Inses

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Hubungan sedarah)
Daftar kekerabatan yang dilarang untuk kawin dalam The Trial of Bastardie karya William Clerke. London, 1594.

Hubungan sedarah atau hubungan sumbang atau inses[1] (Inggris: incest) adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara sepihak. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosio antropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis.

Penjelasan biologis dan sosial[sunting | sunting sumber]

Hubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah' dari kedua tetua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipe-nya berada dalam kondisi homozigot.

Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi psikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa budaya juga mentoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik atau kemurnian ras.

Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam (fiqih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara sepihak (bukan saudara angkat atau saudara tiri), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu. Di dalam Alkitab Kristen (Imamat 18) tertulis larangan hubungan sedarah antara kekerabatan tertentu.

Contoh-contoh hubungan sumbang dalam kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Pada kelompok masyarakat tertentu, seperti suku Polahi di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi, praktik hubungan sumbang banyak terjadi. Perkawinan sesama saudara adalah hal yang wajar dan biasa di kalangan suku Polahi.

Kalangan bangsawan Mesir Kuno, khususnya pascainvasi Alexander Agung, melakukan perkawinan dengan saudara kandung dengan maksud untuk mendapatkan keturunan berdarah murni dan melanggengkan kekuasaan. Contoh yang terdokumentasi adalah perkawinan Ptolemeus II dengan saudara perempuannya, Elsinoé. Beberapa ahli berpendapat, tindakan seperti ini juga biasa dilakukan kalangan orang biasa. Toleransi semacam ini didasarkan pada mitologi Mesir Kuno tentang perkawinan Dewa Osiris dengan saudaranya, Dewi Isis.

Dalam mitologi Yunani kuno, Dewa Zeus kawin dengan Hera, yang merupakan kakak kandungnya sendiri.

Folklor Indonesia juga mengenal hubungan sumbang. Hubungan sumbang antara Sangkuriang dan ibunya sendiri (Dayang Sumbi) dalam dongeng masyarakat Sunda atau antara Prabu Watugunung dan ibunya (Sinta), yang menghasilkan 28 anak — kisahnya diabadikan dalam pawukon — adalah contoh-contohnya.

Pada masa jahiliah, orang Arab terbiasa menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus dan menikahi istri almarhum ayahnya. Praktik ini kemudian dilarang oleh Islam.[2]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Bixler, Ray H. (1982) "Comment on the Incidence and Purpose of Royal Sibling Incest," American Ethnologist, 9(3), August, pp. 580–582.
  • Leavitt, G. C. (1990) "Sociobiological explanations of incest avoidance: A critical claim of evidential claims", American Anthropologist, 92: 971–993.
  • Potter, David Morris (2007). Emperors of Rome. Englewood Cliffs, N.J: Quercus. ISBN 978-1-84724-166-5. 
  • Sacco, Lynn (2009). Unspeakable: Father–Daughter Incest in American History. Johns Hopkins University Press. 351 ISBN 978-0-8018-9300-1
  • Indrajit Bandyopadhyay (29 October 2008). "A Study In Folk "Mahabharata": How Balarama Became Abhimanyu's Father-in-law". Epic India: A New Arts & Culture Magazine
  • Đõ, Quý Toàn; Iyer, Sriya; Joshi, Shareen (2006). The Economics of Consanguineous Marriages. World Bank, Development Research Group, Poverty Team.
  • Ska, Jean Louis (2009). The Exegesis of the Pentateuch: Exegetical Studies and Basic Questions. Mohr Siebeck. hlm. 30–31, 260. ISBN 978-3-16-149905-0.  link pp. 30–31
  • Ska, Jean Louis (2006). Introduction to Reading the Pentateuch. Eisenbrauns. ISBN 978-1-57506-122-1. 

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ KBBI: Inses
  2. ^ Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 327. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-09-27. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]