/patanjala.v3i1.275. ISSN 2598-1242. 
  5. ^ a b "Data Kampung Adat di Jawa Barat" (PDF). webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-10. Diakses tanggal 2020-05-08.